FRICTION AS A NECESSITY OF GLOBAL CONNECTION, A seductive example of global ethnography

  Noer Fauzi Rachman

A book review submitted to Prof. Kate O'Neill in a course ESPM 259 "International Environmental Politics and Movements", Spring 2006, Department of Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California at Berkeley. The author thanks Prof. Kate O’Neill for giving feedback on the draft version of this paper. The author also thanks Ann Hawkins for criticism on global ethnography and consulting on the English language of the final version of the paper.


      • Author.            :  Anna Lowenhaupt Tsing
      • Title                :  Friction: An Ethnography of Global Connection
      • Year                : 2011
      • Published by : Princeton University Press

       

      Friction, noun.

      1    [U, plural] disagreement or angry feelings between people:

      • Pay is a continuing source of friction with the workers.

      • Creative differences led to friction within the band.

      2    [U] the rubbing of one surface against another:

      • Check your rope frequently, as friction against the rock can wear it down.

      3    [U] TECHNICAL; the natural force that prevents one surface from sliding easily over another surface:

      • Heat can be produced by chemical reactions or friction


      Longman Advance American Dictionary
      . s.v. “friction”.

       

      Introduction

                  Ethnography is that field of anthropological research based on direct observation of and reporting on a people’s way of life. It is the basic methodology employed by cultural and social anthropologists and consists of two stages: field work and reportage. Field work is a term used for the process of observing and recording data; and reportage is the production of written description and analysis of the subject under study. 

      Historically, ethnography concerned itself principally with recording of the lives and habits of people from societies not of the observer’s own.  In an entry on “Ethnography” in the International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences,” M. H. Agar (2001:4857) writes that: 

      “(a)s one learned the community’s way of living, one said (that) one was ‘doing ethnography.’ Ethnography, then, named the process of learning what for the anthropologist was a new and different way of talking, thinking, and acting. When the work was done, a monograph was usually written—a report of this exploration into the community’s way of life. One could point to that book and say it was an ‘ethnography’ as well. Further, one could also say that the book was a description of the group’s culture. Traditionally, then, ethnography named both a research process characteristic of anthropology and a research product, often a book-length description, but at any rate a representation of the culture of the community in which the research had been done.”

      GERAKAN-GERAKAN RAKYAT DUNIA KETIGA (Kata Pengantar Penyunting)

       


      Noer Fauzi (Editor)

      Kata Pengantar Penyunting

       

      Untuk mereka yang bersungguh-sungguh menanam kembali kebiasaan bergerakan.

       

       

      Sebagaimana lazim diketahui di mana-mana negara Dunia Ketiga, sifat dan arah politik lokal yang dominan di pedesaan telah dan masih terus dipengaruhi, dibentuk dan tidak jarang ditentukan oleh aktor dan gelombang proses nasional bahkan global yang memenderitakan rakyat miskin pedesaan. Sebagian dari rakyat pedesaan itu menolak menyesuaikan diri dengan keharusan-keharusan yang memaksa mereka itu bahkan kemudian menantang secara terbuka dengan aksi-aksi kolektif yang relatif terus-menerus. Buku ini hendak memperkenalkan berbagai gerakan rakyat pedesaan kontemporer yang menantang para penguasa yang menggelar kuasa-kuasanya mengenai rakyat pedesaan.

      Walaupun  dapat  dibaca  terpisah,  buk in adalah  pasangan  dari  buku Noer Fauzi, MemahamiGerakan-gerakan Pedesaan Dunia Ketiga (Yogyakarta: INSIST  PRESS,  2005).  Buk termaksud  memperhadapkan  antara  pandangan teoritis  yang  selama  in dinilai  sebagai  “pandangan  klasik”  dengan kenyataan gerakan-gerakan   rakyat   pedesaan   kontemporer   di   berbagai   negara   Dunia Ketiga.    Pada  buk itu,  disajikan  profil-profil  singkat  dari  berbagai  gerakan rakyat pedesaan, khususnya perihal situasi yang dimusuhi, kesempatan politik yang dihadapi, dan pilihan jenis aksi kolektif yang merekaandalkan. Dari telah atas    gerakan-gerakan    itu,    disimpulkan    bahwa    kita    tidak    dapat    lagi mengandalkan    “pandangan-pandangan    klasik”    mengenai    “petani”    dan “pemberontakan  petani”  untuk  memahami  gerakan-gerakan  pedesaan  Dunia Ketiga dewasa ini.

