Mengelola Indonesia, Usulan untuk Menata Kembali Protokol-protokol Kunci Negara tentang Pemulihan Kawasan Hidup Komunitas

 

Teks berikut adalah simpul-simpul pikiran pengelolaan perubahan (management of change) berdasarkan pertimbangan utama tentang penguasaan kawasan yang menjadi ruang hidup komunitas-komunitas di kepulauan Indonesia serta tentang bagaimana tanah dan kekayaan alam hendaknya digunakan. Permintaan menuliskan masalah tersebut secara sederhana dan padat datang dari Gus Dur, disampaikannya pada pertemuan pertama dengan Saudara Chalid Mohammad, Dani Wahyu Munggoro, Hendro Sangkoyo dan Noer Fauzi Rachman di Bina Graha pada tanggal 22 Desember 1999.

Naskah ini kemudian dimuat dalam  Chalid Muhamad, Dani Wahyu Munggoro, Hendro Sangkoyo dan Noer Fauzi Rachman. Seri Kajian Komuniti Forestri,  Bogor, Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN).  Seri ke-3/Tahun II/Februari 2000. Halaman 1-7. 


Pendahuluan

 

            Pada tahun 1928, pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda yang surut mendadak setelah bertahan selama hampir delapan puluh tahun, telah meninggalkan kehidupan di tanah jajahan yang sama terbelakangnya dengan ketika Belanda baru memulai perluasan investasi besar-besaran di tengah abad ke sembilan belas. Tepat tujuh puluh tahun kemudian, ketika Jenderal Soeharto terjungkal dari ‘kursi-malas’ kekuasaannya di tahun 1998, para pengurus negara di bawah kepemimpinannya juga mewariskan sebuah kehidupan rakyat yang lebih buruk daripada keadaannya pada awal ritus pembangunan-lima-tahun pertama.  Bukan saja lebih miskin dan lebih tertindas, tetapi juga dengan menanggung-rèntèng hutang negara dan pribadi sebesar hampir lima belas juta rupiah per warga negara!

            Penjelasan resmi bahwa yang tengah berlangsung adalah “kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan struktural yaitu sistem perbankan dan sektor rielnya”, mengabaikan sama sekali kenyataan bahwa kegawatan di dalam negeri menyangkut bukan hanya hubungan produksi tetapi juga hubungan kekuasaan. 

            Dalam satu setengah tahun sejak 1998 sampai bulan Desember 1999 yang baru lalu, belum adanya kesempatan untuk perombakan sistematis terhadap ketentuan-ketentuan tentang penggunaan sumber daya alam turut berperan dalam peluasan tindakan kolektif rakyat merebut kembali tanah-tanah produktif, hasil panennya, atau menghentikan kegiatan ekstraktif di tanah-tanah yang alas hukumnya dalam sengketa.  Di beberapa titik gawat termasuk kawasan Aceh dan Maluku, konflik yang sumber utamanya adalah kuasa atas sumber-sumber alam mencuat sebagai tuntutan politik yang lebih keras terhadap pengurus negara, atau sebagai medan perang antarkelompok etnisitas dan agama.  

            Kegawatan sosial-politik di seluruh kepulauan bukan turunan dari krisis fiskal negara beserta macetnya sirkulasi modal, yang memuncak dalam tiga tahun terakhir, melainkan sebuah situasi yang terbentuk selama tiga puluh tahun lebih dan menyebabkan bencana pada kehidupan sehari-hari rakyat. Simpul pikiran pokok yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa hanya dengan pembaruan cara pengelolaan dan penggunaan sumber-sumber daya masyarakat lah, maka pembesaran modal akan punya arti sebagai syarat kemantapan sosial politik.  

            Tidak kalah pentingnya dengan agenda jangka pendek itu adalah inisiatif-inisiatif strategis untuk pemulihan kedaulatan rakyat atas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya, untuk menjamin terciptanya dan terpeliharanya landasan sosial dari kestabilan politik, ekonomik, dan ekologik di seluruh kepulauan.

            Dokumen ini terdiri dari 4 (empat) bagian. Bagian pertama memuat pokok-pokok tafsir tandingan tentang situasi krisis dewasa ini dan mengurai keterbatasan usaha-usaha reformasi yang selama ini dilakukan; Bagian kedua, menunjukkan muara krisis tersebut pada hancurnya jaminan keberlangsungan kawasan hidup masyarakat lokal; Bagian ketiga berisikan strategi yang perlu ditempuh untuk memulihkan jaminan keberlangsungan kawasan hidup masyarakat lokal; dan Bagian keempat, yang merupakan akhir dari dokumen ini, menunjukkan agenda-agenda konkret yang bisa dijalankan.

            

I. Status Krisis Saat Ini

            Krisis utama saat ini adalah krisis legitimasi eksistensi Indonesia sebagai suatu negara  bangsa, yang dimulai dari bangkrutnya dominasi kekuasaan rezim Orde Baru di mana tiang-tiang penopang dan sendi-sendi yang menjadi tumpuannya telah runtuh dan tidak berfungsi lagi, sementara itu sistem pembagian kekuasaan yang baru belum lagi terwujud menata-ulang hubungan kekuasaan Negara dengan masyarakat terutama kawasan hidupnya beserta hubungan sosial antarmasyarakat itu sendiri.

            Krisis fiskal Negara dan bencana ekonomik bagi masyarakat, yang berlangsung secara dramatik terutama sejak kuartal kedua 1997 dan telah ikut menyeret keluar Jendral Soeharto dari kubangan kekuasaannya, memang telah membawa perubahan penting dalam urusan kenegaraan, yang memungkinkan sektor-sektor utama masyarakat sipil untuk sementara ini melepaskan diri dari operasi ekonomik, politik dan ideologik dari aparatus negara. Meskipun demikian, krisis yang sama ternyata juga telah memungkinkan berlangsungnya pemanfaatan agenda reformasi negara oleh badan-badan usaha raksasa yang kropos, seperti pemulihan penggunaan dana publik secara besar-besaran untuk kompensasi hutang pengusaha sektor pribadi (swasta) beribu kali lipat dari alokasi keuangan untuk kompensasi dan pemulihan kerusakan kawasan hidup masyarakat beserta kerusakan sosial selama rezim Soeharto. 

            Krisis yang berwatak sistemik dan menyeluruh ini telah mengakibatkan di satu pihak terbukanya ruang yang sangat luas bagi berbagai golongan elit maupun rakyat jelata untuk menunjukkan kekuasaannya melalui jalan yang pada pokoknya merupakan unjuk penolakan dan perlawanan yang meledak serta tidak memberi tempat lagi pada kehadiran praktik-praktik dominasi termaksud, tetapi sangat rentan untuk dimanipulasi dan dipecahbelah.

·      Penindasan kebebasan dan hak sipil dan politik dengan melakukan depolitisasi dan menerapkan politik kekerasan, massa mengambang, serta mempraktikkan penaklukan dan memecah belah kekuatan politik masyarakat tidak lagi dapat diterima rakyat. 

