Pendahuluan
Bertumbuhkembangnya Gerakan Rakyat[1] dalam dekade belakang, dibarengi dengan bertumbuh-kembangnya sejumlah istilah baru dalam retorika perjuangannya. Untuk menyebut beberapa contoh saja: Garis Massa, Demokrasi, Bottom-Up, Top Down, Proletariat, Mobilisasi, Grassroots, Swadaya, Aktivisme, Verbalisme, Propaganda, Dialog. Semakin mantapnya posisi gerakan rakyat, akan diikuti dengan semakin mantapnya penggunaan sejumlah istilah dalam retorika perjuangannya.
Pengamatan terhadap sebagian kalangan aktivis Gerakan Rakyat, menunjukkan bahwa penggunaan sejumlah istilah-istilah sering tidak didasarkan atas pemahaman yang tepat terhadap istilah tersebut. Sementara itu, dapat dipastikan, setiap istilah yang berkembang merujuk pada suatu teori tertentu.
Penyadaran: Gagasan yang disalahpahami
Riwayat mulanya, Penyadaran (Concientization, Concientizacao) merupakan gagasan yang dikembangkan berdasarkan teori dan paraktek pendidikan Paulo Freire.[2] Pemahaman yang salah terhadap gagasan Penyadaran, pernah diungkapkan oleh Paulo Freire sendiri pada ceramahnya di Cuernavaca, Meksiko, Januari 1971.
Saya mendapat kesan bahwa istilah Penyadaran menimbulkan sikap yang berbeda- beda pada pribadi-pribadi dan golongan-golongan tertentu.
1. Beberapa orang atau kelompok kmengikuti lokakarya atau seminar mengenai Penyadaran karena mereka mengira, dari istilah Penyadaran, akan memperoleh ramuan ajaib untuk memecahkan persoalan emosi yang mereka hadapi. Persoalan emosi itu disebabkan oleh realita hidup jaman sekarang. Karena nilai-nilai dalam rnasyarakat mengalami perubahan terus-menerus, maka diantara kaum muda dan kaum tua muncul persoalan-persoalan. Pandangan terhadap hidup dan makna hidup, terhadap ekcnomi dan lain-lain telah berubah. Hal ini, pada mereka, mengakibatkan keguncangan emosi. Beberpa orang, tidak hanya dan belum trentu kaum muda, ,juga kaum tua mencari dan menemukan kata Penyadaran. Kata itu dimaknakan seakan-akan ‘tongkat sulap’ yang bisa mengembalikan keseimbangan emosi mereka. Mereka mencari ramuan ajaib dari dukun.
2. Ada golongan lain yang mengikuti lokakarya mengenai Penyadaran bukan dengan maksud untuk menemukan ramuan ajaib yang mampu memecahkan persoalan pribadi, karena memang sebetulnya persoalan pribadi itu tidak ada. Semua persoalana bagi mereka mengandung dimensi sosial. Tapi, Penyadaran dilihat sebagai ramuan untuk menghasilkan perubahan sosial yang revolusioner. Jadi sebetulnya, golongan ini mencari sesuatu yang ajaib, meskipun tanpa sadar. Orang-orang ini suka sekali dengan istilah Penyadaran, karena mereka merasa bahwa ini lah ramuan yang mereka butuhkan. Cukup dengan mengucapkan kata Penyadaran dan terjadilah revolusi. Sikap ini sangat tidak realistis. Orang ini mengira bahwa kalau anda keluar malam hari dengan sebuah proyektor atau dengan sebuah poster atau dengan alat apa saja, maka anda akan bertemu dengan kelompok buruh atau petani, dan perubahan dunia sudah menjadi nyata.
3. Mungkin golongan ketiga adalah golongan yang paling besar. Orang-orang ini dating ke lokakarya mengenai Penyadaran untuk menemukan jawaban atas kekhawatirankekhawatiran mereka terhadap masalah sosial. Mereka ini mengakui bahwa masalah-masalah sosial itu nyata ada, dan mereka ingin sekali mencari jalan keluarnya. Pada hakekatnya mereka ini telah ditipu oleh khayalan-khayalan sehingga mereka mengira: manusia dapat berubah tanpa berubah dunia; manusia dapat menjasi lebih manusiawi dan lebih bebas, sementara kenyataan sosial yang menindas manusia, mereka biarkan sebagaimana adanya. Orang ini dengan penuh semangat, penuh keinginan baik dan penuh kegembiraan mendatangi lokakarya tentang Penyadaran untuk memperoleh suatu kata yang menyelamatkan, suatu kata yang mengobati perselisihan, antara kelas-kelas sosial. Dengan demikian Penyadaran menjadi jalan keluar ketiga antara revolusi dan penindasan. Mereka ini mendamaikan pertentangan, menjadi reaksioner, artinya jalan keluar yang sesungguhnya mereka halang-halangi. Selanjutnya, kelompok-kelompok ini mulai memeikirkan dan melakukan Aksi Aspirin. Dengan Aksi Aspirin itu, mereka bagaikan membagikan bungkus Aspirin dan persoalan sosial selesai.
