Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria (Bagian 6 dari 6)


Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria

Penulis: R. Yando Zakaria, Danie Munggoro, Muslich Ismail, Noer Fauzi Rachman, Abdon Nababan, Hendro Sangkoyo, Dadang Juliantara.

Penerbit: Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001; Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. viii + 187 pg; 17 cm ISBN 979-95482-3-3 

 

 

VI. Membongkar Bangunan Lama untuk Memasang Fondasi Baru, Dari Atas atau Dari Bawah?  


Jika oposisi politik terhadap reformasi terlalu kuat, pengorbanan manusia dalam proses transformasi akan sangat besar. Namun, pengorbanan itu harus ditimbang dengan korban manusiawi

apakah yang harus diberikan andaikata status quo dipertahankan, yang ditandai dengan berlangsungnya penindasan kronis terhadap lapisan bawah. ....

Penguasaan tanah yang sangat tidak adil bukannya menimbulkan stabilitas. Statistik internasional menunjukkan bahwa tingkat kekerasan dan ketakstabilan politik cenderung terjadi paling tinggi di negara-negara yang pola pemilikan tanahnya sangat tidak adil.

Dengan demikian, dari waktu ke waktu,

ketidakadilan dapat menimbulkan jatuhnya korban manusia jauh lebih besar daripada korban yang jatuh dalam usaha mewujudkan landreform yang berhasil.   

(Eric Eckholm, 1983)1 

                                                                                                                       

 

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pola hubungan antara pusat dan daerah yang timpang, telah memungkinkan terjadinya krisis kehidupan rakyat, yang terdiri dari (i) krisis keadilan, berupa ancaman keselamatan rakyat dan menajamnya kaya-miskin, seperti dimulai oleh proses negaranisasi tanah dan sumber daya alam milik rakyat, dan kemudian pemerintah pusat dengan mudahnya menerbitkan hak-hak baru di atasnya untuk pihak badan usaha raksasa; (ii) krisis layanan alam, berupa kerusakan lingkungan, dan menurunnya kapasitas lingkungan, sebagai akibat dari praktek eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam bersar-besaran; (iii) krisis produk-tivitas, berupa kemandekan kemampuan rakyat untuk memanfaatkan tanah dan sumber daya alam setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya.

Ketiga krisis inilah yang nyata-nyata dialami oleh rakyat. Perubahan kebijakan dan pelaksanaan otonomi daerah saat ini memungkinkan para pemrakarsa Pembaruan Agraria memenuhi syarat-syarat untuk mewujudkan Pembaruan Agraria yang telah dijabarkan dalam bagian sebelum ini. Terbuka pintu yang lebar, meskipun tetap harus disadari kesulitan memasuki pintu ini. Ketegangan antara pusat dengan daerah telah ditandai oleh menurun kemampuan pusat untuk melakukan kontrol terhadap daerah, yang berarti kesempatan bagi daerah untuk menata atau membentuk suatu pemerintahan yang benar-benar dekat dan bisa melayani masyarakat secara lebih baik.

Selain itu, pemerintahan daerah juga sedang menghadapi berbagai mesin globalisasi – dalam mana kekuatan global menghendaki berjalannya proses yang sejalan dengan kepentingan kapitalisme global dan kaki tangannya di arena nasional dan daerah. Kekuasaan kapitalisme global ini mengembangkan pula program memperlemah kekuasaan negara melindungi rakyat miskin di satu pihak, dan di pihak lain menciptakan kondisi yang bisa memfasilitasi berkembangnya investasi dan perdagangan barang (termasuk juga tenaga kerja) dan jasa.

Dengan demikian, otonomi daerah, dimana kewenangan pemerintahan, administrasi dan anggaran diserahkan ke tingkat kabupaten, pada gilirannya akan menempatkan daerah sebagai arena pertarungan kepentingan. Maka, pintu yang terbuka harus dengan segera dimasuki, dan dari sana dibangun langkah-langkah strategis, sehingga perubahan pada masa kini bisa memberi makna besar bagi gerak pembaruan yang lebih substansial.

Pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif – dalam mana DPRD mendapatkan momentum untuk ambil peran lebih produktif, bukan saja dalam melakukan kontrol pada eksekutif, melainkan untuk lebih bisa menampung apa yang dikehendaki dan apa yang menjadi kebutuhan dan tuntutan dasar rakyat. Di pihak rakyat sendiri, terdapat peluang untuk mengorganisasi diri, dan mengupayakan kristalisasi aspirasi, yang kemudian disampaikan pada parlemen, agar bisa dijadikan bahan untuk mengajukan kebijakan-kebijakan baru.

Apa yang perlu diupayakan tidak lain dari:

Pertamapembaruan watak dan kinerja dari parlemen, yakni meninggalkan watak kerja yang hanya menempatkan parlemen sekedar sebagai “juru stempel” pemerintah dan melupakan kepentingan rakyat. Pemberdayaan parlemen, sebagai akibat dari perubahan format politik, tentu saja tidak dimaksudkan untuk “hanya memberdayakan” parlemen, tanpa kejelasan tugas dan tanggung jawabnya. Parlemen yang kuat, namun bila tidak memiliki ikatan yang jelas dengan para pemilihnya, maka hal tersebut akan tidak banyak artinya. Malahan, parlemen yang kuat hanya akan menjadi ajang “konspirasi” dan “politik dagang sapi”,  yakni alat untuk memberikan tekanan pada eksekutif bagi kepentingan partai atau kepentingan golongan. Penguatan posisi parlemen yang tidak diikuti oleh perubahan dalam sistem kepartaian dan pendidikan politik rakyat, tidak akan banyak artinya. Parlemen diharapkan bisa “memaksa” eksekutif untuk bekerja sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat.

Sistem pemilihan umum seperti sekarang ini pasti akan berubah. Sekarang ini, rakyat dimobilisir untuk memilih lambang-lambang partai-partai peserta pemilu, sementara itu partailah yang menentukan calon-calon anggota parlemennya, baik untuk parlemen daerah maupun pusat. Arah perubahan sistem pemilu ini menuju pemilu distrik, dimana rakyat bebas akan memilih anggota parlemennya langsung. Dengan demikian, anggota parlemen yang terpilih akan memliki kedekatan dengan rakyat pemilihnya. Pada masa-masa yang akan datang, pembaruan watak kerja parlemen ini dimungkinkan oleh adanya pemilu sistem distrik ini.

Bagaimana pembaruan parlemen dimungkinkan? Dalam hal ini ditempuh dengan Pendekatan Pengembangan Kapasitas dan/atau Pendekatan Kontrol. Pengembangan Kapasitas ini dilakukan dapat banyak cara, antara lain (i) menyelenggarakan kerjasama untuk memungkinkan anggota parlemen daerah untuk mengkaji dengan seksama masalah yang dihadapi dan kapasitas yang dimiliki. Dari proses ini diharapkan muncul semacam kesadaran untuk meningkatkan kapasitas, dan sekaligus pemahaman mengenai kecakapan-kecakapan yang perlu di-tingkatkan. Hal yang sejak awal perlu disadari bahwa apa yang sangat perlu untuk ditingkatkan adalah kecakapan dalam menyerap, menanggapi dan menyalurkan aspirasi rakyat; dan (ii) meningkatkan akses rakyat pada parlemen daerah, sehingga anggota parlemen dan proses kerja parlemen tanggap terhadap perubahan-perubahan ekspresi aspirasi rakyatnya. Kedekatan rakyat dengan parlemen daerah akan meningkatkan kepahaman anggota parlemen daerah dengan masalah-masalah rakyat dan akan membuat anggota parlemen lebih perhatian dan teguh untuk terus-menerus membantu penyelesaian problem-problem rakyat. 

Sedangkan kontrol terhadap kinerja parlemen daerah dimaksudkan untuk: (1) senantiasa mengingatkan anggota parlemen atas tugas dan amanat yang dipikulnya; dan (2) memberikan dasar legitimasi (terus-menerus), sehingga parlemen daerah tidak lagi dalam keraguan untuk memberikan kontrol terhadap parlemen. Pada sisi yang lain, kontrol diperlukan, untuk memastikan agar anggota parlemen tidak terjebak dalam semangat yang sempit, yang hanya memperhatikan kepentingan pribadi maupun golongannya. Parlemen yang terkontrol adalah parlemen yang bekerja sesuai dengan aspirasi rakyat. Jika hal ini berlangsung, maka sesungguhnya peran dari lembaga-lembaga ekstra parlemen menjadi lebih sedikit, atau bahkan dapat dialihkan pada agenda lain. Parlemen baru adalah parlemen yang berakar ke bawah, dan bukan berakar ke atas (pusat, elit) atau ke samping (partai).

Keduapembaruan relasi eksekutif dan legislatif, dari pola hubungan atas – bawah menjadi pola hubungan mitra (namun bukan dalam arti kolusi, melainkan hubungan yang setara dan kerja sama kritis (critical collaboration); dan pembaruan hubungan rakyat dan pemerintahan, yang yang memungkinkan partisipasi rakyat terutama dalam pembentukan kebijakan publik. Kesaksian dari sejumlah tempat menunjukkan bahwa masih sangat banyak sisa-sisa watak lama pada anggota parlemen daerah, yakni sikap “minder” dari anggota parlemen daerah di hadapan Bupati. Dalam kasus ini, parlemen daerah masih menempatkan diri berada di bawah eksekutif. Sebaliknya di pihak eksekutif masih menempatkan diri sebagai penguasa utama, sehingga (masih) berkecenderungan membatasi ruang gerak dari parlemen, seperti mensyaratkan ijin, laporan, dan lain-lain. Pembaruan pola hubungan ini sangat dibutuhkan, dan untuk mencapai maksud ini, pemahaman mengenai format politik yang sudah berubah sangat diperlukan. 

