Gunawan Wiradi (2000) Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir. Pengantar Penyunting


Noer Fauzi

Perjalanan Sebuah Gagasan

Pengantar Penyunting untuk Edisi Pertama

 

Edisi kedua buku Gunawan Wiradi (2000) Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir.  Bandung: Sajogyo Institute Akatiga Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Noer Fauzi dań Mohammad Shohibuddin (penyunting), bisa diperoleh sepenuhnya dengan bebas dari situs:https://sajogyo-institute.org/wp-content/uploads/2016/05/GWR.-2009.-Reforma-Agraria-Perjalanan-belum-Berakhir.pdf 


Buku ini merupakan hasil olahan dari 23 (dua puluh tiga) tulisan Gunawan Wiradi (GWR) yang disampaikan dalam berbagai Seminar, Lokakarta atau Diskusi yang merentang dari tahun 1984 hingga awal tahun 2000.[1] Penyunting menyusun ulang bagian-bagian dari tulisan tersebut, menyatukannya, menyambungkan ide-idenya sedemikian rupa sehingga bergabung dalam bab-bab, termasuk memberi judul bab-bab itu, sebagaimana tersaji dalam buku ini. 

Penyunting berupaya agar hasil olahan tersebut mampu menjadi suatu sajian yang sistematis dan bukan sekedar kumpulan tulisan dan bukan pula hasil penulisan ulang (rewriting), walaupun tidak mungkin menghindar dari sejumlah pengulangan ide. Niat membukukan berbagai tulisan Gunawan Wiradi sebenamya terbersit semenjak penyunting dipilih untuk kedua kalinya menjadi Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria di tahun 1998 lalu. Namun, sehubungan dengan kesibukan penyunting, pekerjaan tersebut baru berhasil diwujudkan sekarang. Penyunting telah berusaha semaksimal mungkin agar pikiran-pikiran GWR yang terpisah-pisah bisa dinikmati pembaca secara lebih solid dan ‘benang merah’nya bisa segera bisa ditemukan. Untuk menghasilkan buku ini, banyak waktu dan energi yang dibutuhkan sehubungan dengan kegiatan memotong bagian dari satu karangan yang satu untuk disambungkan dengan karangan yang lain, dan sebaliknya. Selain itu, karena bahan dasarnya berasal dari makalah untuk suatu penyajian dalam forum seminar/lokakarya/diskusi/latihan tertentu, maka referensi rujukannya tidak seragam, dan meskipun penyunting mengkonfirmasikan kembali ke GWR, namun masih ada yang tidak bisa terlacak lagi, misalnya nomor halaman buku yang dirujuk. 

Buku ini hanyalah sebagian dari karya-karya tulis GWR. Karangan GWR tidak hanya menyangkut masalah agraria, tetapi juga meliputi soal-soal transmigrasi, demokrasi, metodologi penelitian, teori organisasi, revolusi hijau dan lain-lain. Yang disunting di sini hanyalah yang khusus menyangkut masalah Reforma Agraria, yang sebagian besar belum pernah diterbitkan. Alangkah baiknya seandainya saja ada kesempatan dan kemampuan penyunting untuk menerbitkan rangkuman tulisan GWR yang lebih luas. 

Secara berurutan, langkah-langkah yang ditempuh penyunting adalah mengemukakan rencana pengumpulan dan penyuntingan karya-karya tulis pada GWR yang langsung mendapat persetujuan; mengumpulkan, termasuk meminta copy dari karya-karya tulis GWR, yang disimpan olehnya; Penyunting mengetik ulang karangan-karangan GWR (terima kasih atas bantuan M. Syafe’i yang telah membantu pengetikan ulang); menyusun draft I hasil penyuntingan dan menyerahkan pada GWR untuk mendapatkan koreksi dan masukan; memperbaiki draft I dan menyerahkan draft II-nya pada GWR untuk dikoreksi akhir; meminta Prof. Dr. Sayogyo untuk memberikan Pengantar dan meminta Dr. Nasikun untuk memberikan komentar atas dasar draft II; menyusun Glossary (terimakasih pada Yudi Bachrioktora yang membuatkan draftnya) dan memperbaiki kembali draft II atas dasar koreksi akhir dari GWR, dan kemudian menyerahkan pada penerbit untuk dicetak. 

