R. Yando Zakaria dan Noer Fauzi (2001) "Pembaruan Desa dan Agraria Dalam Konteks Otonomi Daerah" Jurnal Analisis Sosial 6(2):89-110.
Naskah sepenuhnya secara bebas dapat diunduh dari https://drive.google.com/file/d/1r1Oj3r2aTAdLFiKroKPP6ZTYRGqz2Xip/view?usp=sharing
"…… pemerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang pengelolaan sumber-sumber alam, orang, barang, dan uang, dengan para pengelola negara sebagai pemain panggungnya dan rakyat sebagai pengamat dan pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat, paling jauh, adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan. Ajakan pembaruan cara dan agenda pemerintahan dengan demikian bersifat mudah-mudahan, penuh harap pada para pengelola negara yang baru serta pada ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor nyaring dari bawah panggung tentang reformasi, yang tetap takzim pada akar kata itu: perintah.
Pengurusan merupakan suatu konsep tandingan yang sangat akrab bagi penutur bahasa Indonesia, dan mengacu kepada konsep pokok yang lebih jitu: urus. Setelah sejarah membuktikan kegagalan dari pengelolaan perubahan tanpa-rakyat selama tiga puluh tahun, penggantian orang, perombakan dekorasi panggung dan atau skenario baru saja mengandungi risiko kegagalan yang sama, selama rakyat sendiri tidak aktif dan tidak berkesungguhan mengurus apa yang menjadi persyaratan kehidupannya."
(Hendro Sangkoyo, "Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ekologis sebagai Agenda Pokok Pengurusan Masyarakat dan Wilayah," Kertas Posisi Konsorsium Pembaruan Agraria No. 8/2000.
Salah satu semangat jaman (zeitgeist) yang menjadi salah satu agenda reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini tertuang dalam kata “otonomi”, yang berarti mengatur rumah tangga sendiri. Kata otonomi didampingkan dengan kata “daerah”. Dengan otonomi daerah ada kehendak memperbaharui hubungan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah dari pola hubungan yang titik tekannya pada dekonsentrasi dan medebewind menjadi desentralisasi. Berbeda dengan dekonsentrasi dan medebewind yang merupakan ekspresi dari sentralisasi pembuatan kebijakan, dengan desentralisasi jarak antara rakyat dan pembuat kebijakan (policy makers) menjadi lebih dekat sehingga diharapkan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat. Lebih jauh lagi, diharapkan semakin terbuka akses rakyat dalam pembuatan kebijakan. Pemahaman tentang pentingnya desentralisasi, sebagaimana dimaksud dalam uraian di atas telah menjadi wacana umum, yang secara formal ditandai oleh adanya TAP MPR RI Nomor XV/MPR/1998, UU 22/1999 hingga PP No. 25/2000.
Desentralisasi didudukkan sebagai formula yang dipertentangkan dengan sentralisasi kewenangan yang diwujudkan melalui pola dekonsentrasi dan medebewind. Sebagaimana dikemukakan Cornellis Lay, model pengelolaan politik dan pemerintahan yang hypercentralistic di era reformasi kehilangan kapasitasnya karena memudarnya kemampuan dua instrumen penegaknya, yaitu politics of sticks dan politics of carrot. Hancurnya basis material negara akibat krisis ekonomi berkepanjangan dan KKN menyebabkan pusat kehilangan sumber daya finansial (material) untuk membeli dan mempertahankan loyalitas dan kepatuhan daerah kepada Jakarta. Sebuah syarat yang sejak sekian lama mudah dipenuhi Orde Baru justru karena kuatnya topangan penghasilan dari eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dan utang luar negeri. Dengan demikian operasionalisasi politics of carrot menjadi mustahil diwujudkan.
Bagan Tiga Jenis Hubungan Pusat-Daerah
Sementara itu pengungkapan anka pathology yang melekat dalam militer membuat tentara sebagai instrumentumokat politics of sticks kehilangan landasan moral, politis, dan legitimasi untuk berfungsi sebagai kekuatan pemaksa kepatuhan dan loyalitas daerah. Bahkan, berbagai penyimpangan tentara terutama yang berkaitan dengan pelanggaran HAM telah menjadi energi pembenar bagi kuatnya penentangan terhadap otoritas Jakarta.
Apa yang didiskusikan di atas sebenarnya merupakan salah satu agenda reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agenda itu telah menjadi pilihan yang tidak mungkin dicabut kembali dan tidak bisa mundur (point of no return) meskipun konjungtur politik (di pemerintah pusat maupun daerah) saat ini belum menjanjikan iklim perubahan yang lebih mendasar.
Tulisan ini mengasumsikan keberlangsungan Negara Republik Indonesia akan ditentukan oleh kemampuan Negara menata ulang hubungannya dengan komunitas. Negara tidak akan bertahan – tanpa tindakan-tindakan politik represif -- jika tidak didukung oleh komunitas yang hidup. Makalah ini adalah suatu undangan pada suatu cara pikir interaksi antara Negara dan Masyarakat yang menggantikan cara pikir state centered approach (yang berpusat pada Negara) dan society centered approach (yang bepusat pada komunitas).
Yang diperlukan sekarang adalah -- di satu pihak -- mengubah sosok negara tak lebih sebagai suatu sistem pengurusan dan administrasi kehidupan bersama yang lentur sejalan dengan mandat yang diberikan rakyat. Hal ini hanya bisa terjadi manakala ada suatu kesadaran atas kekeliruan praktek Negara akibat ‘sesat pikir’ tentang (konsep) Negara itu sendiri. Dalam perjalanan pengalaman Indonesia praktek tersebut menjadi sosok yang semakin menjauh dari jangkauan komunitas. Di pihak lain, mengubah masyarakat yang menempatkan diri hanya sebagai objek perbuatan-perbuatan negara. Yang diperlukan adalah fasilitasi agar terwujud otonomi dari masyarakat sendiri untuk menentukan jenis kelembagaan yang mereka perlukan, yang merupakan jaminan bagi keberlangsungan dan kemajuan kehidupannya.
------ Silakan sepenuhnya dapat dibaca pada naskah asalnya, yang dapat diunduh sepenuhnya secara bebas https://drive.google.com/file/d/1r1Oj3r2aTAdLFiKroKPP6ZTYRGqz2Xip/view?usp=sharing