Hal pokok yang harus terlebih dulu diatur dalam kebijakan pemerintahan daerah adalah tata penguasaan dan penggunaan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Kekeliruan pokok selama ini adalah tidak memisahkan antara wilayah kelola rakyat dengan ruang permainan negara dan bisnis. Walhasil, terjadi peng-hancuran dari wilayah kelola rakyat, di mana rakyat lokal tidak memiliki ruang belajar yang memadai. Adapun untuk wilayah kelola yang dilekati konflik kalin antara negara, bisnis dan rakyat harus ada mekanisme penyelesaiannya melalui delineasi/demarkasi yang mantap. Pemerintahan daerah ditantang untuk bersiasat menghadapi kenyataan hukum bahwa (Peraturan Pemerintah No. 25 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Bab IV Pasal 8):

Perizinan dan perjanjian kerja sama Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan kewenangan Pemerintah sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan dan perjanjian kerja sama. 

Ketigapenguatan basis organisasi rakyat. Diagendakannya otonomi asli menjadi pembuka kesempatan dalam penguatan kelembagaan lokal (termasuk masyarakat adat). Hal ini akan mengubah susunan pemerintahan lokal (desa atau yang diberi nama lain), yang sesuai dengan konteks sejarah, kebudayaan dan kapasitas yang dimiliki. Desa atau nama lain, pada dasarnya dapat menjadi lembaga yang memotori gerak pembaruan yang mendasar. 

Khusus untuk yang disebut sebagai Lembaga Adat harus disadari bahwa ia tidak selalu atau tidak otomatis bermakna sebagai lembaga yang demokratis dan emansipatoris (membebaskan). Pada kelembagaan adat yang merupakan bagian dari mesin feodalisme, bagaimana pun harus disadari pengaruhnya dalam penciptaan masalah rakyat. Oleh sebab itu, yang segera menjadi masalah adalah bagaimana menggunakan pintu pemberian otoritas lokal ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan emansipasi rakyat. 

Biar bagaimana pun lokal, selain memiliki lokalitas, kelembagaan desa atau yang disebut dengan nama lain juga bertemu dengan kelembagaan “negara”. Oleh sebab itu, diperlukan suatu sintesa agar kepentingan lokal bisa dipertemukan dengan kepentingan luar. Ujung dari penguatan lembaga lokal, adalah bagaimana agar rakyat bisa mengubah kehidupan mereka, agar mencapai sebuah taraf kehidupan baru yang lebih baik dan lebih bermartabat.

Pembaruan agraria dengan memakai pintu otonomi daerah, tentu saja tidak perlu terfokus dan terlena pada masalah lokalitas, melainkan perlu suatu pemikiran yang lebih menyeluruh, agar bisa diperoleh kejelasan, bahwa pada gilirannya dibutuhkan langkah-langkah yang bersifat nasional. Letak masalah bukan saja berkait dengan kapasitas lokal yang berbeda-beda, melainkan pada kebutuhan untuk membangun tatanan baru dalam kerangka nasional. Atau dengan kata lain, dibutuhkan pergerakan dari lokal ke nasional.

Hampir semua Pembaruan Agraria yang di-lakukan atas dasar kedermawanan pemerintahan di berbagai negara menemui masalah keberlanjutan, sehingga begitu minat dan kepentingan pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh Pembaruan Agraria.2 Memang diakui, ada suatu pemerintahan yang dengan tulus dan jujur melakukan Pembaruan Agraria demi rakyat banyak. Namun, begitu pemerintahan tersebut berganti, elit penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan. Oleh sebab itulah pikiran Pembaruan Agraria dengan melalui jalan bawah (jalan berbasis rakyat) menjadi pilihan.

Hal ini pertama-tama bukan berangkat dari watak curiga atau ketidakpercayaan pada pemerintah, melainkan berbasis pengalaman (historis), dimana pemerintah sangat cepat mengalami perubahan sikap, sejalan dengan transisi yang bergulir. Pembaruan agraria berbasis prakarsa rakyat, adalah gagasan yang di dalamnya memuat prinsip mengenai pemberdayaan. Dengan demikian, konsepsi ini sesungguhnya mensyaratkan terjadinya demokratisasi, yang membuka jalan bagi emansipasi rakyat, sehingga mereka bisa mengaktualisasikan kepentingannya.

Suatu pembaruan berbasis prakarsa rakyat merupakan strategi yang dimunculkan, sebagai jawaban atas kecenderungan ketidakpastian dan kemungkinan pengkhianatan dari strategi yang tidak melibatkan massa rakyat. Masalah akan segera timbul: bagaimana mengupayakan agar massa rakyat bisa menjadi kekuatan riil, sehingga bisa membuka jalan, menjalankan proses, dan mengawal proses sampai pada tujuan akhirnya. Pengalaman massa rakyat di bahwa Orde Baru menunjuk dengan sangat jelas bagaimana rakyat dijauhkan dari politik – sehingga massa hanya sekumpulan manusia yang tidak memiliki kekuatan politik. Rakyat malahan hanya jadi alat permainan politik, menjadi senjata dari segolongan elit. Menunggu massa mengalami proses transformasi secara penuh, tentu saja membutuhkan “biaya” yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan suatu upaya yang tidak meninggalkan rakyat, tetapi juga bisa menggunakan momentum yang ada, untuk bisa mempercepat dan bisa merangsang proses, sehingga gerak Pembaruan Agraria bisa diwujudkan. Dalam konteks inilah, strategi tiga kaki yang telah diuraigambarkan di atas, dipilih untuk dijadikan pedoman.

Arah perubahan dari proses pemberdayaan ini adalah terwujudnya masyarakat  baru dengan prinsip demokrasi, dimana rakyat mempunyai kekuatan untuk memperjuangkan kepentingannya; lelaki dan perempuan berbagi peran dan kekuasaan secara adil dan setara. Jika proses bisa dijalankan dengan mulus dan seksama, maka dapat diharapkan bahwa yang akan terjadi adalah suatu tatanan dimana partisipasi rakyat menjadi bagian inti dari proses kenegaraan. Namun hal yang tidak terelakkan bahwa disamping adanya kebutuhan real untuk memungkinkan transformasi kesadaran massa rakyat, juga dibutuhkan suatu usaha “kongkrit” untuk memungkinkan adanya perbaikan-perbaikan nyata dalam kehidupan rakyat, khususnya mereka yang menjadi korban dari perampasan tanah dan sumber daya alam, seperti rakyat korban penggusuran, atau masyarakat adat yang tanah dan sumber daya alamnya telah dinegarakan dan kemudian pemerintah pusat memberinya pada badan usaha skala raksasa sehingga mereka telah kehilangan syarat keberlanjutan hidup mereka sendiri. 

Dalam konteks itulah, Pembaruan Agraria Jalan Tengah diusulkan. Pembaruan Agraria Jalan Tengah tentu bukan pengganti Pembaruan Agraria Jalan Bawah. Bukan pula bentuk kompromi atau oportunisme, yang mengingkari arti Pembaruan Agraria Jalan Bawah. Pembaruan Agraria Jalan Tengah adalah periode antara yang hendak dilalui sebagai pendahulu dari Pembaruan Agraria Jalan Bawah. 

Mengapa dibutuhkan pendahuluan? Sebab, Pembaruan Agraria yang berhasil membutuhkan proses yang partisipatif. Yakni sebuah proses pembaruan yang didukung oleh dua pihak sekaligus, yakni dukungan dari pemerintahan (pemerintah dan parlemen) dan dukungan rakyat, khususnya rakyat yang paling berkepentingan. Dukungan dari pemerintahan berupa kebijakan-kebijakan penyokong proses Pembaruan Agraria akan bermakna bila adanya konsistensi menjalankan kebijakan-kebijakan itu sendiri. Dukungan rakyat dibutuhkan untuk memastikan bahwa peme-rintah berjalan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh rakyat.

Suatu hubungan dialektik antara pemerintahan yang berpihak pada rakyat dengan rakyat yang memiliki kesadaran akan pentingnya partisipasi menjadi syarat mutlak bagi sebuah Pembaruan Agraria yang konsisten dan maju. Jadi, Pembaruan Agraria Jalan Tengah dengan demikian merupakan sebuah proses yang berdimensi ganda: (i) perubahan pemerintahan, dari fungsi lama yang merupakan alat dari penguasa yang anti rakyat, kembali ke fungsi asal, sebagai badan kekuasaan milik rakyat, yang karenanya wajib mengabdikan diri pada rakyat; dan (ii) membuka jalan bagi proses-proses pendidikan politik yang menemukan pengetahuan-pengetahuan baru melalui pengalaman nyata berpartisipasi dalam perubahan sebagai akibat dari keterbukaan yang dimungkinkan oleh pemerintahan bervisi baru.

Momentum desentralisasi menjadi pintu bagi keperluan pembaruan pemerintahan, dan pada sisi yang lain mempersiapkan rakyat untuk bisa ambil bagian secara produktif. Dengan demikian dalam proses ini terjadi saling dorong, pada satu sisi momentum memberi desakan pembaruan pemerintahan, dan di sisi lain pembaruan pemerintahan membuka ruang partisipasi. Partisipasi yang meningkat akan mendorong pembaruan yang lebih luas pada pemerintahan, sehingga pada gilirannya Pembaruan Agraria ditopang oleh badan penyelenggara yang bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, bahwa Pembaruan Agraria Jalan Tengah, mengedepankan pentingnya pembaruan pemerintahan, sebagai salah satu sendi untuk mempercepat dan menjadikan Pembaruan Agraria lebih berkelanjutan. Suatu Pembaruan Agraria berkelanjutan merupakan proses yang tidak berhenti pada fase land reform (redistribusi penguasaan tanah) belaka, melainkan perlu upaya yang lebih menyeluruh, yakni pengaturan pemanfaatan, terutama penyediaan dan perlindungan atas infrastruktur untuk kebutuhan produksi dan konservasi. Hal ini dibutuhkan agar redistribusi tanah, tidak kembali terjebak dalam komoditisasi tanah, melainkan menjadi jalan untuk penataan produksi dan konservasi, dan pada gilirannya bisa mendorong pemulihan layanan alam dan peningkatan produktivitas rakyat. 