·      Penggunaan berbagai siasat politik bahasa seperti demi stabilitas, kebebasan yang bertanggungjawab, pembinaan politik, berbagai cap anti pembangunan, ekstrem kiri atau kanan, subversif, maupun propaganda demi pembangunan, tidak lagi mampu membuat rakyat patuh dan meredam sikap anti terhadap praktiek-praktik itu. 

·      Tidak diharapkan lagi hidup dan berkembangnya kekuasaan rezim yang merupakan persekutuan antara elit pemimpin negara, ABRI sebagai alat rezim kekuasaan dengan klaim stabilisator dan dinamisator, teknokrat dan teknolog sebagai perumus kebijakan ekonomi, birokrat sipil sebagai pelaksana kekuasaan, Lembaga Internasional Pemberi Hutang Pembangunan, dan konglomerat domestik sebagai mitra penguasa, serta lembaga Kepresidenan sebagai penentu utama. 

·      Telah digugat paham pembangunan yang berpokokkan pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya  yang lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki akses dan kontrol terhadap kekuasaan dan/atau modal, seperti para pejabat birokrasi sipil dan militer, pengusaha besar, dan golongan profesi. 

·      Tidak diperoleh lagi keabsahan dan pengakuan atas rezim yang lahir, bertumbuh dan hidupnya mendasarkan diri pada kekerasan dan pemilihan umum yang kotor. 

·      Politik pembangunan yang mengandalkan penanaman dan penumpukan modal skala raksasa pada sektor-sektor pokok ekonomi yang terutama dibiayai oleh hutang luar negeri telah gagal membangun modal dalam negeri sebagai jaminan dari keberlanjutan pembangunan. 

·      Politik sentralisme maupun sektoralisme hukum beserta kelembagaannya yang menghasilkan pengambilalihan hak rakyat dan konsentrasi penguasaan tanah dan sumber daya alam telah disadari mengurbankan kemakmuran kehidupan rakyat pedesaan terutama buruh tani, petani kecil, masyarakat adat, dan rakyat perkotaan yang miskin dan pada gilirannya mendudukkan pertanian sebagai sektor yang dikebelakangkan.

 

II. Robohnya Rumah Rakyat: Kawasan Hidup Masyarakat dan Proses Penghancurannya

 

            Dokumen ini hendak mengedepankan muara dari arus-arus utama yang melanda krisis dewasa ini, yakni porak-porandanya kawasan hidup masyarakat sebagai basis produksi sosial dan reproduksi kebudayaan. Pengingkaran identitas etnik, ras dan agama menciptakan hubungan yang gamang antara masyarakat dan sumber daya alamnya serta antarmasyarakat yang beragam.  

            Warisan yang tidak terselesaikan adalah konflik tanah dan sumber daya alam di kepulauan Indonesia yang diperkirakan telah mencapai 20.000 kasus yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya hutan alam, hutan tanaman industri, hutan jati, tanah, kawasan konservasi, perkebunan dan lain-lain. Konflik itu semua adalah konsekuensi dari model Pembangunan yang dominan dipraktikkan sepanjang Orde Baru yang bertumpu pada pengadaan tanah dan eksploitasi sumber daya alam skala besar, yang ditujukan menyediakan alas dan alasan bagi perwujudan proyek-proyek baik yang dijalankan oleh instansi dan perusahan milik pemerintah sendiri, maupun perusahaan  milik swasta.

            Konflik ini menyangkut tiga hal, (i) ketidakadilan akses dan kontrol berbagai kelompok sosial terhadap tanah dan  kekayaan alam; (ii) ketidakadilan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam tersebut, terutama perihal berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan di atas tanah; dan (iii) pemusatan pengambilan keputusan berkenaan dengan akses dan kontrol serta  pemanfaatan tanah dan kekayaan alam.

            Secara fenomenal, saat ini rasa ketidakadilan tersebut diekspresikan oleh berbagai tindakan protes perani, masyarakat adat, dan penduduk kota. Hal ini bukan hanya berupa ekspresi dari ketidakpuasan, melainkan eskalasinya sudah sampai pada bentuk yang meluluhlantakkan dasar-dasar legitimasi pembangunan itu sendiri. Di antaranya berupa pengambilan kembali tanah, penghancuran wujud fisik proyek-proyek, pengusiran pegawai-pegawai proyek, dll.

            Sekali lagi, agenda perluasan sirkulasi modal lewat fasilitasi aparatus Negara akan mendorong agenda perlawanan ekonomik dan politik dari sektor-sektor masyarakat yang terlibas langsung oleh perluasan tersebut. Hanya kali ini, penggunaan kekerasan sistematik terhadap warga-negara dan pelanggaran hak-hak azasi manusia serta artikulasi dan derajat konflik sosial antargolongan akan memperburuk krisis legitimasi kuasa Negara atas wilayah, yang pada saat ini tengah mencari resolusinya.

            Kesaksian di atas sama sekali bukan dimaksudkan untuk menunjukkan sikap anti-modal, melainkan suatu tuntutan pada Negara untuk mengelola investasi-sirkulasi-akumulasi modal yang di satu pihak tidak berkonsekuensi pada hancurnya kawasan hidup komunitas yang pada gilirannya memutus jalur transformasi ke-Indonesia-an dari komunitas-komunitas tersebut. Pada dasarnya, pengelolaan negara terhadap modal termaksud bersifat imperatif. Karakter modal yang tidak-berwarga negara ini telah membentuk jeratan global yang merupakan penerusan dari watak kolonialisme dulu. Pengelolaan negara terhadap modal tersebut juga diperlukan agar terhindar dari suatu kepentingan perusahaan trans-nasional maupun nasional untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan menghasilkan sampah-sampah dan kehancuran ekologi beserta dampaknya yang ditanggung oleh komunitas-komunitas yang hidup di seputar kawasan yang dieksploitasi tersebut. 

            Masalah pokoknya adalah baik negara (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) maupun badan-badan usaha memperlakukan pengambilalihan dan dampak ekologi yang ditimbulkan sebagai konsekuensi yang tidak perlu dipertanggungjawabkan (externalities). Tidak pelak lagi, akumulasi dari pengambilalihan kawasan hidup komutanitas oleh negara – dan  kemudian pemerintah pusat memberikan konsesi pemanfaatan pada badan usaha – telah  sampai pada kehancuran keberlanjutan komunitas-komunitas yang seharusnya menjadi warga Indonesia. 

            Ekspresi yang eksesif bisa terlihat pada artikulasi konflik sosial antargolongan seperti konflik sosial antaretnik berupa penjarahan pertokoan, pembunuhan dan pemerkosaan nonpribumi bulan Mei 1998 di Jakarta yang disusul di daerah-daerah, konflik sosial antarkelompok beragama berupa pembakaran gereja (peristiwa Ketapang, Jakarta) dan pembakaran masjid (Kupang, Nusatenggara Timur) dan menyebar ke Ambon (Januari 1999 hingga kini) dan Ujung Pandang (April 1999), konflik sosial antarsuku berupa perkelahian dengan pembunuhan antarsuku-agama (Sambas, Kalimantan Barat, Ambon, dan Halmahera). Konflik daerah-pusat  atau pemberontak-tentara pun muncul di Timor Leste, Aceh, Riau, Papua Barat, dan Sulawesi Selatan. Konflik sosial  ini ternyata menjadi semakin kompleks manakala berwujud sebagai  "konflik dwiminoritas", yaitu berhimpitnya konflik sosial suku dan agama (kasus Ambon) dan "konflik triminoritas"  antara konflik sosial ras, suku dan agama (insiden Jakarta Mei 1998). Sehingga masyarakat kita menderita dua proses disintegrasi sosial sekaligus yakni disintegrasi vertikal, seperti konflik kaya-miskin dan konflik daerah-pusat yang berhimpitan dengan disintegrasi horizontal mencakup konflik antar-suku, agama, ras dan golongan politik.

