Modul: Persiapan Lapangan Kunjungan Belajar ke Basis-basis Serikat Petani Pasundan


 Pengantar


            Sebelum melakukan kunjungan lapangan ke salah satu lokasi . Wajib mempelajari dulu naskah ”Kisah Perjuangan Rakyat Sagara Memperjuangkan Hak atas Tanah - Tanah dan Rakyat ibarat Roh dan Jasad” karya Ibang Lukmanurdin terlampir. Karya ini baik, karena menceritakan suatu babak petani bangkit membangun gerakan. Setelah membaca dengan seksama, maka buatlah diskusi kelompok untuk merumuskan hal-hal berikut ini:

 

o   Bagaimana Kondisi Fisik dan Sosial di Lapangan?

o   Siapa konstituen utama dan para pendukung gerakan itu? 

o   Apa identitas kolektif yang menjadi pengikat konstituen?

o   Bagaimana basis-basis gerakan dibangun dan dipelihara? 

o   Apa analisis sosial dari mereka mengenai jalinan pelaku dan penentu (aktor dan faktor) nasib hidup dari kelompok masyarakat yang menjadi konstituen gerakan itu?  

o   Apa yang sesungguhnya ditentang oleh tindakan-tindakan para pelaku komponen-komponen gerakan? 

o   Bagaimana penentangan terhadap ancaman itu dilakukan?  Apa saja yang dilakukan gerakan itu menentang musuh-musuhnya? 

o   Apa cita-cita sosial dari gerakan itu?

            

Persiapan Menuju Lapangan

 

            Membuat persiapan untuk ke lapangan adalah penting. Di lapangan seorang, peserta pelatihan akan melakukan interaksi dengan orang-orang, kelompok atau lembaga, dan situasi fisik lokasi. Ada kemungkinan ia akan membuat kesalahan-kesalahan. Bila hal ini terjadi, ia harus bisa belajar dari kesalahan yang dilakukannya. Di kemudian hari diharapkan ia tidak diganggu lagi oleh kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.  Peserta latihan yang baik akan selalu berusaha menghindarkan kesalahan-kesalahan yang mendasar.

 

            Situasi ketidakpastian tidak akan pernah sepenuhnya bisa dihilangkan atau dihindarkan. Namun melalui langkah perencanaan akan selalu meningkatkan kapasitas untuk mengatasinya. Keluwesan pengambilan keputusan merupakan hal pokok dan keputusan kadang-kadang musti diambil secara cepat. Kejadian-kejadian yang tak direncanakan, seperti kejadian fisik kecelakaan/musibah, hujan lebat, sakit, tidak ada transportasi, dan lain-lain; juga reaksi-reaksi penerimaan atau penolakan dari orang lain yang dihubungi, hingga adanya peristiwa-pristiwa politik, menuntut suatu respon cepat. Bilamana peserta memiliki gambaran yang jelas terhadap hal-hal demikian maka seluruh tindakan dapat dilakukan secara positif dan kreatif.

 

            Kerja lapangan, yang meliputi penerjunan peserta pelatihan pada tempat tujuan, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pelatihan ini. Namun bila pelatihan di lapangan berlangsung hanya seperti sebuah upacara tanpa arti, maka sia-sialah harapan-harapan yang telah dibangun selama pelatihan. Bila hal ini terjadi, maka keterlibatan peserta dalam kerja lapangan fasilitator ternyata tak ada artinya.  Dampaknya akan terasa pada latihan kelas setelah kegiatan lapangan dilakukan.

 

Pertanyaan-pertanyaan Pembantu 

 

            Kerja lapangan dimaksudkan untuk mengunjungi satu (atau lebih) contoh gerakan sosial tertentu. Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan pembantu yang perlu ditemukan jawabannya, baik dengan cara mengamati situasi sosial-ekologis, mewawancarai tokoh-tokohnya, berdiskusi, maupun membaca laporan-laporan yang tersedia.

o   Kondisi Fisik dan Sosial di Lapangan?

o   Perubahan sosial apakah yang mendahului dan menjadi konteks dari muncul dan berkembangnya gerakan sosial tersebut?  Apa analisis sosial dari mereka mengenai jalinan pelaku dan penentu (aktor dan faktor) nasib hidup dari kelompok masyarakat yang menjadi konstituen gerakan itu?  

o   Bagaimana gerakan tersebut dimulai dan dikembangkan?

o   Siapa-siapa konstituen utama dan para pendukung gerakan itu? 

o   Bagaimana basis-basis gerakan dan pendukungnya dibangun dan dipelihara? 

o   Model organisasi serta kepemimpinan-keanggotaan yang bagaimana yang dipilih dan dipakai?

o   Apa identitas kolektif yang menjadi pengikat konstituen? Bagaimana identitas ini dibangun, dipelihara dan dikembangkan?

o   Apa yang sesungguhnya ditentang oleh tindakan-tindakan para pelaku komponen-komponen gerakan? 

o   Bagaimana penentangan terhadap ancaman itu dilakukan?  Metoda aksi apa saja yang menjadi andalan gerakan itu menentang musuh-musuhnya? 

o   Apa cita-cita sosial dari gerakan itu? Bagaimana cita-cita sosial ini dibedakan dengan cita-cita sosial lainnya?

