ADVOKASI AKADEMIK ATAS KORBAN PENINDASAN Apresiasi dan Kritik atas Karya Intelektual R. Yando Zakaria

 


Noer Fauzi Rachman

Naskah untuk Seminar dan Peluncuran Buku “Hubungan Negara dan Desa – Dari Interaksi ke Intervensi”, Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta: Gedung University Center (UC) – Universitas Gajah Mada, 17 Desember 2004.

________________________________________________________

 

 

What is the value of anthropological knowledge for the communities with

whom we work? What are the responsibilities of anthropologists to these

communities? Should anthropologists adopt a position of advocacy in

relation to local political struggles? What are the consequences of maintaining

a neutral stance in such contexts? These questions are not simply

rhetorical, for they are increasingly raised by the claims made by the people

with whom anthropologists work.

(Stuart Kirsch, 2002)

 

 


 

Judul Buku                  : Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru.

Penulis                          : R. Yando Zakaria

Penerbit                        : Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

Tahun Terbit                : 2000 

Jumlah Halaman        : 376 + xv, tanpa indeks.

 

Judul Buku                   :  Merebut Negara, Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-

  upaya Pengakuan, Pengembalian, dan Pemulihan Otonomi Desa.

Penulis                           : R. Yando Zakaria

Penerbit                         : Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA)

Tahun Terbit                 : 2004 

Jumlah Halaman         : 235 + xxiii, tanpa indeks

 

 

Buku Zakaria (2000) sebelumnya, yakni Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baruadalah buku “jilid 1” sedangkan buku Merebut Negara adalah “jilid 2”. Buku  Abih Tandeh ini menyajikan informasi yang kaya tentang kerusakan dan derita masyarakat desa di seantero nusantara, paska pemberlakuan UU 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Selain itu, pengarang menyajikan panorama historis tentang pe-negara-an desa semenjak kolonial hingga masa sekarang.  Buku ini dapat ditempatkan sebagai suatu argumen ilmiah terhadap butir e bagian Menimbang UU 22/1999, yang berbunyi: “bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa … yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan undang-undang Dasar 1945 (huruf miring penulis).

            Nah, masalah sekarang adalah siapa yang bertanggungjawab (dan bagaimana bentuk pertanggungjawabannya) atas kerusakan dan derita masyarakat desa di seantero nusantara selama 20-tahun akibat penerapan suatu UU yang ternyata “tidak sesuai” dengan (Zakaria lebih sering mengemukakannya sebagai “melanggar!”) Undang-undang Dasar? 

Quo Vadis?

Dalam wacana politik-hukum, dikenal adanya dua macam konsep hak berdasarkan asal usulnya, yakni hak bawaan dan hak berian. Dengan menggunakan dua pembedaan ini, maka digolongkan bahwa otonomi daerah yang dibicarakan banyak orang adalah otonomi yang bersifat berian ini. Karena itu, wacananya bergeser dari hak menjadi wewenang (authority). Kewenangan selalu merupakan pemberian, yang selalu harus dipertanggungjawabkan. Selain itu, konsep urusan rumah tangga daerah hilang diganti  dengan konsep kepentingan masyarakat. Dengan demikian, otonomi daerah merupakan kewenangan pemerintahan daerah untuk mengatur kepentingan masyarakat di daerah. Wacana di atas jelas sekali bahwa pembuat UU 22/99 mendudukletakkan pemerintahan daerah  Kabupaten sebagai locus otonomi. 

Berbeda dengan hak yang bersifat berian adalah  hak yang bersifat bawaan, yang telah tumbuh-berkembang-dan terpelihara suatu kelembagaan (institution) yang urusan rumah tangga sendiri. Dalam  UUD 1945, konsep hak yang bersifat bawaan inilah yang melekat pada “daerah yang bersifat istimewa” yang memiliki “hak-hak asal-usul”. Pada konteks ini, dapatlah kita mengerti penjelasan pasal 18 UUD 45 yang berbunyi, “Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschapen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”.

