Mengelola Indonesia, Usulan untuk Menata Kembali Protokol-protokol Kunci Negara tentang Pemulihan Kawasan Hidup Komunitas

 

Teks berikut adalah simpul-simpul pikiran pengelolaan perubahan (management of change) berdasarkan pertimbangan utama tentang penguasaan kawasan yang menjadi ruang hidup komunitas-komunitas di kepulauan Indonesia serta tentang bagaimana tanah dan kekayaan alam hendaknya digunakan. Permintaan menuliskan masalah tersebut secara sederhana dan padat datang dari Gus Dur, disampaikannya pada pertemuan pertama dengan Saudara Chalid Mohammad, Dani Wahyu Munggoro, Hendro Sangkoyo dan Noer Fauzi Rachman di Bina Graha pada tanggal 22 Desember 1999.

Naskah ini kemudian dimuat dalam  Chalid Muhamad, Dani Wahyu Munggoro, Hendro Sangkoyo dan Noer Fauzi Rachman. Seri Kajian Komuniti Forestri,  Bogor, Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN).  Seri ke-3/Tahun II/Februari 2000. Halaman 1-7. 


Pendahuluan

 

            Pada tahun 1928, pertumbuhan ekonomi Hindia Belanda yang surut mendadak setelah bertahan selama hampir delapan puluh tahun, telah meninggalkan kehidupan di tanah jajahan yang sama terbelakangnya dengan ketika Belanda baru memulai perluasan investasi besar-besaran di tengah abad ke sembilan belas. Tepat tujuh puluh tahun kemudian, ketika Jenderal Soeharto terjungkal dari ‘kursi-malas’ kekuasaannya di tahun 1998, para pengurus negara di bawah kepemimpinannya juga mewariskan sebuah kehidupan rakyat yang lebih buruk daripada keadaannya pada awal ritus pembangunan-lima-tahun pertama.  Bukan saja lebih miskin dan lebih tertindas, tetapi juga dengan menanggung-rèntèng hutang negara dan pribadi sebesar hampir lima belas juta rupiah per warga negara!

            Penjelasan resmi bahwa yang tengah berlangsung adalah “kombinasi dari adanya gejolak eksternal melalui dampak penularan pada pasar finansial dengan ekonomi nasional yang mengandung berbagai kelemahan struktural yaitu sistem perbankan dan sektor rielnya”, mengabaikan sama sekali kenyataan bahwa kegawatan di dalam negeri menyangkut bukan hanya hubungan produksi tetapi juga hubungan kekuasaan. 

            Dalam satu setengah tahun sejak 1998 sampai bulan Desember 1999 yang baru lalu, belum adanya kesempatan untuk perombakan sistematis terhadap ketentuan-ketentuan tentang penggunaan sumber daya alam turut berperan dalam peluasan tindakan kolektif rakyat merebut kembali tanah-tanah produktif, hasil panennya, atau menghentikan kegiatan ekstraktif di tanah-tanah yang alas hukumnya dalam sengketa.  Di beberapa titik gawat termasuk kawasan Aceh dan Maluku, konflik yang sumber utamanya adalah kuasa atas sumber-sumber alam mencuat sebagai tuntutan politik yang lebih keras terhadap pengurus negara, atau sebagai medan perang antarkelompok etnisitas dan agama.  

            Kegawatan sosial-politik di seluruh kepulauan bukan turunan dari krisis fiskal negara beserta macetnya sirkulasi modal, yang memuncak dalam tiga tahun terakhir, melainkan sebuah situasi yang terbentuk selama tiga puluh tahun lebih dan menyebabkan bencana pada kehidupan sehari-hari rakyat. Simpul pikiran pokok yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa hanya dengan pembaruan cara pengelolaan dan penggunaan sumber-sumber daya masyarakat lah, maka pembesaran modal akan punya arti sebagai syarat kemantapan sosial politik.  

            Tidak kalah pentingnya dengan agenda jangka pendek itu adalah inisiatif-inisiatif strategis untuk pemulihan kedaulatan rakyat atas ruang hidup dan sumber-sumber penghidupannya, untuk menjamin terciptanya dan terpeliharanya landasan sosial dari kestabilan politik, ekonomik, dan ekologik di seluruh kepulauan.