      Berbeda dengan buku tersebut yang hanya memprofilkan secara amat ringkas, monografi-monografi yang dikumpulkan dalam buku ini menawarkan suatu penjelasan yang lebih lengkap dan detil dari masing-masing gerakan. Naskah-naskah dalam buku ini disajikan agar pembaca dapat mempelajari keragaman, asal mula dinamika dan konteks gerakan rakyat pedesaan di berbagai tempat kantung kemiskinan pedesaan di negara-negara Dunia Ketiga.

      Naskah-naskah akan disajikan berurut dimulai dari sajian mengenai gerakan-gerakan di Amerika Latin, lalu menuju Afrika dan kemudian Asia. Selain pengelompokan berdasarkan benua ini, tidak ada pertimbangan lain yang dipergunakan penyunting sebagai pengurutan, karena pada awalnya tiap naskah ini dibuat oleh pengarangnya secara terpisah dan tidak berhubungan satu dengan lainnnya.

      Isi Buku

      Naskah pertama berjudul “Memproduksi Komunitas: MST dan Pemukiman-Pemukiman Land Reform di Brazil” adalah karya Wendi Wolford mengenai MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra atau Movement of Rural Landless Workers atau Gerakan Pekerja Pedesaan Tidak Bertanah). Naskah ini dimulai dengan uraian tentang (i) latar belakang pendirian dan kebangkitan MST, lalu dilanjutkan dengan (ii) komunitas impian yang dicita-citakan dan diwujudkan MST, dan (iii) andil dan posisi MST yang menjadi perantara antara negara dan rakyat miskin.

      Sebagai sebuah gerakan rakyat yang paling aktif dalam sejarah masyarakat Brazil, MST sangat berhasil menjaring partisipasi yang tinggi dari anggota yang sudah mendapatkan cita-cita awal mereka, yaitu akses terhadap tanah. Para pimpinan pergerakan dan para aktivisnya mendorong partisipasi dengan menciptakan sebuah komunitas melalui ide-ide dan praktek, dan disarikan ke dalam simbol-simbol, slogan dan upacara-upacara. Pengalaman hidup berkomunitas, bagaimanapun, berbeda dari imajinasinya. Wolford menunjukkan bagaimana anggota-anggota MST ikut dalam berjuang lewat cara yang mencerminkan pengalaman historis berekonomi dan bermasyarakat. komunitas daambaan (imagined community) yang dibentuk MST ini ternyata menjadi efektif karena gerakan ini telah memapankan peran dirinya sebagai mediator yang berhasil antara rakyat miskin dan Negara Brazil.

      Naskah kedua adalah karya Chris Gilbert dan Gerardo Otero, “Demokratisasi di Meksiko: Pemberontakan Zapatista dan Masyarakat Sipil” yang mengkaji hubungan antara aktivitas masyarakat sipil dan demokratisasi politik, dengan fokus pada pemberontakan Zapatista dan kemunculannya sebagai sebuah gerakan sosial. Kedua penulis berpendapat bahwa gerakan sosial yang dimulai oleh pemberontakan Zapatista telah menjadi kekuatan pendorong dalam demokratisasi Meksiko, bahkan lebih penting dari partai- partai oposisi, yang secara historis telah diperlemah atau tersedot kedalam aliansi dengan PRI yang berkuasa hanya untuk mendorong perubahan yang membiarkan watak otoritarian sistem politik hampir tidak tersentuh. Kebalikannnya, gerakan sosial yang dihasilkan EZLN telah mendorong aktivitas politik ke level yang lebih tinggi dan menginspirasikan perdebatan demokratis yang mendalam. Perbedaan utama adalah bahwa partai-partai politik telah memfokuskan upaya-upaya mereka pada reformasi masyarakat politis dari dalam sementara EZLN telah merasuki masyarakat sipil untuk mendorong demokratisasi daribawah.