4. Golongan keempatsangat terbatas jumlahnya, sangat kecil. Dia mendekati Penyadaran dengan sikap yang sungguh-sungguh kritis. Orang-orang ini tahu bahwa Penyadaran bukan tongkat sulap untuk mengatasi persoalan. Bagi mereka proses Penyadaran hanyalah landasan dari sebuah proses pembebasan. Penyadaran dilihat sebagai usaha untuk mengerti hubungan antara kesadaran dan Dunia. Dua hal tersebut tidak dipisah. Mereka tahu bahwa tidak ada manusia tanpa dunia dan tidak ada kesadaran selain kesadaran tentang dunia, dan tidak ada•dunia selain dunia yang disadari. Inilah yang penting: kedua segi tersebut tidak dipisah-pisah, tidak dipecah-belah. Kelompok ini tidak mau mengulang apa yang dikatakan orang, melainkan mau menciptakan hal yang baru. Dia tahu bahwa Penyadaran tidak dapat dilepaskan dari Aksi dan Refleksi manusia terhadap dunia yang menindas perkembangan manusia. Dia menyadari: struktur yang menindas harus diubah. Dia tahu: Struktur hanya dapat diubah dengan kegiatan yang nyata dan tidak dalam kesadaran manusia saja. Ini sebabnya golongan keempat ini menolak segala pandangan.yang berdasarkan khalayan dan rnereka mendekati persoalan dari pandangan realistis untuk mengerti persoalan sosial secara realistis.
5. Masih ada satu golongan lagi, golongan yang kelima. Golongan ini tidak. Sungguh-sungguh mendekati gagasan Penyadar. Sebaliknya Penyadaran itu dijauhkan, karena ia sedikit banyak mengerti bahwa melalui proses Penyadaran kenyataan menjadi terbuka, bahwa orang dibebaskan dari penipuan dan menjadi sadar. Orang-orang dari golongan kelima ini sudah menemukan bahwa melalui Penyadaran dapat timbul suatu gerakan yang membahayakan mereka. Golongan ini bukan baru sekarang ini muncul. Saya tahu betul, karena waktu saya masih tinggal di negeri saya, saya sendiri terkena tuduhan ini.• Dan sekarang di seluruh Amerika Latin dia semakin hari semakin kuat. Oleh golongan ini Konsientisasi (Penyadaran) dilihat sebagai Setanisasi. Penyadaran mereka tentang mati-tian. Inilah perbedaan besar dengan empat golongan yang sebelumnya disebutkan. Soalnya, kepentingan yang dibela golongan ini terancam. Penipuannya dibongkar oleh Penyadaran. Maka, Konsientisasi (Penyadaran) itu disebut Setanisasi.
Dari saduran secara bebas ceramah Paulo Freire itu, Nampak bahwa istilah Concientization diartikan secara berbeda-beda (bahkan bertentangan) berlandaskan kepentingan masing-masing golongan.
Untuk lebih jelasnya, berikut akan disajikan beberapa pokok bahasan yang menunjukkan bagaimana salah arti termaksud.[3]
· Mereka menunjuk Kemiskinan sebagai masalah pokok, dan bukan Penindasan. Pengertian kemiskinan mengaburkan arti. Kemiskinan dapat disebabkan oleh pelbagai kemungkinan. Sedangkan Penindasan, jelas merupakan suatu eksploitas dalam hubungan politik, ekonomi, dan sosial. Pengertian Penindasan belum tentu terkandung dalam istilah Kemiskinan.
· Gagasan Freire tentang kebudayaan bisu (The Culture of Silence)[4] dianggap berdasarkan teori Kebudayaan Kemiskinan (The Culture of Poverty), yang beranggapan bahwa kaum miskin mempunyai sejumlah kebiasaan dan sifat yang menjelaskan keadaan kemiskinan mereka; juga menghambat mereka sendiri dalam pengembangannya. Cirri-ciri itu dijelaskan sebagai: Kekurangan motivasi untuk maju; ketidakmampuan memahami kemajuan; kurang bersedia menanggung resiko dan sebagainya. Oleh mereka, diabaikan bahwa cirri-ciri ini sebenarnya merupakan reaki kaum miskin terhadap situasi penindasan.
· Dengan mengaburkan penindasan, mereka member kesan bahwa kemiskinan bisa ditanggulangi dengan mengubah kebiasaan kaum miskin melalui keterampilan teknologi yang tetapi tidak mengubah struktur sosial yang menindas mereka.
· Dengan member kesan bahwa kemiskinan itu disebabkan oleh kaum miskin itu sendiri, dan bukan karena penindasan, dan bahwa persoalan utama adalah kekurangan keterampilan, bukan paksaan struktural, maka mereka sesungguhnya memandulkan dimensi politik ajaran dan praktek pendidikan Freireian. Mereka menggolongkan Freire sebagai bagian dari pendidik Humanis Liberal, seperti Jhon Dewey. Mereka menggunakan pemikiran Paulo Freire untuk meningkatkan otoritas mereka sebagai pendidik non-formal.
· Metode pendidikan Paulo Freire yang berintikan Dialog, diputarbalikkan menjadi suatu metode untuk murid mernperoleh “jawaban yang benar", sesuai dengan buku penuntun. Mereka sebenarnya menyuapi para pelajar dengan bahan- bahan propaganda yang telah disiapkan.
· Bagi Freire, dialog yang sejati akan menghasilkan aksi yang nyata, yang kemudian direfleksi sebelum melanjutkan dengan aksi berikutnya. Proses aksi- refleksi inilah yang dinamakan Freire sebagai Praksis. Suatu aksi senantiasa melibatkan perjuangan kelompok sosia1, yang menentang hubungan sosial yang menindas, seperti upah. Bertentangan:dengan anggapan golongan yang memndulkan ajaran Freire, kemampuan kelompok disalurkan bukan ke dalam aksi-aksi menentang penindasan, tetapi ke dalam proyek-proyek yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Contoh proyak-proyek mereka adalah pemeliharaan ternak bibit unggul, peningkatan teknologi bertani, dan sebagainya.