            Dokumen ini terdiri dari 4 (empat) bagian. Bagian pertama memuat pokok-pokok tafsir tandingan tentang situasi krisis dewasa ini dan mengurai keterbatasan usaha-usaha reformasi yang selama ini dilakukan; Bagian kedua, menunjukkan muara krisis tersebut pada hancurnya jaminan keberlangsungan kawasan hidup masyarakat lokal; Bagian ketiga berisikan strategi yang perlu ditempuh untuk memulihkan jaminan keberlangsungan kawasan hidup masyarakat lokal; dan Bagian keempat, yang merupakan akhir dari dokumen ini, menunjukkan agenda-agenda konkret yang bisa dijalankan.

            

I. Status Krisis Saat Ini

            Krisis utama saat ini adalah krisis legitimasi eksistensi Indonesia sebagai suatu negara  bangsa, yang dimulai dari bangkrutnya dominasi kekuasaan rezim Orde Baru di mana tiang-tiang penopang dan sendi-sendi yang menjadi tumpuannya telah runtuh dan tidak berfungsi lagi, sementara itu sistem pembagian kekuasaan yang baru belum lagi terwujud menata-ulang hubungan kekuasaan Negara dengan masyarakat terutama kawasan hidupnya beserta hubungan sosial antarmasyarakat itu sendiri.

            Krisis fiskal Negara dan bencana ekonomik bagi masyarakat, yang berlangsung secara dramatik terutama sejak kuartal kedua 1997 dan telah ikut menyeret keluar Jendral Soeharto dari kubangan kekuasaannya, memang telah membawa perubahan penting dalam urusan kenegaraan, yang memungkinkan sektor-sektor utama masyarakat sipil untuk sementara ini melepaskan diri dari operasi ekonomik, politik dan ideologik dari aparatus negara. Meskipun demikian, krisis yang sama ternyata juga telah memungkinkan berlangsungnya pemanfaatan agenda reformasi negara oleh badan-badan usaha raksasa yang kropos, seperti pemulihan penggunaan dana publik secara besar-besaran untuk kompensasi hutang pengusaha sektor pribadi (swasta) beribu kali lipat dari alokasi keuangan untuk kompensasi dan pemulihan kerusakan kawasan hidup masyarakat beserta kerusakan sosial selama rezim Soeharto. 

            Krisis yang berwatak sistemik dan menyeluruh ini telah mengakibatkan di satu pihak terbukanya ruang yang sangat luas bagi berbagai golongan elit maupun rakyat jelata untuk menunjukkan kekuasaannya melalui jalan yang pada pokoknya merupakan unjuk penolakan dan perlawanan yang meledak serta tidak memberi tempat lagi pada kehadiran praktik-praktik dominasi termaksud, tetapi sangat rentan untuk dimanipulasi dan dipecahbelah.

·      Penindasan kebebasan dan hak sipil dan politik dengan melakukan depolitisasi dan menerapkan politik kekerasan, massa mengambang, serta mempraktikkan penaklukan dan memecah belah kekuatan politik masyarakat tidak lagi dapat diterima rakyat. 

·      Penggunaan berbagai siasat politik bahasa seperti demi stabilitas, kebebasan yang bertanggungjawab, pembinaan politik, berbagai cap anti pembangunan, ekstrem kiri atau kanan, subversif, maupun propaganda demi pembangunan, tidak lagi mampu membuat rakyat patuh dan meredam sikap anti terhadap praktiek-praktik itu. 

·      Tidak diharapkan lagi hidup dan berkembangnya kekuasaan rezim yang merupakan persekutuan antara elit pemimpin negara, ABRI sebagai alat rezim kekuasaan dengan klaim stabilisator dan dinamisator, teknokrat dan teknolog sebagai perumus kebijakan ekonomi, birokrat sipil sebagai pelaksana kekuasaan, Lembaga Internasional Pemberi Hutang Pembangunan, dan konglomerat domestik sebagai mitra penguasa, serta lembaga Kepresidenan sebagai penentu utama. 