      Dalam    tulisan    ini    mereka    berdua    berpendapat    bahwa    aktivitas warganegara   yang   terus  berlanjut   dan   mobilisasi   rakyat   telah   mampu mengembalikan  arah  transisi  politik  Meksiko menuju  demokrasi  yang  lebih inklusif    yang    di    dalamnya    pemerintah    harus    merespon    kepentingan- kepentingan  masyarakat  yang  lebih  luas.  Kedua  penulis  secara  berututan  (i) menggambarkan  beberapa  reformasi  pasca  1994  yang  mempercepa proses demokratisasi  di  Meksiko;  (ii)    menggarisbawah berbagai  cara  yang  dipakai masyarakat  sipil  untuk  merespon  pemberontakan;  (iii)  menjelaskan  repon negara terhadap pemberontakan dan praktek-praktek represif yang digunakan untuk  melumpuhkan  gerakan  Zapatista;  (iv menggambarkan  upaya-upaya EZLN  untuk  memobilisasi  kelompok-kelompok  dan  individu-individu  yang bangkit mendukung tuntutan-tuntutan EZLN danstrategi yang dipakai EZLN untuk  membangun  ikatan  solidaritas  baru;  dan  (v membaha sumbangan gerakan Zapatista pada demokratisasi Meksiko.

      Naskah ketiga adalah karya Thomas Perreault, “Rakyat dengan Identitasnya Sendiri: Menuju Sebuah Politik Kebudayaan dari Pembangunan di Amazonia Ekuador” yang mengkaji politik kebudayaan pembangunan internasional sebagaimana dialami oleh FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo), suatu federasi masyarakat-masyarakat adat yang hidup di dataran Amazonia - Ekuador. Naskah ini dimulai dengan merujuk pada banyaknya kritik atas pembangunan di tingkat nasional maupun global.

              Seja awal  tahun  1990an,  para  penulis  antipembangunan    telah  menyajikan keburukan-keburukanwacana pembangunan yang begitu jelas dan dampaknya berupa       depolitisasi,   pelucutan   kuasa,   dan  penghancuran   kebudayaan- kebudayaan  Dunia  Ketiga.  Menurut  penulis  itu,  meskipun  analisis-analisis  ini terbukti ampuh dalam membongkar watak pembangunan yang seringkali rasis dan      paternalistis,      analisis-analisis      ini      seringkali      menggambarkan pembangunan   sebagai   sesuatu   yang   monolitik,   homogen,   dan   satu   arah, meniadakan kerumitan yang mewarnai lembaga-lembaga, praktek-praktek dan wacana-wacana  yang  terlibat.  Terlebih  lagi,  gambaran  seperti  itu  cenderung untuk mengangkat proses-proses nasional dan transnasional, sementara aktor- aktor  lokal  seringkali  terpinggirkan  untuk  memegang  peran  sebagai  korban pasif atau melawan dengan diam.

      Penulis mengkaji praktek-praktek dan wacana-wacana pembangunan, khususnya di antara organisasi-organisasi rakyat pedesaan lokal. Disimpulkannya bahwa pembangunan adalah sebuah proses yang beragam, dan makna pembangunan adalah sesuatu yang sangat dipertarungkan. Ia berpendapat bahwa untuk organisasi-organisasi masyarakat adat Ekuador, pembangunan internasional menyediakan sebuah ruang untuk merundingkan hak-hak sipil dan sumberdaya mereka. Penulis menyajikan sebuah etnografis kelembagaan dari sebuah federasi masyarakat adat di Amazon Ekuador, yang menonjolkan cara-cara yang digunakan FOIN mempertarungkan pemahaman- pemahaman resmi tentang kewarganegaraan, negara danbangsa.