Segenap uraian diatas, hendak menyatakan bahwa sesungguhnya Penyadaran merupakan bagian dari usaha pemerdekaan dari penindasan.
Akar Eksistensi Penyadaran
Praktek Penyadaran merupakan suatu proses pendidikan. "Suatu praktek pendidikan senantiasa mengandaikan pendirian teoritis . . . . Suatu pendirian teoritis pada gilirannya mengandaikan suatu interpretasi tentang manusia dan dunia. Tidak bisa lain, “demikian tulis Paulo Freire.[5] Berikut ini dikemukakan dua pokok secara sangat ringkas -- Uraian yang luas dapat dilihat pada karya Freire sendiri tentu. Berikut ini diuraikan sistematika dan isi dari karya Denis Collin tentang Freire,[6] yakni tentang dunia objektif atau “Apakah Kenyataan itu" dan tentang kesadaran manusia atau "Bagaimana Manusia Dapat Mengetahui Kenyataan".
Apakah Kenyataan itu?
Kenyataan itu dialami manusia sebagai proses. Manusia ada bersama dengan dunia. Manusia mempunyai sejarah, oleh karena itu manusia senantiasa hidup dalam waktu. Begitu pula sebaliknya, karena manusia hidup dalam waktu, maka ia mempunyai sejarah. Berdasar itu, manusia tidak hanya terbatas pada dimensi biologis saja, melainkan juga dalam dimensi aktif dan'kreatif. Manusia memasuki kenyataan dan mengubahnya. Kesemua ini ada dalam proses menjadi (mengada).
Manusia tak dapat dipahami terpisah dari hubungannya dengan dunia melalui bahasa pikiran. Proses dipahami melalui hubungan manusia dan dunia. Hubungan manusia dan dunia ada dalam "kata". Kata adalah ekspresi dari bahasa-pikiran. Fitrah manusia adalah menjadi subjek. Menjadi pelaku yang sadar. Dunia bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya, tetapi sesuatu yang harus digeluti secara kritis. Manusia harus menggeluti dunia dan kenyataannya dengan sikap penuh daya cipta. Ini berarti menuntut sikap untuk mengembangkan bahasa pikiran. Ini berarti menuntut sikap untuk mengembangkan bahasa pikiran, dengan keyakinan bahwa pada dasarnya manusia mampu memahami realitasnya dengan bekal pikiran dan tindakan-tindakan praksisnya. Dengan praksis manusia mampu mengubah dunia. Perubahan dunia oleh karenanya merupakan kewajiban ontologis manusia. Kewajiban ini ada karena manusia sebagai makhluk yang mempunyai kesadaran.
Dengan demikian, manusia berbeda dengan binatang. Binatang tidak berkarya. Ia hidup dalam keadaan yang tidak dapat mereka lampaui. Binatang hanya bisa hidup dalam suatu lingkungan yang sesuai dengan kemampuannya. Berbeda dengan manusia, potensi manusia berupa aksi dan refleksi, alias praksis. Manusia yang aksi (praktek) melulu akan menjebak diri dalam aktivisme, sedangkan manusia yang refleksi (berteori) melulu akan menjebak diri dalam verbalisme.
Banyak manusia hanya "hidup" dan tak berhasil “mengada” lebih dari sekedar - “hidup”. Berada atau bereksistensi. berarti tidak hanya ada di dalam dunia komunikasi. Jadi seseorang hanya dapat bereksistensi dalam hubungannya dengan orang lain yang juga bereksistensi.
Dengan demikian, bereksistensi bagi manusia adalah tugas praksis, yakni kesatuan antara teori dan praktek. Alias, refleksi dan aksi bersatu secara dialektis.
Manusia disituasikan oleh sejarah yang belum/tidak salesai. Hal ini berarti, manusia juga dikondisikan oleh sejarah yang tidak pernah selesai. Di dalam kesadarannya, manusia dituntut untuk terus memanusiakan sejarahnya yang belum selesai untuk lebih menjadi sabagai manusia sejati (human). Humanisasi menjadi tugas sejarah manusia.
Manusia mempunyai panggilan hidup yang bersifat ontologism: Menjadi subjek dan memberi nama pada dunia. Karena humanisasi menjadi tugas manusia secara terus-menerus, maka humanisasi merupakan panggilan hidup. Melihat realitas sejarah, kita akan mengakui bahwa banyak terjadi dehumanisasi. Dengan humanisasi, manusia menjadi subjek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi saja adalah manusia sebagai objek. Adaptasi merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh. Seseorang yang melulu menyesuaikan diri, tidak akan mampu mengubah dunia. Menyesuaikan diri adalah khas binatang, yang jika melulu ada pada manusia, maka ini gejala dehumanisasi. Menjadi subjek dalam hubungannya dengan dunia adalah "memberi nama”.
Dalam hubungan manusia memperlihatkan kenyataan adanya masalah "tema-tema batas" dan "situasi-situasi batas". Dalam proses humanisasi, manusia mengenali "tema- tema" dunianya. Dapat tidaknya manusia menangkap tema-tema ini, merupakan ukuran apakah mereka akan mengalami humanisasi atau tidak. Hanya jika manusia mampu menangkap tema-tema zamannya, manusia akan mampu campur tangan dalam menangani dunia, tidak tinggal sebagai pengamat. Menangani• berarti secara terus- meherus dan konsisten menguak "situsi-situasi batas" berupa struktur sosial yang menindas. "Situasi batas" bukan hambatan, tetapi tantangan untuk terus-menarus diperbaharui dan dimanusiakan.