            Kegagalan manajemen perubahan para pengurus negara terletak pada proses perumusan protokol-protokol  (ketentuan-ketentuan) baru dan penggunaan protokol-protokol lama yang terlalu tunduk pada modal serta memberikan kuasa terlalu besar pada pemerintah sebagai pengemban ideal Negara Bangsa dalam mengambil wilayah hidup masyarakat dan  menguras kekayaan alamnya.  Negara terbukti secara sepihak dan ceroboh menggadaikan seluruh aset-aset negara kepada bualan pemuja pembangunan dan kaum pemodal. Memang, saat-saat krisis melanda sekarang ini, negara disandera oleh hutang-hutang luar negeri.  Rakyat jelata begitu saja dikorbankan baik pada saat membangun imperium warga pasar dunia dan saat terpuruk dihantam badai krisis moneter. Rezim lama jelas-jelas melakukan subversi pada amanat penderitaan rakyat dengan memproduksi kebijakan-kebijakan negara yang anti rakyat dan anti keseimbangan sistem ekologi alam.

            Ketentuan-ketentuan lama dirumuskan tidak melalui perdebatan publik yang menjangkau kampung atau komunitas sebagai salah satu pelaku utama perubahan yang selama ini dibungkam dan ditinggalkan dalam proses perumusan ketentuan tentang eksploitasi sumber-sumber alam. 

            Pada jangka waktu dua tahun terakhir, kepemimpinan Negara dan para manajer Negara paska rezim Soeharto pun tidak cukup melakukan intervensi fiskal, keuangan dan hukum untuk menjawab tuntutan rakyat akan penegakan keadilan serta kebutuhan pemulihan kerusakan kawasan hidup masyarakat beserta kerusakan sosial yang menyertainya

            Tema pemulihan ini pun luput dalam negosiasi-negosiasi perencanaan perolehan dana maupun alokasi penggunaan dana oleh kelembagaan negara. Pun dalam negosiasi-negosiasi dengan lembaga keuangan multilateral. 

            Keterlambatan mengagendakan kompensasi dan pemulihan ini ternyata telah ikut mendorong tindakan kolektif rakyat untuk merebut kembali apa-apa yang dalam kurun tiga puluh tahun terakhir dirampas darinya, di samping provokasi dan pengacauan terencana dan terorganisasi untuk memperluas bentrokan antar golongan dan mengganggu pemusatan perhatian rakyat pada persoalan yang lebih utama.

            Menjelang tahun fiskal 2000 kami mencatat ada masalah genting bagi kehidupan rakyat, yakni belum terbaca adanya perubahan pendekatan terhadap ketentuan-ketentuan pokok (key protocols) Negara tentang penguasaan dan manajemen tata guna tanah dan sumber daya alam serta investasi kapital dalam industri ekstraktif. Konsekuensi politik dari penerusan protokol lama dari rezim pembangunan ekonomik yang lampau ini amat jelas dan sederhana, yakni: rencana-rencana perluasan investasi pertambangan, perkayuan, perkebunan, dan perikanan, di samping menjanjikan perluasan basis pajak dan penghasilan Negara, sudah pasti berbenturan dengan tuntutan masyarakat untuk memulihkan kembali kedaulatannya atas ruang-hidup, basis-penghidupan, dan rencana perubahannya sendiri. 

 

 

III. Strategi Penataan Ulang: Mendudukkan Negara Pada Tempatnya, Memulihkan Apa Yang Menjadi Kuasa Masyarakat

            Sejak 1998 yang lalu, telah berlangsung perubahan penting pada beberapa bidang ketentuan negara, termasuk hubungan kekuasaan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, melalui Undang-Undang nomor 22 dan nomor 25 tahun 1999, masing-masing tentang otonomi daerah dan tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemerintahan baru yang dibentuk oleh Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum juga telah merintis beberapa inisiatif untuk membangun sebuah birokrasi negara yang mampu melayani rakyat dengan baik dan untuk mengurangi campur tangan negara yang berlebihan dalam kehidupan masyarakat. Usaha-usaha reorganisasi negara tadi dapat dipahami sebagai langkah awal mendudukkan Negara pada tempatnya, namun belum untuk memulihkan apa yang menjadi kuasa masyarakat.

            Proposal utama yang diajukan dokumen ini adalah mendudukkan negara pada tempatnya, yakni mengambil tanggung jawab (responsibilities) untuk memulihkan penguasaan kawasan hidup sekaligus pengelolaan tanah dan sumber daya alamnya kepada komunitas yang telah menempatinya sepanjang sejarahnya.  Masalahnya saat ini adalah masih banyak para pengelola negara lebih merasa sebagai warga Pasar dari pada warga negara Indonesia dan lebih parah lagi mempromosikan ke-warga-an Pasar tersebut dan tanpa sadar memutuskan jalur transformasi penduduk dari warga komunitas-komunitas pra-negara yang otonom menjadi warga negara Indonesia. Hal inilah yang sampai sekarang masih terus berlangsung, sehingga upaya memulihkan penguasaan kawasan hidup sekaligus pengelolaan tanah dan sumber daya alamnya kepada komunitas termaksud – dan  sekaligus memulihkan kewarga-Indonesiaan mereka – akan  berhadapan langsung dengan tindakan subversi dari para pengelola kuasa negara termaksud. 

            Orientasi dari proposal utama dokumen ini adalah mengundang pemimpin negara dan pengelola kuasa negara untuk mengambil dan mewujudkan tanggung jawab negara untuk (i) membentuk kelembagaan, personalia, program dan pendanaan bagi tindakan pemulihan; dan (ii) memfasilitasi daya kreasi rakyat yang akan menjamin keberlanjutan tindakan pemulihan dan bahkan pemajuan oleh rakyat itu sendiri.

            Tentunya perwujudan pemulihan tersebut harus merupakan bagian dari suatu gerakan yang mendudukkan organisasi komunitas sebagai motor utamanya. Gerakan itu didukung oleh mereka dari kalangan intelektual baik dari perguruan  tinggi maupun organisasi non-pemerintah, para politisi yang bekerja di kelembagaan negara maupun kelembagaan masyarakat, para jurnalis yang bekerja mempengaruhi pendapat publik, dan pada perencana dan penyedia sumber daya pembangunan baik dari dalam dan luar negeri.