 

Pengaturan Persiapan Logistik

 

            Untuk memastikan proses pelatihan lapangan berlangsung dengan lancar, pengaturan hal yang dasar hendaknya diselenggarakan secara menyeluruh. Jika ini tidak diperhatikan, maka bisa jadi partisipan akan mengalami kesulitan dan mengeluarkan banyak enerji untuk menutup kekurangan-kekurangan yang bersifat dasar tersebut. Pengaturan logistik selayaknya diatur menurut

·      satuan per kelompok

·      fasilitas dan akomodasi

·      kondisi daerah dan transportasinya 

·      dokumentasi informasi 

·      pembuatan laporan untuk tindak lanjut.

 

Satuan atau unit pembagiannya

·      Berapa banyak jumlah peserta yang terlibat dan dari latar belakang apa saja

·      Apa yang menjadi fokus perhatian-pengetahuan-keterampilannya yang nanti akan berpengaruh pada aktivitas di lapangan

·      Berapa perbandingan antara mereka yang perempuan dan laki-laki

·      Apakah aktivitas di lapangan akan dilakukan per individu atau per-kelompok

·      Identitas apa yang dipergunakan

 

Fasilitas

·      Fasilitas apa saja yang diperlukan: payung bila musim hujan, transportasi, alat tulis menulis, perekam dan foto.

                        

Kondisi lapangan dan transportasi

·      Kontak dan komunikasi

·      Situasi sosial dan politik lembaga/tempat yang dituju

·      Makanan dan  minuman

·      Tempat dan pengaturan pertemuan-pertemuan

·      Transportasi yang digunakan

 

Bahan dan Dokumentasi

 

            Bahan-bahan material untuk dokumentasi dan tindak lanjut kegiatan-kegiatan di lapangan meliputi unsur-unsur pokok yang perlu disiapkan, antara lain:

·      Alat-alat dokumentasi

·      Formulir-formulir pencatatan dan pelaporan

·      alat-alat bantu lain, seperti kamera, tape, kaset, batere dan lain-lain.

 

 

Terjun Ke Lapangan

 

            Ketika pertama kali masuk ke lapangan, seorang peserta biasanya akan merasa gugup. Mereka memang telah menyiapkan rencana kunjungan, mengembangkan daftar wawancara secara rinci, dan mengatur kontak dengan tokoh-tokoh tertentu, namun pasti masih merasa tidak nyaman atau tidak jelas bagaimana menerapkan metoda yang belum akrab tersebut.

 

            Secara umum, setiap peserta perlu memperhatikan kemampuan dan kekurangan dirinya yang sekiranya berpengaruh pada kerja di lapangan. Berikut ini beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman:

 

·      Sifat Organisasi 

Apakah OTL yang didatangi birokratis? Ada prosedur penerimaan tamu? Apakah prosedur itu mau dilewati?  Bagaimana caranya?

·      Bahasa

Apakah berbicara bahasa nasional dan/atau bahasan daerah?

·      Hirarki 

Pertimbangkan hubungan hirarki struktural maupun status sosial di antara orang-orang yang akan ditemui

·      Latar belakang, Posisi dan Kemampuan 

Latar belakang pekerjaan dari orang-orang yang akan ditemui. Apa hubungan orang-orang yang akan ditemui dengan kasus yang akan ditanyakan/rundingkan? 

·      Masalah Kepribadian

Perhatikan pula masalah pribadi dari orang-orang yang dihadapi. Apakah kita bisa mengetahuinya?

 

            Dalam banyak pengalaman, situasi kegugupan di antara peserta juga biasanya muncul. Ini terjadi karena ada perasaan khawatir bahwa “ia tidak mau menerima kita’”. Dalam hal ini kita perlu memainkan peran yang dapat ia terima sehingga kita dapat mencapai tujuan perolehan informasi.

 

            Ketegangan-ketegangan yang muncul biasanya karena merasa ada kekurangan dalam persiapan ke lapangan, atau masalah yang berhubungan dengan dinamika interaksi. Cobalah perhitungkan persoalan-persoalan tersebut sebelum mengawali kegiatan di lapangan dengan perencanaan yang memadai. Bayangkanlah faktor-faktor yang  bisa memunculkan perasaan panik sebelum terjun ke lapangan, di lapangan maupun sepulang dari lapangan. Apa saja yang akan menimbulkan kepanikan?

 

Mengkajiulang Informasi, Memproses Informasi dan Menuliskan Laporan

 

            Pengumpulan informasi dan pemrosesan informasi merupakan proses yang interaktif dan berkelanjutan selama penggunaan metoda partisipatori di lapangan. Sambil kita memfokuskan pada pembangunan hubungan dengan orang/lembaga yang akan kita temui, kita harus memperoleh informasi yang kita butuhkan. Pastikan bahwa kita telah memperoleh informasi yang cukup, sebelum kita menghentikan pembicaraan. Jangan berhenti sampai kita yakin bahwa informasi kita cukup. Seorang peserta harus menjalani hal ini sebelum membuat suatu laporan.

