Pengantar berisi penjelasan Noer Fauzi Rachman sebagai penyunting buku Maria Rita Ruwiastuti (2000) Sesat Pikir Politik Hukum Agraria: Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Penyunting: Noer Fauzi. Penerbit: INSISTPress, KPA, dan Pustaka Pelajar. ISBN: 979-9289-55-6. Kolasi: 14 x 20cm; xxvi + 196 halaman. Keterangan adventorial buku, lihat: https://insistpress.com/katalog/sesat-pikir-politik-hukum-agraria/
Buku ini merupakan hasil penyuntingan karya tulis Maria Rita Ruwiastuti (MRR) yang merentang dari tahun 1991 hingga 1999. Sepanjang awal kedatangannya ke propinsi Irian Jaya di tahun 1985 hingga sekarang, ia tetap konsisten dan tekun terlibat pada soal sengketa agraria struktural yang melibatkan nasib masyarakat-masyarakat Adat. Bahkan, ia tak segan-segan memberikan karya-karya tulisnya demi penyebaran gagasan yang semangat dan isinya bertujuan memperjuangkan hak-hak masyarakat Adat.
Sejak Penyunting menerima berbagai karya tulis MRR untuk pertama kalinya di tahun 1996, telah timbul niat untuk menyuntingnya dan menjadikan suatu buku yang bisa dibaca oleh publik. Namun, pekerjaan penyunting sebagai Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) periode 1995 s/d 1998 dan berbagai aktivitas lainnya tidak memungkinkan mewujudkan niat tersebut. Niat untuk membukukan karya-karya MRR semakin menjadi, disebabkan ia terus memberikan karya-karya tulis barunya kepada penyunting pada kesempatan beraktifitas bersama di Konsorsium Pembaruan Agraria. Buku kecil ini akhirnya selesai disunting penulis bulan November 1999.
Penyunting mengatur sedemikian rupa sajian buku ini agar tulisan-tulisan yang terpisah-pisah dapat dinikmati pembaca sebagai suatu buku yang layak dibaca. Di bagian Pendahuluan, mula-mula disajikan suatu dasar-dasar pijak teoritis, yang biasanya diistilahkan sebagai Analisa Hukum Kritis. Dalam uraian awalnya, MRR mengedepankan (kembali) tema yang selalu hidup dalam sepanjang zaman modern, yakni hukum versus keadilan. Namun, ia mendudukkan kembali tema itu dalam konteks sengketa agraria struktural di mana hukum Negara yang memfasiliatasi Pemodal Besar berhadap-hadapan dengan hukum-hukum Adat yang berangkat dari perwujudan rasa keadilan dan kebutuhan budaya masyarakat-masyarakat Adat. Bagian Pendahuluanini diakhiri dengan suatu agenda mempertemukan antara perjuangan keadilan sosial dengan agenda perubahan hukum Negara.
Selanjutnya di bagian I (bab 1 s/d 6) penyunting menyajikan tulisan MRR tentang berbagai kesaksiannya mengenai nasib penduduk-penduduk asli/suku-suku asli/masyarakat-masyarakat Adat di berbagai tempat sehubungan dengan sengketa agraria yang mereka alami, yakni orang-orang Asmat di Agats, Sarwa Erma, Yaosakor, dan Ewer (Irian jaya), orang-orang Laoje Gunung dan orang-orang Bunggu di Moi dan Ngovi (Sulawesi Tengah), orang-orang Atoni Meto di Biboki dan di Mollo (Nusa Tenggara Timur), dan orang-orang Batak Toba di parbuluan (Sumatera Utara).
Bagian II, berbeda dengan bagian sebelumnya yang kebanyakan merupakan suatu kesaksian , di Bab 7 hingga 9, penyunting memilihkan karya-karya MRR yang berisi analisis mengenai marginalisasi posisi hukum-hukum Adat, sengketa agraria, dan berbagai “sesat pikir” dari (sebagian) kalangan ahli hukum.