Artinya, Pembaruan Agraria jalan tengah tidak akan berhenti pada tindakan-tindakan pemerintah, melalui kebijakan yang memihak rakyat, melainkan sampai pada pengawalan kebijakan itu oleh rakyat sendiri, sehingga realisasi Pembaruan Agraria bisa berjalan konsisten dan maju. Langkah-langkah pembaruan kebijakan (policy reform), ditempatkan sebagai anak tangga untuk memperkuat rakyat. Oleh sebab itu, pengorganisasian masyarakat, dalam makna membangun serikat-serikat rakyat petani di desa-desa, revitalisasi lembaga adat yang demokratis, dan lainnya menjadi mutlak seiring perubahan kebijakan yang bergulir. Organisasi rakyat inilah yang pada gilirannya akan menjadi penopang dan pendorong gerak maju Pembaruan Agraria.  

Pembaruan Agraria Jalan Tengah, dengan demikian merupakan suatu gerak dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Pembaruan agraria jalan tengah pada dasarnya menuntut adanya jalan kooperasi. Jalan kooperasi yang dimaksud adalah jalan yang menyadari penuh bahwa persoalan Pembaruan Agraria bukan merupakan jalan yang mudah dan bukan sesuatu yang bersifat eksklusif, sebaliknya Pembaruan Agraria merupakan sesuatu yang inklusif.

Jalan kooperasi bermakna bahwa proses Pembaruan Agraria tidak mungkin hanya mengandalkan satu pihak, melainkan mesti melibatkan pihak lain. Pada sisi yang lain, diakui bahwa kekuatan pendukung Pembaruan Agraria tidak cukup besar, sehingga kooperasi memberi makna untuk bisa melakukan hal yang paling mungkin dari segala keterbatasan yang ada. Justru karena itu, perubahan yang ada hendak dijadikan pintu masuk untuk membangun dukungan yang lebih luas bagi proses Pembaruan Agraria, termasuk dukungan dari pihak pemerintahan, khususnya melalui parlemen daerah. Titik masuk ini menginsyaratkan perlunya pergeseran strategi. Jika pada periode awal penuh dengan agenda delegitimasi atas kekuasaan rejim sentralistik-otoritarian yang anti Pembaruan Agraria, maka pada masa transisi, yang dibutuhkan lebih dari sekedar melakukan delegitimasi, melainkan secara sistematik menjalankan dua fungsi. Pada satu sisi membongkar kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan kebutuhan Pembaruan Agraria dan di sisi lain memungkinkan lahirnya kebijakan-kebijakan yang lebih bersesuaian dengan keperluan Pembaruan Agraria. 

Dalam konteks Indonesia masa kini, harus diakui bahwa warisan masa lalu merupakan hal yang aktual. Dengan demikian, proses untuk “pembongkaran” atas berbagai kebijakan warisan lama sangat dibutuhkan. Pembongkaran yang dibutuhkan meliputi dua dimensi utama: (1) pembongkaran realitas struktur agraria yang timpang; dan (2) pembongkaran atas kebijakan-kebijakan agraria yang justru menjadi titik pijak dari keberlangsungan ketimpangan struktur agraria. Arah kekuatan pendukung Pembaruan Agraria, lebih dipusatkan untuk mendorong perubahan kebijakan, dan bukan sebagai sebuah sikap serba negatif. Menunjuk segi-segi negatif tidak diabdikan pada konflik kepentingan, melainkan untuk segera melakukan penataan. 

Dengan demikian, yang ingin dilakukan merupakan dua langkah sekaligus. Pada awalnya melakukan pembongkaran atas bangunan lama yang mendasari penyokong ketimpangan, dan langkah lanjutannya memasang fondasi bagi bangunan baru di atasnya. Masing-masing membutuhkan ilmu yang berbeda, yang di sini disebut sebagai Ilmu Bongkar dan Ilmu Pasang.

Ilmu bongkar yang dimaksudkan di sini adalah berbagai kemampuan yang dimiliki oleh kekuatan-kekuatan pembaharu dalam memperlihatkan dan menunjukkan segi-segi negatif (yang menjadi landasan ketidakadilan) dari pergerakan mesin pembangunan nasional di bawah kekuasaan Orde Baru. Rangkaian pekerjaan ini tidak lain dari praktek pembelaan atas masyarakat yang disingkirkan dan upaya penidakabsahan (delegitimasi) praktek kekuasaan yang menye-lewengkan aspirasi rakyat.

Objek dari Ilmu Bongkar berupa pengalaman dan kesaksian atas atas penderitaan rakyat, khususnya para korban perampasan hak atas tanah dan sumber daya alam, baik akibat penggunaan maupun penyalahgunaan kewenangan pemerintahan. Biasanya hal ini disertai dengan suatu upaya yang lazimnya disebut dengan pengorganisasian, dengan muatan dasar pendidikan kritis, yakni membuka wawasan kritis dari korban, agar bisa menyadari apa yang sedang berlangsung, terutama untuk tidak membiarkan ketidakadilan berlangsung lama. Pada sebagian kasus, hasil pendidikan berupa kesadaran untuk menuntut hak, sebagai bagian dari sikap menolak ketidakadilan. Namun, patut disadari bahwa tidak semua pendidikan kritis berakibat  pada kesadaran tuntutan, dan tidak semua praktek penolakan atas ketidakadilan merupakan hasil sebuah pendidikan kritis. Penumpukan dan pengendapan masalah-masalah yang dihadapi dan akibat-akibat perampasan hak atas tanah dan sumberdaya alam telah memberikan pilihan pada upaya perubahan fondasi bangunan. Cara-cara sentralistik-otoriter yang dijadikan tumpuan penyelenggaraan pembangunan untuk keperluan per-tumbuhan ekonomi, telah menutup pintu bagi perbaikan hidup rakyat.

Sedangkan Ilmu Pasang terbit setelah tumbangnya rejim sentralistik-otoriter Orde Baru, yang salah satu buahnya adalah kebijakan dan pelaksanaan otonomi daerah, pada dasarnya merupakan titik pijak yang sangat penting. Sebuah momentum perubahan telah disediakan oleh sejarah. Kaum Pembaharu pada dasarnya perlu mengubah segala praktek yang dijalankan, terutama untuk tidak lagi berpikir dengan kaca mata yang sempit, melainkan mencoba strategi yang lebih terbuka. Apa yang disebut dengan strategi lebih terbuka tidak lain dari suatu upaya mendesakkan perubahan melalui kerangka kerja hukum. Titik sasaran adalah perubahan kebijakan (policy reform). Apa yang dilukiskan sebagai perubahan kebijakan adalah upaya untuk mengadakan dari belum ada, memperbaiki, memperkuat yang ada – agar lebih fungsional dalam melindungi rakyat dan mengubah yang ada, dan menggantikannya dengan sesuatu yang sama sekali baru. Strategi perubahan kebijakan menjadi mungkin untuk dilakukan, terutama oleh kenyataan adanya gerak perubahan parlemen (daerah).

Perubahan ini menempatkan para pembaharu pada posisi yang lebih strategis atau bahkan lebih berat. Ilmu Bongkar yang dimilikinya tidak bisa lagi terus-menerus dijadikan andalah. Upaya delegitimasi, tidak mungkin hanya berjalan searah. Kekuasaan yang sudah mengalami kemerosotan basis dukungan, baik moral maupun politik, telah memaksa struktur kekuasaan untuk berubah. Artinya, para pembaharu perlu memikirkan situasi paska perubahan. Pada titik inilah muncul kebutuhan untuk mengembangkan suatu ilmu tambahan, yakni ilmu pasang. Rakyat mulai didesak oleh keadaan untuk ikut pula memikirkan bagaimana kelanjutan dari perubahan yang bergulir. Dengan demikian para pembaharu perlu melakukan dua hal sekaligus: (1) mengupayakan lahirnya kebijakan-kebijakan yang disusun dengan format demokrasi; dan (2) mengupayakan syarat-syarat obyektif bagi realisasi kebijakan tersebut.

Dengan Ilmu Pasang, kita tidak menempatkan otonomi apapun, baik otonomi daerah maupun otonomi asli, tidak dimaksudkan untuk mengabdi pada otonomi itu sendiri. Otonomi tentu diorientasikan untuk memberi jalan bagi perbaikan syarat-syarat kehidupan rakyat. 

       

Catatan Akhir:

1 E. Eckholm, “Orang-orang yang Tergusur dan Pembangunan yang Mantap”, dalam Hak dan Kebutuhan Desa, Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan, hal 55.

2 Gunawan Wiradi (1997), Op Cit. yang mendasarkan diri pada karya Powelson, John P., and Richard Stock (1987) The Peasant Betrayed: Agriculture and Land Reform in the Third World. Washington, D.C.: Cato Institute.

Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria (Bagian 5 dari 5)


Mensiasati Otonomi Daerah Demi Pembaharuan Agraria

Penulis: R. Yando Zakaria, Danie Munggoro, Muslich Ismail, Noer Fauzi Rachman, Abdon Nababan, Hendro Sangkoyo, Dadang Juliantara.

Penerbit: Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001; Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama, 2001. viii + 187 pg; 17 cm ISBN 979-95482-3-3 


Pembaruan Agraria: Jalan Lama atau Jalan Baru1

...  perjuangan  perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa  Indonesia untuk melepaskan diri dari (cengkraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya  perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari  kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal  asing. 

(Mr. Sadjarwo, 1960)2

 

            Istilah Pembaruan Agraria adalah terjemahan dari agrarian reform (sering disebut juga dengan bahasa Spanyol: Reforma Agraria). Dalam pengertian yang terbatas dikenal sebagai land reform, di mana salah satu programnya yang banyak dikenal adalah redistribusi (pembagian) hak atas tanah. Seringkali antara agrarian reform dan land reform dianggap identik, meskipun sebenarnya sudah disepakati secara umum bahwa agrarian reform mengandung dari pengertian yang lebih luas dari land reform. Sementara dalam pengertian yang sempit, land reform adalah redistribusi tanah. Sedangkan pengertian land reform yang luas adalah pembaruan dalam struktur penguasaan, struktur produksi dan struktur pelayanan pendukung. Karena itu, seringkali pengertian agrarian reform dan land reform dipakai bergantian dalam arti yang sama. Di sini dipilih penggunaan istilah Pembaruan Agraria (Agrarian Reform), karena maksud-maksud yang hendak dikemukakan memiliki pengertian-pengertian yang lebih luas dari sekedar pembagian (redistribusi) tanah.