            Arena yang menunjukkan adanya ketegangan antara hak berian yang dipegang oleh pemerintahan daerah dengan hak bawaan ini terletak pada apa yang oleh UU 22/1999 disebut sebagai  “Desa atau yang diberi nama lain”. Pembuat Undang-undang No. 22/1999 sangat menyadari bahwa Undang-undang No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah menimbulkan banyak masalah yang pada pokoknya menguatkan ketegangan antara negara dengan komunitas. Konsep desa (dan kelurahan) yang tercantum dalam UU Pemerintahan Desa No. 5/1979 memaksa pemerintahan daerah di luar Jawa mengubah struktur pemerintahan desa yang telah ada guna menyesuai­kan dengan amanat UUPD 1979. Karena yang tercantum dalam  undang-undang ini adalah ‘desa’ maka pemerintah daerah menghilangkan kesatuan masyarakat hukum (Rechtsgemeenschap) yang dianggap tidak menggunakan kata ‘desa’, seperti Nagari di Minangkabau, Dusun dan Marga di Palembang, Gampong di Aceh, Huta, Sosor dan Lumban di Mandailing, Kuta di Karo, Jorong di Sumatera Barat, Negeridi Sulawesi Utara dan Maluku, Kampung di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan, Temukung di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, Yo di Sentani Irian Jaya, dan lain sebagainya. Seterusnya, kesatuan masyarakat hukum tidak hanya secara formal berganti nama menjadi desa, akan tetapi harus pula secara operasional segera memenuhi segala syarat yang ditentukan oleh UU  No. 5/1979. Seperti telah disebut, upaya ini oleh Pemerintah Daerah di luar Jawa dan Madura dilakukan melalui program penataan kembali desa atau disebut pula dengan program regrouping desa untuk menuju apa yang kemudian disebut sebagai ‘Desa Orde Baru’.

Pada hakikatnya pembuat UU 22/1999 ingin merehabilitasi kedudukan dan peranan apa yang disebut sebagai “Desa”.  Idenya ingin mendudukan kembali Desa atau yang disebut dengan nama lain di tempat lain terpisah dari jenjang pemerintahan. Diakui dalam sistem pemerintahan nasional sebagai kesatuan masyarakat yang dihormati mempunyai hak asal-usul dan istiadat setempat. Secara langsung, pembuat UUPD No. 22/1999 ingin memulihkan demokrasi di tingkat yang paling terendah, di mana unsur-unsur pokok demokrasi ada di Desa, seperti Badan Perwakilan Desa, yang berfungsi sebagai parlemen.

Namun, selanjutnya, UUPD No. 22/1999 menyerahkan penyelesaian ketegangan itu kepada pemerintahan daerah, dimana pengaturan desa akan ditetapkan melalui Peraturan Daerah masing-masing. Diatur pula bahwa masing-masing peraturan daerah berkewajiban mengakui dan menghormati hak asal-usul desa tersebut.

Sekali lagi, menjadi jelas sekali bahwa ada ketegangan antara kewenangan yang “tumbuh dari bawah” dengan tugas-tugas yang “berasal dari atas”. Sesungguhnya, ketegangan inilah yang secara tidak disadari hendak dipelihara. Di satu pihak dikehendaki bahwa Desa mempunyai hak asal-usul, namun di pihak lain UU baru ini pada hakikatnya masih menempatkan pemerintahan desa sebagai kepanjangan birokrasi pemerintahan. 

            Buku Abieh Tandeh ini memberi pelajaran penting bahwa berbagai agenda reorganisasi negara akan menemui jalan buntu manakala para pengurus negara, baik di pemerintahan pusat maupun daerah, gagal merumuskan ketentuan-ketentuan baru dan mempergunaan ketentuan-ketentuan lama, yang justru melestarikan dan melanjutkan ketegangan antara hak-hak hak bawaan komunitas-komunitas untuk mengatur dirinya sendiri dengan hak-hak berian yang dipegang oleh pemerintahan.  Sementara itu buku Desa Merebut Negara berusaha mengungkap inisiatif-inisiatif beserta perangkap-perangkapnya semasa Reformasi (setelah 2000) untuk mensiasati “ketegangan Negara dengan Desa”.  

Zakaria percaya sekali bahwa keberlangsungan Negara akan ditentukan oleh seberapa jauh Negara mampu menata ulang hubungannya dengan Desa.  Lebih jauh, pemikiran Zakaria ini hendak mengadvokasi kedudukan komuniti-komuniti yang memiliki hak bawaan.  Ia percaya bahwa “tidak akan ada Negara yang akan bertahan – tanpa tindakan-tindakan politik yang represif -- jika tidak didukung oleh komuniti yang sehat dan hidup. Sementara itu, tindakan-tindakan politik yang represif hanya akan mengantar Negara itu pada posisi ‘sementara’ dan ‘tidak mantap’. Begitu pula, masyarakat sipil sejati tidak akan tercipta tanpa kehadiran komuniti-komuniti yang sehat dan hidup itu.” (Zakaria, 2004:212) 

 

R. Yando Zakaria sebagai Contoh Akademisi-Aktivis 

            Mengikuti dengan seksama dua karya Zakaria ini, saya merasa menghadapi -- seperti yang dinyatakan oleh Hans Antlov -- “satu dari beberapa akademik-aktivis di Indonesia yang dapat memelihara aktivismenya maupun karya akademiknya tetap bermutu tinggi” (Antlov dalam Zakaria 2004: xix). Ia bukanlah sekedar akademik yang peduli, atau aktivis yang rajin membaca-menulis.  Apa yang memungkinkannya demikian? 

