Noer Fauzi (2002) “Land Reform: Agenda Pembaruan Struktur Agraria dalam Dinamika Panggung Politik” dalam Menuju Keadilan Agraria, 70 tahun Gunawan Wiradi, Endang Suhendar et al (Eds), Bandung: Yayasan Akatiga. Pp. 229-272. https://www.neliti.com/publications/471/menuju-keadilan-agraria-70-tahun-gunawan-wiradi
“Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk gendut karena menghisap keringatnya orang-orang dis-erahi menggarap tanah itu”.
“Jangan mengira land reform yang kita hendak laksanakan adalah komunis! Hak milik atas tanah masih kita akui! Orang masih boleh punya tanah turun-temurun. Hanya luasnya milik itu diatur baik maksimumnya maupun minimumnya, dan hak milik atas tanah itu kita nyatakan berfungsi sosial, dan Negara dan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari-pada hak milik perseorangan”
(Soekarno, “Laksana Malaikat yang Menyerbu Langit” Jalannya Revolusi Kita!, Amanat Presiden Republik Indonesia Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960)
Secara sederhana, land reform adalah program untuk menghadapi masalah-masalah struktur agraria yang timpang. Pada acara reguler perayaan ulang tahun proklamasi kemerdekaan, tahun 1960, Presiden Soekarno menyampaikan pidato dengan mengutip laporan PBB bahwa “defect in agrarian structure, and in particular systems of land tenure, prevent a rise in the standard of living of small farmers and agricultural labourer, and impede economic development”.
Sebagai bangsa yang pernah berada di bawah penguasaan kolonialisme dan feodalisme, juga negeri yang memperoleh kemerdekaannya dari suatu rev-olusi maka kehendak untuk menghilangkan kolonialisme dan feodalisme juga terekspresikan dalam upaya memperbarui struktur agraria, yakni kon-figurasi siapa-siapa yang memiliki dan tidak memiliki tanah, siapa-siapa yang berhak memanfaatkan dan memperoleh keuntungan daripadanya, serta hubungan di antara kelompok-kelompok yang terpisah itu.
Dalam semangat revolusioner, Soekarno menggunakan apa yang disebut dengan “defect in agrarian structure” untuk menunjuk warisan dari feodalisme dan kolonialisme itu. Di masa awal sejarah RI, land reform memang dianut oleh elite penguasa politik negara sebagai strategi untuk menghilangkan sisa-sisa kolonialisme dan feodalisme yang dirumuskan sebagai sebab-sebab kehancuran “kemakmuran rakyat”. Pidato pengantar Menteri Agraria - Mr. Sadjarwo, di dalam sidang mengantarkan Rancangan Peraturan Dasar tentang Pokok-pokok Agraria ke DPR-GR, tgl. 12 September 1960, menyebutkan bahwa “... perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari (cengkraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing”.
Struktur Agraria
Hubungan antara struktur agraria dan kondisi sosial yang melingkupinya sangatlah penting. Struktur sosial feodalistik, kapitalistik, atau sosialistik akan menghasilkan kondisi sangat berbeda dalam hal pemilikan tanah, sistem organisasi kerja unit produksi agraria, dan bentuk usaha pengelo-laannya. Dengan kata lain, struktur sosial ikut membentuk kerangka struk-tur agrarianya. Selain itu, banyak faktor lain yang ikut membentuknya, seperti faktor teknologi, kebijakan, penetrasi pasar, dan lain-lain. Dalam konteks ini, bentuk kepemilikan tanah menentukan distribusi pendapatan dan kekayaan berdasar pemanfaatannya. Misal, pada masyarakat yang sistem hukumnya membolehkan kepemilikan tanah pribadi maka difer-ensiasi atau pemisahan kelas sosial sama sekali tidak bisa dihindari.
Dalam perspektif sejarah, kepemilikan tanah senantiasa berubah sejalan dengan kondisi yang membentuknya. Susunan kepemilikan tanah inilah yang menjadi ciri pokok struktur agraria. Dengan melihat optik struktur agraria ini maka pada dasarnya land reform merupakan upaya untuk menata kembali struktur agraria yang timpang agar tercapai suatu keseim-bangan lebih baik antar-pelaku (produksi) agraria dalam masyarakat.
Dari pengenalan terhadap struktur agraria di berbagai wilayah belahan dunia, Fritjhof Kuhren (1993) dalam karyanya Man and Land: An Introduction into the Problem of Agrarian Structure and Agrarian Reform mengungkap jenis-jenis struktur agraria berdasar pada subjek pemilik atas tanah sebagaimana diurai-ringkas berikut.