            Jadi, Pembaruan Agraria adalah suatu upaya yang dilakukan pemerintah bekerjasama dengan masyarakat untuk mengubah struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam (bumi, air, udara, dan kekayaan alam di bawah lapisan tanah) dan memperbaiki jaminan kepastian penguasaan sumber daya tersebut bagi semua pihak yang memanfaatkannya (tanah dan kekayaan alam yang menyertainya).3 Pembaruan Agraria termaksud juga akan diikuti dengan perbaikan cara-cara pengelolaan tanah dan kekayaan alam lainnya dengan penyediaan fasilitas kredit, pendidikan dan latihan, serta asistensi teknis untuk perbaikan sistem produksi dan sistem konservasi yang ada.

            Tujuan yang hendak dicapai Pembaruan Agraria adalah Keadilan Agraria, yaitu keadaan dimana:

a.     tidak adanya konsentrasi yang berarti dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah serta sumber daya alam (kekayaan alam yang menyertai tanah) yang menjadi hajat hidup orang banyak;

b.     terjaminnya kepastian hak penguasaan rakyat setempat, termasuk hak masyarakat adat, terhadap tanah dan sumber daya alam;

c.     terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan cara-cara pemanfatan tanah dan sumber daya alam, terutama sistem produksi dan konservasi yang menjadi sumber kelanjutan penghidupan rakyat.

Tujuan dan maksud mengenai perlunya Pembaruan Agraria sesungguhnya sudah sangat jelas bahwa Pembaruan Agraria bukan sejenis perbuatan kriminal, melainkan suatu upaya yang lebih menjamin pencapaian keadilan, kelanjutan layanan alam dan kemakmuran. Prinsip ini hendak memberi jelas, bahwa Pembaruan Agraria, merupakan strategi yang seharusnya dianut oleh negara yang berkomitmen membela rakyat, seperti Indonesia –sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945, “...... melindungi segenap tumpah darah Indonesia…..” Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya, bisa dipastikan akan memperhatikan dan berpegang pada nilai keadilan sosial dan kedaulatan rakyat, menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia, penghargaan pada keragaman budaya, keberlanjutan ekosistem, keadilan gender dan jaminan hidup untuk generasi yang akan datang.

            Pada dasarnya, Pembaruan Agraria merupakan jawaban yang paling logis dari berbagai masalah sosial di masyarakat manapun yang diakibatkan oleh kenyataan dalam struktur agraria yang timpang dan konflik agraria yang ada dalam masyarakat tersebut. Sepanjang sejarah Pembaruan Agraria, pada mulanya perhatian diberikan pada pemerataan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan atas sumber daya yang paling pokok, yakni tanah. Namun, seiring dengan perkembangan, penataan itu berlanjut pada terhadap sumber daya alam lain seperti hutan, tambang, sungai, pantai, dan lain-lain. 

            Pembaruan Agraria dalam arti land reform harus dan perlu dilakukan pada masa awal mula sekali pembangunan, karena merupakan fondasi dari bangunan masyarakat yang akan dirubah. Land reform yang paling minimal adalah dengan program redistribusi tanah dan pengaturan bagi hasil. Berbeda dengan faktor produksi lainnya (mesin, peralatan, perkakas, teknologi), maka tanah adalah faktor produksi yang terbatas, tidak tergantikan, tidak bisa dibuat dan merupakan pemberian alam. Karenanya tidak ada alasan sama sekali bagi dibolehkannya monopoli atau konsentrasi penguasaan dan pemanfaatan tanah.

            Akibat dari tidak diberlakukannya land reform adalah: 

            Pertamaland reform menciptakan pasar atau daya beli. Tanpa adanya pemerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah, maka tidak ada kekuatan daya beli, artinya juga tidak ada kekuatan pasar. Tanpa kekuatan pasar, produksi tidak akan berkembang. Land reform adalah sebuah instrumen bagi penciptaan pasar dalam negeri, suatu prasyarat dari setiap sistem ekonomi nasional. 

            Kedua, petani tanpa aset tanah, sama artinya dengan petani miskin yang tidak akan mampu untuk menciptakan tabungan. Padahal tabungan pertanian diperlukan oleh setiap pemerintahan, guna mendanai pembangunan pertanian maupun pengembangan sektor-sektor lain. 

            Ketiga, tanpa peningkatan ekonomi petani, maka pajak pertanian akan tetap minim. 

            Keempat, tanpa land reform, maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja di pedesaan yang tumbuh karena kebutuhan pedesaan itu sendiri. Diferensiasi yang terjadi tanpa land reform, bersifat terbatas, menimbulkan jurang kelas yang tajam, dan eksploitatif. 

            Kelima, tanpa land reform, tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malahan terjadi disinvestasi, karena lama kelamaan banyak petani kehilangan tanah dan kemiskinan meluas. Akibatnya sektor industri kecil, industri rumah tangga, perdagangan, jasa, dan sirkulasi uang melemah, dan hanya bisa bergantung dari intervensi modal di kota. Akibat parahnya, adalah desa menjadi sumber pemerasan kota, karena desa tunduk pada kepentingan kota. Desa menjadi sumber yang dipakai untuk mensubsidi ekonomi kota, sementara desa menjadi terbelakang.

            Dan keenam, tanah akhirnya hanya menjadi objek spekulasi, karena tidak mampu digunakan secara produktif oleh petaninya, melainkan diambil dan kemudian dipakai oleh banyak orang kaya di kota bagi kepentingan spekulasi dan investasi non-produktif. Tanah dijadikan objek komoditi dan dijadikan dasar bagi akumulasi primitif modal awal dengan mekanisme land grabbing (perampasan tanah/pengambilan tanah sewenang-wenang), yang kemudian dijual kembali atau dimasukkan ke mekanisme pasar tanah. 

            Semua gejala tersebut sekarang terjadi di Indonesia, karena Indonesia enggan melakukan programland reform yang menyeluruh. Ditambah lagi oleh kenyataan, bahwa tanpa program land reform, juga tidak ada demokrasi di tingkat desa. Demokrasi ekonomi menghasilkan demokrasi politik. Tumbuhnya ekonomi rakyat, akan menghasilkan kreativitas dan pengorganisasian. Land reform dengan sendirinya akan menghasilkan diferensiasi pembagian kerja masyarakat. Berkembangnya diferensiasi ini akan menghasilkan berbagai profesi dan pekerjaan; yang selanjutnya menciptakan asosiasi dan kelembagaan baru. 

            Kebalikan dari proses ini akan menyebabkan kemacetan ekonomi dan politik. Tanah akan terpusat di segelintir orang, dan kemudian akan menjadi monopoli dari sebagian kecil orang sebagai obyek komoditi. Tanah sebagai faktor produksi digunakan tidak produktif, sehingga fungsinya musnah. Tanah dipakai sebagai objek spekulan, menyebabkan harga tanah terus melonjak. Tapi tidak ada investasi riil, karena nilai tanah tidak mencerminkan perkembangan produktif. Sementara tanah yang digunakan sebagai asset produktif untuk agro-industri ataupun perkebunan ataupun eksploitasi kehutanan, hasilnya masuk ke dalam keuntungan segelintir orang yang notabene adalah orang kota.

            Land reform mengandung arti yang penting sebagai dasar awal atau fondasi ekonomi nasional apapun. Tanpa land reform, fondasi ekonomi nasional akan keropos dan setelahnya perekonomian akan mengalami kontradiksi permanen kaya-miskin dan menciptakan keterbelakangan pertanian dalam arti luas, perladangan, pengambilan hasil hutan, dll). Di berbagai masyarakat yang menempuh jalan ini, maka sistem ekonominya mencerminkan kontradiksi semacam ini. Meskipun tingkat produksi domestik tinggi ataupun tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, akan tetapi tidak mencerminkan adanya tingkat pemerataan. Sebaliknya, terus menerus terjadi pemerasan dan eksploitasi ekonomi. 

            Dengan gambaran seperti ini, maka jelas bahwa program land reform tidak bisa diabaikan. Pembangunan pedesaaan adalah pelengkap dari land reform, bukan pengganti dari land reform. Pembangunan desa yang sempurna sekalipun, apakah itu yang bernama program kredit, koperasi, program benih-pupuk-air, infrastruktur jalan, industri kecil dan lainnya, tanpa land reform akan tidak bisa menjawab masalah distribusi aset produktif. Dengan demikian redistribusi tanah adalah jalan awal bagi pengembangan ekonomi lebih lanjut dari perekonomian rakyat dan perekonomian nasional.

            Redistribusi tanah akan melibatkan keikutsertaan rakyat dalam sistem ekonomi makro. Selanjutnya akan memberikan pula suasana keterbukaan pada sistem politik makro. Pembangunan yang berorientasi ke pedesaan akan memberikan dasar yang nyata pada sistem ekonomi, karena akan melibatkan tenaga kerja mayoritas, berikut segala efek ikutannya (multiplier-effect). Pembangunan pedesaan yang demikian akan menghasilkan industri pedesaan, industri pertanian, di samping sektor industri modern.

            Selain tanah, masalah agraria juga meliputi sumber daya alam, baik pertambangan, kehutanan, kelautan, pantai, sungai, air, udara, dan berbagai kekayaan alam lainnya. Sumber daya alam ini juga dimiliki oleh rakyat Indonesia seluruhnya. Dengan demikian pemanfaatan dan hasilnya harus kembali kepada rakyat. Padahal, apa yang berkembang sekarang adalah bertolak belakang dengan konsep tersebut. Kekayaan alam tersebut telah menjadi penguasaan perorangan dan modal asing. Demikian pula seolah-olah dikelola oleh negara, padahal hasilnya masuk ke dalam kantong perorangan.