Buku ini disusun dan diterbitkan dengan maksud memberikan penghargaan pada Gunawan Wiradi yang telah berperan mempromosikan ide Reforma Agraria secara tekun, semenjak Indonesia di bawah rejim Orde Baru sampai sekarang. Tak berlebihan bila dikatakan bahwa tanpa Gunawan Wiradi  bersama-sama dengan S.M.P. Tjondronegoro[2] maka isu Reforma Agraria akan tetap tenggelam sebagai wacana intelektual. Inisiatif-inisiatif utama Gunawan Wiradi memerankan diri sebagai promotor Reforma Agraria dilakukan semenjak keterlibatannya dalam lembaga Studi Dinamika Pedesaan Survey Agro Ekonomi (SDP-SAE) di Bogor semenjak tahun 1972. Bahkan dengan Lembaga ini, GWR aktif menindaklanjuti World Conference on Agrarian Reform and Rural Development yang diadakan FAO 1979, dengan penelitian, pelatihan, study-tour hingga konferensi international. 

Selanjutnya, semenjak itu GWR aktif melakukan penelitian lapangan, menulis artikel di media massa, menyunting buku, menulis artikel ilmiah dan menjadi narasumber pada berbagai forum yang diorganisir oleh LSM, Perguruan Tinggi maupun lembaga pemerintah, yang saat ini sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Apa yang ia lakukan secara konsisten, dan diulanginya terus menerus adalah menganalisis masalah agraria dewasa ini, mempertanyakan kebijakan pembangunan yang memperburuk masalah agraria, mengkomunikasikan teori, analisis dan pengalaman dunia internasional mengenai masalah agraria hingga mempromosikan Reforma Agraria sebagai jawaban atas ketimpangan struktur agraria Indonesia. Buku ini berjudul “Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir”. Judul ini diinspirasikan oleh suatu buku kumpulan karya salah satu tokoh kunci Reforma Agraria 1960- an Wolf Ladejinsky, yang berjudul Agrarian Reform as Unfinished Business, hasil suntingan L.J. Walinsky (1970) yang diterbitkan oleh World Bank bersama Oxford University Press, pada tahun 1977.[3]

Selain itu, dasar pemilihan tema sebagaimana terkemuka dalam judul buku ini berkaitan dengan isi buku yang kurang lebih “berangkat dari kenyataan sekarang”, “melihat ke belakang” dan “untuk melangkah ke depan”. Dari penelusuran GWR, ditemukan bahwa masalah Reforma Agraria adalah perjalanan yang belum berakhir. Era “reformasi” dewasa ini, di mana kita menghadapi suatu kenyataan adanya perubahan sosial-politik yang mendasar, merupakan saat yang tepat untuk mempromosikan agenda Reforma Agraria. Dapatlah dikatakan, Indonesia saat ini memasuki jaman peralihan politik kekuasaan negara yang ditandai oleh bangkrutnya dominasi kekuasaan rejim Orde Baru yang otoriter, dan lahirnya rejim baru yang memberikan keluangan besar bagi masyarakat luas untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan. Bagi pelaku dan pengamat soal agraria, pertanyaan yang penting adalah apakah hasil pergulatan kekuatan-kekuatan politik itu pada akhimya akan menghasilkan suatu rejim yang pro pada penyelesaian soal agraria yang mendasar dan menyeluruh? Semasa Indonesia di bawah rejim Orde Baru, kita menyaksikan banyak sekali kasus di mana berbagai jenis hak yang diberikan tersebut berada di atas tanah yang telah dikuasai oleh penduduk secara turun temurun. Konsekuensi dari pemberian berbagai jenis hak ini adalah terjadinya pemusatan kepenguasaan atas tanah yang luas. Sisi lain dari pemusatan ini adalah terlepasnya akses dan kontrol banyak penduduk atas tanah yang dikuasai sebelumnya. 

Dalam proses peralihan akses dan kontrol atas tanah dari penduduk ke pihak lain, dipenuhi oleh berbagai metoda yang digunakan oleh institusi politik otoritarian, seperti penggunaan instrumen hukum negara, manipulasi dan kekerasan. Intervensi negara dalam pengadaan tanah (land acquisition through state intervention) bermula dari penetapan pemerintah atas sebidang tanah dan kekayaan alam yang ada di atas/ di bawahnya dengan jenis hak tertentu untuk suatu subjek atau badan hukum tertentu. Berbagai jenis hak yang kita kenal di antaranya Hak Guna Usaha, Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri, Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan, dll. Kekuasaan negara untuk memberikan berbagai jenis hak tersebut diperoleh dari berbagai Undang-undang (seperti Undang-undang Pokok Agraria, Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan) melalui konsep politik hukum Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang diemban oleh pemerintah pusat. “Anak haram” dari praktik pembangunan yang dimotori oleh paham pembangunan yang bertumpu pada “pertumbuhan ekonomi yang tinggi” itu adalah sengketa agraria struktural. Sengketa ini terjadi ketika pemerintah pusat memberikan hak baru untuk perusahaan atau badan pemerintah tertentu di atas tanah yang telah dimuati hak-hak rakyat. 