Mengada berarti bertindak politik untuk humanisasi. Menguak “tema-tema batas” dan mengubah “situasi-situasi batas” artinya berharap dengan penindasan yang menjaga realitas yang dehuman. Mewujudkan kemanusiaan, oleh karena itu bertindak secara politik melawan para penindas, yang secara sadar atau tidak, menjadi penjaga “tema-tema batas” dan situasi- situasi batas” penindasan.
Bagaimana seseorang itu dapat mengetahui realitasnya?
Berpikir dan mengetahui itu bukan tidak tergantung pada sejarah dan kebudayaan. Ada tiga pola berpikir manusia, yang disebut: Kesadaran semi-intransitif, kesadaran transitif naif, dan kesadaran transitif kritis. Dari yang pertama berjalan linear kepada yang ketiga. Bagaimana pemikiran dan tindakan seseorang bergantung pada tipe kesadaran tersebut. Teori Freire tentang tahap-tahap kesadaran ini harus dilihat dalam praksis, dalam dialektika manusia dan dunia. Karena itu, ia tidak bersifat "objektivisme-mekanis" atau "subjektivisme-idealis".
Subjektivitas dan objektivitas tidak dibedakan dalam tindakan mengetahui sejati. Mengetahui sejati bersitat subjektif dan objektif sekaligus. Mengetahui itu, karena bersifat praktis, dia tidak boleh berhenti pada kesadaran saja, tptapi juga pada hubungannya dengan realitas berupa struktur sosial.
Kesadaran kaum tertindas merupakan bagian dari opistemologi sejarah. Berpikir tentang kenyataan akan membawa kita pada penemuan banyak sejarah tentang penindasan, yang.dilakukan oleh kaum penindas terhadap kaum tertindas. Kaum tertindas cepat atau lambat akan melawan penindas yang telah membuat mereka menderita. Tetapi agar perjuangan kaum tertindas bermakna, selelah berhasil.membebaskan diri, kaumtertindas tidak boleh berbalik menjadi penindas baru. Kaum tertindaslah yang bertugas memulihkan kemanusiaan kaum tertindas maupun penindas. Kontradiksi penindas-tertindas hanya bisa dipecahkan oleh kaum tertindas. Kaum penindas, yang menindas, memeras dan memperkosa kaum tertindas, tidak akan menemukan potensi untuk membebaskan kaum tertindas dan dirinya sendiri.
Usaha kaum tertindas melakukan humanisasi adalah bertahap, sejalan dengan perkembangan tahap kesadaran mereka. Dari semi-transitif, ke transitif-naif, dan akhirnya ke transitif-kritis.Kesadaran kritis itu bersifat intensional. Jika kesadaran kritis telah terbentuk, maka tidak ada lagi dikotomi antara kesadaran dan dunia. Dialektika antara keduanya dijembatani oleh tindakan.
Kesadaran transitif kritis dapat dikembangkan malalui proses yang terus menerus yang disebut “Konsientisasi” atau Penyadaran. Penyadaran adalah usaha meningkatkan tahap kesadaran kaum tertindas melalui penghadapan masalah-masalah penindasan. Maka penyadaran akan membawa kaum tertindas pada kesadaran struktural, bahwa penyebab masalah kaum tertindas adalah masalah struktral, pada penemuan penindas dan tertindas sebagai suatu klas. Pembaharuannya pun harus struktural. Tindakan tidak lagi terarah pada individu-individu penindas. Oleh karena itu, penyadaran senantiasa mengarah pada tindakan politik. Jadi, mengetahui berarti melakukan tindakan politik.
Dalam penyadaran, dialog adalah prinsip. Bila dialog dirangkai dengan cinta, harapan dan saling percaya, maka manusia dapat melakukan pencaharian bersama-sama. Karena itu, hanya dialoglah yang memungkinkan komunikasi sejati. Mengetahui hanya bersifat sejati melalui dialog. Dialog membawa kita pada keyakinan bahwa saya hanya dapat menjadi diri saya subjek setaji, jika orang lain juga menjadi subjek sejati. Bila dialog semakin mendalam, terjadilah perubahan-perubahan dalam diri setiap mereka yang melakukan dialog. Karena, dialog adalah perjumpaan manusia dengan manusia, dengan mempermasalahkan dunia (realitas penindasan) dalam rangka sama-sama “menamai dunia”. Pendidikan sejati hanya dengan dialog yang mempermasalahkan realitas. Penamaan dunia mustahil tanpa ada cinta, harapan, dan saling percaya. Dialog identik dengan tindakan mencintai sejati.
Dari uraian diatas, jelas bahwa akar eksistensi dari Penyadaran adalah – dalam satu kata – praksis.
Pemerdekaan: Tujuan Penyadaran.
Perlu dinyatakan lagi di sini bahwa selama ini istilah penyadaran telah dipergunakan seolah-olah mudah ditangkap maknanya. Sesungguhnya tidak demikian, di sini dipergunakan istilah itu dalam konteks pemerdekaan kelompok-kelompok atau kelas-kelas tertindas yang akan memperjuangkan hak mereka untuk menjadi pelaku dalam pembentukan sejarah mereka sendiri. Pemerdekaan yang dinyatakan di sini, adalah pemerdekaan yang dilakukan oleh kaum tertindas dalam mencoba untuk menyelesaikan soal mereka dari hari ke hari.
Hanya tindakan-tindakan inilah yang mambuat kaum tertindas menyadari pertentangan-pertentangan antara kebutuhan nyata mereka dengan kebutuhan orang-orang yang menguasai dan memeras mereka; dan menyadari kekuatan mereka kalau bersatu; menyadari kebutuhan mereka untuk menangani soal-soal baru; dan menyadari relasi antara kesadaran dan tindakan, balk dari kaum penindas maupun kaum tertindas.