Pertanian Suku
Penggembalaan Berpindah atau Pastoran Nomadism
Pastoran nomadism adalah penggembalaan oleh kelompok sosial (suku, keluarga besar) dengan kawanan gembalanya melewati wilayah suku berupa padang rumput yang umumnya dimiliki berdasarkan tradisi kekua-saan suku-suku, bukan atas dasar hukum negara. Terbatasnya wilayah yang subur memaksa orang-orang berkelompok, bergabung secara erat melindungi hak atas padang rumput dan air. Oleh karena itu, kepemimpinan menuntut loyalitas tinggi dari anggota kelompok dan sebagai imbalan, pemimpin memberikan dukungan serta perlindungan.
Hak untuk menggunakan daerah padang rumput berada di tangan suku, sedangkan hewan dimiliki masing-masing keluarga. Perbedaan ini dapat mengakibatkan terjadinya penggembalaan berlebih di padang penggem-balaan ketika padang penggembalaan semakin langka. Di antara anggota kelompok ada kecenderungan untuk memiliki kawanan ternak sebanyak mungkin, tetapi tidak ada usaha untuk mendapatkan ternak bermutu tinggi. Ternak tidak saja merupakan dasar pemenuhan kebutuhan sendiri dan cadangan dalam menghadapi masa kritis, tetapi juga merupakan satu-satunya cara untuk menyediakan cadangan pangan dalam kehidu-pan mengembara (nomadik). Ternak juga menaikkan martabat, menjadi sumber pemberian yang diperlukan untuk memenuhi kewajiban sosial, membayar mas kawin guna mengikat hubungan sosial, sekaligus sebagai sarana mempertahankan kehidupan kelompok tersebut.
Berpindahnya penggembalaan sangat penting untuk mengatur pemulihan padang rumput. Namun demikian, produksinya rendah dan tanah sering kali rusak karena terjadinya penggembalaan berlebih. Sangat sulit untuk mempengaruhi kelompok suku agar mengubah pola produksi yang mereka gunakan, karena hal ini sekaligus berarti mengubah cara hidup mereka, termasuk perubahan ke arah kehidupan menetap.
Perladangan Berpindah
Perladangan berpindah ialah suatu jenis pertanian dengan tanah yang ditanami berpindah secara berkala, sehingga tanah yang telah dipanen sebelumnya dibiarkan bera (istirahat) dan menjadi hutan kembali. Hal ini merupakan cara tradisional dalam pemanfaatan tanah dan masih dijumpai di wilayah hutan tropik basah.
Perladangan berpindah dalam pengertian yang lebih sempit berarti per-pindahan tanah yang ditanami maupun pemukiman. Namun akhir-akhir ini terdapat kecenderungan untuk memindahkan tanah yang ditanami saja sedangkan pemukimannya tetap karena makin padatnya penduduk dan pengaruh kebijaksanaan pemerintah.
Pada pola perladangan berpindah, tanah dimiliki bersama dan dikuasai oleh kelompok-kelompok sosial, biasanya suku. Kepala suku atau pendeta menentukan tanah yang boleh dimanfaatkan setiap keluarga. Tanah dibuka dengan jalan menebang pohon-pohon yang ada kemudian membakarnya. Tanah ini ditanami selama beberapa tahun, lalu dibiarkan istirahat sambil sebidang tanah lainnya dibuka. Masa regenerasi akan mempertahankan kesuburan tanah bila masa istirahat tanah berlangsung cukup lama, dengan kata lain jika jumlah penduduknya sedikit. Dalam hal ini, masukan yang terbatas, pemanfaatan yang luas mampu menunjang swasembada dalam arti yang sangat sempit.
Pekerjaan dilakukan oleh keluarga dan diatur berdasarkan pembagian kerja menurut adat istiadat. Biasanya kaum pria membuka tanah sedangkan kaum wanita bertanggung jawab untuk menanami, mengolah, dan yang lebih maju lagi menangani pemasaran. Sistem sosial yang pada dasarnya gotong-royong ini terbatas pada kelompok kecil terutama keluarga dan suku, semua kebutuhan dapat dipenuhi sendiri dengan solidaritas tinggi. Kelompok yang melakukan perladangan berpindah kurang berhubungan dengan pemerintah nasional baru. Selama hanya sedikit tanah yang di-huni, sistem ini dapat berlangsung agak lama dan aman. Pada pola ini, tidak ada golongan yang tidak memiliki tanah, tidak terdapat spekulasi dan pemanfaatan tanah untuk kepentingan sediri serta kesuburan tanah dapat terpelihara.