            Karenanya diperlukan perombakan dan penataan kembali agar penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam. Dengan mekanisme kerakyatan yang demokratis, maka sudah dapat dipastikan bahwa tanah dan sumber daya alam bisa benar-benar memberikan layanannya langsung maupun melalui usaha produksi maupun konservasi sehingga kesejahteraan rakyat dan kesinambungan layanan alam akan dicapai.

            Pembaruan agraria bukanlah mimpi, melainkan cita-cita sosial. Dengan demikian ia perlu diwujudkan. Pembaruan agraria adalah instrumen bagi perwujudan kesejahteraan sosial. Pembaruan agraria adalah juga instrumen bagi sebuah sistem ekonomi yang bersifat kerakyatan, sehingga hasil akhirnya tidak akan bertentangan dengan reform yang diinginkan.

            Jadi, Pembaruan Agraria bagaimana pun merupakan suatu operasi, yang di dalamnya membutuhkan kekuasaan. Namun persis di sini pula masalahnya. Pengalaman Orde Baru memperlihatkan bahwa kekuasaan yang diberikan pada pemerintah, bisa diubah fungsinya, bukan untuk membela rakyat, sebaliknya untuk melawan rakyat –melayani kepentingan akumulasi modal, melalui dinamika pasar. Suatu otoritas hukum, yang tidak diikuti atau didukung oleh otoritas politik, tidak akan punya makna yang banyak. Justru dari skema kekuasaan yang ada, sangat dibutuhkan adanya otoritas politik yang kuat, yang kemudian diikuti oleh adanya otoritas hukum.

            Adanya suatu kekuasaan atau otoritas politik dan hukum, yang tidak dibarengi dengan dukungan rakyat, khususnya mereka yang paling berkepentingan dengan Pembaruan Agraria, maka sangat sulit diharapkan kekuasaan yang ada bisa efektif dalam menjalankan proses tersebut. Pembaruan Agraria berbasis prakarsa rakyat, dengan sendirinya merupakan upaya untuk membangun sebuah dukungan yang nyata, agar proses pelaksanaannya bisa berjalan dengan mulus,  dimana halangan bisa diatasi dengan mudah.

            Pembaruan Agraria tetap diperlukan, asal filsafat paternalisme ditinggalkan. Sekarang ini hampir semua Pembaruan Agraria dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintahan, sehingga begitu minat pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh Pembaruan Agraria. Memang diakui, ada suatu pemerintahan yang dengan tulus dan jujur melakukan Pembaruan Agraria demi rakyat banyak. Namun, begitu pemerintahan tersebut berganti, elit penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan. Bahkan, sekalipun pembaruan itu lahir dari sebuah revolusi seperti misalnya Meksiko.  Kedermawanan pemerintah itulah yang oleh Powelson dan Stock disebut dengan istilah “reform by-grace”. Pembaruan demikian tidak “sustainable”, karena bergantung pada “pasar politik” menurut istilah Yushiro Hayami.

... Dengan demikian, yang diperlukan adalah pembaruan yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat. Atau menurut istilah Powelson dan Stock: “landreform by leverage”. Dalam kondisi “pasar politik” yang bagaimanapun, jika posisi tawar petani/rakyat kecil kuat, maka hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu saja mudah dibalikkan.

... Pembaruan Agraria “by-leverage” bukan merupakan program hitam-putih yang dapat direalisir dalam satu malam. Ia merupakan proses yang memerlukan waktu. Sebab, bagaimanapun, Pembaruan Agraria, seperti juga pembaruan-pembaruan lainnya tetap memerlukan kekuasaan. Namun, agar rakyat tidak “terkhianati”, maka pemberdayaan politik dari bawah perlu dikembangkan .... Posisi tawar yang kuat dari rakyat akan dapat mendesakkan aspirasinya untuk dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pembaruan.4

            Jalan ini sudah tentu merupakan pilihan dengan sejumlah syarat-syarat obyektif. Pada saat sekarang kekuatan pembaharu perlu mempersiapkan dan menyediakan kondisi-kondisi pendukung perubahan tersebut – terutama proses emansipasi rakyat, agar bisa lepas dari genggaman politik hegemonik dari kekuatan anti-Pembaruan Agraria. Untuk memahami lebih jauh masalah ini, ada baiknya mengemukakan sejumlah syarat yang harus ada, bagi suatu perwujudan Pembaruan Agraria sesuai dengan “alamat” yang hendak dituju. Ketiga syarat berikut ini perlu dilakukan secara simultan. 

            Pertama, suatu tata kekuasaan yang mendukung atau memiliki komitmen mengenai realisasi Pembaruan Agraria yang konsisten. Masalah ini tidak mudah dicapai. Suatu tata kekuasaan yang memadai adalah ketika organ-organ utama kekuasaan, seperti eksekutif, legislatif dan yudikatif (berdasarkan kerangka trias politika) – merupakan tiga serangkai yang memberi dukungan bagi Pembaruan Agraria. Perubahan yang dimaksud adalah perlunya legalitas formal untuk mendukung atau membenarkan tindakan-tindakan pembaruan. Perubahan ini sendiri sudah tentu mengandaikan adanya perubahan tata susunan kekuasaan. Dengan suatu kekuasaan yang berpihak kepada kepentingan massa rakyat, diharapkan muncul kebijakan yang mencerminkan keinginan mengubah kehidupan rakyat menuju kondisi yang lebih baik dan lebih bermakna. Perubahan susunan kekuasaan politik ini sangat menentukan bagi produk hukum yang dihasilkannya.5 Dalam konteks ini patut diingat bahwa:

Dalam semua masyarakat, hukum dapat mengukuhkan struktur masyarakat yang ada, dengan memberi kesan yang agung dan absah terhadap ketidakadilan sosial, atau ia dapat mengusahakan keadilan yang lebih baik dengan menata - merealokasikan sumber daya dan keseimbangan hak dan kewajiban yang lebih baik. Namun, apa yang tak dapat hukum lakukan adalah mengubah struktur kekuasaan politik. Hukum  itu sendiri sekedar merupakan cermin dari struktur kekuasaan.6 

            Kedua, adanya kebijakan yang mendukung, berupa seperangkat pegangan hukum dan program yang menempatkan Pembaruan Agraria sebagai fondasi pembangunan dan lebih penting lagi adalah mekanisme pelaksanaan Pembaruan Agraria. Pegangan tersebut, tentu tidak bisa sebagai aturan yang tersirat mengisyaratkan keharusan Pembaruan Agraria. Melainkan aturan yang tersurat dengan jelas mengharuskan Pembaruan Agraria. Aturan ini harus pula merupakan aturan yang bergerak, tersosialisasi dan dalam proses penyusunannya melibatkan rakyat. Dengan demikian, kualitas dari kebijakan ini adalah sejenis kebijakan yang didukung rakyat – bukan sesuatu yang hendak dijatuhkan dari atas. Artinya, intensitas pro-kontra lebih kecil dari arus dukungan terhadap kebijakan. Pengalaman masa lalu juga menegaskan pentingnya suatu aturan main yang lebih rinci agar jelas operasionalnya dan mempersempit ruang bagi penafsiran yang pada gilirannya bisa merugikan proses perwujudan Pembaruan Agraria. Tentunya kebijakan tersebut harus menjadi dasar yang kuat bagi badan-badan yang akan menjalankannya.  

            Ketiga, adanya dukungan nyata dari rakyat secara terorganisir. Dukungan ini bisa memberi sumbangan pada dua hal sekaligus, yakni keabsahan dan kemudahan. Adanya dukungan dari rakyat juga menjadi penyangga dan sekaligus kontrol rakyat agar “alamat” yang dituju oleh kebijakan pembaruan agraria yang dikehendaki rakyat. Syarat ini sebetulnya hendak menunjuk adanya kesadaran obyektif dari rakyat yang membutuhkan Pembaruan Agraria bahwa pilihan Pembaruan Agraria bukan sekedar proyek bagi-bagi penguasaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam, melainkan menjadi bagian dari peletakan dasar-dasar pembangunan sosial yang mantap. Kesadaran di sini hendak menunjuk pada suatu kualitas pengetahuan bahwa rakyat sudah mengerti mengenai ABC Pembaruan Agraria. Selain itu kesadaran tentunya dibutuhkan adanya organisasi, yakni himpunan dari masyarakat yang memiliki kesadaran tersebut. Kita menyadari bahwa kesadaran tanpa sebuah himpunan tidak akan memiliki arti. Sebaliknya, himpunan tanpa kesadaran, hanyalah per-sate-an, yang Pembaruan agraria berbasis prakarsa rakyat sebuah proses yang didalamnya memuat aspek pengorganisasian, dengan jantungnya pendidikan politik.

Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria

            Seiring dengan perkembangan zaman, ada 10 prinsip dalam Pembaruan Agraria yang perlu dikemukakan di sini. Kesepuluh prinsip ini pada hakekatnya adalah prinsip-prinsip yang saling tekait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sehingga setiap prinsip yang ada tidak bisa diberlakukan secara terpisah-pisah atau dipandang secara partikular. Kesepuluh prinsip ini haruslah dilihat sebagai satu kesatuan yang saling mengikat.

            Prinsip-prinsip itu adalah:7 

1.    Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia

            Hak atas tanah dan sumber daya alam merupakan hak ekonomi setiap orang. Sesuatu yang menjadi hak setiap orang, merupakan kewajiban/tanggung jawab bagi negara/pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhinya (Pasal 69 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia).

            Dalam kaitan dengan prinsip ini, perlu ditegaskan makna “dikuasai oleh negara” dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang meliputi telaah terhadap 4 hal, yakni: 

(i)    Kalau negara “menguasai”, maka siapa sebenarnya yang berhak atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu?

(ii)   Apakah makna “dikuasai” oleh negara itu?

(iii) Seberapa luas kewenangan menguasai oleh negara itu?