 

            Menghasilkan laporan kegiatan lapangan seringkali merupakan sebuah sasaran penting bagi sebuah pelatihan, namun sekaligus merupakan bagian yang teramat sulit.

 

            Pendokumentasian yang baik sangat bermanfaat. Alasannya sebagai berikut:

·      memberikan informasi dasar tentang aktivitas-aktivitas dari lembaga/orang yang ditemui sehubungan dengan kasus yang kita bawa.

·      menjadi dasar untuk memonitor perkembangan terakhir dari sikap dan perilaku orang/lembaga itu

·      sistem pelaporan yang bagus akan menjadi bahan perbandingan dan analisis terhadap orang/lembaga.  pelaporan yang detil dapat meyakinkan kita dan pihak-pihak lain untuk mengembangkan pendekatan, strategi dan cara-cara baru

 

Lima tahap utama untuk membuat pelaporan yang sistematik, secara berkelompok yakni.:

 

Langkah 1: Mengumpulkan informasi sesuai dengn tujuan yang kita inginkan

Tuliskan setiap ‘kelompok informasi’ yang diinginkan dalam catatan-catatan. Sebaiknya bikin catatan harian. Milikilah buku tersendiri untuk mencatat setiap hasil pengamatan, wawancara, diskusi, maupun catatan dari membaca laporan-laporan. Selanjutnya curahkan semua informasi penting yang telah dipelajari di bawah setiap ‘kelompok informasi’ yang diperoleh dan tuliskan ke bawah secara berurut. Bila mungkin, letakkan dalam kartu-kartu.

 

Langkah 2:Susun informasi.

Begitu informasi telah dikelompokkan ke dalam kategori-kategori, selanjutnya dapat disusun kerangka laporannya dari kartu-kartu yang telah disusun.

 

Langkah 3: Analisis informasi.

Pastikanlah  informasi mana saja yang paling penting. Apakah ada  ‘yang mengejutkan’ tentang apa yang ditemukan di lapangan? Bagian mana yang ingin diperlakukan secara khusus dalam laporan karena tingkat kepentingannya?

 

Langkah 4: Tuliskan informasi dalam sebuah laporan.

Ini bisa dipilah-pilah sehingga ada pembagian bab-bab atau bagian-bagian dalam penulisannya.

 

Langkah 5: Kajiulang laporan. 

Minta orang lain membaca laporan itu untuk memastikan bahwa apa yang ingin disajikan dapat dipahami dengan sistematik. Peroleh umpan balik dari mereka yang membaca. Sempurnakanlah laporan anda, dengan menggunakan prinsip: memihak pada pembaca.

 

 

 

Bandung 11 Januari 2005

 

 


 

 

 

Format Laporan Penulisan 

Per- OTL

 

Nama OTL ____________________________  

Waktu         ____________________________

(lamanya) aktivitas   ______________________

Metoda        ____________________________

Pendamping Lapangan    _____________________

Tujuan Kunjungan :

1. ............................................

2. ............................................ dst

Peserta

1. ............................................

2. ............................................ dst

Bahan dan Alat Bantu

...............................

Proses

........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................... dst 

 

Temuan-temuan penting

........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................... dst 

Isinya perlu mencakup 

o   Gambaran umum lokasi, situasi dan sekilas sejarah wilayah dan sosial dari gerakan sosial yang dipelajari 

o   Perubahan sosial yang mendahului dan menjadi konteks dari muncul dan berkembangnya gerakan sosial tersebut? 

o   Konstituen utama dan para pendukung gerakan itu serta pembagian kerja di antara para pendukung gerakan itu

o   Pembangunan dan pemeliharaan basis-basis gerakan 

o   Model organisasi serta kepemimpinan-keanggotaan yang dipilih dan dipakai

o   Identitas kolektif yang menjadi pengikat konstituen dan proses pemeliharaan dan pengembangannya

o   ”Lawan-lawan” yang ditentang oleh tindakan-tindakan para pelaku komponen-komponen gerakan

o   Metoda aksi apa saja yang menjadi andalan gerakan itu dalam menentang ”musuh-musuhnya” 

o   Cita-cita sosial dari gerakan itu dan argumen yang membedakan cita-cita sosial ini dengan cita-cita sosial lainnya

Evaluasi 

........................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................... dst 

(Tekankan mengenai pencapaian tujuan dari kegiatan kunjungan, faktor-faktor yang memperlancar dan menghambat pencapaiannya. Bila perlu sampaikan juga kritik dan saran untuk pelaksanaan kegiatan ini sejenis.)