Sudah umum disadari banyak pihak bahwa komunitas petani yang terlebih dahulu memiliki hubungan yang kuat dengan tanah dan kekayaan alam itu pada umumnya adalah pihak yang dikalahkan. Bila sungguh-sungguh hendak mewujudkan keadilan sosial, dan lebih dari itu memantapkan dasar pembangunan, saat ini tak ada jalan lain dan sudah tak dapat ditunda-tunda lagi untuk menata ulang penguasaan, peruntukan dan penggunaan tanah melalui apa yang dikenal secara ilmiah dengan nama agrarian reform (bahasa Inggris) atau Reforma Agraria (bahasa Spanyol). Pada konteks ini, sering dipercayai bahwa Reforma Agraria harus dimulai dari arena perubahan kebijakan (policy change) dan perubahan hukum (law reform), dengan asumsi bahwa hukum merupakan ekspresi dari rasa keadilan rakyat. Namun, sesungguhnya hukum di mana dikandung kebijakan-kebijakan publik merupakan suatu arena petarungan berbagai kepentingan. Repotnya, kepentingan ini seringkali tampak kabur, seperti adanya tabir ideologis. Seperti dinyatakan oleh Walden Bello et all dalam bukunya Dark Victory, The United States, Structural Adjustment and Global Poverty, (Amsterdam: The Transnational Institute, 1994, hal. 8), bahwa 

“Apa yang biasanya terjadi adalah suatu proses sosial yang agak kompleks di-mana ideologi menjembatani antara kepentingan-kepentingan dengan kebijakan. Suatu ideologi adalah sistem-kepercayaan—seperangkat teori, kepercayaan, dan mitos dengan sejumlah pertalian di dalamnya—yang berupaya menguniversalkan kepentingan suatu sektor sosial tertentu kepada masyarakat seluruhnya. Dalam ideologi pasar, sebagai contoh, membebaskan kekuatan pasar dari hambatan-hambatan negara dikatakan suatu usaha bagi kepentingan umum bukan hanya kalangan bisnis, tetapi juga bagi keseluruhan masyarakat.” 

GWR mengemukakan, seperti dinyatakan dalam bagian akhir buku ini, bahwa dalam pengalaman berbagai negara Reforma Agraria selalu didasarkan pada kedermawanan atau kebaikan hati penguasa negara. Namun, pada gilirannya terjadi pengkhianatan terhadap petaniAtas dasar pengalaman itu,[4] GWR dalam Lokakarya Nasional Agraria menyambut Munas KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) pertama Desember 1995, menganjurkan strategi reform by leverage. Maksudnya adalah inisiatif suatu proses reform yang bertumpu pada organisasi rakyat (petani). Kondisi makro yang tidak kondusif bagi reformasi, dapat dihadapi dengan kekuatan pengorganisasian petani sebagai leverage (dongkrak).

 

Selamat membaca. 

Noer Fauzi

 



[1] Lihat Sumber Tulisan, di bagian akhir buku ini.

[2] Kumpulan karangan terpilih S.M.P. Tjondronegoro sejak tahun 1972 hingga 1999 telah diterbitkan dalam bentuk buku: S.M.P. Tjondronegoro, Sosiologi Agraria, M.T. Felix Sitorus dan Gunawan Wiradi (Eds), Labolatorium Sosiologi, Antropologi dan Kependudukan FAPERTA IPB bekeriasama dengan Yayasan Akatiga, 1999, Bandung

[3]  Wolf Ladejinsky melakukan suatu pengamatan, memberikan anjuran dan konsultansi untuk sejumlah pemerintahan yang sedang menjalankan agrarian reform di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia sepanjang tahun 1960-an.

[4] Lihat buku J.P. Powelson dan R. Stock (1987), The Peasant Betrayed, Oelgeshlager, Gunn and Hain Publisher, Inc., 1987.

No comments:

Post a Comment