      Naskah keempat adalah karya Stephen Greenberg “Pembangunan Pasca Apartheid,   Ketidakpunyaan   Tanah   dan   Reproduksi   Peminggiran   di   Afrika Selatan”  yang  menganalisa  perjuangan  dan  kontek dari  Landless  Peoples Movement (LPM) atau Gerakan Rakyat TidakBertanah. LPM muncul sebagai gerakan    independen    sebagai    tanggapan    atas    dampak    negatif    model pembangunan    dan    ekonomi    setelah    pasca    apartheid.    Harapan    akan pengembalian   besar-besaran   tanah   kepada   orang   asli   yang   tak   berpunya berkembang  setelah  rejim  aparteid  Afik Selatan  tumbang  di  tahun  1994. Konstitusi   baru   dibuat   dan   mengandung   perintah   konstitusional   untuk meredistribusi tanah, menjamin hak garap dan kepemilikan tanah bagi semua dan  mengembalikan  tanah  kepada  merek yang  dirampas  tanahnya  semena- mena. Namun harapan itu menjadi pupus ketikapartai yang berkuasa (African Nationa Congress  –  ANC)  mengadopsi  model  land  reform  Bank  Dunia yang berdasar pada mekanisme pasar: willing buyer, willing seller”. LPM boleh jadi adalah gerakan yangunik di antara gerakan-gerakan akar rumput independen lainnya   karena   keanggotaan   aktif   LPM   bisa  ditemukan   baik   di   daerah perkotaan   maupun   pedesaan   di   negara   tersebut.   Gerakan   ini   menantang pemisahan perjuangan kota dan desa dengan menegaskan bahwa penggusuran di kota danketiadaan jaminan hukum untuk penggarapan tanah adalah isu-isu yang secara fundamental terkait dengan akses tanah.

      Naskah ini berfokus pada tiga aspek yang saling berkaitan dari upaya- upaya LPM untuk membentuk sebuah gerakan nasional. Disajikan: (i) cara bagaimana wacana dan praktek pembangunan pasxa apartheid telah mereproduksi peminggiran baik di kota maupun desa, menciptakan kembali kondisi-kondisi struktural untuk solidaritas kota-desa; (ii) cara bagaimana pemerintahan lokal telah diorganisasi kembali, dan bagaimana ini merubah peta politik. Krisis pemerintahan lokal adalah sebuah aspek yang sangat berpengaruh dari krisis apartheid yang lebih luas, dan restrukturisasi pemerintahan lokal adalah elemen kunci pemapanan kembali hegemoni dalam era pasca apartheid; dan akhirnya (iii) mengeksplorasi cara-cara kontradiksi- kontradiksi baru dan histroris pembangunan dan struktur kekuasaan mempengaruhi bentuk-bentuk organisasi akar rumput dan resistensi seputar tanah, baik dalam konteks perkotaan maupun pedesaan. Ini menyertakan perubahan karakter dan kontradiksi-kontradiksi baru yang muncul dalam masyarakat sipil. Juga melihat keterkaitan antara masyarakat sipil dan kekuasaan hegemonik yang dijalankan melalui negara.

      Naskah kelima berisi naskah dari Sam Moyo, “Gerakan Pendudukan Tanah dan Demokratisasi di Zimbabwe: Kontradiksi Neoliberalisme.” Penulis ini hendak menunjukkan betapa pentingnya masalah ketimpangan penguasaan tanah dan aksi-aksi pendudukan tanah-tanah. Ia menjelaskan kebangkitan ‘mendadak’ dari politik pedesaan serta makna ekstrayuridisnya. Organisasi- organisasi politik yang paling formal, entah itu di kalangan partai berkuasa  atau kaum oposisi, cenderung mengabaikan tuntutan mendalam rakyat pedesaan akan land reform. Mereka berpretensi bahwa aksi-aksi pendudukan tanah -- yang sesungguhnya dapat merupakan pemantik api bagi kebijakan land reform yang sungguh-sungguh – sekedar diperlakukan sebagai agenda politik belaka.

      Setelah mendalam menganalisis aksi-aksi pendudukan tanah yang meluasa di pedesaan, penulis menyimpulkan bahwa di negara-negara seperti Zimbabwe, yang proporsi terbesar penduduknya tinggal di desa dan ber- gantung pada pertanian untuk kehidupan serta mata pencaharian mereka, persoalan keadilan sosial perlu dijadikan satu parameter utama dari demokratisasi. Ia sampai juga pada kesimpulan bahwa nyaris mustahil untuk berfokus pada hak-hak politik liberal dalam gerakan-gerakan demokratis kontemporer tanpa memahami dendam sosial politik yang telah berurat berakar serta kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masalah penguasaan tanah.