            Gerakan ini akan memandang penguasaan tanah sebagai alas dari berbagai keragaman sumber daya alam lain yang memiliki karakteristik dan tipologi yang khas – yang mencakup kehutanan, pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, pesisir, kelautan dan keanekaragaman hayati – yang  harus mendudukkan komunitas setempat sebagai pengelola sumber daya alam setempat berdasar latar kebudayaan dan sejarah yang berbeda-beda. Sistem pengelolaan sumber daya alam harus mengacu para prinsip-prinsip dan perspektif pengelolaan ekosistem, yang bilamana hendak diubah, harus ditopang dengan strategi pembiayaan pemulihan yang adil dan transparan serta didukung oleh  Infrastruktur informasi yang handal dan mampu menjadi proses aksi-refleksi dalam mengonsolidasikan berbagai pengetahuan dan praktik yang baru. Sistem pengelolaan sumber daya alam hendaknya mengacu pada pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan memegang teguh pengetahuan dan kearifan lokal dan nilai-nilai keadilan, melalui proses-proses desentralisasi, devolusi dan pluralisme otonomi komunitas. Pengembangan sumber daya manusia, organisasi dan pengenalan serta penggunaan teknologi tepat guna dan murah harus diarahkan untuk mendukung dan menjalankan inisiatif-inisiatif baru dalam pengelolaan sumber daya alam.

            Koreksi mendasar terhadap hukum tanah dan yang berhubungan dengan sumber daya alam yang lama dan produksi hukum-hukum baru yang responsif harus dilakukan melalui pembuatan hukum yang didasari prinsip partisipatif dan transparan, di mana konsultasi yang sungguh-sungguh dilakukan melalui saluran yang tepat agar ada suatu pemulihan kewarganegaraan melalui keterlibatan ikut menentukan pembuatan hukum, sekaligus jalan meningkatkan budaya hukum yang berpokokkan sikap kritis terhadap instrumen-instrumen negara. Penghargaan setinggi-tingginya atas kebudayaan yang beragam harus memperoleh tempat melalui penggunaan asas pluralisme hukum. Kekayaan kebudayaan yang dijalani sepanjang sejarahnya telah mengembangkan pola-pola khas sehingga penyeragaman sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, hutan, air, pesisir dan laut harus dihentikan. 

            Selanjutnya, intervensi terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan itu harus disesuaikan dengan realitas keberadaan masyarakat adat dan masyarakat antar komunitas yang secara turun-temurun sudah menguasai, memiliki dan mengelola kawasan itu, seperti penyerahan kembali kawasan-kawasan hutan untuk masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya yang berhak.

 

IV. Rumus Utama: Membesarkan Wilayah Kelola Rakyat

            Ada kekeliruan pokok dari manajemen perubahan selama ini, yakni tidak memisahkan antara wilayah kelola rakyat dengan ruang permainan negara dan bisnis. Walhasil, terjadi penghancuran dari wilayah kelola rakyat, di mana rakyat lokal tidak memiliki ruang belajar yang memadai. Kebiasaan lama yang selalu meminta petunjuk pusat atau atasan dalam melangkah harus sudah dilemparkan ke liang lahat. Di setiap masyarakat selalu ada nafas kehidupan yang dikembangkan melalui berbagai coba dan salah untuk menjalankan makhluk masyarakat dengan berbagai sistem-sistem yang bekerja di dalamnya. Manakala sistem yang lokal adaptif tadi diintervensi dengan sistem dari luar, maka yang terjadi adalah sebuah kelumpuhan keseluruhan sistem. Pengalaman 30 tahun terakhir ini menjadi bukti yang amat jelas. Sifat top down, memaksa, dan mengabaikan realitas sosial budaya lokal mengakibatkan membusuknya sistem-sistem pengetahuan dan kecakapan lokal. Masyarakat tercabut dari akar sosial, budaya, ekonomi dan politik lokal dan berubah menjadi budak-budak dari sistem eksternal yang dipaksakan (ini merupakan salah satu logika globalisasi: menghancurkan sistem-sistem lokal dan menggantikannya dengan sistem global sehingga mempermudah ekspansi pasar dan penghisapan sumber daya lokal).  Otoritas lokal telah dirampas. Tanggung jawab lokal pada akhirnya juga hilang.  Kapasitas lokal juga dikikis habis dan digantikan dengan pendekatan-pendekatan paternalistik dan perintah. Jadi tidaklah mengherankan kalau sampai detik ini wajah lokal Indonesia masih terlihat babak belur. Di sana sini terjadi perkelahian sengit baik antarwarga atau warga dengan pemerintah. Hal itu terjadi karena kebijakan negara tidak dibangun atas dasar sosial budaya yang nyata. Di samping itu banyak dari kebijakan-kebijakan yang dibuat sebetulnya bukan ditujukan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya, melainkan sekadar melanggengkan posisi pemegang kekuasaan semata.

            Masyarakat lokal harus diberi otoritas sendiri yang memungkinkan mereka mendiskusikan di atas meja dan di ruang-ruang belajar tentang sumber daya yang dimiliki untuk membangun masa depan yang dicita-citakan bersama. Dengan otoritas yang diembannya masyarakat sendirilah yang niscaya mempunyai tanggung jawab atas segala tindakan-tindakan yang dilakukan.  Untuk mendorong keberhasilan itu semua kapasitas lokal perlu ditumbuhkan, baik melalui pemberdayaan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal, penyelenggaraan pendidikan rakyat yang sesuai dengan kehidupan lokal dan membangun kerja sama antarmasyarakat. 

            Beragam inisiatif masyarakat lokal dewasa ini yang berupaya sungguh-sungguh memulihkan kawasan hidup komunitas pemegang kuasa dan kelola sumber daya alam telah diwujudkan oleh berbagai komponen masyarakat, di antaranya seperti pengelolaan hutan kerakyatan, pembaruan agraria dengan inisiatif rakyat, pengelolaan kawasan perairan oleh rakyat, konservasi alam bertumpu pada komunitas, penataan kawasan adat, pengelolaan tambang rakyat, pertanian lestari dan ekoturisme selayaknya dipertimbangkan menjadi pilihan utama dari perwujudan strategi pemulihan yang menjadi ide pokok dokumen ini.

            Dengan dasar pembesaran wilayah kelola rakyat ini, mau tidak mau akan terjadi koeksistensi dengan wilayah permainan badan usaha milik negara maupun bisnis. Untuk wilayah-wilayah yang saat ini dilekati oleh konflik klaim, harus ada mekanisme penyelesaiannya melalui delineasi yang mantap.

Sekian.