Peningkatan penduduk di beberapa wilayah mendorong kebutuhan un-tuk makin sering membuka tanah dan mengurangi masa bera sehingga membahayakan kesuburan tanah. Perpindahan pemukiman dan ladang yang terus-menerus menghalangi pembangunan prasarana. Konsep yang banyak dibahas sekarang ini adalah individualisasi hak atas tanah. Namun konsep ini adalah model Barat yang asing bagi kebudayaan asli sehingga penerapannya sungguh membahayakan.
Pertanian Feodalistik
Di sini feodalisme tidak dilihat sebagai aspek sejarah perkembangan masyarakat tetapi lebih sebagai bentuk stratifikasi sosial yang ditandai dengan perbedaan kekayaan, pendapatan, kekuasaan, dan martabat. Antara minoritas yang terdiri dari pemilik tanah besar dan mayoritas yang terdiri dari para tunakisma atau memiliki tanah sempit, terdapat hak dan kewajiban yang saling mengikat, namun sangat tidak seimbang.
Feodalisme Berdasarkan Sewa
Penggunaan tanah, pajak atau kekuasaan ekonomi merupakan dasar bagi para tuan tanah untuk menguasai petani dan kelompok yang tidak memiliki tanah. Petani dan kelompok yang tidak bertanah tidak mempunyai pilihan lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga terpaksa membayar sewa yang tinggi, bekerja secara paksa, dan dalam beberapa hal tergantung secara pribadi untuk dapat hidup sebagai penyewa atau buruh.
Pada struktur agraria ini konsentrasi pemilikan tanah dan air berada di tangan beberapa tuan tanah yang minatnya terhadap produksi tanah sebe-narnya sangat kurang. Mereka membagi tanah menjadi bagian-bagian kecil untuk ditanami petani pengarap. Jangka waktu kontrak sering hanya berlangsung selama satu musim tanam. Kontrak umumnya diperpanjang melalui kesepakatan secara diam-diam, tetapi karena tidak ada jaminan, penggarap menjadi tidak bebas. Pada kasus bagi hasil tersebut hasil total panen dibagi antara tuan tanah dan penyewa. Penyewa harus tunduk kepada kemauan tuan tanah tentang ihwal pertanian. Dikarenakan sempitnya tanah yang mereka sewa maka keadaan ekonomi mereka umumnya sangat kritis dan mereka kerap kehilangan kebebasannya akibat terlibat utang kepada tuan tanah. Sementara itu, tuan tanah berusaha memperoleh pendapatan yang tinggi dengan cara menaikkan sewa sambil mengeluarkan upaya sedikit dan tidak mendorong penyewa untuk menanam lebih intensif. Bagi mereka tanah adalah kekayaan untuk disewakan sekaligus memberikan martabat dan kekuasaan karena ketergantungan penyewa juga mencakup kehidupan pribadinya dan memaksa penyewa patuh dalam segala keadaan. Sistem ini sama saja dengan mengambil dari kaum miskin untuk diberikan kepada kaum berada. Keuntungan diperoleh melalui penghisapan sebanyak mungkin, bukan dengan cara meningkatkan produksi.
Para tuan tanah besar tidak mengawasi sendiri para penyewa, tetapi me-nyerahkan pekerjaan itu kepada pengawas (dahulu yang disebut penyewa tangan kedua). Cara ini menambah besarnya eksploitasi terhadap penyewa. Walaupun telah diadakan beberapa pembatasan tentang luas tanah yang boleh dimiliki melalui land reform, tetapi hal itu seringkali hanya meru-pakan pengalihan dari tuan tanah besar kepada tuan tanah kecil.
Latifundia (hacienda)
Latifundia ialah pemilikan tanah yang luar biasa luasnya. Sekarang hanya terdapat di Amerika Latin. Bentuk yang paling banyak dilaksanakan ialah hacienda (facenda) yang berasal dari undang-undang kolonial yang mem-perbolehkan berlangsungnya kerja paksa atau pemberian hadiah tanah bagi jasa kemiliteran. Hacienda adalah kesatuan sosial dan ekonomi yang sama dengan suatu negara kecil, hidup secara swasembada dan memenuhi kebutuhan ekonomi sendiri (autarki) berada di bawah “pelindung” (pa-tron). Hacienda bukanlah suatu pertanian, melainkan lebih menyerupai pengelolaan sebidang tanah dengan beberapa bentuk organisasi pekerja dan pemanfaatan tanah secara simultan, misalnya perkebunan dan pertanian bagi hasil. Intensitas penanaman berbeda-beda menurut bagian-bagian hacienda, walaupun kecil. Hacienda juga mencakup hutan dan tanah terlantar.