Memang tindakan-tindakan kaum tertindas dapat dijinakkan dan diintegrasikan oleh sistem kekuasaan yang ada. Untuk menghindari itu, dialektika aksi-refleksi mutlak adanya. Pada konteks pembicaraan ini, nampak jelas peranan kelompok-kelompok penyadar, yaitu kelompok-kelompok yang memelopori berkembangnya kesadaran untuk terus menerus dengan tekun menjaga tetap berlangsungnya kesadaran kritis dengan pendidikan politik yang tepat. Tetapi hendaknya dipahami dengan jelas, agar tidak keliru menganggapnya sebagai kelompok pelopor yang mengubah penindasan atas nama kaum tertindas (rakyat). Rakyat itu sendiri lah, dangan keterbatasan dan kesulitan mereka, yang hendaknya memegang peranan utama. Tapi, pelopor-pelopor yang berada jauh dari rakyat karena -- di antaranya -- bahasanya terlalu tinggi dan cara analisa mereka terlalu asing, - akan menemui kegagalan.
Penggunaan istilah penyadaran menekankan penolakan indoktrinasi ideology yang buta penolakan dogmatisme, juga penolakan terhadap tindakan membabi buta. Hal yang menjadi perhatian pendidikan juga adalah daya cipta kaum tertindas.
Penyadaran berarti pula usaha meningkatkan tahap kesadaran[7] dengan menguak tema-tema batas dan memperbaharui situasi-situasi batas yang berasal dari realitas penindasan.
Hubungan Sosial dalam Pendidikan Kaum Tertindas[8]
Pengembangan kesadaran dalam pendidikan kaum tertindas, harus melibatkan tiga unsure sekaligus, dalam suatu perhubungan yang dialektis; yaitu: “Pendidikan-terdidik”, “Terdidik- pendidik", dan "Situasi batas" yang berupa realitas penindasan.
Perhubungan yang dialektis ini dibedakan dangan perhubungan yang linear pada pendidikan konvensional -- yang diistilahkan oleh Freire sebagai Pendidikan Gaya Bank (lihatlah Bagan 1).
Dalam pendidikan Gaya Bank terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
1. Guru mengajar dan murid diajar.
2. Guru mengetahui segala-galanya dan murid tidak tahu apa- apa.
3. Guru berpikir dan murid dipiklrkan.
4. Guru berbicara, murid mendengarkan dengan tekun.
5. Guru mengatur, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya dan murid menurut dan meyesuaikan diri.
7. Guru beraksi dan murid sudah merasakan beraksi bila meniru guru.
8. Guru memilih isi program dan murid tanpa dimintai pertimbangannya -- harus menyesuaikan diri.
9. Guru mencampuradukkan otoritas keilmuan dengan otoritas profesinya yang sebenarnya bertentangan dengan kebebasan murid.
10. Guru marupakan subyek dari suatu proses belajar dan murid hanya merupakan objek belaka.
Pengandaian di atas, menjadikan murid, yang dianggap serba kosong, harus diisi dan diberi makanan berupa pengetahuan dengan kata-kata, gambaran-gambaran dan prasangka- prasangka dari pihak guru. Pendidikan akan sukses manakala, guru dengan konsekuen menjalankan tugas dalam proses pengisiannya dan murid dengan taat berusaha mencerap ini yang diberikan guru. Sebaliknya, bila murid memberontak untuk diisi, pendidikan akan gagal, dan murid dianggap bodoh, malas dan sebagainya.
SUBJEK - AKTOR
Guru
|| ||
OBJEK OBJEK
Realitas Murid
|||
TUJUAN Melestarikan TUJUAN Penindasan
Bagan 1. Hubungan Sosial dalam Pendidikan Gaya Bank
Bertentangan dengan Pendidikan Gaya Bank adalah pendidikan kaum tertindas, atau Freire menyebutnya juga sebagai, Pendidikan Hadap Masalah (Problem Posing Education), yang berciri-ciri sebagai berikut (lihatlah Bagan 2):
1. Guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru.
2. Guru menjadi kawan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pikir kritis murid-murid.
3. Guru dan murid dapat memperkembangkan kemampuannya untuk mengerti secara kritis mengenai diri dan dunianya. Dengan demikian mereka saling memanusiakan satu sama lain.
4. Dengan Pendidikan Hadap MasaIah, senantiasa terbuka rahasia realitas yang menantang dan menuntut respon. Dengan respon semacam itu, guru dan murid membawa diri pada dedikasi sejati, yakni perubahan realitas.
Perlu ditegaskan bahwa yang mengalami proses belajar dari pendidikan ini bukan hanya kaum tertindas, tapi juga pelopor dalam Penyadaran, yakni pendidik itu sendiri. Jadi, tidak ada pendidik saja, melainkan pendidik-terdidik, dan tidak ada terdidik saja, melainkan terdidik-pendidik.
SUBJEK – AKTOR AKTOR – SUBJEK
||||| |||||
Pendidik Kaum Tertindas
\\ //
\\ //
Interaksi (Dialog)
||||||
||||||
OBJEK Realitas OBJEK Penindasan
||||
||||
TUJUAN Humanisasi sebagai TUJUAN
Tujuan permanen
Bagan 2. Hubungan Sosial dalam Pendidikan Hadap Masalah.