      Naskah keenam adalah karya P. Routledge, yang mengurai perlawanan rakyat India Tengah melawan pembangunan waduk di lembah Narmada, sebuah proyek pembangunan yang disponsori negara dan korporasi. Dalam naskah ini, Routledge menggambarkan proses pengenyahan yang mengancam penduduk lembah Narmada, dan yang juga proses membangkitkan gerakan melawan pengenyahan tersebut yang dikenal dengan nama Narmada Bachao Andolan (NBA) atau Gerakan Penyelamatan Narmada. Naskah ini dimulai dengan (i) pembahasan ringkas mengenai perkembangan ekonomi India dan wacana-wacana resmi yang melegitimasi pembangunan waduk di Sungai Narmada; (ii) Lantas dikaji pelbagai proses pengenyahan yang membarengi pembangunan tersebut; (iii) ditelaah perlawanan nyata dan perlawanan wacana yang dijalankan oleh NBA; dan (iv) ditutup dengan mengangkat pertanyaan- pertanyaan tertentu mengenai peran akademisi dalam menganalisa proses- proses tersebut.

      Secara khusus, penulis menganalisa alur pemikiran yang melingkupi gerakan ini, memahami alur-alur tersebut sebagai ajang menyusun pengetahuan mengenai pembangunan waduk di lembah Narmada berikut akibat-akibat yang akan ditimbukannya baik pada manusia maupun lingkungannya. Penulis menemukan bahwa kesaksian, slogan, dan analisa gerakan menjadi taktik perjuangan melawan wacana pembangunan pemerintah yang melegitimasi pelbagai proses pengenyahan di lembah Narmada.

      Naskah   ketujuh   adalah   karya   Bruce   Missingham,   mengenai   sebuah koalisi  nasional  penduduk  desa,  kaum  miskin  kota,  dan  LSM  yang  bernama Samatcha Khon Jon (The Assembly of The Poor) diMuangtai. The Assembly of The  Poor  adalah  asosiasi  nasional  pertama  yang  mewakili  kepentingan  kaum miskin desa yang bangkit setelah Federasi Petani Thailand selama pergolakan politik  1970-an.  Didirikan  tahun  1995,  Majelis  in berupa  koalisi  kelompokkelompok     pedesaan,     masyarakat     miskin     kota,     dan     LSM-LSM     yang mengkampanyekan  isu-isu  lingkungan  dan  mata  pencaharia seperti  dampak waduk  raksasa  dan  hak-ha tanah  komunal  di  laha hutan  lindung.  Majelis mendapat   sebagian   besar   pengaruh   politis   dan   kekuatan   tawarnya   dari kemampuan mereka memobilisir banyak orang untukprotes massal berjangka panjang.   Tentunya,   setelah   terbentuk,   gerakan   ini   dengan   cepat   menjaditerkenal  di  Thailand  karena  aksi-aksi  demonya  di  jalanan  Bangkok.  Aksi-aksi protes itu selaluditempatkannya menjadi bagian dari strategi kampanye yang lebih  luas  yang  meliputi  petisi-petisi  detil  tertulis,  lobi  dan  negosiasi  dengan pemerintah,  serta  pembuatan  materi  publisitas  seperti  selebaran, video,  dan media lainnya.

      Penulis   ini   mengandalkan   penelitian   etnografis   untuk   menganalisa strategi  penggunaan  ruang,  konstruksi  tempat,  serta  konstruksi  komunitas terhadap  dampak  simbolis  dan  politis  aksi  protes  tersebut.  Dalam  naskah  ini disajikan  garis  besar  isu-isu  teoritis  yang  ada  dalam  geografi  protes, diikuti latar  belakang  singkat  The  Assembly  o The  Poo serta  protes  bersejarah merek tahun  1997.  juga  ditelaah  sebab  musabab  mengapa  The  Assembly  of The  Poo memilih  tempat  yang  khusus  ini untuk  mengadaka gerakan,  apa makna simbolis dan politisnya. Lebih lanjut, juga diuraikan cara merekameng- ubah   jalanan   depan   Gedung   Pemerintahan   menjadi   ajang   protes   yang spektakuler  dan sarat  makna,  menjadi  apa  yang  diistilahkan  ‘Desa  Kaum Miskin’.  Penulis  sampai  pada  kesimpulan bahwa  yang  diistilahkan  dengan ”Desa  Kaum  Miskin”  in telah  dijadikan  sebuah  pijakan  bersama  yang  riil sekaligus  simbolik D situ  anek macam  kelompok  yang  menyusun  gerakan bisa bergabungbersama untuk menegaskan kesatuan identitas politik merekda mengajukan  petisi  k negara.  Seperti  halnya  desa  ‘normal’,  Desa  Kaum Miskin  in juga  menyediakan  tempat  di  mana  para  demonstran membangun komunitas    yang    tertata    dan    kooperatif    tidak    hanya    demi    menjagakeberlangsungan  aksi  protes  mereka,  namun  juga  untuk  menghilangkan  cap ‘gerombolan’  yang diterakan  pada  merek di  media Lebih  jauh,  Desa  Kaum Miskin   melambangkan   sebuah   komunitas   yang   dilanda   krisis,   terancam kekuatan-kekuatan pembangunan ekonomi yang ditujukan demikemakmuran kota besar.