(iv)  Bagaimana hubungan antara negara dengan yang berhak atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu?

Dari segi empiris, rumusan Pasal 33 ayat (3) yang penjelasannya amat singkat itu telah diterjemahkan secara longgar melalui berbagai UU yang terkait dengan sumber daya alam (tanah, hutan, barang tambang, dan sebagainya) sehingga terjadi apa yang disebut “negara-isasi” sumber daya alam dengan segala implikasinya, antara lain penafian hak-hak masyarakat adat/lokal atas tanah dan sumber daya alam.

            Sebagai contoh, dari Penjelasan UUPA tentang kekuasaan negara terhadap bumi, air, ruang angkasa, maka implikasinya adalah bahwa “hak menguasai dari negara” meliputi:

(i)    Tanah-tanah yang di atasnya sudah ada hak perorangan.

(ii)   Tanah-tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat masyarakat adat, dan

(iii) Tanah-tanah yang di atasnya tidak terdapat hak-hak dalam butir (i) dan (ii).

Analog dengan hal tersebut di atas maka menurut UU Kehutanan (UU Nomor 5 Tahun 1967 dan telah direvisi dengan UU Nomor 41 Tahun 1999) hak menguasai negara atas hutan (hutan negara) meliputi kawasan hutan di seluruh Indonesia. Di samping hutan negara, diakui keberadaan hutan milik, tetapi keberadaan hutan adat tidak diakui karena menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di atas hutan negara.

            Dengan demikian diharapkan akan diperoleh penegasan tentang hal-hal sebagai berikut:

(i)    Tanah dan sumber daya alam yang menyertainya merupakan hak bersama seluruh rakyat, dan dalam pengertian hak bersama itu terdapat dua hak yang diakui, yaitu hak kelompok dan hak perorangan.

(ii)   Kewenangan negara terhadap tanah dan sumber daya alam yang menyertainya itu terbatas pada kewenangan pengaturan. Pengaturan oleh negara diperlukan ketika terdapat kekhawatiran bahwa tanpa campur tangan negara akan terjadi ketidakadilan dalam akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat. Negara tidak perlu melakukan intervensi bila rakyat telah dapat menyelesaikan masalah atau kepentingan sendiri dan bahwa hal itu tidak bertentangan dengan kepentingan atau hak pihak lain.

       Kewenangan mengatur oleh negara tidak tak terbatas, tetapi dibatasi oleh dua hal, yaitu: (1) pembatasan oleh UUD. Pada prinsipnya hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin oleh UUD; (2) pembatasan oleh tujuannya, yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau untuk tercapainya keadilan sosial.

(iii) Hubungan antara negara dengan rakyat bukan hubungan subordinasi, tetapi hubungan yang setara sesuai dengan prinsip HAM: yang menjamin bahwa apa yang menjadi hak setiap orang merupakan kewajiban bagi negara. Dengan demikian maka netralitas negara dan fungsinya sebagai wasit yang adil dapat dijamin.

2.    Unifikasi hukum yang mampu mengakomodasi keanekaragaman hukum setempat (pluralisme)

            Pasal 6 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menyebutkan bahwa: “Dalam rangka penegakan HAM, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah”. Hal ini berarti bahwa kebijakan yang bersifat nasional harus mampu memberi tempat pada hukum adat yang masih berlaku dan dijunjung tinggi dalam lingkungan masyarakat adat, selaras dengan upaya perlindungan dan penegakan HAM dari masyarakat yang bersangkutan, selama hal itu tidak menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi pihak lain.

            Menjalankan Pembaruan Agraria tanpa mengakomodasi keberagaman budaya ini pada akhirnya juga akan sama dengan melakukan penindasan atau pelanggaran sejumlah hak azasi manusia, khususnya hak-hak untuk turut menentukan arah pembangunan masyarakat dan menikmati hasil-hasil pembangunan berdasarkan kenyataan budaya setempat. Karena itu, meskipun di dalam program pembaruan agraria ada sejumlah hal yang perlu dijadikan landasan pelaksanaan di tingkat nasional, keberagaman budaya dan kekhasan masyarakat yang ada mesti diakomodasi dan diakui.

            Dalam hal prinsip-prinsip penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam lainnya, suatu kebijakan pembaruan agraria harus menerima kenyataan bahwa ada masyarakat-masyarakat dan komunitas-komunitas tertentu di Indonesia yang masih memiliki ruang untuk mengembangkan hukum dan tata cara pengelolaan sumber daya alamnya berdasarkan pengetahuan asli/setempat dan berdasarkan tatanan hukum adat setempat. Dengan dijalankannya pembaruan agraria, segala keberagaman ini tidak harus dihapuskan, tetapi justru harus diakui, secara sosial, politik maupun legal, dan diberi ruang untuk berkembang.

            Meskipun demikian, prinsip ini tidak terbuka dengan begitu saja bagi pengembangan atau terus dikembangkannya sistem masyarakat atau pengelolaan sumber daya alam dan tanah yang diskriminatif, menindas, maupun menciptakan ketimpangan penguasaan di tingkat lokal. Jadi, jika sistem penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam dan tanah yang berdasarkan kebiasaan atau pun hukum adat setempat justru bersifat diskriminatif, menindas, maupun menciptakan ketimpangan di tengah masyarakat itu sendiri dengan sendiri telah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan agraria yang menjadi tujuan utama dari pembaruan agraria.

3.    Land reform atau restrukturisasi pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya

            Land reform adalah upaya penataan kembali struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang lainnya atau yang menyertainya ditujukan untuk mencapai keadilan, utamanya bagi mereka yang sumber penghidupannya tergantung pada produksi pertanian dan/atau sumber daya alam tersebut. Berbagai program land reform, antara lain berupa redistribusi tanah (tanah-tanah jabatan di desa, tanah yang tidak sesuai dengan kebutuhan riil pengusahaan bidang industri, perumahan, jasa/pariwisata, pengusaha di bidang pertanian, perkebunan dan kehutanan, tanah-tanah yang dikuasai secara berlebihan dan secara guntai/absentee, dan lain-lain), penyediaan lapangan kerja di sektor pertanian, bantuan kredit untuk mendukung investasi di bidang pertanian, dan tersedianya peluang pasar untuk produk-produk pertanian.

            Dalam program land reform, ada beberapa prinsip turunan yang harus menjadi pegangan dalam pelaksanaannya. Pertama, tanah haruslah diutamakan untuk para penggarap (land for the tillers). Dalam hal ini, harus dicegah pemilikan dan penguasaan tanah oleh orang-orang yang bukan merupakan penggarap tanah sehingga menimbulkan adanya sekelompok orang yang “enak-enak” menikmati hasil dari tanah yang dikerjakan oleh orang lain. Meskipun untuk memiliki atau mengusai tanah tersebut ia telah mengeluarkan biaya atau melakukan investasi. Di sinilah letak larangan penguasaan tanah secara guntai atau absentee, karena penguasaan tanah cara ini menunjukkan adanya ketimpangan nyata dalam penguasaan tanah dan aliran hasil produksi yang dihasilkan dari kerja produktif atas tanah tersebut. Pengertian tanah absentee atau tanah guntai jelas berbeda dengan pengertian tanah bera atau tanah-tanah yang sedang diistirahatkan oleh para penggarapnya karena sistem pertanian yang dijalankan memang mengharuskan pengistirahatan tanah dilaku-kan. Tanah-tanah bera dalam hal ini jelas tanah-tanah produktif yang juga dikerjakan secara produktif oleh para pemilik atau penguasanya. Sejalan dengan pelarangan penguasaan tanah secara guntai, juga seharusnya diterapkan larangan bagi kegiatan penelantaran tanah dan spekulasi tanah.

            Kedualand reform tidak harus hanya difokuskan pada program redistribusi tanah. Program ini juga dapat dilakukan dengan melakukan tenancy reform atau pengaturan kembali sistem penyakapan tanah ke arah yang lebih berkeadilan. Pilihan antara menjalankan program redistribusi tanah atau tenancy reform mesti diserahkan sepenuhnya berdasarkan keragaman sistem penguasaan tanah dan pengelolaannya yang ada di daerah-daerah serta ketersediaan tanah di daerah tersebut dibandingkan dengan kebutuhan dari rakyat setempat untuk mengelolanya secara produktif.

            Ketiga, dalam prinsip land reform jelas terkandung makna pembatasan penguasaan tanah secara berlebihan. Untuk itu, setiap daerah dapat mengembangkan sendiri batas-batas penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya secara berbeda-beda berdasarkan kenyataan dan tuntutan masyarakat setempat yang tentunya mempertimbangkan keadilan sebagai tujuan utama.

            Di samping rural land reform tersebut di atas, perlu diperhatikan juga urban land reform karena kesenjangan posisi tawar antara mereka yang mempunyai akses modal dan akses politik di perkotaan, berhadapan dengan mereka yang tidak mempunyai akses tersebut, telah semakin membuat para orang miskin kota (urban poor) semakin terpinggirkan dalam upaya memperoleh sebidang tanah untuk menopang kehidupannya.

4.    Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam 

            Tanah dan sumber daya alam merupakan sumber penghidupan bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Karena itu, proses eksploitasi tanah dan sumber daya alam harus menempatkan kepentingan dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat secara sosial dan budaya sebagai rujukan utamanya, bukan sekedar perhitungan keuntungan dan pertumbuhan ekonomi semata. Proses eksploitasinya juga harus menempatkan kelestarian ekologi, baik pada tingkat lokal maupun ekstra-lokal, sebagai bagian dari tujuan yang hendak dicapai. Selain itu, tanah dan sumber daya alam harus ditempatkan sebagai sarana pemberdaya rakyat untuk melepaskan diri dari ketergantungan atau kemungkinan dieksploitasi kekuatan-kekuatan ekonomi besar. Itu artinya, penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber daya alam lainnya haruslah diprioritaskan kepada rakyat kebanyakan dengan prinsip keadilan. Walaupun itu semua bukan berarti kegiatan penggunaan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam untuk aktivitas ekonomi dalam skala besar dilarang. Dalam batas-batas tertentu, kegiatan ekonomi skala besar yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya alam mesti difasilitasi. Tetapi fasilitas yang diberikan bukan hanya pemberian kesempatan untuk menguasai dan mengeksploitasinya tanpa batas, melainkan harus juga disertai dengan penetapan batas-batasan untuk pemeliharaan keberlanjutan ekologi dan sosial. Penguasaan tanah dan sumber daya yang berlebihan oleh segelintir orang atau suatu lembaga perekonomian, seperti perusahaan –misalnya, harus dicegah. Penguasaan tanah dan sumber daya alam, walau bagaimanapun, harus dibatasi. 