 

 

 


Bahan Bacaan

 

Kisah Perjuangan Rakyat Sagara Memperjuangkan Hak atas Tanah

 

Tanah dan Rakyat ibarat Roh dan Jasad

 

Oleh Ibang Lukmanurdin

 

Rakyat Desa Sagara merupakan masyarakat asli yang pertama membuka hutan dan kemudian menggarap tanahnya menjadi pertanian sawah, kebun, balong (kolam ikan), pengangonan (padang rumput tempat menggembala kambing), dan perumahan. Dari tahun ke tahun, rakyat mengalami kehidupan yang tenang, tentram dan tidak pernah terjadi keresahan dan kekecewaan hidup dari tanah yang digarapnya. Biasanya, tatkala menyambut musim panen tiba, kecerian dan kebahagiaan tampak di setiap wajah-wajah meraka. Rakyat menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan untuk melakukan upacara syukuran atas kebahagian yang diperolehnya, agar mendapat karunia dari Sang Pencipta Alam.  Diungkapkan oleh salah satu warga yang telah berumur 85 tahunan mengemukakan, “Masyarakat kampung kami, sebelum kedatangan Belanda, keadaan ekonominya sangat sejahtera, sebab selain memiliki tanah, tidak ada yang memaksa membayart pajak. Bahkan masyarakat bisa mendirikan lumbung desa. Sebab dari situ kita memperoleh banyak mampaatnya. Segala kehidupan masyarakat kampung di cukupi dan dipenuhi dari lumbung tersebut. Tidak ada yang kelapran, tidak ada yang tidak memiliki rumah, semuanya bisa dipenuhi. [1]

Ketentraman dan ketenangan para petani mulai terganggu sekitar tahun 1923 yang   diawali dengan kedatangan orang-orang Belanda. Kekhawatiran rakyat setempat mulai timbul setelah mengetahui keinginan Belanda untuk mendirikan perkebunan karet. Kesaksian Ki Umri yang lahir tahun 1920 menyebutkan bahwa “Tuan Uhe dan Tuan Merespin sering mendatangi Eyang Basad dan Eyang Banasid. Pada suatu hari kedua orang Belanda tersebut meminta para tokoh rakyat supaya berkumpul untuk mejelaskan peta yang dimiliki oleh Belanda ...... tanah yang diajukan oleh Belanda merupakan tanah – tanah kampung terutama sekitar Gunung Peer, Pasir Bungbung, Pasir Malang yang akan dijadikan perkebunan karet yang akhirnya rakyat ... lah yang menjadi pekerja kebun.” [2]

Lebih dari itu, rakyat menjadi lebih kesal karena kelakuan dari mereka. “Sedikit demi sedikit bila berpapasan harus kepinggir, bahkan tidak diperkenankan untuk memandang wajahnya, apalagi sudah memerintah semuanya tidak boleh di tentang. Belum kebiasaan kita sehari-hari memakai pakaian yang sangat tidak nyaman, bahkan makan sesuatu yang tidak ada rasanya dimakan. Setiap memiliki sesuatu makanan yang dirasakan enak bila di ketahui itu pasti diambil, bila tidak diberikan, mengeluarkan pistol. Begitulah kejadiannya dari hari kehari.”

Walaupun itu terjadi,  penggarapan lahan terus dilakukan oleh rakyat tanpa terkecuali, jenis tanaman yang ditanam diantaranya padi huma, palawija, buah mangga, kelapa, jengkol, petai, singkong, ubi dan lain-lain, bahkan disepanjang areal yang memiliki sumber mata air cukup bahkan melimpah dijadikan lokasi persawahan dan perikanan.  Sebab, seperti diungkapkan oleh Ki Umri, “keahlian kita hanya dari pertanian. Dengan kedatangan Belanda tidak membuat kita berhenti dari menggarap lahan. Walaupun banyak permintaan, ... tetapi kitapun harus ada persediaan.[3]

Pada 1943 masyarakat Sagara dipaksa untuk meninggalkan lahan garapannya, hal ini sehubungan dengan adanya system kerja Romusa yang dilakukan oleh pihak Jepang. Sebagian pindah dan bersembunyi di tempat yang bisa melindunginya.Ketika suasana telah aman, tiap warga yang bersembunyi atau pindah ke tempat yang dianggapnya tenang, kembali lagi ke kampung halamannya dan mengerjakan setiap lahan garapannya.

Selang beberapa tahun, tepatnya pada 1945 masyarakat yang dipaksa untuk ikut Romusa berdatangan kembali dan menggarap kembali lahan yang telah ditinggalkannya.Suasana yang agak sepi,  berubah seketika menajadi ramai kembali. Keceriaan, kebahagiaan, nampak disetiap warga. Perjalanan yang dialami oleh para pekerja Romusa menjadi bahan yang menarik untuk di ceritakan kepada warga lainnya. 

Ketika Belanda hengkang dari kampung halaman rakyat, nampak kecerian kembali di setiap rakyat. Proklamasi kemerdekaan menjadi tumpuan yang diharapkan, akhirnya mulai dirasakan kembali oleh rakyat.  “Wah sangat bahagia seperti di beri sesuatu yang sangat besar nilainya, tidak ada bandingannya sampai kita bebas dari perintah orang asing .”[4]

Tetapi ketenangan rakyat kembali hilang sehubungan dengan terjadinya agresi militer kedua yang di mana-mana terdapat peristiwa bentrokan perang. Perkembangan politik berujung pada pemindahan pemerintahan pusat  ke Jogja. Pada tahun 1949 situasi tersebut, rakyat Sagara harus beramai-ramai meninggalkan kampungnya, mengungsi ke berbagai tempat mencari daerah yang lebih aman. Pada peristiwa itu, “rakyat yang tidak pernah mengetahui segalanya, kenapa selalui dijadikan sasaran bahkan sambil di sebut-sebut dengan ungkapan yang kotor.“ [5]

Sepanjang tahun 1960-1964, masyarakat mulai bisa kembali ke tempat asalnya. Pengarapan lahan dilakukan kembali oleh rakyat. Pada 1964 Aki Umri diangkat menjadi Punduh.[6] Sekitar 700 KK masyarakat melakukan penggarapan di sekitar kampung Cibalar, Pasir Malang, Gunung Peer. Bahkan pada 1966 masyarakat menggarap dikawasan Cilimpung, Tanjung Garo dan Cioa.  