      Selanjutnya, naskah kedelapan, adalah karya pasangan Jennifer C. Franco dan Satunirno Boras Jr., “Perubahan Pola-Pola Mobilisasi Petani untuk Tanah dan Demokrasi di Filipina” yang melukiskan gerakan UNORKA (Pambansang Ugnayan ng mga Nagsasariling Lokal na Samahang Mamamayan sa Kanayunan, Koordinator Nasional Organisasi Lokal Rakyat Pedesaan Otonom) di Filipina. Tujuan dari naskah mereka ini adalah menggambarkan dan menganalisis perkembangan-perkembangan kontemporer gerakan sosial pedesaan di Filipina dan mengungkapkan setiap artikulasi baru ‘yang khas dan yang mungkin’ bisa jadi tersingkap di sana dan dari sana. Kedua penulis menggunakan konsep ‘rightful resistance’ (perjuangan hak dengan mempergunakan hukum negara) ternyata tepat dan sangat berguna untuk mengamati kasus UNORKA ini.

      Naskah  in berfokus  pada  aspek  sosia politik  perjuangan  UNORKA, sebuah  front  persatuan organisasi  rakyat  miskin  pedesaan  yang  relatif  muda dengan warisan pengalaman sejarah yang kayadengan siklus mobilisasi petani di masa lalu dan sekarang. Didirikan bulan Juni 2000, UNORKA adalah sebuah koalisi   organisasi-organisasi   petani   dan   buruh   tani   yang   terlibat   dalam perjuangan    untuk   reforma    agraria.    Para    anggota    UNORKA    membantu mempelopori dan mengembangkan apa yangsekarang dikenal sebagai ‘strategi bibingka’  dalam  implementasi  reforma  agraria Bibingk atau  disin dikenal dengan nama Bika Ambon adalah kue beras khas Filipina yang dibakar dengan oven buatan rumahterdiri dari dua lapis, dengan bara arang di tiap lapisannya, di  atas  dan  di  bawah  kue.   Ibarat  itu menunjukkan  kombinasi  antara  inisiatif reformis  dari  pejabat-pejabat  pemerintaha dengan  mobilisasi  rakyat  yang menekankan perubahakebijakan pemerintahan.

      Undang-undang Pembaruan Agraria yang Menyeluruh (CARP) dan sejumlah peraturan administratif yang terkait dengan land reform berfungsi sebagai konteks dan obyek mobilisasi kaum tani dan pekerja pertanian. Sebagai ‘konteks’, mereka mendefinisikan parameter kampanye aksi kolektif kaum tani dan pekerja perkebunan dan mereka menentukan sumberdaya kekuatan aktor- aktor (pro dan anti reformasi)yang berbeda. Sebagai ‘obyek’, mereka menjadi fokus atau target upaya yang dilangsungkan aktor-aktor berbeda untuk membentuk atau membentuk kembali kenyataan.