·      Telah digugat paham pembangunan yang berpokokkan pertumbuhan ekonomi sebesar-besarnya  yang lebih banyak dinikmati oleh mereka yang memiliki akses dan kontrol terhadap kekuasaan dan/atau modal, seperti para pejabat birokrasi sipil dan militer, pengusaha besar, dan golongan profesi. 

·      Tidak diperoleh lagi keabsahan dan pengakuan atas rezim yang lahir, bertumbuh dan hidupnya mendasarkan diri pada kekerasan dan pemilihan umum yang kotor. 

·      Politik pembangunan yang mengandalkan penanaman dan penumpukan modal skala raksasa pada sektor-sektor pokok ekonomi yang terutama dibiayai oleh hutang luar negeri telah gagal membangun modal dalam negeri sebagai jaminan dari keberlanjutan pembangunan. 

·      Politik sentralisme maupun sektoralisme hukum beserta kelembagaannya yang menghasilkan pengambilalihan hak rakyat dan konsentrasi penguasaan tanah dan sumber daya alam telah disadari mengurbankan kemakmuran kehidupan rakyat pedesaan terutama buruh tani, petani kecil, masyarakat adat, dan rakyat perkotaan yang miskin dan pada gilirannya mendudukkan pertanian sebagai sektor yang dikebelakangkan.

 

II. Robohnya Rumah Rakyat: Kawasan Hidup Masyarakat dan Proses Penghancurannya

 

            Dokumen ini hendak mengedepankan muara dari arus-arus utama yang melanda krisis dewasa ini, yakni porak-porandanya kawasan hidup masyarakat sebagai basis produksi sosial dan reproduksi kebudayaan. Pengingkaran identitas etnik, ras dan agama menciptakan hubungan yang gamang antara masyarakat dan sumber daya alamnya serta antarmasyarakat yang beragam.  

            Warisan yang tidak terselesaikan adalah konflik tanah dan sumber daya alam di kepulauan Indonesia yang diperkirakan telah mencapai 20.000 kasus yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya hutan alam, hutan tanaman industri, hutan jati, tanah, kawasan konservasi, perkebunan dan lain-lain. Konflik itu semua adalah konsekuensi dari model Pembangunan yang dominan dipraktikkan sepanjang Orde Baru yang bertumpu pada pengadaan tanah dan eksploitasi sumber daya alam skala besar, yang ditujukan menyediakan alas dan alasan bagi perwujudan proyek-proyek baik yang dijalankan oleh instansi dan perusahan milik pemerintah sendiri, maupun perusahaan  milik swasta.

            Konflik ini menyangkut tiga hal, (i) ketidakadilan akses dan kontrol berbagai kelompok sosial terhadap tanah dan  kekayaan alam; (ii) ketidakadilan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam tersebut, terutama perihal berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan di atas tanah; dan (iii) pemusatan pengambilan keputusan berkenaan dengan akses dan kontrol serta  pemanfaatan tanah dan kekayaan alam.

            Secara fenomenal, saat ini rasa ketidakadilan tersebut diekspresikan oleh berbagai tindakan protes perani, masyarakat adat, dan penduduk kota. Hal ini bukan hanya berupa ekspresi dari ketidakpuasan, melainkan eskalasinya sudah sampai pada bentuk yang meluluhlantakkan dasar-dasar legitimasi pembangunan itu sendiri. Di antaranya berupa pengambilan kembali tanah, penghancuran wujud fisik proyek-proyek, pengusiran pegawai-pegawai proyek, dll.

            Sekali lagi, agenda perluasan sirkulasi modal lewat fasilitasi aparatus Negara akan mendorong agenda perlawanan ekonomik dan politik dari sektor-sektor masyarakat yang terlibas langsung oleh perluasan tersebut. Hanya kali ini, penggunaan kekerasan sistematik terhadap warga-negara dan pelanggaran hak-hak azasi manusia serta artikulasi dan derajat konflik sosial antargolongan akan memperburuk krisis legitimasi kuasa Negara atas wilayah, yang pada saat ini tengah mencari resolusinya.

