Noer Fauzi Rachman
Pengantar Penerbit
Seperti yang dialami oleh banyak negara yang beralih
dari rejim otoriter ke sistem yang lebih demokratis, Indonesia di masa kini pun menghadapi
sisa-sisa dari masa lampau yang telah membawa penderitaan pada sejumlah anggota
masyarakatnya. Sehingga masalah yang masih tersisa dari rejim sebelumnya diperlakukan secara
kurang baik, hal tersebut bisa justru menimbulkan
berbagai perpecahan baru di dalam masyarakat itu sendiri dan kurang dapat menyumbang pada penyatuan kembali
perpecahan-perpecahan lama atau polarisasi-polarisasi yang sebelumnya telah ada”
(Tim Komnas HAM, 2001: 4).
Pembukaan:
Pertanyaan dan Temuan dari Berbagai Diskusi
Naskah ini
merupakan suatu upaya menghadirkan dan melanjutkan pemikiran serta cara pandang
transitional justice atas masalah agraria, yang pokok soalnya terwakili dalam
pertanyaan: “Bagaimana cara menyediakan keadilan bagi mereka yang kehilangan
hak atas tanah dan sumber daya lain yang menyertainya akibat praktek-praktek
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh rejim otoritarian Orde Baru
yang lampau”.
Sepanjang dari
kuartal kedua hingga ketiga Tahun 2002 (bulan April 2002 hingga Agustus 2002),
pertanyaan tersebut telah menjadi penggerak diskusi yang diselenggarakan oleh
HuMa bersama Pokja PA-PSDA (Kelompok Kerja Ornop Untuk Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam) di berbagai tempat yang berbeda dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) setempat di mana diskusi diadakan. Kegiatan diskusi
tersebut dilaksanakan di Pontianak, Kalimantan Barat; Napu, Sulawesi Tengah;
Semarang, Jawa; Jayapura, Papua, Mamuju, Sulawesi Tengah; Manado, Sulawesi
Utara dan di Samarinda, Kalimantan Timur.[1]
Dalam diskusi-diskusi itu telah diungkap sebaran masalah “perampasan hak atas tanah dan sumber daya lain” yang terjadi di wilayah-wilayah dimana diskusi- diskusi itu diselenggarakan.[2] Implikasi dari beroperasinya perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan/atau HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri) pada akses masyarakat adat atas tanah dan hutannya telah menjadi topik bahasan di Pontianak, Samarinda dan Papua. Sementara itu, implikasi dari beroperasinya perusahaan pemegang HGU (Hak Guna Usaha) pada akses masyarakat petani telah menjadi topik bahasan di Semarang, Napu, Mamuju dan Manado. Tak ketinggalan juga di Manado dan Papua dibicarakan pula implikasi dari ditetapkannya kawasan hutan, termasuk kawasan konservasi yang menghilangkan akses masyarakat adat atas wilayah hidupnya.