Bagaimana pendidik belajar? Para pendidik juga terus mengembangkan tahap kesadarannya secara progresif. Paulo Freire, dalam tulisannya yang merupakan refleksi pengalaman pendidikan di Guineau-Bissau[9] menjelaskan panjang lebar yang pada pokoknya: Para pendidik terus mentransformasikan diri dalam bentuk penyatuan ke kaum tertindas, yang pada gilirannya mengarah pada “bunuh diri kelas” dari asal kelas social pendidik ke kelas social kaum tertindas. Jadi pendidik bukan ‘sekadar mendidik’ melulu, tapi juga dididik.
Proses Penyadaran
Penyadaran adalah suatu pendidikan yang dilakukan oleh rakyat tertindas bersama beberapa orang pendidik. Adapun tujuan pendidikan ini adalah bagi rakyat yang terlibat dalam Penyadaran ini, menjadi lebih sadar tentang pertentangan-pertentangan (kontradiksi- kontradiksi) dalam kehidupan rakyat; dan bagi pendidik menjadi lebih sadar pertentangan- pertentangan (kontradiksi-kontradiksi) dalam kehidupan kehidupan pendidik.
Pendidikan dijalankan oleh sejumlah orang tertentu yang berada di daerah tertentu (secara geografis dan sosiologis) dan selama waktu tertentu. Pertimbangan tentang kekhususan kualifikasi sociopsikologis pendidik dan rakyat hendaknya diperhatikan di dalam diskusi-diskusi termaksud. Lamanya pendidikan bergantung pada kualifikasi sociopsikologis termaksud, misalnya keterampilan pendidik, situasi khas daerah pendidikan, kekompleksan dan prioritas masalah.
Pendidikan ini mengarah pada munculnya tindakan bersama dari rakyat yang ditujukan pada penguatan kekuatan rakyat -- di satu pihak. Sedangkan di pihak lain, pelemahan kekuatan musuh rakyat.
Adapun tahap-tahap umum pendidikan ini merupakan pendetilan dari siklus praksis, yakni aksi-refleksi. Adalah:
1. Penyelidikan Sosial.
Pendidik bersama kelompok penggerak dari rakyat menyelidiki kontradiksi- kontradiksi kehidupan objektif (poleksosbud) rakyat; tema-tema batas atau ke rakyat; dan aksi-aksi batas rakyat.
2. Persiapan Pendidikan Penyadaran.
Pendidik bersama kelompok penggerak dari rakyat mempersiapkan apa dan bagaimana Pendidikan Penyadaran dilakukan.
3. Pelaksanaan Pendidikan Penyadaran. Terdiri dari tahap-tahap:
a) Kodifikasi.
Penghadiran realitas kehidupan rakyat secara simbolik dan miniature. Misalnya melalui gambar, teater atau kata-kata.
b) Dekodifikasi.
Pengungkapan tema-tema batas dan aksi batas rakyat.
c) Analias Sosial.
d) Pembedahan realitas kehidupan dan aksi-aksi rakyat, dengan mencari kaitan satu-sama lainnya.
4. Aksi Kelompok Belajar.
Aksi ini merupakan hasil pertemuan antara kesadaran baru baru rakyat dengan kontradiksi structural yang menghadapinya. Dengan kata lain, pengembangan aksi-aksi yang selama ini dilakukan kelompok belajar.
Ad. 1. Penyelidikan Sosial[10]
Penyeledikan Sosial merupakan awal intergrasi antarapendidik dengan rakyat. Penyelidikan Sosial dimulai dengan membangun hubungan kerjasama antara para pendidik dengan para penggerak/pelopor yang berasal dari rakyat sendiri. Seluruh proses penyelidikan dilakukan bersama oleh kerjasama antara para pendidik ni dengan para penggerak yang berasal dari rakyat.
Apa yang diselidiki, berpusat pada tiga pokok perhatian:
1. Kontadiksi-kontradiksi structural yang melingkupi rakyat (kaum tertindas).
2. Kontadiksi-kontradiksi kesadaran rakyat (kaum tertindas).
3. Aksi-aksi rakyat (kaum tertindas), yang merupakan ekspresi dari kesadaran rakyat menghadapi kontadiksi-kontradiksi structural yang melingkupinya.
Hasil penyelidikan social yang dilakukan akan memberikan panduan bagi pendidik tentang tema-tema batas dan aksi-aksi batas rakyat. Tema-tema batas adalah isi kesadaran rakyat (kaum tertindas) tentang kontradiksi-kontradiksi struktural yang melingkupinya. Dengan kata lain, persoalan-persoalan yang dirasakan rakyat. Sedangkan aksi-aksi batas adalah tindakan-tindakan yang dilakukan rakyat menghadapi kontradiksi struktural yang menghadapinya.
Dari tema-tema batas yang diperoleh, pendidik mendaftar secara berurut tema-tema itu, berdasarkan tiga hal: (1) kemudahan-kesulitan penguakan tema-tema (persoalan- persoalan) itu, (2) kadar keterlibatan rakyat (kaum tertindas) terhadap tema-tema (persoalan- persoalan) yang dihadapi, dan (3) relevansi tema-tema itu dengan kontradiksi-kontradiksi struktural yang dialami rakyat. Diurut, mulai dari yang paling mudah dikuak persoalannya hingga paling sulit: mulai paling tinggi keterlibatan rakyat hingga yang paling rendah; dan mulai dari yang paling berkaitan dengan kontradiksi struktural hingga paling tidak berkaitan. Hasil-hasil ini dipetakan dalam bagan tahap-tahap kesadaran kaum tertindas. Dengan peta ini, pendidik memperoleh pedoman untuk melakukan pendidikan.