Berbagai unit ekonomi pada hacienda terikat menjadi satu oleh hubungan kerja. Pembayaran tunai sedikit sekali dilakukan. Penguasa mendapat pelayanan dari pekerja, penyewa, pemukim, penggembala, pengelola dan lain-lain. Sebagai imbalannya, penguasa menyediakan sekolah dengan standar yang sangat rendah, tunjangan kesehatan, nafkah hidup, tunjangan hari tua, dan perbekalan. Sedangkan upah, kredit, dan pembelian diperhitungkan sesuai dengan harga toko.
Bagi haciendero, tanah merupakan sumber kehormatan, kekuasaan, dan spekulasi perekonomian. Arti tanah bagi produksi pertanian hanya nomor dua. Pemilik tanah luas ialah aristokrat yang memiliki kekuasaan finansial di daerah itu dan mempunyai pengaruh kuat terhadap pemerintah. Suatu perubahan dalam pemerintahan seringkali hanya berarti pengambilalihan oleh keluarga lainnya. Walaupun mereka mempunyai minat politik, haci-endero berusaha keras mempertahankan sifat kedaerahan. Hal ini menyu-litkan bagi pembangunan prasarana di daerah itu. Pada pola ini terdapat suatu struktur kelas yang nyata dengan pemilikan tanah dan suku sebagai ciri paling penting bagi penentuan strata. Struktur patriarkat menentukan kehidupan rakyat sejak lahir sampai meninggal. Hampir tidak mungkin untuk merombak sistem ini karena tidak ada tempat lain untuk mendap-atkan pekerjaan. Hidup berdampingan antara latifundia dan minifundia (pertanian skala kecil), kelimpahan dan kemiskinan merupakan ciri yang jarang dijumpai pada struktur agraria lainnya.
Pertanian Keluarga
Dalam pertanian keluarga hak milik dan hak pakai berada di tangan masing-masing keluarga. Pengelolaan dan pekerjaan dilakukan oleh keluarga yang memiliki tanah pertanian, dan dengan demikian tidak terikat kepada kelompok sosial yang lebih besar. Tipe ini terdapat di Eropa, di pemukiman orang Eropa, maupun di banyak bagian dunia lainnya.
Tanah adalah faktor pemersatu dalam sistem sosial pedesaan sekaligus sebagai landasan kehidupan, faktor produksi, Kemakmuran, dan tempat tinggal. Sesuai dengan tradisi, tanah tidak dijual tetapi dimanfaatkan kemudian diwariskan kepada generasi berikutnya. Tujuan ekonominya ialah memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi semua orang yang tinggal di kawasan pertanian tersebut. Sebagai tujuan jangka panjang yang ber-langsung dari generasi ke generasi, pertanian harus dilakukan sedemikian rupa sehingga kesuburan tanah dan lingkungan tidak rusak.
Ada korelasi antara besarnya pertanian dan kemampuan tenaga kerja. Keadaan ideal adalah bila pertanian cukup besar bagi sebuah keluarga untuk melakukan semua pekerjaan sendiri dan dapat memenuhi segala kebutuhan. Bilamana luas pertanian cukup dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga tani maka pertanian keluarga adalah sistem yang stabil dengan perbedaan sosial yang kecil sehingga sangat cocok bagi kegiatan koperasi. Dalam hal ini aspek ekonomi sangat menonjol. Berkurangnya luas per-tanian karena dibagikan kepada ahli waris atau untuk pembayaran utang dapat membahayakan sistem itu dan kadang-kadang menyebabkan beral-ihnya tanah ke struktur agraria feodal. Dengan mendidik dan memberikan persiapan kepada ahli waris yang meninggalkan bidang pertanian, sistem ini memberikan manfaat cukup berarti bagi sektor ekonomi lainnya.