      Terakhir,   akan   disajikan   naskah   adalah   karya   Tania   Murray   Li, “Masyarakat  Adat  dan  Masalah  Pengakuan”  yang  menyoroti  gerakan  AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia,yang berkongres pertama di Jakarta, pada Maret 1999.   Kongres ini menandai masuknya ‘masyarakat adat’secara formal sebagai salah satu kelompok yang menuntut dan terus berusaha mendapatkan  kembali posisinya  di  negara  Indonesia saat  suasana  politik menjadi lebih terbuka setelah pemerintahan danpenindasan selama kekuasaan Suharto.  Inti  tuntutan  AMAN  adalah  agar  negara  memberikan  pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai masyarakat berdaulat yang berhak mengatur diri  sendiri dan  sumber-sumber  daya  yang  menjadi  andalan  hidup  mereka. Dasar tuntutan AMAN bahwamasyarakat adat sudah ada sebagai masyarakat yang    memiliki    kekhususan    dalam    organisasi    sosialnya    khas,    memilikkedaulatan atas wilayah di mana mereka hidup ‘jauh sebelum negara Indonesia terbentuk’. AMAN menyatakan bahwa masyarakat adat telah mengembangkan budaya yang khas,mengetahui batas sosial antara siapa yang menjadi anggota merek dan  siapa  yang  tidak dan  memiliki tata  pemerintaha tersendiri, merupakan bentuk masyarakat sosial asli di Indonesia. Oleh karena ituAMAN menuntut  kembali  ha dan  gaya  hidup  masyarakat  yang  terkait  erat  dengan kawasan-kawasan   tertentu   milik   leluhur   kelompok-kelompok   budaya   yang berbeda.

      Dalam naskah ini, Tanial Li menggali alasan perjuangan AMAN untuk mendapatkan lahan, hak atas sumber-sumber daya alam dan berbagai mata pencaharian yang menjadi anadalan hidup masyarakat adat. Ia menelaah (i) wacana masyarakat adat; (ii) konteks dari politik diskriminasi terhadap masyarakat adat, terutama kaitan dengan politik sumber daya alam; (iii) Alasan gerakan sosial ini muncul diciptakan dengan (atau melalui) konsep masyarakat adat, dan (iv) Analisa mengenai kekuatan dan keterbatasan dari gerakan ini.

       

      Ucapan Terima Kasih

      Buku ini tidak mungkin terwujud apabila penulis tidak bergaul dengan Mansour Fakih (alm), guru dari banyak aktivis, yang di masa akhir hayatnya tak henti-hentinya mengemukakan besarnya ancaman dari neoliberalisme dan harapannya pada gerakan sosial untuk melawan kebijakan neoliberal di Indonesia. Secara khusus ia mengingatkan bahwa Pekerjaan Rumah (PR) terbesar adalah mengembangkan kapasitas pelaku gerakan sosial. Naskah- naskah ini sengaja dihadirkan untuk para pengkaji dan/atau para aktivis gerakan sosial di Indonesia, sebagai cermin pembanding agar lebih baik untuk memahami apa-apa yang telah, sedang dan akan dihadapi, maupun untuk diolah menjadi inspirasi bagi pekerjaan praktis memajukan gerakan sosial di Indonesia.

      Penyunting   merasa   beruntung   mengumpulkan,   mempelajari   banyak naskah,  dan  juga berdiskusi  dengan  para  sarjana-aktivis  dan  juga  menonton sejumlah  film  mengenai  berbagai  gerakan  sosia di  Asia Afrik dan  Amerika Latin  semasa  saya  menjadi  visitin schola pad th Berkele Workshop  in Environmental PoliticInstitute of International Studies (IIS) di University of California    –    Berkeley,    sepanjang    bulan    Agustus    s/d    Desember    2003. Beruntung sesudahnya, saya masih sempat mempelajari naskah-naskah sejenis. Pilihan dari naskah-naskah yang saya peroleh itu lah kemudiandiolah menjadi isi dari buku ini.   Buku ini buah pula dari kerja, belajar dan bergaul selama di sana  bersama  dengan  Nancy  Peluso,  Michael  Watts,  Gillia Hart,  Lungisile Ntsebeza,   Suraya   Afiff,   Asep  Suntana,   Ann   Hawkins,   Silvia   Tiwon,   Sarah Maxims,  dan Herlily.  Terimkasih atas kebaikan hati kalian semua itu.