Suatu hari di tahun 1964 itu,  Aki Umri dan masyarakatnya dituduh menyerobot tanah negara yang dikuasai oleh Perhutani. Lalu, Aki Umri ditahan di Penjara di jalan Muhamadiyah Garut, yang pada waktu itu dipimpin oleh Idrus dan Durahman.   Meskipun hanya beberapa hari di Penjara, lalu dikeluarkan, namun tepatnya tanggal 24 Nopember 1971, Aki Umri disidangkan di Pengadilan Negeri Garut, dengan tidak mendapat bantuan dari siapapun termasuk dari para penggarap maupun dari pihak lain. “Saya dulu ketika disidangkan soal tanah, tidak ada yang membela baik dari mahasiswa atau dari masyarakat lainnya, bahkan saya sendirian, tidak ada kawan sama sekali.” [7]

Setelah Aki Umri keluar dari penjara setahun kemudian, maka langkah  pertama yang dilakukannya memberikan penjelasan kepada tokoh-tokoh muda di tiap kampung berkenaan dengan persoalan tanah yang menyebabkan ia dipenjara.  Dengan ikhlas tanpa bantuan dari orang luar Sagara, perjalanan itu terkadang dilakukannya dalam jarak yang jauh, tetapi tidak pernah nampak kekecewaan dan rasa lelah.  Rakyat Sagara pun melanjutkan penggarapan tanahnya bertahun-tahun kemudian hingga peristiwa yang tanpa diduga, pada bulan Agustus 1989, yakni pencidukan Omon bin Saan (40), Sahrum bin Ahmaji (51), Dan Bahri bin Ahmad (71) oleh polisi Garut yang didampingi oleh petugas Perhutani. Ujung dari peristiwa itu, warga Sagara itu mendekam di sel Polres Garut selama 1 bulan lebih 5 hari. 

Rakyat Sagara pun resah, termasuk Kepala Desa yang bernama Imid. Untuk membuktikan kedudukan tanah yang digarap oleh masyarakat Sagara, Imid memerintahkan Hansip untuk menjemput Aki Umri. Sekitar pukul 2 malam setibanya Aki Umri di rumah Imid, ternyata di rumah Bapak Imid sudah ada orang yang memang sering berkunjung dan menginap di rumahnya. Ternyata, ia adalah pegawai BPN (Badan Pertanahan Nasional) bernama Bapak Aliman.  Akhirnya terjadi pembicaraan antara Aki Umri dan Bapak Aliman. Kesimpulan dari pembicaraan tersebut, Pak Aliman menyarankan pada Aki Umri untuk menjadi saksi persidangan kasus penahanan ketiga penduduk Sagara itu, dengan menunjukkan sejarah penguasaan tanah Sagara. “Okeh, Aki setuju dengan tawaran itu” [8]Lalu, Aliman meminta Aki Umri beserta Bapak Imid  datang ke Garut. Hal ini dilakukan guna menanyakan kasus tersebut ke Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) kabupaten Garut yang bernama Bapak Jayusman. 

Esok harinya, bersama-sama dengan Aliman, Aki Umri dan Imid menempuh jarak sekitar 150 km dari kampung halamannya menuju kota Garut.  Di Kantor BPN kabupaten Garut,  Kepala BPN Garut menjelaskan versi BON mengenai status tanah itu bahwa “Tanah tersebut benar-benar tanah negara yang belum diputuskan baik dari pusat maupun dari daerah”.[9]  Pada pertemuan itu pula, Bapak Jayusman meminta Imid dan Aki Umri untuk datang ke BPN Propinsi yang pada waktu itu dipimpin oleh Ir Darga. 

Sebelum perjalanan  ke Bandung  dilakukan, Aki Umri menyempatkan diri singgah di rumah Bapak Camat Cibalong.[10] Dari pertemuan itu, pada mulanya bapak Camat tertarik untuk sama-sama pergi ke Bandung tetapi ketika akan berangkat, Bapak camat membatalkan kepergiannya.  Pembatalan itu tidak menjadi beban dan halangan bagi Bapak Imid beserta Aki Umri, terutama untuk memperoleh informasi yang jelas dari para birokrasi[11] BPN  Propinsi.[12]

Setibanya di tempat, Bapak Imid dan Aki Umri sebagai perwakilan rakyat Sagara, langsung menemui Bapak Ir Darga. . Maka  dimulailah  pertemuan kecil[13]  antara bapak Imid, Aki Umri dan Ir Darga. Dari hasil pertemuan kecil tersebut, kesimpulan yang diperoleh memberikan penjelasan bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara.Dengan keterangan yang diperoleh, menambah rasa keyakinan yang kuat bagi kedua tokoh itu, untuk sesegera mungkin menyampaikan kepada para pengarap, Bahwa  Apa yang selama ini di pertahankan, dikelola, dijaga, adalah hak-hak yang harus diperolehnya. 