Selanjutnya, di bagian III (bagian terakhir), penyunting memilihkan karya-karya MRR yang lebih bersifat advokasi. Pada bagian ini, Bab 10 dan 12, selain MRR meletakkan dasar-dasar argumen mengapa hak-hak Adat atas sumber-sumber agraria perlu dipulihkan, MRR juga mengusulkan suatu agenda yang perubahan politik agraria nasional yang seharusnya menggunakan asas kemajemukan suatu ancangan untuk mereka yang mau ikut serta bersama membangun gerakan penghormatan dan pengakuan hak-hak Adat atas sumber-sumber agraria.
Penyunting mempregunakan berbagai tulisan MRR, mengatur peletakannya dan kemudian memberinya judul. Untuk menghindari pengulangan (walaupun tidak mungkin sama sekali bebas dari pengulangan), sejumlah uraian dari tulisan asli dibuang atau ditempatkan kembali pada bagian-bagian yang penyunting kira akan memudahkan pembaca. Beberapa peristilahan berusaha disamakan agar tidak menggangu pembaca. Pilihan judul-judul tiap bagian berasal dari penyunting. Namun demikian, pada umumnya setiap bagian berasal dari satu/dua tulisan khusus (lihat “sumber-sumber Tulisan” di bagian akhir buku ini).
Buku ini hadir pada saat yang tepat, di mana tersedia kesempatan mengemukakan aspirasi keadilan dari golongan-golongan masyarakat yang selama rejim Orde Baru tidak bisa mendapat tempat, bahkan direpresi. Lebih dari lima belas tahun belakangan ini, sengketa agraria struktural telah menjadi sisi lain dari pengadaan tanah skala besar untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah maupun proyek-proyek dari perusahaan bermodal raksasa dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi. Apa yang dimaksudkan dengan sengketa agraria struktural yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat Adat diurai dengan gambling dalam buku ini.
Sudah lama kalangan organisasi non-pemerintah, di antaranya adalah mereka yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria, peduli dengan gejala sengketa termaksud, termasuk sengketa yang melibatkan tanah-tanah kepunyaan masyarakat Adat.[1] Kepedulian ini didasari oleh pengalaman terlibat dalam kasus-kasus, baik berupa pengaduan-pengaduan, pengorganisasian masyarakat korban, kegiatan advokasi melalui jalur hukum maupun jalur ekstra-hukum, kegiatan pendidikan dan pelatihan, lokarya dan seminar maupun studi-studi.
Dalam beragam aktivitas tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang sangat seing muncul adalah di mana kedudukan Hukum Agraria Nasional, seperti Undang-undang Pokok Agraria 1960 (UUPA), dalam sengketa tersebut? Apakah Undang-undang ini bisa menjadi sarana perlindungan bagi mereka yang bersengketa, khususnya bagi masyarakat-masyarakat korban sengketa?
Ada beberapa versi jawaban terhadap pertanyaan tersebut.[2] Pertama, adalah semua UU dibuat dengan niat baik dan karenanya hasilnya pun sudah baik untuk menjamin hak dan kewajiban masyarakat , sehingga tentunya UUPA dan berbagai UU keagrariaan lainnya, termasuk peraturan-peraturan pelaksanaannya , yang tergabung dalam Hukum Agraria Nasional sangat dapat diandalkan sebagai sarana perlindungan hak-hak masyarakat yang dirugikan dalam sengketa. Sengketa agraria struktural terjadi karena penyimpangan dari pejabat berprilaku menyimpang dalam mempergunakan kewenangannya.
Golongan kedua adalah mereka yang percaya bahwa UUPA sebagai induk dari UU keagrariaan adalah produk hukum yang memuat jaminan-jaminan hak-hak masyarakat, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksanaannnya yang menyimpangkan UUPA tersebut. UUPA adalah hukum yang berkarakter responsive yang diproduksi di masa orde lama, namun ia dilingkupi oleh berbagai UU dan peraturan pelaksanaan yang diproduksi Orde Baru yang pada umumnya berkarakter represif. Dalam rumusan lain, dinyatakan bahwa UUPA bersifat populis namun dikelilingi oleh UU Keagrariaan dan peraturan pelaksanaan lainnya yang kapitalistik. Golongan ini mempersepsi sengketa agraria struktural disebabkan oleh orientasi pembangunan rejim Orde Baru yang mendahulukan pertumbuhan modal industri dan proyek-proyek pemerintah dari pada kepentingan penguasaan agraria rakyat banyak. Hukum agraria yang diproduksi adalah subsistem dari pertumbuhan ekonomi, sehingga orientasinya adalah memberi dukungan legalitas pada pemodal besar maupun proyek pemerintah.