Di Eropa dan beberapa negara sedang berkembang, pertanian telah men-gubah orientasinya pada pasar, modal, dan penerapan metode pertanian maju di bawah bimbingan tenaga penyuluhan. Hal ini diikuti dengan perluasan usaha pertanian sebagai akibat pemupukan modal yang makin besar. Tergantung pada keadaan yang terjadi, hal ini berkaitan dengan adanya beberapa petani yang mengubah kedudukan mereka dan mencari pekerjaan di luar bidang pertanian atau hanya karena kehilangan kekayaan dan status sosial. Mengingat bahwa yang disebutkan terakhir ini seringkali terjadi akibat kesalahan pengelolaan dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan, kadang-kadang diupayakan untuk memindahkan tanggung jawab pengelolaan pertanian inti dari tangan pengelola pertanian sebelumnya ke suatu sistem “produksi di bawah pengawasan” dan mencapai hasil yang lebih baik dengan adanya pengendalian dari pusat. Hal ini dapat diterapkan dengan integrasi vertikal atau tekanan dan sering dijumpai pada proyek-proyek pemukiman.
Segera setelah terbuka kesempatan yang lebih besar untuk bekerja di luar bidang pertanian di suatu wilayah, berbagai kegiatan sampingan dan per-tanian sampingan semakin meningkat. Dengan perkataan lain, satu atau beberapa anggota keluarga mencari pekerjaan di luar bidang pertanian. Pertanian komersial yang maju berasal dari pertanian keluarga berciri komersial. Walaupun demikian, dalam hal pertanian keluarga yang padat modal di Eropa dan negara sedang berkembang yang berorientasi pasar, perbedaan antara pertanian komersial dan pertanian keluarga di pedesaan menjadi makin kecil.
Pertanian Kapitalistik
Berbagai bentuk pertanian dengan ciri kapitalistik terdapat di seluruh dun-ia. Contoh, perusahaan pertanian di Amerika Utara, peternakan di Amerika Latin, dan industri pertanian di Eropa Timur. Tipe pertanian kapitalistik yang paling penting di negara sedang berkembang ialah perkebunan. Sebuah perkebunan adalah pertanian berskala besar yang mengutamakan penanaman tanaman tahunan misalnya pohon, semak, atau perdu sering kali dengan sistem penanaman satu jenis (monokultur). Hasilnya biasanya diolah secara industri di pabrik pengolahan perkebunan itu sendiri dan diarahkan untuk ekspor (tebu, pisang, teh, kopi, coklat, kelapa sawit, dan sebagainya). Perkebunan seringkali dimiliki oleh orang asing.
Pengolahan industri menuntut jaminan mutu, kelancaran pengiriman dalam jumlah yang cukup untuk memanfaatkan kapasitas pabrik sepenuhnya. Oleh karena itu, pengelolaannya ditandai dengan pengendalian dan hi-erarki ketat. Dengan mempekerjakan tenaga terbaik dalam pengelolaan, produktivitasnya sangat tinggi. Namun demikian, perkebunan mendahu-lukan dan melayani kepentingan asing, juga merupakan gugus tertutup yang biasanya tidak banyak memberikan manfaat bagi ekonomi dalam negeri. Memang benar negara memperoleh sejumlah besar pajak ekspor, namun pengaruh ekonomi dan politik biasanya cukup besar. Lebih dari itu kondisi sosial di wilayah perkebunan pada umumnya sangat buruk. Para pekerja biasanya memperoleh penghasilan sangat rendah, kesempatan yang kecil untuk memperoleh jabatan lebih baik, dan tingkat hidup yang menyedihkan. Walaupun pihak perkebunan menyediakan perumahan, namun pada umumnya keadaannya sangat sederhana. Kondisi gizi dan kesehatan sangat kurang, antara lain disebabkan oleh produksi keluarga yang tidak mencukupi. Pekerja sering diambil dari wilayah negara atau kelompok penduduk lain yang akan menambah besarnya masalah. Perke-bunan yang dimiliki oleh elit dalam negeri mempunyai ciri-ciri yang sama, hanya berbeda dalam tingkat produktivitas yang umumnya rendah.
Pertanian Kolektif
Struktur agraria kolektif beraneka ragam dan dapat dibedakan atas dua tipe dasar, yaitu pertanian sosialistik dan pertanian komunistik. Di dalam pertanian sosialistik sarana produksi diserahkan kepada rakyat dan produksi direncanakan oleh negara. Sementara pertanian komunistik bukan hanya merupakan sistem ekonomi melainkan lebih merupakan pandangan hidup secara keseluruhan, berdasarkan politik, etika atau agama.