Pertama, Zakaria adalah bukan sekedar antropolog. Ia antropolog yang berpihak pada korban dan memperjuangkan perubahan kebijakan yang menindas.  

Dalam kerja intelektualnya, R. Yando Zakaria tetap setia sebagai seorang antropolog.  Ia senantiasa menuliskan keterangan identitasnya sebagai “Praktisi  Antropologi”. Tapi bukan sembarang antropolog. Ia mengkhususkan diri pada studi tentang hubungan-hubungan antara dinamika penduduk, organisasi sosial, dan budaya kelompok penduduk itu dari serta lingkungan dimana mereka hidup. Zakaria sangat lincah menganalisa kondisi suatu golongan rakyat baik menggunakan perspektif sinkronik maupun diakronik. Ketika menganalisa nasib suatu golongan rakyat tertentu, biasanya ia mulai dari kondisi sistem-sistem produksi yang ada dalam masyarakat. Ia selanjutnya memperlihatkan dengan sangat baik hubungkan sistem produksi itu dengan dinamika penduduk, organisasi sosial, budaya dan lingkungan.  Dalam literatur akademik, studi yang dilakukan Zakaria ini digolongkan sebagai “antropologi ekologi (ecological antropology)”.[1]

Sejak mula, sebagai antropolog ia mempunyai kerja lapangan di berbagai pelosok dan kemudian menuliskan aspek-aspek kebudayaan suku-suku pedalaman, terutama yang hidup di Pulau Mentawai, dalam karya-karya tulis singkat (features) yang dimuat di koran/buletin/majalah. Tapi, ia kemudian tidak merasa nyaman dengan kerja etnografi antropolog yang sekedar menggambarkan situasi masyarakat-masyarakat tradisional.  Dengan bergaul dengan aktivis HAM, Zakaria menemukan dirinya sebagai pembela nasib suku-suku pedalaman yang kemudian disebut sebagai Masyarakat Adat. Dalam karya tulisnya untuk Laporan Keadaaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989 (YLBHI:1990) ia menulis bab tentang Hak-hak Budaya, dengan kasus budaya Mentawai. Di karya ini ia merintis karir baru, sebagai antropolog pembela mereka menjadi pemikir dan tentang yang hidup dalam kebudayaan suku-suku pedalaman. Disini Zakaria melintasi kerja antropologi ekologi (ecological anthropology) menuju advokasi antropologis (antropological advocacy) sebagaimana dimaksudkan oleh Robin M. Wright (1988),  atau dalam bahasa Stuart Kirsch (2002) adalahanthropological activism. Saat periode ini ia menulis:  

“perubahan-perubahan sosial terencana – atas nama pembangunan atau moderenisasi – yang dilakukan terhadap suatu komunitas budaya harus terhindar dari kecenderungan pengoyakan dan penindasan budaya lokal.” 

Lebih dari itu, ia mengadvokasikan jaminan hak hidup dari kebudayaan sejenis sebagai hak asasi manusia yang dijalmin dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya maupun Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. 

Kerja-kerja lapangan berikutnya dan rujukan pada karya para akademisi-aktivis telah mengukuhkan jalan karir intelektualnya.  Buku Victims of Progress, karya John H. Bodley (1990) telah menjadi buku yang ikut membentuk dirinya sebagai akademik-aktivis yang banyak menggugat diskriminasi terhadap tribal culture (kebudayaan suku-suku di pedalaman). Kalimat yang diberi garis-bawah dalam buku yang dimilikinya itu, adalah (Bodley, 1990: iii):

… government policies and attitudes are the basic determinans of the fate of tribal cultures and that governments throughout the world care most about the increasingly efficient exploitation and the human and natural resources of the areas under their control.