Adalah golongan ketiga yang mendudukkan Hukum Agraria Nasional, termasuk UUPA, sebagai produk hukum yang perlu dikritisi.[3] Diargumentasikan bahwa tidak dipungkiri adanya gejala penyimpangan penggunaan wewenang dari pejabat sehubungan dengan maraknya sengketa agraria – sebagaimana disinyalir oleh golongan pertama. Juga tidak dipungkiri pula adanya sejumlah peraturan yang menyimpang dari UUPA. Namun, UUPA dipersepsi pula sebagai pemberi andil yang berarti bagi terciptanya sengketa agraria yang marak lebih dalam lima belas tahun belakangan.
Pada intinya, golongan ketiga ini, di mana MPR merupakan slaah satu eksponen utamanya, menyadari bahwa UUPA 1960 adalah suatu produk perundang-undagan yang dimaksudkan untuk membawa rakyat ke arah keadilan dan kemakmuan, namun demikian mendudukkan kepentingan rakyat di bawah kepentingan Negara yang mengatasnamakan kepentingan Nasional. Dalam penataan ulang penguasaan, peruntukan, pemeliharaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria, posisi Negara menurut Hukum Agraria nasional, termasuk menurut UUPA, apakah sangat dominan, sehingga dalam praktek telah terbukti menghancurkan partisipasi masyarakat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria itu, serta pula kemudian turut menikmati hasilnya.
Golongan ini menganggap sudah waktunya Hukum Agraria nasional dirombak, termasuk UUPA 1960. Sekalipun ide dasarnya harus tetap dianut, bahwa penguasaan, peruntukan, pemeliharaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria harus untuk keadilan dan kemakmuran rakyat, namun dalam berbagai undang-undang keagrariaan yang baru haruslah menganut falsafah baru, yakni falsafah kedaulatan rakyat atau kerakyatan (populis) yang berhadap-hadapan dengan falsafah kedaulatan Negara.[4] Dengan mengacu pada falsafah ini, perombakan Hukum Agraria Nasional harus mengedepankan fungsi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya sebagai sumber-sumber yang meningkatkan keberdayaan rakyat untuk melepaskan diri dari ketergantungan atau eksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi bersar. Sedangkan hukum agraria harus ditegaskan fungsinya sebagai pembebas rakyat dari kedudukannya yang marjinal, sekaligus memberikan dua hal pokok, yakni (i) dasar legalitas dan legitimitas pada rakyat untuk menguasai sumber-sumber agraria, dan sekaligus berpartisipasi dalam penatagunaan, pemeliharaan dan peruntukannya; dan (ii) juga memberikan dasar legalitas dan legitimitas bagi masyarakat-masyarakat hukum Adat untuk menentukan sendiri pengelolaan lingkungan hidupnya, termasuk sumber-sumber agraria yang terdapat dalam lingkungan itu.
Gagasan golongan ketiga ini didasari oleh suatu keharusan pengakuan dan pengkormatan Negara atas hak-hak Adat yang timbul dari hubungannya yang tak dapat dipisahkan (non-alienable) dengan tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Pengakuan dan penghormatan ini hanya bisa terwujud apabila terdapat kesediaan para Pemegang Kekuasaan Negara, termasuk Pembuat Undang-undang, untuk mengakui eksistensi (keberadaan) masyarakat Adat yang otonom, termasuk eksistensi hukum-hukum Adat yang telah bertumbuh-kembang jauh sebelum Negara-Bangsa berdiri dan bahkan tetap hidup ketika hukum Nasional diberlakukan. Hal yang disebut terakhir inilah yang dikenal dengan istilah pluralism hukum (legal pluralism), yakni situasi di mana dua tau lebih (sistem) hukum saling berinteraksi. Issue pluralisme Hukum ini pada umumnya berkembang sebagai counter terhadap sentralisme hukum, (legal centralism), hal mana terjadi di negeri-negeri colonial dan pasca-kolonial. Paham sentralisme hukum sebagaimana terkandung dalam Hukum Negara (state law) sesungguhnya berhadapan dengan hukum-hukum Adat (customary laws) yang telah tumbuh berurat berakar sejalan dengan pertumbuhan komunitas-komunitas pra-negara. Keberadaan atau kemajemukan hukum-hukum Adat yang secara defacto hidup dalam masyarakat telah dimarjinalisasikan dan didominasi oleh hukum Negara. Sesungguhnya, problem ini telah menjadi ciri hukum Indonesia pasca kolonial, tentunya termasuk Hukum Agraria Nasional, di mana selalu diwarnai oleh kompetisi ide yang tidak terselesaikan antara hukum-hukum Adat dengan hukum Barat.