Pertanian Sosialistik
Berdasarkan ideologi sosialistik pemikiran pribadi atas tanah mengarah pada pemerataan. Oleh karena itu, sosialisasi alat produksi merupakan unsur utama dalam struktur agraria ini yang sangat dipengaruhi ideologi politik. Yang termasuk di sini ialah konsepsi bahwa pertanian kecil telah ketinggalan oleh kemajuan teknik sehingga harus digabungkan dengan unit-unit ekonomi besar. Komponen ketiga ialah perencanaan yang ketat oleh pemerintah mengenai produksi pertanian. Tujuan jangka panjang sebenarnya adalah menghapuskan perbedaan antara pola kehidupan indus-tri dan pertanian, tetapi masih belum tercapai sekarang ini. Kenyataannya, banyak terdapat perbedaan di antara masing-masing negara sosialis Eropa dan Kuba menyangkut jangkauan mencapai sosialisasi. Dengan demikian jangkauan sosialitas dalam pertanian bervariasi dari 96% di Uni Soviet dan hanya 31% dan 15% di Polandia dan Yugoslavia. Sisanya terbagi-bagi di antara pertanian swasta kecil dan kelompok rumah tangga yang diperbolehkan menjadi anggota kolektif di negara-negara itu.
Mengenai organisasi pertanian dalam bentuk-bentuk pertanian sosialis, harus dibedakan antara pertanian negara (sovkhoz) dan pertanian kolektif (kolkhoz). Pertanian kolektif biasanya lebih banyak diminati karena walaupun berada di bawah pengendalian negara sepenuhnya, negara tidak diharuskan menanggung risiko ekonomi. Risiko itu dilimpahkan kepada para anggota. Pemerintah dapat mempengaruhi dan mengarahkan tingkat upah maupun pembentukan dan pengalihan modal dengan menentukan kuota pengiriman dan harga. Dengan kata lain, pemerintah dapat menggu-nakan sektor pertanian untuk mencapai tujuan kebijakan ekonomi. Dalam sistem ini, setiap produksi rumah tangga mempunyai peranan penting. Di sini dilakukan produksi padat karya untuk meningkatkan suplai para ang-gota pertanian sekaligus menghasilkan tanaman yang sulit dikembangkan dalam unit pertanian besar. Peternakan juga mempunyai peranan tertentu dalam pertanian rumah tangga. Keuntungannya dapat membawa perbaikan pada sebagian kelompok rumah tangga berpenghasilan rendah.
Sistem ini mengandung beberapa unsur yang harus dipandang sebagai kelemahan ditinjau dari sudut pencapaian produksi. Perusahaan tani kolek-tif harus menerima setiap orang yang mencari pekerjaan, karena mereka mempunyai hak atas pekerjaan, walaupun tidak diperlukan. Persentase pengawasan dan waktu yang terluang karena birokrasi pada pertanian pemerintah sangat tinggi ditambah dengan masalah pengadaan sarana produksi, serta tingkat produktivitas yang relatif rendah, walaupun dalam jangka waktu yang lebih lama tidak dapat dibandingkan dengan produktivi-tas negara-negara industri Barat. Namun demikian, perlu dikemukakan di sini bahwa ini hanyalah merupakan salah satu pertimbangan yang mungkin diberikan. Gambarannya akan berbeda bila orang melihat sumbangan dari modal, alih tenaga kerja ke dalam sektor lain, dan sumbangan terhadap pencapaian tujuan politik.
Pertanian Komunistik
Pertanian komunistik dapat didasarkan pada suatu sindrom politik atau etika keagamaan. Berbeda dengan kolkhoz, komune pada rakyat Cina mempunyai bentuk kolektif yang meliputi semua sektor kehidupan dan ekonomi, tidak terbatas pada pertanian saja. Seluruh penduduk di sebuah wilayah menjadi bagian dalam sistem ini. Jadi, bukan penduduk pertanian saja. Kesatuan ini dapat mencapai luas sebuah desa, mencakup produksi pertanian dan industri, jasa, pendidikan, pelayanan kesehatan, program kebudayaan, administrasi dan masalah-masalah politik maupun beberapa aspek konsumsi dan kehidupan pribadi.
Tata kerja diatur secara ketat menyerupai militer dengan penuh disiplin. Di dalamnya ada 3 tingkat kelompok kerja, yaitu kelompok produksi, kesatuan-kesatuan produksi, dan komune. Hubungan antara komune negara dan kesatuan komune diatur dengan kontrak. Kegiatan ekonomi berlangsung dalam rangka perencanaan negara yang tetap memberikan kesempatan bagi keputusan lokal.