 

Jakarta, 22 Desember 1999

Penjelasan Penyunting dalam buku Sesat Pikir Politik Hukum Agraria: Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat

Pengantar berisi penjelasan Noer Fauzi Rachman sebagai penyunting buku Maria Rita Ruwiastuti (2000) Sesat Pikir Politik Hukum Agraria: Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Penyunting: Noer Fauzi. Penerbit: INSISTPress, KPA, dan Pustaka Pelajar. ISBN: 979-9289-55-6. Kolasi: 14 x 20cm; xxvi + 196 halaman. Keterangan adventorial buku, lihat: https://insistpress.com/katalog/sesat-pikir-politik-hukum-agraria/ 

Buku ini merupakan hasil penyuntingan karya tulis Maria Rita Ruwiastuti (MRR) yang merentang dari tahun 1991 hingga 1999. Sepanjang awal kedatangannya ke propinsi Irian Jaya di tahun 1985 hingga sekarang, ia tetap konsisten dan tekun terlibat pada soal sengketa agraria struktural yang melibatkan nasib masyarakat-masyarakat Adat. Bahkan, ia tak segan-segan memberikan karya-karya tulisnya demi penyebaran gagasan yang semangat dan isinya bertujuan memperjuangkan hak-hak masyarakat Adat.

Sejak Penyunting menerima berbagai karya tulis MRR untuk pertama kalinya di tahun 1996, telah timbul niat untuk menyuntingnya dan menjadikan suatu buku yang bisa dibaca oleh publik. Namun, pekerjaan penyunting sebagai Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) periode 1995 s/d 1998 dan berbagai aktivitas lainnya tidak memungkinkan mewujudkan niat tersebut. Niat untuk membukukan karya-karya MRR semakin menjadi, disebabkan ia terus memberikan karya-karya tulis barunya kepada penyunting pada kesempatan beraktifitas bersama di Konsorsium Pembaruan Agraria. Buku kecil ini akhirnya selesai disunting penulis bulan November 1999.

Penyunting mengatur sedemikian rupa sajian buku ini agar tulisan-tulisan yang terpisah-pisah dapat dinikmati pembaca sebagai suatu buku yang layak dibaca. Di bagian Pendahuluan, mula-mula disajikan suatu dasar-dasar pijak teoritis, yang biasanya diistilahkan sebagai Analisa Hukum Kritis. Dalam uraian awalnya, MRR mengedepankan (kembali) tema yang selalu hidup dalam sepanjang zaman modern, yakni hukum versus keadilan. Namun, ia mendudukkan kembali tema itu dalam konteks sengketa agraria struktural di mana hukum Negara yang memfasiliatasi Pemodal Besar berhadap-hadapan dengan hukum-hukum Adat yang berangkat dari perwujudan rasa keadilan dan kebutuhan budaya masyarakat-masyarakat Adat. Bagian Pendahuluanini diakhiri dengan suatu agenda mempertemukan antara perjuangan keadilan sosial dengan agenda perubahan hukum Negara.

Selanjutnya di bagian I (bab 1 s/d 6) penyunting menyajikan tulisan MRR tentang berbagai kesaksiannya mengenai nasib penduduk-penduduk asli/suku-suku asli/masyarakat-masyarakat Adat di berbagai tempat sehubungan dengan sengketa agraria yang mereka alami, yakni orang-orang Asmat di Agats, Sarwa Erma, Yaosakor, dan Ewer (Irian jaya), orang-orang Laoje Gunung dan orang-orang Bunggu di Moi dan Ngovi (Sulawesi Tengah), orang-orang Atoni Meto di Biboki dan di Mollo (Nusa Tenggara Timur), dan orang-orang Batak Toba di parbuluan (Sumatera Utara).

Bagian II, berbeda dengan bagian sebelumnya yang kebanyakan merupakan suatu kesaksian , di Bab 7 hingga 9, penyunting memilihkan karya-karya MRR yang berisi analisis mengenai marginalisasi posisi hukum-hukum Adat, sengketa agraria, dan berbagai “sesat pikir” dari (sebagian) kalangan ahli hukum.

Selanjutnya, di bagian III (bagian terakhir), penyunting memilihkan karya-karya MRR yang lebih bersifat advokasi. Pada bagian ini, Bab 10 dan 12, selain MRR meletakkan dasar-dasar argumen mengapa hak-hak Adat atas sumber-sumber agraria perlu dipulihkan, MRR juga mengusulkan suatu agenda yang perubahan politik agraria nasional yang seharusnya menggunakan asas kemajemukan suatu ancangan untuk mereka yang mau ikut serta bersama membangun gerakan penghormatan dan pengakuan hak-hak Adat atas sumber-sumber agraria.

Penyunting mempregunakan berbagai tulisan MRR, mengatur peletakannya dan kemudian memberinya judul. Untuk menghindari pengulangan (walaupun tidak mungkin sama sekali bebas dari pengulangan), sejumlah uraian dari tulisan asli dibuang atau ditempatkan kembali pada bagian-bagian yang penyunting kira akan memudahkan pembaca. Beberapa peristilahan berusaha disamakan agar tidak menggangu pembaca. Pilihan judul-judul tiap bagian berasal dari penyunting. Namun demikian, pada umumnya setiap bagian berasal dari satu/dua tulisan khusus (lihat “sumber-sumber Tulisan” di bagian akhir buku ini).

Buku ini hadir pada saat yang tepat, di mana tersedia kesempatan mengemukakan aspirasi keadilan dari golongan-golongan masyarakat yang selama rejim Orde Baru tidak bisa mendapat tempat, bahkan direpresi. Lebih dari lima belas tahun belakangan ini, sengketa agraria struktural telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek dari perusahaan bermodal raksasa dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa agraria struktural yang melibatkan kelompok-kelompok  masyarakat Adat diurai dengan gambling dalam buku ini.

Sudah lama kalangan organisasi non-pemerintah, di antaranya adalah mereka yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria, peduli dengan gejala sengketa termaksud, termasuk sengketa yang melibatkan tanah-tanah kepunyaan masyarakat Adat.[1] Kepedulian ini didasari oleh pengalaman terlibat dalam kasus-kasus, baik berupa pengaduan-pengaduan, pengorganisasian masyarakat korban, kegiatan advokasi melalui jalur hukum maupun jalur ekstra-hukum, kegiatan pendidikan dan pelatihan, lokarya dan seminar maupun studi-studi.

Dalam beragam aktivitas tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang sangat seing muncul adalah di mana kedudukan Hukum Agraria Nasional, seperti Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA), dalam sengketa tersebut? Apakah Undang-undang ini bisa menjadi sarana perlindungan bagi mereka yang bersengketa, khususnya bagi masyarakat-masyarakat korban sengketa?

Ada beberapa versi jawaban terhadap pertanyaan tersebut.[2] Pertama, adalah semua UU dibuat dengan niat baik dan karenanya hasilnya pun sudah baik untuk menjamin hak dan kewajiban masyarakat , sehingga tentunya UUPA dan berbagai UU keagrariaan lainnya, termasuk peraturan-peraturan pelaksanaannya , yang tergabung dalam Hukum Agraria Nasional sangat dapat diandalkan sebagai sarana perlindungan hak-hak masyarakat yang dirugikan dalam sengketa. Sengketa agraria struktural terjadi karena penyimpangan dari pejabat berprilaku menyimpang dalam mempergunakan kewenangannya.