            Kesaksian di atas sama sekali bukan dimaksudkan untuk menunjukkan sikap anti-modal, melainkan suatu tuntutan pada Negara untuk mengelola investasi-sirkulasi-akumulasi modal yang di satu pihak tidak berkonsekuensi pada hancurnya kawasan hidup komunitas yang pada gilirannya memutus jalur transformasi ke-Indonesia-an dari komunitas-komunitas tersebut. Pada dasarnya, pengelolaan negara terhadap modal termaksud bersifat imperatif. Karakter modal yang tidak-berwarga negara ini telah membentuk jeratan global yang merupakan penerusan dari watak kolonialisme dulu. Pengelolaan negara terhadap modal tersebut juga diperlukan agar terhindar dari suatu kepentingan perusahaan trans-nasional maupun nasional untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan menghasilkan sampah-sampah dan kehancuran ekologi beserta dampaknya yang ditanggung oleh komunitas-komunitas yang hidup di seputar kawasan yang dieksploitasi tersebut. 

            Masalah pokoknya adalah baik negara (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) maupun badan-badan usaha memperlakukan pengambilalihan dan dampak ekologi yang ditimbulkan sebagai konsekuensi yang tidak perlu dipertanggungjawabkan (externalities). Tidak pelak lagi, akumulasi dari pengambilalihan kawasan hidup komutanitas oleh negara – dan  kemudian pemerintah pusat memberikan konsesi pemanfaatan pada badan usaha – telah  sampai pada kehancuran keberlanjutan komunitas-komunitas yang seharusnya menjadi warga Indonesia. 

            Ekspresi yang eksesif bisa terlihat pada artikulasi konflik sosial antargolongan seperti konflik sosial antaretnik berupa penjarahan pertokoan, pembunuhan dan pemerkosaan nonpribumi bulan Mei 1998 di Jakarta yang disusul di daerah-daerah, konflik sosial antarkelompok beragama berupa pembakaran gereja (peristiwa Ketapang, Jakarta) dan pembakaran masjid (Kupang, Nusatenggara Timur) dan menyebar ke Ambon (Januari 1999 hingga kini) dan Ujung Pandang (April 1999), konflik sosial antarsuku berupa perkelahian dengan pembunuhan antarsuku-agama (Sambas, Kalimantan Barat, Ambon, dan Halmahera). Konflik daerah-pusat  atau pemberontak-tentara pun muncul di Timor Leste, Aceh, Riau, Papua Barat, dan Sulawesi Selatan. Konflik sosial  ini ternyata menjadi semakin kompleks manakala berwujud sebagai  "konflik dwiminoritas", yaitu berhimpitnya konflik sosial suku dan agama (kasus Ambon) dan "konflik triminoritas"  antara konflik sosial ras, suku dan agama (insiden Jakarta Mei 1998). Sehingga masyarakat kita menderita dua proses disintegrasi sosial sekaligus yakni disintegrasi vertikal, seperti konflik kaya-miskin dan konflik daerah-pusat yang berhimpitan dengan disintegrasi horizontal mencakup konflik antar-suku, agama, ras dan golongan politik.

            Kegagalan manajemen perubahan para pengurus negara terletak pada proses perumusan protokol-protokol  (ketentuan-ketentuan) baru dan penggunaan protokol-protokol lama yang terlalu tunduk pada modal serta memberikan kuasa terlalu besar pada pemerintah sebagai pengemban ideal Negara Bangsa dalam mengambil wilayah hidup masyarakat dan  menguras kekayaan alamnya.  Negara terbukti secara sepihak dan ceroboh menggadaikan seluruh aset-aset negara kepada bualan pemuja pembangunan dan kaum pemodal. Memang, saat-saat krisis melanda sekarang ini, negara disandera oleh hutang-hutang luar negeri.  Rakyat jelata begitu saja dikorbankan baik pada saat membangun imperium warga pasar dunia dan saat terpuruk dihantam badai krisis moneter. Rezim lama jelas-jelas melakukan subversi pada amanat penderitaan rakyat dengan memproduksi kebijakan-kebijakan negara yang anti rakyat dan anti keseimbangan sistem ekologi alam.