Kebutuhan dasar diatur atas dasar persamaan hak dan dipenuhi oleh upah dasar dalam bentuk uang kontan dan natura berupa makanan pokok mau-pun pembebanan biaya pendidikan, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Di samping itu, diberikan bonus untuk meningkatkan produktivitas dan tersedia kesempatan bagi pertanian swasta berskala kecil. Pada dasarnya masyarakat tidak terdiri dari kelas-kelas, tetapi bonus dan pertanian ke-luarga maupun adanya berbagai jabatan mendorong terbentuknya strata sosial. Walaupun demikian, perbedaan pendapatan terjadi bukan karena perbedaan antara perorangan dan/atau keluarga, melainkan lebih ban-yak terjadi pada antarkomune karena perbedaan produksi dan kondisi pemasaran. Perbedaan yang cukup berarti ini, dalam banyak hal, tidak dapat langsung diketahui.
Sistem ini masih dalam proses perubahan dan telah menimbulkan perubahan dalam masyarakat, misalnya sistem kekeluargaan lama tidak lagi dijumpai dan wanita diberi penghargaan sama. Ini merupakan keberhasilan dalam pengorganisasian penduduk untuk membangun ekonomi dan menciptakan modal yang membuat sistem ini lebih menarik untuk negara-negara lain. Namun demikian, perlu dikemukakan di sini bahwa kemungkinan dan kondisi untuk memperkenalkan sistem ini dan berhasil berjalan dengan baik di negara-negara lain belum dianalisis secara memadai.
Kolektivisasi tidak terbatas pada sistem sosialistik maupun komunistik. Di masa awal dahulu, masyarakat berusaha membentuk cara hidup tanpa per-bedaan sosial, kekayaan dan saling memeras. Dengan kata lain masyarakat yang mempunyai ciri persaudaraan, persamaan, dan keadilan. Biasanya mereka itu adalah kelompok-kelompok kecil. Ditinjau dari segi kelang-sungan dan keunggulan, kibbutz di Israel paling unggul dibandingkan dengan kelompok lainnya. Sistem ini merupakan masyarakat sukarela yang terdiri dari rakyat, tanah, dan modal untuk mencapai produksi, distribusi, konsumsi, dan kehidupan kolektif. Dalam semua bentuk komunistik, penggunaan paksaan memegang peranan penting untuk menjamin peran serta masyarakat. Paksaan dilakukan baik dalam bentuk tekanan politik maupun keadaan darurat yang akan lebih mudah dijalankan dalam suatu gugus kolektif.
Tujuan-tujuan Land Reform
Setelah memeriksa perkembangan sejarah yang panjang, Elias H. Tuma dalam Encyclopaedia Britanica (Tuma, 2001), pada entry “Land Reform” menyimpulkan bahwa land reform dalam pengertian luas akhirnya disa-makan dengan agrarian reform (pembaruan agraria), yakni suatu upaya untuk memperbaiki struktur agraria, yang terdiri atas sistem penguasaan tanah, metode penggarapan tanah dan organisasi pengusahaannya, skala operasi usahanya, sewa menyewa, kelembagaan kredit desa, pemasaran, juga pendidikan dan pelatihan untuk menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan keadilan sosial dan produktifitas.
Secara umum, biasanya signifikansi program land reform yang dijalankan suatu pemerintahan dapat dikenali dari rumusan-rumusan tujuannya, baik tujuan-tujuan yang bersifat politis, sosial, maupun tujuan ekonomi. Setelah memeriksa perjalanan land reform se-dunia, akhirnya Elias H. Tuma (Tuma, 2001) mengumpulkan dan mengemas ulang daftar tujuan land reform, sebagaimana diuraikan berikut ini:
Tujuan-Tujuan Politis dan Sosial
Reformasi pada umumnya diintrodusir oleh inisiatif pemerintah sebagai respons terhadap tekanan internal dan eksternal, untuk mengatasi krisis ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karenanya, reformasi diandaikan sebagai upaya mencari mekanisme penyelesaian suatu masalah. Dari sini kemudian mulai disosialisasikan oleh kaum reformis tentang pentingnya reformasi. Reformasi yang disosialisasikan akan memiliki makna jika tujuan-tujuan yang ditargetkan mendapatkan dukungan luas dari berbagai kelompok. Kelompok reformis menetapkan tujuan itu untuk memenuhi tuntutan petani, menghancurkan kelompok oposisi, mendapatkan dukun-gan internasional, dan untuk mengamankan posisi mereka. Tujuan-tujuan land reform yang mereka tetapkan akan dianalisis dalam artikel ini.