            Selain itu, penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam harus sedemikian rupa dapat dinikmati tidak saja oleh generasi sekarang, tetapi juga generasi yang akan datang. Dalam suatu generasi, harus diupayakan keterbukaan akses bagi setiap orang, laki-laki dan perempuan, untuk memperoleh dan memanfaatkan sumber daya alam (tanah, air, udara, dan segala kekayaan terkandung di atas permukaan tanah ataupun yang terkandung di dalam perut bumi). Pemanfaatan sumber daya alam oleh satu generasi tidak boleh mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang sehingga harus dijaga agar tidak terjadi eksploitasi yang berlebihan untuk kepentingan jangka pendek.

            Termasuk dalam prinsip ini adalah mengakui kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber daya alam yang menjadi ruang hidupnya. Terutama sekali pada masyarakat-masyarakat yang dasar dan tatanan sosial kemasyarakatannya berbasis pada pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Keberadaan mereka sebagai komunitas yang terikat dengan alam sekitarnya haruslah diakui secara tegas. Kepada kelompok masyarakat ini, hukum agraria dan/atau hukum pengelolaan sumber daya alam haruslah menempatkan keberlanjutan kehidupan mereka sebagai dasar pertimbangan bagi proses pemanfaatan atau penggunaan sumber-sumber daya tersebut untuk kepentingan lain.

5.    Fungsi sosial dan ekologi tanah

            Dalam kedudukan manusia sebagai individu, sekaligus makhluk sosial, maka ada kewajiban (sosial) yang timbul dan dipunyai oleh setiap pemegang hak. Hak yang dipunyai seseorang tidak bersifat tak terbatas, karena selalu dibatasi oleh hak orang lain dan hak masyarakat yang lebih luas, baik yang dilakukan oleh pemerintah dengan alasan kepentingan umum, maupun oleh pihak lain untuk berbagai kegiatan pembangunan. Oleh karena itu pengambilalihan hak itu harus dilaksanakan sesuai dengan undang-undang (Pasal 28 H ayat (4) Perubahan Kedua UUD 1945) dan diikuti dengan ganti kerugian yang tidak saja adil, tetapi juga mencukupi untuk melanjutkan kehidupan secara layak. Pemberian ganti kerugian harus memperhitungkan segala kerugian fisik (tanah, bangunan, tanaman, dan lain-lain) maupun kerugian non fisik (kehilangan pekerjaan, kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan/manfaat tertentu, dan lain-lain).

            Di sisi lain, fungsi sosial dari tanah tidak hanya menegaskan perlunya memperhatikan hak-hak orang atau komunitas yang telah secara nyata atau secara hukum memang memiliki atau menguasai tanah. Tetapi penetapan fungsi sosial atas tanah dan sumber daya alam juga mengartikan keharusan memperhatikan keberlanjutan dan kelayakan tingkat kehidupan masyarakat atau orang-orang yang tidak memiliki atau menguasai tanah, padahal kehidupan mereka –paling tidak secara ekonomis– sangat bergantung pada tanah. Fungsi sosial atas tanah juga harus mencakup pada aspek-aspek penempatan keadilan dalam memiliki, menguasai. Mengontrol, menggunakan, dan memanfaatkan tanah dan kekayaan alam lainnya untuk seluruh anggota masyarakat.

            Sifat tanah adalah sumber daya alam yang langka, sehingga pemanfaatannya pun harus memperhatikan kelestarian fungsinya dan daya dukungnya sehingga dapat dijamin keberlanjutannya. Secara tegas, harus dinyatakan bahwa tanah dan sumber daya alam lainnya pada hakekatnya adalah sarana bagi masyarakat atau komunitas setempat untuk membebaskan dirinya dari kemiskinan, bukan malah menempatkan mereka dalam suatu struktur yang memiskinkan. Karena dalam sifat kelangkaannya, menempatkan tanah sebagai fungsi penopang keberlanjutan dan pengembangan kehidupan masyarakat atau komunitas setempat serta masyarakat pada umumnya harus menempati posisi teratas dari rencana-rencana pemanfaatan dan penataan pengelolaan tanah dan sumber daya alam lainnya. Dengan sendirinya prinsip ini secara tegas juga menempatkan keberlanjutan daya dukung lingkungan (ecological sustainability) sebagai bagian inheren di dalamnya.

6.    Penyelesaian sengketa agraria

            Sengketa agraria yang intensitasnya sangat dalam maupun sebarannya yang sangat meluas adalah satu masalah besar di Indonesia. Konflik ini di satu pihak merupakan sisi lain dari mata uang permasalahan agraria di Indonesia, di mana sisi lainnya adalah persoalan ketimpangan penguasaan tanah. Tetapi di sisi lain, penguasaan tanah yang timpang juga semakin mempertajam atau semakin mendorong terjadinya sengketa agraria, yang berkembang lebih lanjut menjadi konflik agraria. Konflik-konflik baik yang bersifat vertikal maupun horisontal itu bila tidak diselesaikan secara tuntas dan sekaligus, akan merupakan gangguan untuk dapat terselenggaranya kehidupan sosial dan bernegara yang harmonis. Revisi kebijakan tidak akan banyak manfaatnya jika harus mengalami gangguan berupa konflik yang tidak pernah diselesaikan secara tuntas.

            Karena itu, penyelesaian sengketa agraria harus merupakan bagian integral dalam agenda pembaruan agaria di Indonesia. Penyelesaian sengketa ini harus meliputi konflik-konflik yang telah terjadi dan/atau masih berlangsung hingga sekarang, maupun tersedianya ruang-ruang dan tatacara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul akibat pelaksanaan pembaruan agraria.

            Secara khusus dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi di masa lampau, dimungkinkan masyarakat melakukan re-claiming (pengakuan atau tuntutan pengakuan) atas tanah-tanah yang dianggap miliknya tetapi di atasnya diterbitkan hak-hak lain oleh pemerintahan masa lalu, maupun masa kini, yang diberikan kepada pihak lain. Dalam proses penyelesaian sengketa dan konflik ini yang mesti dikedepankan adalah prinsip keadilan dan keberpihakan kepada kepentingan rakyat banyak, baru kemudian prinsip keuntungan untuk semua pihak yang bersengketa. Karena itu, sebagai bagian dari agenda pembaruan agraria di Indonesia harus lah dibentuk satu lembaga independen dimana masyarakat dapat mengajukan re-claimedatas tanah-tanah bersengketa yang terjadi akibat kebijakan pemerintah di masa lalu. Lembaga ini kemudian akan bekerja dengan prinsip pengujian terhadap pengakuan (claim) yang dilakukan maupun terhadap hak-hak baru yang telah diterbitkan, untuk kemudian memberikan satu putusan yang sifatnya menyelesaikan persengketaan. Dalam konteks ini, prinsip-prinsip restitusi tanah, atau pemulihan hak-hak, dapat diberlakukan sebagai prinsip turunan dalam penyelesaian sengketa tanah yang terjadi akibat kebijakan pemerintah di masa lalu.

            Sementara untuk penyelesaian sengketa yang sangat mungkin terjadi akibat dari dijalankannya program pembaruan agraria, sepatutnya dibentuk satu lembaga peradilan yang khusus menangani kasus-kasus sengketa agraria (Peradilan Agraria).

7.    Pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dan kelembagaan pendukung

            Pelaksanaan pembaruan agraria adalah suatu operasi yang memerlukan suatu badan otorita khusus, yang setidaknya bertugas  untuk (i) mempercepat pelaksanaannya, (ii) mengkoordinasikan berbagai badan pemerintahan sehingga saling mendukung pelaksanaannya, dan (iii) menyelesaikan sengketa yang ditimbulkan akibat pelaksanaannya. 

            Meskipun badan otorita ini letaknya pada pemerintahan nasional (pusat), namun prinsip pokok yang mesti dianut dalam pelaksanaan program pembaruan agraria dalam konteks kekinian Indonesia adalah desentralisasi dan semangat memberikan otonomi seluas-seluasnya kepada daerah. Dalam desentralisasi ini perlu penegasan dan pembagian kewenangan yang dipunyai oleh pusat dan daerah, sehingga dengan demikian akan jelas pertanggungjawaban (akuntabilitas) masing-masing pihak. Dalam hal pilihan waktu pelaksanaan program dan prioritas agenda dapat diserahkan sepenuhnya kepada kesiapan daerah untuk menjalankannya, meskipun ada satu batasan waktu untuk proses-proses penyiapan kelembagaan maupun persiapan sosial di masing-masing daerah. Tetapi untuk beberapa agenda, seperti penyelesaian sengketa agraria yang terjadi akibat kebijakan pemerintah masa lalu, proses penyelesaiannya meskipun terjadi di daerah semestinya diserahkan kepada satu lembaga yang kedudukannya bersifat nasional.

            Dengan demikian, perlu ditegaskan bahwa untuk mendukung pembaruan agraria diperlukan keberadaan lembaga yang mempunyai komitmen dan tanggung jawab penuh untuk melaksanakannya. Institusi ini bisa dibentuk pada tingkat nasional maupun daerah yang kemudian bekerja dengan prinsip-prinsip koordinasi dan partisipatif.