Golongan kedua adalah mereka yang percaya bahwa UUPA sebagai induk dari UU keagrariaan adalah produk hukum yang memuat jaminan-jaminan hak-hak masyarakat, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksanaannnya yang menyimpangkan UUPA tersebut. UUPA adalah hukum yang berkarakter responsive yang diproduksi di masa orde lama, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksanaan yang diproduksi Orde Baru yang pada umumnya berkarakter represif. Dalam rumusan lain, dinyatakan bahwa UUPA bersifat populis namun dikelilingi oleh UU Keagrariaan dan peraturan pelaksanaan lainnya yang kapitalistik. Golongan ini mempersepsi sengketa agraria struktural disebabkan oleh orientasi pembangunan rejim Orde Baru yang mendahulukan pertumbuhan modal industri dan proyek-proyek pemerintah dari pada kepentingan penguasaan agraria rakyat banyak. Hukum agraria yang diproduksi adalah subsistem dari pertumbuhan ekonomi, sehingga orientasinya adalah memberi dukungan legalitas pada pemodal besar maupun proyek pemerintah.

Adalah golongan ketiga yang mendudukkan  Hukum Agraria Nasional, termasuk UUPA, sebagai produk hukum yang perlu dikritisi.[3] Diargumentasikan bahwa tidak dipungkiri adanya gejala penyimpangan penggunaan wewenang dari pejabat sehubungan dengan maraknya sengketa agraria – sebagaimana disinyalir oleh golongan pertama. Juga tidak dipungkiri pula adanya sejumlah peraturan yang menyimpang dari UUPA. Namun, UUPA dipersepsi pula sebagai pemberi andil yang berarti bagi terciptanya sengketa agraria yang marak lebih dalam lima belas tahun belakangan. 

Pada intinya, golongan ketiga ini, di mana MPR merupakan slaah satu eksponen utamanya, menyadari bahwa UUPA 1960 adalah suatu produk perundang-undagan yang dimaksudkan untuk membawa rakyat ke arah keadilan dan kemakmuan, namun demikian mendudukkan kepentingan rakyat di bawah kepentingan Negara yang mengatasnamakan kepentingan Nasional. Dalam penataan ulang penguasaan, peruntukan, pemeliharaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, posisi Negara menurut Hukum Agraria nasional, termasuk menurut UUPA, apakah sangat dominan, sehingga dalam praktek telah terbukti menghancurkan partisipasi masyarakat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu, serta pula kemudian turut menikmati hasilnya.

Golongan ini menganggap sudah waktunya Hukum Agraria nasional dirombak, termasuk UUPA 1960. Sekalipun ide dasarnya harus tetap dianut, bahwa penguasaan, peruntukan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria harus untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, namun dalam berbagai undang-undang keagrariaan yang baru haruslah menganut falsafah baru, yakni falsafah kedaulatan rakyat atau kerakyatan (populis) yang berhadap-hadapan dengan falsafah kedaulatan Negara.[4] Dengan mengacu pada falsafah ini, perombakan Hukum Agraria Nasional harus mengedepankan fungsi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya sebagai sumber-sumber yang meningkatkan keberdayaan rakyat untuk melepaskan diri dari ketergantungan atau eksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi bersar. Sedangkan hukum agraria harus ditegaskan fungsinya sebagai pembebas rakyat dari kedudukannya yang marjinal, sekaligus memberikan dua hal pokok, yakni (i) dasar legalitas dan legitimitas pada rakyat untuk menguasai sumber-sumber agraria, dan sekaligus berpartisipasi dalam penatagunaan, pemeliharaan dan peruntukannya; dan (ii) juga memberikan dasar legalitas dan legitimitas bagi masyarakat-masyarakat hukum Adat untuk menentukan sendiri pengelolaan lingkungan hidupnya, termasuk sumber-sumber agraria yang terdapat dalam lingkungan itu.

Gagasan golongan ketiga ini didasari oleh suatu keharusan pengakuan dan pengkormatan Negara atas hak-hak Adat yang timbul dari hubungannya yang tak dapat dipisahkan (non-alienable) dengan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Pengakuan dan penghormatan ini hanya bisa terwujud apabila terdapat kesediaan para Pemegang Kekuasaan Negara, termasuk Pembuat Undang-undang, untuk mengakui eksistensi (keberadaan) masyarakat Adat yang otonom, termasuk eksistensi hukum-hukum Adat yang telah bertumbuh-kembang jauh sebelum Negara-Bangsa berdiri dan bahkan tetap hidup ketika hukum Nasional diberlakukan. Hal yang disebut terakhir inilah yang dikenal dengan istilah pluralism hukum (legal pluralism), yakni situasi di mana dua tau lebih (sistem) hukum saling berinteraksi. Issue pluralisme Hukum ini pada umumnya berkembang sebagai counter terhadap sentralisme hukum, (legal centralism), hal mana terjadi di negeri-negeri colonial dan pasca-kolonial. Paham sentralisme hukum sebagaimana terkandung dalam Hukum Negara (state law) sesungguhnya berhadapan dengan hukum-hukum Adat (customary laws) yang telah tumbuh berurat berakar sejalan dengan pertumbuhan komunitas-komunitas pra-negara. Keberadaan atau kemajemukan hukum-hukum Adat yang secara defacto hidup dalam masyarakat telah dimarjinalisasikan dan didominasi oleh hukum Negara. Sesungguhnya, problem ini telah menjadi ciri hukum Indonesia pasca kolonial, tentunya termasuk Hukum Agraria Nasional, di mana selalu diwarnai oleh kompetisi ide yang tidak terselesaikan antara hukum-hukum Adat dengan hukum Barat.

    Dalam konteks sebagaimana diuraikan di atas, kehadiran buku ini tentunya semakin disadari relevansinya, terutama bagi mereka yang telah dan akan bergabung dalam aktivitas pemulihan, pengakuan, pemberdayaan dan penghormatan hak-hak Adat. MRR secara orisinil berhasil menunjukkan “Sesat Pikir” Politik Hukum Agraria dan membongkar asumsi-asumsi penguasaan Negara terhadap hak-hak Adat, dengan cara mengemukakan kesaksian-kesaksian, membongkar asumsi-asumsi penguasaan Negara atas hak-hak Adat, mengemukakan agenda pemulihan hak-hak Adat dan pluralism hukum, dan lebih jauh dari itu, mengundang adanya suatu gerakan sosial menuju terwujudnya budaya hukum yang kritis dan Politik Hukum Agraria yang lebih berkeadilan.

 



[1] Dalam konferensi INFID ke-10 Canberra – Australia tahun 1996, dengan tema “Land and Development: masalah sengketa pertanahan, termasuk yang menyangkut sengketa tanah Adat, memperoleh tempat dalam makalah-makalah maupun pernyataan resmi Konferensi tersebut. Selanjutnya lihat Noer Fauzi (Ed.), Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Sinar harapan, 1997. Dalam kurun waktu setelah konferensi INFID tersebut, setidaknya terbit tiga buku yang memuat laporan mengenai pengambilan tanah masyarakat Adat, yang dibuat oleh yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yakni buku A. Made Tony Supriatna (Ed.), 1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, Jakarta: YLBHI, 1997, Dianto Bachriadi, et. Al (Eds), Reformasi Agraria: Sengketa, Politik dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: KPA bekerja sama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LP-FEUI), 1997, dan maria Rita Ruwiastuti, et.al., Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah masyarakat Adat dan hukum Agraria, Bandung: KPA bekerjasama dengan INPI-PACT, 1997.