Tujuan land reform pada umumnya adalah untuk mengapus feodalisme yang berarti penyingkiran kelas tuan tanah dan mengalihkan kekuasaan-nya kepada elite reformis atau wakil masyarakat. Jika di antara para tuan tanah itu adalah orang asing maka tujuannya adalah untuk mengalahkan imperialisme dan mengakhiri eksploitasi yang dilakukannya. Selain itu, penerapan land reform juga bertujuan untuk membebaskan para petani dari eksploitasi dan membebaskan mereka dari ketergantungan kepada kaum yang mengeksploitasi dan membuat mereka menjadi warga negara aktif dalam menuntut hak-haknya.
Tujuan yang ketiga adalah untuk menciptakan demokrasi —negara yang dicita-citakan, baik oleh kelompok reformis-kapitalis ataupun reformis-komunis. Kebanyakan reformasi ala kapitalis didasarkan pada ketentuan bahwa kepemilikan pribadi dalam keluarga petani independen, sangat penting untuk mendukung institusi-institusi demokrasi.
Kelompok reformis-komunis, kebalikannya, selalu berusaha untuk meng-hapuskan feodalisme dan kapitalisme dengan suatu kesadaran bahwa sistem produksi, kepemilikan pribadi atas tanah, bisa melanggengkan eksploitasi. Artinya, terjadi proses pengalihan tanah ke petani dan meng-hapuskan kelas dalam masyarakat demokratis. Untuk mencapai tujuan-nya, kelompok komunis reformis mengumpulkan petani sebagai upaya mencari dukungan dalam rangka menciptakan tatanan baru dan melawan rezim sebelumnya.
Akhrinya, reformasi diintrodusir secara sederhana sebagai cara menga-tasi krisis dan mengindari terjadinya revolusi. Dalam hal ini, kelompok reformis akan mengintrodusir dan merealisasikan tuntutan petani serta menyelesaikan konflik. Ini terjadi khususnya ketika kelompok reformis masih memiliki simpati kepada kelas tuan tanah dan secara sadar lebih memilih jalan moderat daripada jalan radikal. Tujuan-tujuan politik ini adalah untuk melakukan perubahan selama proses realisasi reformasi. Dalam proses itu dimungkinkan adanya fleksibilitas dan modifikasi, sesuai perubahan situasi.
Semua land reform memberikan penekanan pada perlunya memperbaiki status dan kondisi sosial petani, pentingnya mengurangi kemiskinan, serta redistribusi pendapatan dan kekayaan di antara mereka. Selain itu juga diupayakan penciptaan peluang-peluang kerja, pendidikan, pelayanan kesehatan dan redistribusi keuntungan dalam komunitas besar, terutama generasi muda sebagai target utamanya.
Tujuan-Tujuan Ekonomis
Pembangunan ekonomi telah menjadi tujuan utama pemerintah dan partai politik dewasa ini. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendor-ong perkembangan pertanian, misalnya melalui reformasi agraria untuk memperbaiki kondisi petani yang tidak memiliki tanah atau memperbaiki hasil panennya yang tidak maksimal sehingga insentif investasi di sektor ini kecil atau ada usaha memperbaiki tanah dan pertumbuhan produksi. Mekanisme yang lain adalah mendorong buruh agar memperoleh insen-tif dalam proses penggarapan tanah, dengan asumsi bahwa kepemilikan tradisional atau kepemilikan feodal seringkali menggunakan tanah secara berpindah dan boros.
Tujuan ekonomi yang lain adalah untuk mempromosikan skala pengelolaan pertanian yang maksimal. Banyaknya latifundia dengan banyak mini-fundia pada wilayah yang sama, mendorong terjadinya inefisiensi. Oleh karenanya, land reform bertujuan menciptakan unit usaha yang optimum, sehingga tercapai peningkatan kualitas penggunaan, pemeliharaan tanah, dan penggunaan teknologi sehingga panennya memuaskan.
Akhirnya land reform bertujuan untuk mensinergikan pertanian dengan keuntungan ekonomi industri. Dalam konteks pembangunan ekonomi industrialisasi, kaum reformis berusaha mengubah sektor pedesaan agar lebih responsif terhadap kebutuhan sektor industri, misalnya kebutuhan tenaga kerja, bahan pokok, bahan baku industri, modal dan mata uang asing. Fungsi-fungsi ini diharapkan bisa dilakukan secara simultan.
.... (dan seterusnya, silakan naskah keseluruhannya unduh dari https://www.neliti.com/publications/471/menuju-keadilan-agraria-70-tahun-gunawan-wiradi)
No comments:
Post a Comment