Gugatan terhadap kebijakan dan praktek diskriminasi terhadap kaum tertindas ini pada gilirannya mengendap dalam dalam bukunya yang pertama, Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, yang diterbitkan oleh WALHI 1994, ia membela masyarakat tradisional di dalam/tepi hutan dari tuduhan para pejabat dan penganjur pembangunan bahwa mereka adalah penyebab kerusakan hutan.  Untuk menunjukkan permasalahan dan pembelaannya, ia menggunakan kalimat (baca: otoritas) dari antropolog terkenal Michael R. Dove dalam karyanya Kebudayaan Tradisional ….. (Zakaria, 1994:113). 

“Apakah penebangan kayu, sekalipun disertai dengan segala tindakan yang memungkinkan untuk mengurangi dampak mesin, penggalakan penanaman kembali, dan sebagainya, kurang merusak hutan dibanding dengan kebanyakan sistem eksploitasi tradisional sebagaimana yang dijalankan oleh petani-petani Indonesia?” 

 

Kedua, Zakaria gemar sekali dengan suara-suara korban dan meletakkannya dalam suatu panggung sosial tertentu untuk memahami proses pembentukannya. 

Kepeduliannya pada korban ini yang dilengkapi dengan disiplin antropologi membuatnya peka memilih – bahkan pada proses memperolehnya (inquiry process) Zakaria berhasil mencungkil –  suara-suara korban yang hendak dijadikannya topik untuk analisisnya. Dalam buku Abih Tandeh, ia berangkat dari kesaksian penduduk. Ia menjadi semacam ‘amplifier’ penderitaan penduduk. Dalam buku Abieh Tandeh (Zakaria, 2000:1) ia menyajikan suara orang kampung tetua adat dari Maluku,

“… Undang-undang No. 5/1969 (sic!) benar-benar seperti palu mematikan terhadap kami, menghapuskan lembaga-lembaga tradisional adat kami, sehingga warga adat kami tidak punya lagi suatu organisasi yang merdeka untuk bersuara bebas mempertahankan hak-hak adat kami atau bahkan sekedar untuk mengelola kegiatan dan hidup sehari-hari sesuai dengan hukum adat kami sendiri. Pemerintah bilang akan menghormati tradisi kami, itu hanya omong kosong, janji-janji palsu!”.

 

Lebih  dari itu Zakaria kuat dalam mengimajinasikan proses pembentukan gejala sosial yang diurusnya. Lebih dari sekedar menjadi amplifier, Zakaria mampu menemukan penjelasan proses kontruksi sosial dari “suara korban” itu. Ia mampu memahami bahwa kesulitan korban tersebut disituasikan oleh struktur sosial yang melingkupi dan proses sosio-historis yang membentuknya. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang dikenal dengan sociological imagination dari C. Wight Mills.[2]  Atas dasar imajinasi ini pula, Zakaria berulangkali menunjukkan keterbatasan dari imajinasi pihak lain dalam memahami persoalan dan lebih dari itu juga dalam membayangkan situasi yang akan datang (visioning) dan jalan tempuh menghadapi kemelut sosial yang sedang dihadapi.  Ia (Zakaria, 2004:19 dan 202-203) sangat gemar mengulang-ulang kalimat dari Partha Chaterjee, dalam The Nation and Its Fragments (1993), bahwa akar kesengsaraan era pascakolonial kita, bukan dalam ketidakmampuan kita untuk memikirkan bentuk-bentuk baru dari komunitas modern tetapi dalam menyerahnya kesadaran daan imajinasi kita kepada bentuk lama dari negara modern. (huruf miring dari NF).

            Dengan imajinasi sosiologis tersebut, Zakaria (2001:228) mengemari kalimat yang dinyatakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto:

“… Dari perspektif sosiologik sesungguhnya agak aneh alias janggal kalau negara sampai tak mengakui eksistensi masyarakat adat dengan segenap hak-haknya itu. Tak lain karena masyarakat adat itu – juga di negeri ini – telah hadir di dalam kenyataan sejarah jauh lebih dahulu daripada suatu organisasi kekuasaan supra struktural yang kini disebut negara (baik yang kolonial maupun yang nasional)”.

Lebih lanjut, juga ia gemar mengutip pandangan Wignjosoebroto dalam karya yang sama: 

“Pengakuan oleh negara atas hak-hak tanah masyarakat adat pada hakikatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom, dan kemudian daripada itu juga untuk mengakui hak-hak masyarakat itu atas tanah – dan segenap sumberdaya alam yang ada di atas dan/atau di dalam tanah itu – yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat tersebut”.