Perjalanan dari kota yang begitu jauh, hingga bisa melelahkan, ketika itu tidak pernah terasa oleh kedua tokoh itu, bahkan akhirnya perjalanan itu bisa di lalui dengan hati yang bahagia.

 Ketika kaki-kaki yang membawa kebahagian menginjakan di kampung halaman, Aki Umri dan bapak Imid tidak pernah memikirkan lagi persoalan lain, kecuali langsung mengundang setiap warga  untuk menyampaikan berita yang diperolehnya. Dan ini dilakukan guna  menghilangkan keraguan, dan memperkuat apa yang telah dilakukan oleh para penggarap terhadap tanah-tanah yang telah di jaga dan dikelolanya selama bertahun-tahun.

Dari penjelasan  apa yang disampaikan perwakilan rakyat itu selesai, akhirnya para penggarap semakin yakin akan apa yang dilakukannya.  Hal ini dibuktikan dengan semakin giatnya para penggarap untuk mengelola lahannya secara baik.

Keceriaan, kebahagiaan,yang menyertai para warga Sagara dalam mengolah lahan-lahan kebun, terpaksa tidak bisa dipertahankan dalam waktu  panjang. Terutama   dikejutkan dan dibuyarkan dengan kedatangan para aparat kepolisian dan dinas kehutanan mendatangi warga-warga, yang kadang kedatangannya pada waktu  rakyat Sagara sedang melepaskan lelahannya di kebun atau.Bahkan kedatangannya yang  tiba-tiba, menimbulkan kepanikan , kecurigaan, kecemasan, ketakutan bagi para penggarap. Seakan para penggarap adalah pelaku kejahatan besar yang telah menghilangkan dana pemerintah yang nilainya ratusan miliyar.         

Sehubugan dengan penangkapan yang dilakukan oleh pihak aparat kepolisian dan pihak  dinas perhutani, pada malam itu sunyi terasa yang dirasakan oleh rakyat Sagara sampai menjelang pagi hari. Kebiasaan berangkat secara bersama-sama ke setiap ladang sambil bersukaria dan bercerita apa yang menjadi harapannya, tidak bisa dilaukan kembali bahkan kejadian ini sangat membebani seluruh warga, hingga ada sebagian warga yang enggan keluar, karena dalam pikirannya mungkin ia pun akan mengalami peristiwa seperti itu atau bahkan lebih dari apa yang telah dialami oleh saudaranya.

Diungkapkan oleh warga :

     Ketika saudara kita di tangkap oleh aparat pemerintah dengan didasari alasan yang tidak jelas, menyebabkan isi  seluruh kampung yang biasa berangkatke kebun, membersihkan rumput, bercocok tanan, seketika berhenti. Bahkan di dalam hati-hati warga menimbulkan rasa ketakutan, ketidak percayaan diri, tidak aman, sebab tidak ada yang bisa di pinta pertolongan.Bahkan situasi kampung yang biasa rame seketika menjadi sunyi. Laksana suara hewan yang terinjak oleh kaki. [14]

            Tempat-tempat bermain anak-anak melepaskan kerinduannya kepada alam, sudah tidak lagi digunakan. bahkan nampak sekali lahan itu gersang dan mencekam hingga tempat itu laksana tempat mayat.  Dan rumah berubah menjadi tempat bermain di siang hari, yang kadang tanpa teman-teman yang biasa menyertainya, itu dilakukan karena anak-anak dan para orang merasa ketakuan dan kehawatiran  keluar rumah  untuk bermain seperti biasa dilakukan oleh anak-anak. 

            Begitupun kesibukan yang nampak sekarang tidak lagi terlihat ditempat tanah-tanah yang mereka kelola (tanah garapanya). Tetapi setiap perkampungan berubah menjadi ramai, untuk membicarakan kejadian penangkapan yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan dinas perhutani, dan kadang rakyat berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk membicarakan hal yang sama.

            Tetapi ketika matahari terbenam, sunyi terasa kampung yang biasanya ramai, laksana tempat mayat, dan hanya suara burung hantu yang seseketika mengeluarkan suaranya, jeritan jangkrik dan suara air sungai menambah kesunyian desa Sagara. Bahkan nampak  terlihat tiap orang enggan untuk keluar dari tempat peristirahatannya. Begitulah suasana dari hari-kehari, rakyat di kelilingi dengan kesunyian dan ketakutan akibat soal penangkapan yang sering dibicarakan ditiap rumah-rumah yang mereka tinggali. Mati seketika kampung itu seakan tidak nampak kehidupan pada hari berikutnya.