Hasil-hasil penyelidikan didiskusikan dalam kerjasama antara pendidik dengan kelompok penggerak yang berasal dari rakyat. Diskusi ini bermuara pada perencanaan persiapan pendidikan.
Ad. 2. Persiapan Pendidikan
Pendidikan dilakukan dengan pembentukan kelompok belajar. Kelompok belajar ini berkisar antara 20 hingga 30 orang. Pendidik wajib memperhatikan socio-psikologis dari kelompok belajar ini.
Secara khusus, pendidik mendiskusikan dengan kelompok penggerak dari rakyat tentang kemungkinan pembentukan kelompok belajar. Pemilihan kelmpok belajar ini didasarkan pada makna strategis dari kelompok belajar itu dalam konteks sosialnya.
Dipersiapkan perangkat teknis dari pendidikan, seperti bahan-bahan kodifikasi atau penghadiran dari tema-tema yang telah diurutkan, tempat pendidikan dan sebagainya. Selain itu, dipersiapkan perangkat materi pendidikan, seperti pendidik mempelajari secara khusus teknik pendidikan yang akan diterapkan.
Ad. 3. Pelaksanaan Pendidikan
Pelaksanaan Pendidikan mengikuti alur sebagai berikut:
a. Kodifikasi
Kodifikasi merupakan penghadiran dari realitas yang dialami oleh kelompok belajar. Apa yang dihadirkan adalah tema-tema (persoalan-persoalan) yang telah diurutkan berdasarkan tigakriteria – sebagaimana dikemukakan di muka: Diurut, mulai dari yang paling mudah dikuak persoalannya hingg paling sulit; mulai yang paling tinggi keterlibatan kelompok belajar hingga paling rendah; dan mulai dari yang paling dekat kaitannya dengan kontradiksi struktural hingga yang paling jauh kaitannya.
Kodifikasi bisa dilakukan dengan media replikasi dari persoalan yang dihadapi kelompok belajar, seperti melalui gambar, cerita-cerita, slide, foto, atau teater. Sejauh mungkin, kodifikasi dilakukan dengan media yang mudah dihubungkan dengan realitas sesungguhnya, oleh kelompok belajar.
b. Dekodifikasi
Dekodifikasi merupakan pengungkapan kesadaran anggota-anggota kelompok belajar terhadap persoalan-persoalan yang dihadiran. Dalam proses ini, pendidik wajib memperhatikan tingkat keterlibatan kelompok belajar tehadap pengungkapan mereka. Pengungkapan dilakukan oleh anggota kelompok belajar dengan bercerita. Sejauh mungkin semua anggota kelompok belajar mengungkapkan apa yang disadari oleh mereka tentang persoalan yang dihadirkan.
Dalam proses dekodifikasi ini, pendidik berperan sebagai penanya dan penyimpul dari apa-apa yang diungkapkan oleh anggota kelompok belajar. Inti dari isi pegungkapan anggota belajar merupakan bahan dari proses analisis sosial yang akan dilakukan.
c. Analisis Sosial
Analisis Sosial dilakukan dengan tujuan menguak isi kesadaran dari anggota kelompok belajar yang dinyatakan melalui pengungkapan-pengungkapan mereka. Penguakan tidak dilakukan oleh pendidik dengan mengajarkan. Akan tetapi melalui dialog. Inti dari dialog adalah mempermasalahkan.
Peran mendidik adalah siklus dari bertanya, merumuskan, merefleksikan dan bertanya kembali. Pertanyaan-pertanyaan dari pendidik adalah pertanyaan-pertanyaan yang berusaha menguak isi kesadaran dari anggota kelompok belajar. Rumusan- rumusan dari pendidik adalah inti dari apa yang dikemukakan oleh anggota kelompok belajar. Sedangkan isi dari refleksi adalah menghubungkan antara isi pengungkapan anggota kelompok belajar dengan konteks strukturalnya.
Analisis sosial terhadap persoalan yang dihadapi oleh kelompok belajar, adalah berusaha meletakkan persoalan dalam konteks kontradiksi-kontradiksi struktural yang melingkupi kelompok belajar. Sedanbgkan analisis sosial terhadap aksi-aksi batas rakyat adalah usaha meletakkan pengaruh tindakan-tindakan yang dilakukan rakyat terhadap kontradiksi-kontradiksi struktural yang dihadapi.
Ad. 4. Aksi-aksi
Untuk menjawab permasalahan- permasalahan yang dihadapi oleh kelompok belajar, diperlakukan suatu usaha penyelesaian melalui aksi. Jadi, aksi merupakan pertemuan antara kesadaran-kesadaran baru kelompok belajar dengan realitas kontradiksi struktural yang ada melingkupi kelompok belajar.
Sebagai realisasi komitmen pada perubahan struktur sosial, suatu proses aksi yang bergerak pada persoalan-persoalan (issue-issue) yang paling sederhana, konkrit, jangka pendek, mikro dan melibatkan sedikit orang, hingga persoalan-persoalan (issue-issue) yang lebih rumit, abstrak, jangka pendek makro, dan melibatkan banyak orang.