 

Ketiga, Zakaria juga selalu mengikuti perkembangan analisis pakar-pakar yang mencermati gejala emprisis yang hendak diurusnya.  

Dalam menganalisa, Zakaria juga selalu mengaitkan dirinya dengan sejumlah ahli lain. Hal ini merupakan suatu kebiasaan dalam dunia akademik untuk menjadi bagian dari suatu aliran dalam komunitas akademik.[3] Sebagai orang yang terus-menerus mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial, Zakaria sangat sadar akan adanya aliran-aliran pikir yang saling bersitegang satu sama lain. Ia tidak ragu untuk mengkubu dalam satu aliran yang diyakininya dan merujuk ke karya-karya pengembang aliran itu. Tidak heran apabila dalam naskah buku-buku maupun essay-essaynya, ia banyak mengutip dan mengolah kembali pemikiran dari para ahli yang telah mendahului menulis mengenai topik yang diperhatikannya. 

Dalam bukunya yang baru ini, Desa Merebut Negara,  Zakaria menjadi penyuara lantang aliran anti-deveopmentalisme dengan mengutip salah seorang eksponen utamanya, yakni Ashis Nandi dalam karyanya “State”, yang dimuat dalam Wolfgang Sachs, ed., The Development Dictionary, A Guide to Knowledge as Power. London: Zed Books Ltd, 1992 (Zakaria, 2002:22):

“Pertama mayoritas masyarakat Dunia Ketiga telah gagal untuk berhasil melalui jalan ‘kemajuan’ yang sulit sekali, yang diletakkan begitu bijaksana oleh sekolah ilmu pengetahuan sosial pasca Perang Dunia II yang dominan (berpengaruh kuat), dan mereka telah gagal untuk mengembangkan negara berbangsa tunggal yang dapat hidup sesuai dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Eropa pasca abad 17. Negara dalam masyarakat-masyarakat ini pada zaman sekarang sering kelihatan seperti alat pemaksaan khusus atau perusahaan pribadi yang main untung-untungan (cetak miring oleh penulis). Kedua, kebudayaan dalam masyarakat-masyrakat ini telah memperlihatkan ketahanan yang lebih besar(resilience) dari pada yang diharapkan oleh para cendekiawan dan orang-orang yang lebih mengetahui. Bila terjepit oleh kebutuhan-kebutuhan dan alasan-alasan pemerintah, maka adalah negara sering mengalah pada kebudayaan. Ketahanan kebudayaan ini, yang juga dinyatakan dalam kebangkitan kembali yang bersemangat dari kesadaran etnis di banyak masyarakat Dunia Ketiga, seolah-olah memperlihatkan apa yang pernah mungkin terjadi di masa lalu di komunitas suku-suku bangsa kecil dan minoritas yang digilas oleh modernisasi yang tidak lagi mungkin disatukan dalam satu kebudayaan yang lebih besar tanpa menimbulkan perlawanan yang gigih. Dengan terus berkembang, kebudayaan-kebudayaan menolak mendendangkan lagu-lagu kematian mereka dan meninggalkan pentas dunia untuk masuk ke dalam buku-buku sejarah. Sungguh, kebudayaan-kebudayaan sekarang telah mulai kembali, seperti alam bawah sadarnya Freud, untuk menghantui sistem modern negara berbangsa tunggal (nation state)”. 

 

Keempat, Zakaria mengabdikan karya akademiknya untuk lingkar-lingkar advokasi kebijakan.

Lebih dari sekedar sebagai akademisi-aktivis yang pandai menganalisa termasuk menggunakan pemikiran akademisi-aktivis lain, Zakaria juga adalah aktivis yang tentunya cenderung pada ide-ide untuk mengubah kondisi tertentu melalui praktek. Dalam memikirkan cita-cita yang perlu dicapai dan jalan tempuh perubahan yang perlu dijejaki, ia juga tak segan-segan untuk menggabungkan diri dengan visi ahli lain yang sepaham. Misalnya ia meminjam kata-kata Moeslim Abdurachman (Zakaria, 2004:192): 

“... untuk menemukan kembali basis politik yang berorientasi pada proyek emasipatoris rakyat, sudah tentu tidak ada jalan lain kecuali perlu dilakukan regrouping politik baru oleh rakyat sendiri (di luar demokrasi kepartaian) yang lebih bercorak partisipatoris, yang berbasis komunitas.”