            Rumput-rumput, ranting, yang biasa dibersihkan setiap hari, nampak menebal di setiap lokasi para penggarap.karena seketika para penggarap enggan untuk melayani alam. Nampak terlihat seketika lahan-lahan berubah penuh dengan ilalang yang tebal, bahkan lahan itu menyimpan cerita potret penindasan  yang dilakukan atas nama keadilan dan kesejahteraan rakyat oleh sang penguasa negri ini. 

Berikut  ungkapan Endih[15] :

Ketika saya pulang dari Riau tempat saya bekerja, saya sangat kaget sekali mendengar berita yang menjelaskan terjadi penangkapan yang dilakukan oleh Kehutanan dan polisi, saya berbicara dengan yang lainnya bagaimana caranya membela orang yang difitnah sebab yang saya tahu bahwa tanah yang digarap oleh masyarakat adalah tanah negara bebas. Saya kembali ke kota untuk mencari usaha, ketika saya sampai di kota  saya merasa tidak enak malah jadi pikiran, akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke desa ikut berjuang dengan yang lainnya supaya bisa mengeluarkan orang yang ditangkap. Tiba di desa saya bertemu dengan orang yang bernama Agus Tiana malahan pada waktu itu timbul pertanyaan apakah betul orang ini akan membela atau hanya akan membohong, sebab pada zaman sekarang susah sekali ada manusia yang mempunyai niat membela tanpa pamrih, namun pada waktu itu saya percaya setelah Agus Tiana mengajak 15 orang pemuda Sagara datang ke tempat penjaga Perhutani, setelah sampai Agus Tiana menanyakan peta dan yang lainnya yang bisa membuktikan bahwa tanah yang digarap rakyat adalah tanah perhutani, orang Perhutani tidak bisa menjawab, kami langsung pulang ke KareesPada suatu hari saya dan kawan – kawan sangat kesal sekali terhadap tingkah orang Perhutani seperti menakut – nakuti dengan mengacung – ngacungkan golok, membawa polisi yang lengkap dengan senjatanya, memarahi rakyat, rakyat disebut gerombolan, pada akhirnya diadakan pertemuan dengan pemuda – pemuda bagaimana caranya mengeluarkan orang yang ditangkap[16]

 

Menegarakan tanah rakyat

Lahan garapan pertanian yang dikelola oleh masyarakat Desa Sagara menggunakan peralatan yang mudah di dapatkan di pasar seperti golok, pacul, arit dan lain-lain. Dan itu dilakukan secara turun temurun.tidak pernah ada batasan. Hingga akhirnya kebutuhan masyarakat akan perumahan dan menjaga alam,  memberikan kesepakatan warga yang diwujudkan dalam bentuk musyawarah yang dihadiri oleh para penggarap. Dan hasil yang di sepakati berupa  bentuk  penanaman pohon-pohon keras.  

Kayu jati, buah-buahan, bambu, tangkai jengkol, peteuy dan lain-lain menjadi pilihan alternatif yang dilakukan secara gotong royong untuk ditanam di setiap lahan. Pemilihan jenis tanaman seperti kayu jati di sebabkan bibit itu mudah ditemukan dimana-mana, sehingga tidak mengeluarkan banyak bianya bagi para penggarap. Hal ini di lakukan oleh para penggarap seperti diungkapkan oleh para tokoh dengan kata kata sebagai berikut :

Kalau bibit jati dan buahnya gampang dicari tidak usah mengeluarkan uang banyak, apabali kita berangkat kehutan atau tempat lainnya terus menemukan biji tersebut langsung dimasukkan kesaku tidak usah membeli dulu[17]

 Adapun ada sebagian para penggarap yang berkeinginan untuk menanam jenis tanaman lain seperti karet, tetapi pihak perkebunan mendatangi masyarakat dan tokoh masyarakat bahwa :

Jikalau menanam jenis tanaman karet, pihak perkebunan tidak menjamin keamana kebun seperti yang diungkapkan oleh para tokoh masyarakat.[18]

Kegiatan penanaman tanaman keras yang dilakukan oleh masyarakat desa Sagara, selang beberapa waktu akhirnya mendapat sambutan yang baik dari pihak perhutani. Maka tahap pertama yang dilakukannya adalah  pendekatan terhadap para petani Sagara baik secara individu maupun kelompok. Apa yang di lakukan oleh para petugas dinas perhutani itu tidak seperti biasanya, seperti  mendatangi rumah-rumah para penggarap, mengunjungi ke tempat peristirahatan di lahan-lahan garapan, memberikan rokok, mengajak bicara bahkan akhirnya  di lengkapi dengan memberikan bibit-bibitan kayu jati, hal itu dilakukan untuk  memperoleh tanggapan dari para penggarap. Bahkan pihak kehutanan menjanjikan kepada para penggarap bila tanaman jati sudah besar, rakyat akan memperoleh hasilnya. 