Sederhana | Rumit |
Sedikit faktor yang terlibat | Banyak faktor yang terlibat. |
Konkrit | Abstrak |
Mudah dirasakan dan dipahami Kelompok Belajar. | Sulit dirasakan danditangkap oleh Kelompok Belajar. |
Jangka pendek | Jangka Panjang |
Persoalan bisa dipecahkan dalam jangka waktu yang singkat | Persoalan membutuhkan waktu yang lama menyelesaikannya. |
Mikro (lokal) | Makro (regional/nasional) |
Persoalan lokasi setempat. | Persoalan yang makro. |
Melibatkan Sedikit Orang | Melibatkan Banyak Orang |
Sedikit orang yang ikut bertindak. | Banyak orang yang akan terlibat. |
Bahaya-bahaya Kekeliruan Praktek Penyadaran
Bila praktek penyadaran akan dijalankan hendaknya disadari terdapat kemungkinan kekeliruan yang menimbulkan bahaya-bahaya yang akan merugikan baik pendidik, anggota kelompok belajar atau rakyat umunya. Bahaya-bahaya itu, adalah sebagai berikut:
1. Bahaya Domestikasi.
Bila pelopor penyadaran (pendidik) tidak menguasai metodologi (termasuk teknik[11]) penyadaran, dimana pemandu peneliti melulu menggunakan teknik-teknik konvensional, maka ia akan terjebak dalam usaha mengobjekkan (domesticated) kaum tertindas. Ingat peringatan Paulo Freire: Setiap kesalahan metodologis senantiasa merupakan kesalahan ideologis.
2. Bahaya Elitisme.
Dalam memilih kelompok belajar (keompok inti) dari kaum tertindas, perlu diperhatikan sosiologi dan psikologis sosial dari kelompok kerja. Karena bila mereka sendiri tidak berakar dari rakyat, atau terlibat konflik-konflik horizontal di antara mereka, maka akan terdapat perkembangan kelompok elite yang punya kualitas lebih dibandingdengan massa rakyat umunya. Mereka bisa saja bertindak memimpin seperti sebagaimana kaum penindas mereka. Misalnya, memakai ikatan paternalism demi citra baik mereka di mata pendidik.
3. Bahaya Romatisme.
Karena yang dikuak dalam proses penyadaran adalah tema-tema batas dan aksi-aksi batas kelompok belajar. Atas, panduan dari pemandu/pelopor/pendidik, kelompok belajar bisa bertindak gegabah tanpa memperhitungkan kemampuan yang ada. Jadi, pada kelompok belajar maupun pendidik terdapat kecenderungan yang kuat untuk merubah kondisi penindasan. Semangat ini, bila dikelola secara sembrono akan menjerumuskan diri ke dalam romantisme-revolusioner sehingga muncul aksi-aksi yang berada di luar kemampuan kelompok belajar, sehingga mampu dihancurkan dengan mudah oleh kaum penindas.
4. Bahaya Kooptasi.
Diwajibkan pula untuk menjaga agar proses dan hasil penyadaran tidak berada dalam jangkauan kuasa penindas. Sebab, penindas akan belajar tentang kesadaran dan realitas baru dari kaum tertindas. Jangan beri kesempatan kaum penindas belaar tentang kaum tertindas.
[1] Harus diakui, rumusan ini sangat longgar. Ia dipakai untuk menunjuk pada semua gerakan yang dilakukan pelbagai kelas sosial, baik buruh, petani ataupun kelas menengah-dalam rangka melawan fasisme Negara.
[2] Rumusan yang lebih meluas dan mendalam tentang Penyadaran bisa dilihat pada tulisan-tulisan Paulo Freire sendiri atau tulisan orang lain tentang teori-dan praktek pendidikan Paulo Freire. Karya-karya utama Freire adalah:
1) Pedagogy of The Oppresed: Buku ini telah diterjemahkan de dalam bahasa Indonesia dalam dua versi: Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES, 1984) dan Pendidikan, Pembebasan dan Perubahan Sosial (Jakarta: PT Sangkala Pulsar, 1984).
2) Education For Critical Conciousness atau Education: The Practice of Freedom; buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Pendidikan sebagai Pratek Pembebasan (Jakarta: Gramedia, 1984).
3) Cultural Action for Freedom (Harmondworth: Penguin, 1972).
4) The Politics of Education (Bergin & Garvey Publisher, Inc. 1985).
[3] Lihat: Khrisna Kumar dan Ross Kidd, “Coopting The Ideas of Paulo Freire”, dalam Ideas and Action No. 148/1987/5.
[4] Terjemahan yang tepat adalah Kebudayaan Bungkam (pen.).
[5] Paulo Freire, Cultural Action for Freedom, hal.21.
[6] Dennis Collins, Paulo Freire, His Life, Work and Thought (NY: Paulist Press 1977). Bisa juga dilihat pada makalah Budhy M. R., Ajaran Pendidikan Paulo Freire, makalah tak diterbitkan.
[7] Uraian tentang teori mengenai tahap-tahap kesadaran bisa dilihat pada karya Paulo Freire, Cultural Action for Freedom, 1982; juga W.A. Smith, The Meaning of Concientizacao: The Goal of Paulo Freire’s Pedagogy, Center for International School of Education, Massachusetts, 1976.
[8] Paulo Freire, Pedagogy of The Oppressed, Penguin Book, 1972: 106 dst.
[9] Paulo Freire, Pedagogy In Process: Letter From Guineau-Bissau, Seaburry Press, 1981.
[10] Rumusan lebih luas, khusus tentang Penyelidikan Sosial yang merupakan bagian dari Pendidikan Penyadaran, bisa dilihat pada, Concientizing Research: A Methodological Guide, Inodep Document (Hongkong: Plough Publication, 1981).
[11] Memang soal Teknik penelitiannya tidak dibahas di sini. Bacalah buku panduan metodologis penyadaran dari INODEP. Khusus tentang teknik dialog lihat: Artikel tentang Dialogical Research dalam buku Human Inquiry. New Paradigm Reasearch (New York: John Wiley & Sons, 1985)
No comments:
Post a Comment