            Ketentuan-ketentuan lama dirumuskan tidak melalui perdebatan publik yang menjangkau kampung atau komunitas sebagai salah satu pelaku utama perubahan yang selama ini dibungkam dan ditinggalkan dalam proses perumusan ketentuan tentang eksploitasi sumber-sumber alam. 

            Pada jangka waktu dua tahun terakhir, kepemimpinan Negara dan para manajer Negara paska rezim Soeharto pun tidak cukup melakukan intervensi fiskal, keuangan dan hukum untuk menjawab tuntutan rakyat akan penegakan keadilan serta kebutuhan pemulihan kerusakan kawasan hidup masyarakat beserta kerusakan sosial yang menyertainya

            Tema pemulihan ini pun luput dalam negosiasi-negosiasi perencanaan perolehan dana maupun alokasi penggunaan dana oleh kelembagaan negara. Pun dalam negosiasi-negosiasi dengan lembaga keuangan multilateral. 

            Keterlambatan mengagendakan kompensasi dan pemulihan ini ternyata telah ikut mendorong tindakan kolektif rakyat untuk merebut kembali apa-apa yang dalam kurun tiga puluh tahun terakhir dirampas darinya, di samping provokasi dan pengacauan terencana dan terorganisasi untuk memperluas bentrokan antar golongan dan mengganggu pemusatan perhatian rakyat pada persoalan yang lebih utama.

            Menjelang tahun fiskal 2000 kami mencatat ada masalah genting bagi kehidupan rakyat, yakni belum terbaca adanya perubahan pendekatan terhadap ketentuan-ketentuan pokok (key protocols) Negara tentang penguasaan dan manajemen tata guna tanah dan sumber daya alam serta investasi kapital dalam industri ekstraktif. Konsekuensi politik dari penerusan protokol lama dari rezim pembangunan ekonomik yang lampau ini amat jelas dan sederhana, yakni: rencana-rencana perluasan investasi pertambangan, perkayuan, perkebunan, dan perikanan, di samping menjanjikan perluasan basis pajak dan penghasilan Negara, sudah pasti berbenturan dengan tuntutan masyarakat untuk memulihkan kembali kedaulatannya atas ruang-hidup, basis-penghidupan, dan rencana perubahannya sendiri. 

 

 

III. Strategi Penataan Ulang: Mendudukkan Negara Pada Tempatnya, Memulihkan Apa Yang Menjadi Kuasa Masyarakat

            Sejak 1998 yang lalu, telah berlangsung perubahan penting pada beberapa bidang ketentuan negara, termasuk hubungan kekuasaan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah, melalui Undang-Undang nomor 22 dan nomor 25 tahun 1999, masing-masing tentang otonomi daerah dan tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pemerintahan baru yang dibentuk oleh Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum juga telah merintis beberapa inisiatif untuk membangun sebuah birokrasi negara yang mampu melayani rakyat dengan baik dan untuk mengurangi campur tangan negara yang berlebihan dalam kehidupan masyarakat. Usaha-usaha reorganisasi negara tadi dapat dipahami sebagai langkah awal mendudukkan Negara pada tempatnya, namun belum untuk memulihkan apa yang menjadi kuasa masyarakat.

            Proposal utama yang diajukan dokumen ini adalah mendudukkan negara pada tempatnya, yakni mengambil tanggung jawab (responsibilities) untuk memulihkan penguasaan kawasan hidup sekaligus pengelolaan tanah dan sumber daya alamnya kepada komunitas yang telah menempatinya sepanjang sejarahnya.  Masalahnya saat ini adalah masih banyak para pengelola negara lebih merasa sebagai warga Pasar dari pada warga negara Indonesia dan lebih parah lagi mempromosikan ke-warga-an Pasar tersebut dan tanpa sadar memutuskan jalur transformasi penduduk dari warga komunitas-komunitas pra-negara yang otonom menjadi warga negara Indonesia. Hal inilah yang sampai sekarang masih terus berlangsung, sehingga upaya memulihkan penguasaan kawasan hidup sekaligus pengelolaan tanah dan sumber daya alamnya kepada komunitas termaksud – dan  sekaligus memulihkan kewarga-Indonesiaan mereka – akan  berhadapan langsung dengan tindakan subversi dari para pengelola kuasa negara termaksud. 