[2] Gagasan mengenai ketiga golongan ini pernah penulis sampaikan pada “Pluralisme Hukum: Agenda Hukum Agraria Nasional di Abad 21”, makalah pada Seminar Hasil Studi hak –hak Tradisional atas Tanah di Indonesia, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atmajaya – Jakarta, bekerjasama dengan Puslitbang Badan Pertanahan Nasional, Selasa 1 Desember 1998; dan “Sendi-sendi Pembaruan Hukum Agraria”, Makalah pada Forum Dialog Tinjauan Kritis terhadap UUPA, yang diselenggarakan oleh Tim Pelaksana KEPPRES No. 48/1999, di Hotel Indonesia, Jakarta 31 Agustus – 1 September 1999

[3] Kritik awal terhadap UUPA dimuat dalam Beni K. Harmanet al., Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah, Jakarta: YLBHI, 1995, khususnya bagian Kata Pengantar yang ditulis oleh Benny K. Harman dan Noer Fauzi.

[4] Lihat Usulan revisi Undang-undang Pokok Agraria Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat atas Sumber-sumber Agraria, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998.

Gunawan Wiradi (2000) Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir. Pengantar Penyunting


Noer Fauzi

Perjalanan Sebuah Gagasan

Pengantar Penyunting untuk Edisi Pertama

 

Edisi kedua buku Gunawan Wiradi (2000) Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir.  Bandung: Sajogyo Institute Akatiga Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Noer Fauzi dań Mohammad Shohibuddin (penyunting), bisa diperoleh sepenuhnya dengan bebas dari situs:https://sajogyo-institute.org/wp-content/uploads/2016/05/GWR.-2009.-Reforma-Agraria-Perjalanan-belum-Berakhir.pdf 


Buku ini merupakan hasil olahan dari 23 (dua puluh tiga) tulisan Gunawan Wiradi (GWR) yang disampaikan dalam berbagai Seminar, Lokakarta atau Diskusi yang merentang dari tahun 1984 hingga awal tahun 2000.[1] Penyunting menyusun ulang bagian-bagian dari tulisan tersebut, menyatukannya, menyambungkan ide-idenya sedemikian rupa sehingga bergabung dalam bab-bab, termasuk memberi judul bab-bab itu, sebagaimana tersaji dalam buku ini. 

Penyunting berupaya agar hasil olahan tersebut mampu menjadi suatu sajian yang sistematis dan bukan sekedar kumpulan tulisan dan bukan pula hasil penulisan ulang (rewriting), walaupun tidak mungkin menghindar dari sejumlah pengulangan ide. Niat membukukan berbagai tulisan Gunawan Wiradi sebenamya terbersit semenjak penyunting dipilih untuk kedua kalinya menjadi Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria di tahun 1998 lalu. Namun, sehubungan dengan kesibukan penyunting, pekerjaan tersebut baru berhasil diwujudkan sekarang. Penyunting telah berusaha semaksimal mungkin agar pikiran-pikiran GWR yang terpisah-pisah bisa dinikmati pembaca secara lebih solid dan ‘benang merah’nya bisa segera bisa ditemukan. Untuk menghasilkan buku ini, banyak waktu dan energi yang dibutuhkan sehubungan dengan kegiatan memotong bagian dari satu karangan yang satu untuk disambungkan dengan karangan yang lain, dan sebaliknya. Selain itu, karena bahan dasarnya berasal dari makalah untuk suatu penyajian dalam forum seminar/lokakarya/diskusi/latihan tertentu, maka referensi rujukannya tidak seragam, dan meskipun penyunting mengkonfirmasikan kembali ke GWR, namun masih ada yang tidak bisa terlacak lagi, misalnya nomor halaman buku yang dirujuk. 

Buku ini hanyalah sebagian dari karya-karya tulis GWR. Karangan GWR tidak hanya menyangkut masalah agraria, tetapi juga meliputi soal-soal transmigrasi, demokrasi, metodologi penelitian, teori organisasi, revolusi hijau dan lain-lain. Yang disunting di sini hanyalah yang khusus menyangkut masalah Reforma Agraria, yang sebagian besar belum pernah diterbitkan. Alangkah baiknya seandainya saja ada kesempatan dan kemampuan penyunting untuk menerbitkan rangkuman tulisan GWR yang lebih luas. 

Secara berurutan, langkah-langkah yang ditempuh penyunting adalah mengemukakan rencana pengumpulan dan penyuntingan karya-karya tulis pada GWR yang langsung mendapat persetujuan; mengumpulkan, termasuk meminta copy dari karya-karya tulis GWR, yang disimpan olehnya; Penyunting mengetik ulang karangan-karangan GWR (terima kasih atas bantuan M. Syafe’i yang telah membantu pengetikan ulang); menyusun draft I hasil penyuntingan dan menyerahkan pada GWR untuk mendapatkan koreksi dan masukan; memperbaiki draft I dan menyerahkan draft II-nya pada GWR untuk dikoreksi akhir; meminta Prof. Dr. Sayogyo untuk memberikan Pengantar dan meminta Dr. Nasikun untuk memberikan komentar atas dasar draft II; menyusun Glossary (terimakasih pada Yudi Bachrioktora yang membuatkan draftnya) dan memperbaiki kembali draft II atas dasar koreksi akhir dari GWR, dan kemudian menyerahkan pada penerbit untuk dicetak. 

Buku ini disusun dan diterbitkan dengan maksud memberikan penghargaan pada Gunawan Wiradi yang telah berperan mempromosikan ide Reforma Agraria secara tekun, semenjak Indonesia di bawah rejim Orde Baru sampai sekarang. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa tanpa Gunawan Wiradi  bersama-sama dengan S.M.P. Tjondronegoro[2] maka isu Reforma Agraria akan tetap tenggelam sebagai wacana intelektual. Inisiatif-inisiatif utama Gunawan Wiradi memerankan diri sebagai promotor Reforma Agraria dilakukan semenjak keterlibatannya dalam lembaga Studi Dinamika Pedesaan Survey Agro Ekonomi (SDP-SAE) di Bogor semenjak tahun 1972. Bahkan dengan Lembaga ini, GWR aktif menindaklanjuti World Conference on Agrarian Reform and Rural Development yang diadakan FAO 1979, dengan penelitian, pelatihan, study-tour hingga konferensi international. 