Namun, Zakaria bukan sekedar menjadi penyalur dari pikiran-pikiran para akademisi. Ia dengan sangat baik menggunakan pemikiran-pemikiran akademisi-aktivis lain sebagai alas kehadirian pemikiran genuinnya sendiri, seperti tentang community based state managementDalam kalimat akhir buku Negara Merebut Desa, ia menulis (Zakaria, 2000:215)

Sudah saatnya kita membayangkan apa yang disebut dengan Community Based State Management; komuniti sebagai pondasi negara-bangsa. Dengan begitu, berbagai energi positif yang ada pada komuniti dan negara akan saling mengisi. Pengefektifan kekuatan yang satu tak mesti menafikan yang lain. Tanpa itu konsep negara modern hanya akan menjadi alat penindas komuniti saja.”

Zakaria paham isi dari kritik Marx terhadap Feurbach yang menyebutkan bahwa “kaum filsuf hanya sanggup menafsirkan dunia. Padahal, masalahnya adalah mengubah dunia.” Dengan buku barunya Merebut Negara, Zakaria (kembali) menunjukkan kalibernya. Pilihan rekomendasi Yando dibatasi oleh persepektif yang dipilih dan dipakainya. Ia sangat suka untuk menganalisis kombinasi dari yang diistilahkan oleh Blaiki (1985) sebagai place based and non-place based actors. Muara dari analisa kritis yang dilakukannya itu, pada akhirnya dibawa dan dihadapkannya dengan suatu kebijakan publik tertentu. 

Hal yang terakhir ini lah, yang membuatnya cocok dan kemudian ikut memberi sumbangan pada skema-skema advokasi yang dikembangkan ornop-ornop dimana ia terlibat.  Bahkan, lebih dari itu, ia mendudukkan diri sebagai penganjur jalan yang perlu ditempuh oleh aktivis gerakan sosial.  Tak heran, ia senantiasa ditempatkan sebagai golongan pemikir (dengan berbagai nama, seperti ‘tim materi’ atau ‘tim substansi’ atau ‘dewan pakar’) dalam  berbagai koalisi ornop, seperti Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA). 

 

Dengan naskah Merebut Negara, Zakaria kembali menujukkan kalibernya.

 

Daftar Pustaka

 

Bodley, John H. (1990) Victims of Progress, Moutain View: Mayfield Publishing Company.

Blaiki, Peter (1985) The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries, Lingman: London.

Stuart Kirsch (2002) “Anthropology and AdvocacyA Case Study of the Campaign against the Ok Tedi Mine”,  Critique of Anthropology 22(2) 

Mills, C. Wright (1959) The Sociological Imagination.  Oxford University Press.

Struan Jacobs (2002). “The Genesis of ‘Scientific Community”, Social Epistemology, 2002, vol. 16, No. 2.

Zakaria, R. Yando (1991).  “Hak-hak Budaya – Suatu Kasus Budaya Mentawai” dalam Laporan Keadaaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

_______________ (1994). Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

_______________ (2000). Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

_______________ (2004). Desa Merebut Negara, Beberapa Catatan Reflektif tentang Upaya-upaya Pengakuan, Pengembalian, dan Pemulihan Otonomi Desa. Yogyakarta: Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA).

Robin M. Wright (1988). “Antropological Presupposition on Indigenous Advocacy”, Annual Review of Anthropology, Vol. 17/1988.

 



[1] Dalam naskah Benjamin S. Orlove, “Ecological Antropology”, Annual Review Antropology 1980. 9, dinyatakan bahwa “Ecological anthropology may be defined as the study of the relations among the population dynamics, social organization, and culture of human populations and the environments in which they live. It includes comparative research as well as analyses of specific populations from both synchronic and diachronic perspectives. In many cases, systems of production constitute important links among population dynamics, social organization, culture, and environment.”

[2] Mills memberi suatu definisi formal dari the sociological imagination bahwa: "The sociological imagination enables its possessor to understand the larger historical scene in terms of its meaning for the inner life and the external career of a variety of individuals." (Mills, 1959: 12) 

[3] Diskusi tentang konsep “komunitas akademis” dapat ditemukan dalam Struan Jacobs, “The Genesis of ‘Scientific Community”, Social Epistemology, 2002, vol. 16, No. 2. 157-168.  Dalam salah satu kalimat dalam naskah ini, disebutkan bahwa komunitas akademik merupakan “a description of the way scientists enforce strict discipline, amid a great deal of intellectual freedom, through training, refereeing of publications and purely informal sanctions of approval and disapproval.”