            Orientasi dari proposal utama dokumen ini adalah mengundang pemimpin negara dan pengelola kuasa negara untuk mengambil dan mewujudkan tanggung jawab negara untuk (i) membentuk kelembagaan, personalia, program dan pendanaan bagi tindakan pemulihan; dan (ii) memfasilitasi daya kreasi rakyat yang akan menjamin keberlanjutan tindakan pemulihan dan bahkan pemajuan oleh rakyat itu sendiri.

            Tentunya perwujudan pemulihan tersebut harus merupakan bagian dari suatu gerakan yang mendudukkan organisasi komunitas sebagai motor utamanya. Gerakan itu didukung oleh mereka dari kalangan intelektual baik dari perguruan  tinggi maupun organisasi non-pemerintah, para politisi yang bekerja di kelembagaan negara maupun kelembagaan masyarakat, para jurnalis yang bekerja mempengaruhi pendapat publik, dan pada perencana dan penyedia sumber daya pembangunan baik dari dalam dan luar negeri.

            Gerakan ini akan memandang penguasaan tanah sebagai alas dari berbagai keragaman sumber daya alam lain yang memiliki karakteristik dan tipologi yang khas – yang mencakup kehutanan, pertambangan, perikanan, perkebunan, pertanian, pesisir, kelautan dan keanekaragaman hayati – yang  harus mendudukkan komunitas setempat sebagai pengelola sumber daya alam setempat berdasar latar kebudayaan dan sejarah yang berbeda-beda. Sistem pengelolaan sumber daya alam harus mengacu para prinsip-prinsip dan perspektif pengelolaan ekosistem, yang bilamana hendak diubah, harus ditopang dengan strategi pembiayaan pemulihan yang adil dan transparan serta didukung oleh  Infrastruktur informasi yang handal dan mampu menjadi proses aksi-refleksi dalam mengonsolidasikan berbagai pengetahuan dan praktik yang baru. Sistem pengelolaan sumber daya alam hendaknya mengacu pada pelaksanaan kedaulatan rakyat dengan memegang teguh pengetahuan dan kearifan lokal dan nilai-nilai keadilan, melalui proses-proses desentralisasi, devolusi dan pluralisme otonomi komunitas. Pengembangan sumber daya manusia, organisasi dan pengenalan serta penggunaan teknologi tepat guna dan murah harus diarahkan untuk mendukung dan menjalankan inisiatif-inisiatif baru dalam pengelolaan sumber daya alam.

            Koreksi mendasar terhadap hukum tanah dan yang berhubungan dengan sumber daya alam yang lama dan produksi hukum-hukum baru yang responsif harus dilakukan melalui pembuatan hukum yang didasari prinsip partisipatif dan transparan, di mana konsultasi yang sungguh-sungguh dilakukan melalui saluran yang tepat agar ada suatu pemulihan kewarganegaraan melalui keterlibatan ikut menentukan pembuatan hukum, sekaligus jalan meningkatkan budaya hukum yang berpokokkan sikap kritis terhadap instrumen-instrumen negara. Penghargaan setinggi-tingginya atas kebudayaan yang beragam harus memperoleh tempat melalui penggunaan asas pluralisme hukum. Kekayaan kebudayaan yang dijalani sepanjang sejarahnya telah mengembangkan pola-pola khas sehingga penyeragaman sistem penguasaan dan pengelolaan tanah, hutan, air, pesisir dan laut harus dihentikan. 

            Selanjutnya, intervensi terhadap sistem penguasaan dan pengelolaan itu harus disesuaikan dengan realitas keberadaan masyarakat adat dan masyarakat antar komunitas yang secara turun-temurun sudah menguasai, memiliki dan mengelola kawasan itu, seperti penyerahan kembali kawasan-kawasan hutan untuk masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya yang berhak.