Selanjutnya, semenjak itu GWR aktif melakukan penelitian lapangan, menulis artikel di media massa, menyunting buku, menulis artikel ilmiah dan menjadi narasumber pada berbagai forum yang diorganisir oleh LSM, Perguruan Tinggi maupun lembaga pemerintah, yang saat ini sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Apa yang ia lakukan secara konsisten, dan diulanginya terus menerus adalah menganalisis masalah agraria dewasa ini, mempertanyakan kebijakan pembangunan yang memperburuk masalah agraria, mengkomunikasikan teori, analisis dan pengalaman dunia internasional mengenai masalah agraria hingga mempromosikan Reforma Agraria sebagai jawaban atas ketimpangan struktur agraria Indonesia. Buku ini berjudul “Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir”. Judul ini diinspirasikan oleh suatu buku kumpulan karya salah satu tokoh kunci Reforma Agraria 1960- an Wolf Ladejinsky, yang berjudul Agrarian Reform as Unfinished Business, hasil suntingan L.J. Walinsky (1970) yang diterbitkan oleh World Bank bersama Oxford University Press, pada tahun 1977.[3]

Selain itu, dasar pemilihan tema sebagaimana terkemuka dalam judul buku ini berkaitan dengan isi buku yang kurang lebih “berangkat dari kenyataan sekarang”, “melihat ke belakang” dan “untuk melangkah ke depan”. Dari penelusuran GWR, ditemukan bahwa masalah Reforma Agraria adalah perjalanan yang belum berakhir. Era “reformasi” dewasa ini, di mana kita menghadapi suatu kenyataan adanya perubahan sosial-politik yang mendasar, merupakan saat yang tepat untuk mempromosikan agenda Reforma Agraria. Dapatlah dikatakan, Indonesia saat ini memasuki jaman peralihan politik kekuasaan negara yang ditandai oleh bangkrutnya dominasi kekuasaan rejim Orde Baru yang otoriter, dan lahirnya rejim baru yang memberikan keluangan besar bagi masyarakat luas untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Bagi pelaku dan pengamat soal agraria, pertanyaan yang penting adalah apakah hasil pergulatan kekuatan-kekuatan politik itu pada akhimya akan menghasilkan suatu rejim yang pro pada penyelesaian soal agraria yang mendasar dan menyeluruh? Semasa Indonesia di bawah rejim Orde Baru, kita menyaksikan banyak sekali kasus di mana berbagai jenis hak yang diberikan tersebut berada di atas tanah yang telah dikuasai oleh penduduk secara turun temurun. Konsekuensi dari pemberian berbagai jenis hak ini adalah terjadinya pemusatan kepenguasaan atas tanah yang luas. Sisi lain dari pemusatan ini adalah terlepasnya akses dan kontrol banyak penduduk atas tanah yang dikuasai sebelumnya. 

Dalam proses peralihan akses dan kontrol atas tanah dari penduduk ke pihak lain, dipenuhi oleh berbagai metoda yang digunakan oleh institusi politik otoritarian, seperti penggunaan instrumen hukum negara, manipulasi dan kekerasan. Intervensi negara dalam pengadaan tanah (land acquisition through state intervention) bermula dari penetapan pemerintah atas sebidang tanah dan kekayaan alam yang ada di atas/ di bawahnya dengan jenis hak tertentu untuk suatu subjek atau badan hukum tertentu. Berbagai jenis hak yang kita kenal di antaranya Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan, dll. Kekuasaan negara untuk memberikan berbagai jenis hak tersebut diperoleh dari berbagai Undang-undang (seperti Undang-undang Pokok Agraria, Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan) melalui konsep politik hukum Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang diemban oleh pemerintah pusat. “Anak haram” dari praktik pembangunan yang dimotori oleh paham pembangunan yang bertumpu pada “pertumbuhan ekonomi yang tinggi” itu adalah sengketa agraria struktural. Sengketa ini terjadi ketika pemerintah pusat memberikan hak baru untuk perusahaan atau badan pemerintah tertentu di atas tanah yang telah dimuati hak-hak rakyat. 

Sudah umum disadari banyak pihak bahwa komunitas petani yang terlebih dahulu memiliki hubungan yang kuat dengan tanah dan kekayaan alam itu pada umumnya adalah pihak yang dikalahkan. Bila sungguh-sungguh hendak mewujudkan keadilan sosial, dan lebih dari itu memantapkan dasar pembangunan, saat ini tak ada jalan lain dan sudah tak dapat ditunda-tunda lagi untuk menata ulang penguasaan, peruntukan dan penggunaan tanah melalui apa yang dikenal secara ilmiah dengan nama agrarian reform (bahasa Inggris) atau Reforma Agraria (bahasa Spanyol). Pada konteks ini, sering dipercayai bahwa Reforma Agraria harus dimulai dari arena perubahan kebijakan (policy change) dan perubahan hukum (law reform), dengan asumsi bahwa hukum merupakan ekspresi dari rasa keadilan rakyat. Namun, sesungguhnya hukum di mana dikandung kebijakan-kebijakan publik merupakan suatu arena petarungan berbagai kepentingan. Repotnya, kepentingan ini seringkali tampak kabur, seperti adanya tabir ideologis. Seperti dinyatakan oleh Walden Bello et all dalam bukunya Dark Victory, The United States, Structural Adjustment and Global Poverty, (Amsterdam: The Transnational Institute, 1994, hal. 8), bahwa 

“Apa yang biasanya terjadi adalah suatu proses sosial yang agak kompleks di-mana ideologi menjembatani antara kepentingan-kepentingan dengan kebijakan. Suatu ideologi adalah sistem-kepercayaan—seperangkat teori, kepercayaan, dan mitos dengan sejumlah pertalian di dalamnya—yang berupaya menguniversalkan kepentingan suatu sektor sosial tertentu kepada masyarakat seluruhnya. Dalam ideologi pasar, sebagai contoh, membebaskan kekuatan pasar dari hambatan-hambatan negara dikatakan suatu usaha bagi kepentingan umum bukan hanya kalangan bisnis, tetapi juga bagi keseluruhan masyarakat.” 

GWR mengemukakan, seperti dinyatakan dalam bagian akhir buku ini, bahwa dalam pengalaman berbagai negara Reforma Agraria selalu didasarkan pada kedermawanan atau kebaikan hati penguasa negara. Namun, pada gilirannya terjadi pengkhianatan terhadap petaniAtas dasar pengalaman itu,[4] GWR dalam Lokakarya Nasional Agraria menyambut Munas KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) pertama Desember 1995, menganjurkan strategi reform by leverage. Maksudnya adalah inisiatif suatu proses reform yang bertumpu pada organisasi rakyat (petani). Kondisi makro yang tidak kondusif bagi reformasi, dapat dihadapi dengan kekuatan pengorganisasian petani sebagai leverage (dongkrak).

 

Selamat membaca. 

Noer Fauzi

 



[1] Lihat Sumber Tulisan, di bagian akhir buku ini.

[2] Kumpulan karangan terpilih S.M.P. Tjondronegoro sejak tahun 1972 hingga 1999 telah diterbitkan dalam bentuk buku: S.M.P. Tjondronegoro, Sosiologi Agraria, M.T. Felix Sitorus dan Gunawan Wiradi (Eds), Labolatorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan FAPERTA IPB bekeriasama dengan Yayasan Akatiga, 1999, Bandung

[3]  Wolf Ladejinsky melakukan suatu pengamatan, memberikan anjuran dan konsultansi untuk sejumlah pemerintahan yang sedang menjalankan agrarian reform di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia sepanjang tahun 1960-an.

[4] Lihat buku J.P. Powelson dan R. Stock (1987), The Peasant Betrayed, Oelgeshlager, Gunn and Hain Publisher, Inc., 1987.