8.    Transparansi dan partisipasi dalam pembuatan kebijakan

Paradigma lama yang bercirikan sentralisme dalam pembuatan kebijakan, telah menafikkan partisipasi, sekaligus tidak bersifat transparan dalam pembuatannya. Sementara demokratisasi dalam pembuatan kebijakan mewajibkan pemerintah atau pihak lain yang mempunyai prakarsa untuk membuat kebijakan (Undang-undang, Peraturan Peme-rintah, ataupun Peraturan Daerah) untuk bersifat terbuka dan mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam setiap tahap pembuatan kebijakan tersebut (policy statementbackground paper/Naskah Akademik, RUU).

            Dalam hal ini, program pembaruan agraria yang di dalamnya mengandung agenda-agenda pembuatan kebijakan di bidang agraria dan pengelolaan sumber daya alam, baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah, menganut paham yang kedua, yaitu demokratisasi dalam proses pembuatan kebijakan. Tradisi “sosialisasi” Rancangan Undang-undang (RUU)/Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)/Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), harus diganti dengan konsultasi publik dalam setiap tahapan yang bersangkutan, sehingga terwujud yang disebut dengan partisipasi interaktif dan bukan partisipasi pasif seperti yang terjadi pada saat ini. Hal ini pada akhirnya juga akan menumbuhkan dinamika dalam proses penguatan organisasi-organisasi rakyat yang berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya di samping melakukan kontrol terhadap pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Ini adalah satu persoalan yang sangat penting dalam menjalankan pembaruan agraria. Karena melakukan pembaruan agraria yang berarti menata ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber daya alam akan sangat berkait dengan kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik banyak pihak, maka proses transparansi, keterbukaan, partisipatif, kontrol, dan menjaga relasi kekuasaan tetap terbuka untuk semua pihak adalah sesuatu yang penting.

            Satu hal pokok yang juga harus menjadi pertimbangan dalam proses pelaksanaan pembaruan agraria adalah inisiatif mengenai “apa” atau “program dan agenda apa saja” yang hendak dijalankan di daerah semestinya seoptimal mungkin berbasis pada pandangan dan hal-hal yang dikehendaki oleh masyarakat setempat/lokal.

9.    Usaha-usaha produksi di lapangan agraria

            Restrukturisasi pemilikan dan penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya mestilah disusul dengan suatu program yang sistematis untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan produksi yang menjadi dasar bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di satu sisi, pengembangan ekonomi rakyat ini pada dasarnya adalah pengembangan kegiatan produksi di lapangan agraria yang lebih berpusat pada kepentingan masyarakat pedesaan atau masyarakat lokal. Dalam hal ini usaha-usaha kecil yang berbasis pada lapangan agraria harus didukung untuk berkembang. Di sisi lain untuk memperkuat ekonomi rakyat, walau bagaimana pun, mesti ada pembatasan yang tegas bagi usaha-usaha produksi skala besar yang terkonsentrasi pemilikan atau penguasaannya di satu tangan (satu pihak) di lapangan agraria. Terlebih lagi adalah monopoli kegiatan usaha produksi di lapangan agraria, haruslah dicegah.

            Dukungan-dukungan yang semestinya diberikan kepada pengembangan ekonomi rakyat ini sangat diperlukan, khususnya apada tahap-tahap awal pelaksanaan pembaruan agraria, karena secara teoritis proses penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah akan membuat produktivitas ekonomi secara keseluruhan menurun dalam suatu periode waktu tertentu sebelum bangkit kembali secara signifikan untuk kemudian menuju pada tahap “lepas landas”. Dukungan-dukungan dan fasilitas untuk kegiatan produksi pasca penataan struktur pemilikan dan penguasaan dalam tahap inilah yang sangat menentukan apakah program pembaruan agraria akan bergerak ke arah “lepas landas” atau justru kandas di tengah jalan.

10.  Pembiayaan program-program pembaruan agraria

            Pelaksanaan program-program pembaruan agraria yang berkesinambungan memerlukan tersedianya biaya secara rutin yang harus dijamin oleh pemerintah. Tanpa adanya dukungan biaya, program-program pembaruan agraria hanya akan berada di atas kertas belaka. Dengan kata lain,  program pembaruan agraria, dalam pelaksanaannya adalah kegiatan pembangunan yang memerlukan biaya. Karena itu, sudah semestinya penganggarapannya dibebankan kepada negara. Tetapi prinsip utama yang harus dipegang dalam proses pembiayaan ini adalah sedemikian rupa harus diupayakan tanpa memperbesar hutang luar negeri yang saat ini sudah sangat memberatkan. Selain itu, hutang luar ngeri juga dapat membuat arah pelaksanaan pembaruan agraria itu sendiri “diselewengkan” agar sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang menyediakan hutang. Tetapi pemerintah atau lembaga-lembaga pelaksana program pembaruan agraria juga dapat memanfaatkan sumber-sumber pembiayaan yang tersedia di dunia internasional selama sumber-sumber tersebut dapat diakses dalam bentuk hibah dan/atau dengan prasyarat-prasyarat yang tidak memberatkan.

            Pada dasarnya pembiayaan pembaruan agraria semestinya dapat diupayakan dengan proses pengalokasian ulang anggaran belanja negara dan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam hal ini, penyediaan dana terbesar tidak seharusnya disediakan untuk membayar ganti rugi kepada pihak-pihak yang tanahnya diambil untuk dibagikan kembali kepada petani tak bertanah atau petani penggarap yang membutuhkannya lewat program penataan kembali struktur pemilikan atau penguasaan tanah dan sumber daya. Untuk hal ini, dapat diadakan metode pembayaran kompensasi bertahap dengan cara pembayaran kembali secara mencicil lewat hasil produksi dari tanah-tanah yang telah dibagikan dan telah berproduksi dengan baik. Pembiayaan utama dan terbesar yang harus dimasukkan adalah penyediaan fasilitas pembiayaan produksi pasca penataan ulang struktur pemilikan atau penguasaan tanah. Khususnya penyediaan fasilitas kredit untuk petani-petani kecil atau petani penerima tanah setelah program land reformyang bertumpu pada redistribusi tanah dilakukan. Pembiayaan juga disediakan untuk menopang pemasaran hasil-hasil produksi petani pasca panen. Untuk mendukung pembiayaan program pembaruan agraria ini dapat juga diadakan satu lembaga independen yang bertugas menyediakan dan mengelola dana abadi untuk pelaksanaan program agar berkelanjutan. Penyitaan dan penyerahan harta-harta hasil korupsi dan manipulasi di masa lampau yang dilakukan oleh penguasa dan kroni-kroninya dapat dijadikan jalan awal untuk pemupukan sumber daya finansial dari lembaga independen ini.

            Selain itu, sepatutnya juga dipikirkan suatu proses untuk meminta kompensasi dari perusahaan-perusahaan yang selama ini telah mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia secara berlebihan yang menghasilkan kerusakan lingkungan maupun kerusakan kehidupan sosial masyarakat setempat –apalagi jika perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh haknya untuk mengeksploitasi dengan cara menggusur masyarakat– sebagai basis lain pemupukan sumber daya finansial untuk pembiayaan program pembaruan agraria ini. Penetapan pajak progresif juga semestinya dapat diterapkan untuk turut membiayai program. Tetapi progresivitas pajak yang diterapkan bukan bersumber dari luasan tanah yang dikuasai, karena dalam pembaruan agraria yang hendak dijalankan akan ada pembatasan penguasaan tanah dan sumber daya alam. Progresivitas pajak atas tanah harus diterapkan berdasarkan penggunaan tanah tersebut secara aktual maupun berdasarkan perencanaannya yang menyebabkan dikeluarkannya hak pengelolaan atau penguasaan atas tanah tersebut.

            Secara umum, sumber-sumber pembiayaan bagi pelaksanaan pembaruan agraria dapat dibagi sebagai berikut:

a.     Sumber-sumber eksternal

-   Dana-dana hibah yang tidak mengikat

b.     Sumber-sumber internal

-   Dana yang berasal dari benefeciaries (pihak penerima keuntungan utama) dari pelaksanaan program;

-   Realokasi Anggaran Belanja Negara dan/atau Daerah;

-   Penggunaan aset-aset negara/pemerintah;

-   Pinjaman domestik dengan syarat ringan dan bunga rendah; 

-   Pajak, baik pajak biasa maupun penerapan pajak progresif; dan

-   Pengintegrasian kembali dan realokasi skema-skema kredit produksi yang telah ada.

 

 

 

Catatan Akhir:

1 Sumber utama bagian ini adalah tulisan Bonnie Setiawan (1997), “Konsep Pembaruan Agraria: Suatu Tinjauan Umum”, dalam Dianto Bachriadi (Eds), Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

2 Sadjarwo, “Pidato  pengantar  Menteri Agraria   di  dalam sidang  DPR-GR, tgl. 12 September 1960, dalam Boedhi Harsono (1997),Hukum Agraria, Jakarta, Penerbit Pradya Paramita.

3 Untuk perbandingan, lihat misalnya Michael Lipton (1974), “Toward a Theory of Land Reform”, dalam David Lehmann (ed.), Agrarian Reform and Agrarian Reformism, London: Faber & Faber, hlm. 270; S.I. Cohen (1978),  Agrarian Structures and Agrarian Reform, (Leiden/Boston: Martinus Nijhoff Social Sciences Division, hlm. 23-24

4 Gunawan Wiradi (1997), “Pembaruan Agraria: Sebuah Tanggapan”, sebagaimana dimuat pada Dianto Bachriadi dkk (Peny.) (1997), Op Cit. 

5 Selanjutnya lihat: Moh. Mahfud (1998),  Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES.

6 Sebagaimana dikutip oleh Arie Sukanti Hutagalung (1984), Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press,  hal. 101. Terjemahan oleh NF.

7 Uraian kesepuluh prinsip ini, dengan perubahan seperlunya diambil dari Kelompok Studi Pembaruan Agraria (2001), Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria sebagai Komitmen Negara Menggerakkan Perubahan Menuju Indonesia yang Lebih Baik, Masukan Pemikiran dari Kelompok Studi Pembaruan Agraria, yang disampaikan kepada Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR RI pada 21 Mei 2001.