      Juga pada pada Eko Prasetyo yang telah bergegas menugaskan pada Ronny Agustinus menerjemahkan tiga naskah mengenai gerakan pendudukan tanah di Zimbabwe, Gerakan Narmada Bachao Andolan di India dan gerakan Assembly of the Poor di India. Keempat naskah ini kemudian disunting bersama oleh Sri Wulandari dan Noer Fauzi. Secara khusus, penyunting berterima kasih atas kerjasama Sri Wulandari yang dengan tekun menerjemahkan sisa dari naskah yang disajikan dan mendiskusikan draft terjemahannya dengan penyunting. Tanpa kerja tekunnya, penyunting akan bekerja jauh lebih keras lagi agar naskah ini terhindar dari keslahan atau kejanggalan penerjemahan dan dapat dinikmati dengan nyaman. Meski telah diusahakan maksimal, bila ada kesalahan tanpa disengaja, beban tanggungjawab terletk pada penyunting. Paling istimewa, tidak cukup sekedar dengan ucapan terima kasih, penulis merasa terharu dengan pengorbanaan, pengertian dan hiburan dari istri dan anak-anak penulis: Budi  Prawitasari, Tirta Wening dan Lintang Pradipta. Tanpa mereka tidak mungkin penulis menjadi orang seperti sekarang ini.

       

      Yogyakarta, 9 Juli 2005


      DAFTAR ISI


      Kata Pengantar Daftar Isi Sumber Naskah 

      1.     Memproduksi Komunitas: MST dan Pemukiman-Pemukiman Land Reform di Brazil

      Wendy Wolford

      2.    Demokratisasi di Meksiko: Pemberontakan Zapatista dan Masyarakat Sipil

      Chris Gilbert dan Gerardo Otero

      3.    Rakyat dengan Identitasnya Sendiri: Menuju Sebuah Politik Kebudayaan dari Pembangunan di Amazonia Ekuador

      Thomas Perreault

      4.    Pembangunan Pasca Apartheid, Ketidakpunyaan Tanah dan Reproduksi Peminggiran di AfrikaSelatan

      Stephen Greenberg 

      5.    Gerakan Pendudukan Tanah dan Demokratisasi di Zimbabwe: Kontradiksi Neoliberalisme

      Sam Moyo

      6.    Pekik Kaum Terkutuk: Perlawanan di Tengah Pengenyahan Lembah Narmada

      Paul Routledge

      7.     Desa Kaum Miskin Melawan Negara: Geografi Protes Assembly of the Poor (AoP) Melawan Negara

      Bruce Missingham

      8.    Perubahan Pola-Pola Mobilisasi Petani untuk Tanah dan Demokrasi di Filipina

      Jennifer C. Franco dan Satunirno Boras Jr.

      9.    Masyarakat Adat dan Masalah Pengakuan

      Tania Murray Li


      Sumber Naskah 

      1.     Wendi Wolforf, “Producing Community: The MST and Land Reform Settlements in Brazil”, Journal of Agrarian Change, Vol. 3 No. 4, Oktober 2003, hal 500-520.

      2.    Chris Gilbreth and Gerardo Otero, “Democratization in Mexico: The Zapatista Uprising and Civil Society”, Latin American Perspectives, Issue 119, Vol. 28 No. 4, July 2001, halaman 7-29

      3.    Thomas Perreault, “`A people with Our Own Identity': Toward A Cultural Politics of Development in Ecuadorian Amazonia”, Environment and Planning D: Society and Space 2003, volume 21, pages583-606.

      4.    Stephen Greenberg, “Post-apartheid Development, Landlessness and the Reproduction of Exclusion in South Africa”, Centre for Civil Society Research Report No. 17, Durban, South Africa.

      5.    Sam Moyo, “The Land Occupation Movement and Democratisation in Zimbabwe: Contradictions of Neoliberalism”, Millennium: Journal of International Studies, Vol. 30., No. 2:2001, halaman311-330. 

      6.    P. Routledge, “Voices of the Dammed: Discursive Resistance Amidst Erasure in the Narmada Valley, India”, Political Geography 22 (2003) halaman 243270

      7.    Bruce Missingham, “The Village of the Poor Confronts the State: A Geography of Protest in the Assembly of the Poor”, Urban Studies, Vol. 39, No. 9, 2002, halaman 16471663.

      8.    Jennifer C. Franco and Saturnino M. Borras Jr. “Changing Patterns of Peasant Mobilizations for Land and Democracy in the Philippines”, diberikan kedua penulisnya untuk buku ini.

      9.    Tania Li, “Masyarakat Adat, Difference and the Limits of Recognition in Indonesia’s Forest Zone” Modern Asian Studies 35(3) 2001. halaman 645- 676.