 

IV. Rumus Utama: Membesarkan Wilayah Kelola Rakyat

            Ada kekeliruan pokok dari manajemen perubahan selama ini, yakni tidak memisahkan antara wilayah kelola rakyat dengan ruang permainan negara dan bisnis. Walhasil, terjadi penghancuran dari wilayah kelola rakyat, di mana rakyat lokal tidak memiliki ruang belajar yang memadai. Kebiasaan lama yang selalu meminta petunjuk pusat atau atasan dalam melangkah harus sudah dilemparkan ke liang lahat. Di setiap masyarakat selalu ada nafas kehidupan yang dikembangkan melalui berbagai coba dan salah untuk menjalankan makhluk masyarakat dengan berbagai sistem-sistem yang bekerja di dalamnya. Manakala sistem yang lokal adaptif tadi diintervensi dengan sistem dari luar, maka yang terjadi adalah sebuah kelumpuhan keseluruhan sistem. Pengalaman 30 tahun terakhir ini menjadi bukti yang amat jelas. Sifat top down, memaksa, dan mengabaikan realitas sosial budaya lokal mengakibatkan membusuknya sistem-sistem pengetahuan dan kecakapan lokal. Masyarakat tercabut dari akar sosial, budaya, ekonomi dan politik lokal dan berubah menjadi budak-budak dari sistem eksternal yang dipaksakan (ini merupakan salah satu logika globalisasi: menghancurkan sistem-sistem lokal dan menggantikannya dengan sistem global sehingga mempermudah ekspansi pasar dan penghisapan sumber daya lokal).  Otoritas lokal telah dirampas. Tanggung jawab lokal pada akhirnya juga hilang.  Kapasitas lokal juga dikikis habis dan digantikan dengan pendekatan-pendekatan paternalistik dan perintah. Jadi tidaklah mengherankan kalau sampai detik ini wajah lokal Indonesia masih terlihat babak belur. Di sana sini terjadi perkelahian sengit baik antarwarga atau warga dengan pemerintah. Hal itu terjadi karena kebijakan negara tidak dibangun atas dasar sosial budaya yang nyata. Di samping itu banyak dari kebijakan-kebijakan yang dibuat sebetulnya bukan ditujukan untuk mencapai cita-cita kemerdekaan yang sesungguhnya, melainkan sekadar melanggengkan posisi pemegang kekuasaan semata.

            Masyarakat lokal harus diberi otoritas sendiri yang memungkinkan mereka mendiskusikan di atas meja dan di ruang-ruang belajar tentang sumber daya yang dimiliki untuk membangun masa depan yang dicita-citakan bersama. Dengan otoritas yang diembannya masyarakat sendirilah yang niscaya mempunyai tanggung jawab atas segala tindakan-tindakan yang dilakukan.  Untuk mendorong keberhasilan itu semua kapasitas lokal perlu ditumbuhkan, baik melalui pemberdayaan ekonomi yang berbasis sumberdaya lokal, penyelenggaraan pendidikan rakyat yang sesuai dengan kehidupan lokal dan membangun kerja sama antarmasyarakat. 

            Beragam inisiatif masyarakat lokal dewasa ini yang berupaya sungguh-sungguh memulihkan kawasan hidup komunitas pemegang kuasa dan kelola sumber daya alam telah diwujudkan oleh berbagai komponen masyarakat, di antaranya seperti pengelolaan hutan kerakyatan, pembaruan agraria dengan inisiatif rakyat, pengelolaan kawasan perairan oleh rakyat, konservasi alam bertumpu pada komunitas, penataan kawasan adat, pengelolaan tambang rakyat, pertanian lestari dan ekoturisme selayaknya dipertimbangkan menjadi pilihan utama dari perwujudan strategi pemulihan yang menjadi ide pokok dokumen ini.

            Dengan dasar pembesaran wilayah kelola rakyat ini, mau tidak mau akan terjadi koeksistensi dengan wilayah permainan badan usaha milik negara maupun bisnis. Untuk wilayah-wilayah yang saat ini dilekati oleh konflik klaim, harus ada mekanisme penyelesaiannya melalui delineasi yang mantap.

Sekian.

 

Jakarta, 22 Desember 1999