Dalam konteks sebagaimana diuraikan di atas, kehadiran buku ini tentunya semakin disadari relevansinya, terutama bagi mereka yang telah dan akan bergabung dalam aktivitas pemulihan, pengakuan, pemberdayaan dan penghormatan hak-hak Adat. MRR secara orisinil berhasil menunjukkan “Sesat Pikir” Politik Hukum Agraria dan membongkar asumsi-asumsi penguasaan Negara terhadap hak-hak Adat, dengan cara mengemukakan kesaksian-kesaksian, membongkar asumsi-asumsi penguasaan Negara atas hak-hak Adat, mengemukakan agenda pemulihan hak-hak Adat dan pluralism hukum, dan lebih jauh dari itu, mengundang adanya suatu gerakan sosial menuju terwujudnya budaya hukum yang kritis dan Politik Hukum Agraria yang lebih berkeadilan.
[1] Dalam konferensi INFID ke-10 Canberra – Australia tahun 1996, dengan tema “Land and Development: masalah sengketa pertanahan, termasuk yang menyangkut sengketa tanah Adat, memperoleh tempat dalam makalah-makalah maupun pernyataan resmi Konferensi tersebut. Selanjutnya lihat Noer Fauzi (Ed.), Tanah dan Pembangunan, Jakarta: Sinar harapan, 1997. Dalam kurun waktu setelah konferensi INFID tersebut, setidaknya terbit tiga buku yang memuat laporan mengenai pengambilan tanah masyarakat Adat, yang dibuat oleh yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), yakni buku A. Made Tony Supriatna (Ed.), 1996: Tahun Kekerasan Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, Jakarta: YLBHI, 1997, Dianto Bachriadi, et. Al (Eds), Reformasi Agraria: Sengketa, Politik dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: KPA bekerja sama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LP-FEUI), 1997, dan maria Rita Ruwiastuti, et.al., Penghancuran Hak Masyarakat Adat atas Tanah: Sistem Penguasaan Tanah masyarakat Adat dan hukum Agraria, Bandung: KPA bekerjasama dengan INPI-PACT, 1997.
[2] Gagasan mengenai ketiga golongan ini pernah penulis sampaikan pada “Pluralisme Hukum: Agenda Hukum Agraria Nasional di Abad 21”, makalah pada Seminar Hasil Studi hak –hak Tradisional atas Tanah di Indonesia, Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat Unika Atmajaya – Jakarta, bekerjasama dengan Puslitbang Badan Pertanahan Nasional, Selasa 1 Desember 1998; dan “Sendi-sendi Pembaruan Hukum Agraria”, Makalah pada Forum Dialog Tinjauan Kritis terhadap UUPA, yang diselenggarakan oleh Tim Pelaksana KEPPRES No. 48/1999, di Hotel Indonesia, Jakarta 31 Agustus – 1 September 1999
[3] Kritik awal terhadap UUPA dimuat dalam Beni K. Harmanet al., Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah, Jakarta: YLBHI, 1995, khususnya bagian Kata Pengantar yang ditulis oleh Benny K. Harman dan Noer Fauzi.
[4] Lihat Usulan revisi Undang-undang Pokok Agraria Menuju Penegakan Hak-hak Rakyat atas Sumber-sumber Agraria, Jakarta: Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998.
No comments:
Post a Comment