Tetapi apa yang dilakukan oleh pihak perhutani tidak bisa menarik perhatian rakyat Sagara. Penolakan akhirnya dilakukan oleh rakyat Sagara. Tetapi penolakan itu tidak membuat jera dan berhenti dari keinginan para petugas perhutani untuk menanam jati, bahkan hal ini dilakukan dengan menggunakan masyarakat dari desa lain seperti dari masyarakat Pameungpeuk, Pangligaran, Mancagahar dan dari masyarakat lain dengan jalan memberikan upah buruh. Dan akhirnya apa yang dilakukan oleh rakyat seperti rakyat Sagara, lahir program yang diikuti dan dilakukan oleh pemerintah melalui program yang di prioritaskan oleh Gubernur Sholihin[19]  dengan nama program Rak Gantang[20]

Pada tahun 1983 Desa Maroko[21] melakukan pemekaran sehubungan dengan jumlah warga yang semakin bertambah menjadi 4 wilayah yaitu Sagara, Simpang, Sancang,  dan Maroko, hal ini dilakukan untuk memudahkan proses adminitrasi kepada rakyat yang jumlahnya semakin banyak. Juga selain luas arealnya yang agak sukar di jangkau, sehinga bentuk lain yang bisa dilakukan oleh pemerintahan desa untuk memberikan pelayanan kepada para warganya tidak bisa lain kecuali desa maroko di mekarkan menjadi beberapa desa.

Setelah dilakukan pemekaran desa, tampuk kursi di desa baru diantaranya di Desa yang dikenal dengan nama Desa Sagara kosong belum diduduki oleh siapapun. Maka mulailah jadi bahan omongan bagi para warga terutama yang termasuk pada lokasi desa sagara, untuk menyebutkan siapa yang paling sesuai untuk duduk di kursi itu. Dan para tokoh rakyat mulai melakukan bentuk-bentuk musyawarah dari kampung ke kampung dengan sangat teliti karena bila salah memilih, maka persoalan yang sedang dihadapi oleh rakyat Sagara akan semakin besar, hal ini disebabkan di setiap daerah lain setelah kepala desa  mengobral janji-janji palsu , akhirnya memaksa rakyat untuk tidak melakukan berbagai kegiatan yang dipandangnya akan merusak pemerintahan atau melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah, sehingga setiap pertemuan antar warga yang jumlahnya lebih dari 5 orang harus melapor ke kepala desa. Rakyat tidak boleh menolak perintah pemerintah, rakyat tidak boleh masuk ke partai yang lain, selain yang dimiliki oleh pemerintah, bila melakukan pengajian dan mendatangkan mubaligh dari luar harus meminta izin, dan berbagai persoalan yang sering ditimbulkannya oleh pemerintahan desa menjadi bahan pembicaraan dalam setiap musyawarah hingga akhirnya, kekuasan yang masih kosong, dengan hasil musyawarah yang dilakukan para warga dan para tokoh menjatuhkan pilihannya kepada bapak Imid untuk menjadi kepala Desa,.

Pengangkatan itu teryata sangat tidak mengecewakan rakyat Sagara, karena dalam setiap kegiatan baik yang menyangkut pemerintahan desa maupun rakyat memperoleh dukungan yang kuat. Selang dari pengangkatan kepala desa baru, tanpa di duga ada surat pemberitahuan dari pihak Kecamatan bahwa di Desa Sagara akan ada kunjungan yang dilakukan oleh petugas Planologi Kehutanan Perum Perhutani Unit III Jawa Barat guna melakukan penataan batas. 

Setibanya di lokasi, para petugas    langsung me ngakui lahan garapan rakyat sebagai kawasan Hutan  dengan alasan ada kayu Jati, dan itu dibuktikan dengan pengakuan yang dilakukan oleh Perhutani melalui bentuk pematokan yang dibelokan ke lahan-lahan penggarap.

            Kejadian itu menimbulkan kekesalan bagi kepala Desa beserta para pengarap. Hingga akhirnya penghadangan dilakukan oleh kepala desa beserta rakyat karena ada catatan di desa yang menerangkan bahwa tanah tersebut merupakan tanah erfach[22]. Dan pemancangan yang dilakukan oleh pihak Perhutani dapat digagalkan oleh warga beserta kepala Desa.

Apa yang telah dil;akukan oleh petugah Kehutanan, memberikan gambaran sikap yang tidak pernah menghargai barang milik rakyat. Apakah yang di sebut dengan pemerintah itu memiliki kekuasaan untuk mengakui barang rakyat[23]

Kejadian yang dialami oleh rakyat Sagara,  mendorong Bapak Imid untuk mencari   jawaban. Maka pertama kali yang dilakukannyaa mencari keterangan dari  pihak BPN,  dan yang ditemuinya yaitu Bapak Jaja. Apa yang menjadi harapan bapak Imid akhirnya tercapai berupa Bukti  surat yang berbahasa Belanda yang menerangkan tentang permohonan yang dilakukan oleh pihak swasta Belanda guna perkebunan yang terdaftar dalam Surat Ukur No. 31,32, dan 33 tahun 1927 dan bukti itu yang yang dijadikan bukti oleh masyarakat Sagara yang diperoleh dari Rumah bapak Acu di Cibarengkok bahkan pak Ecu sendiri menjelaskan bahwa: 

 tanah yang terdapat di Desa Sagara bukan milik Perhutani.[24]

Adapun dengan bukti tersebut akhirnya Kepala Desa menyampaikan keberatan atas pengkaplingan yang telah dilakukan oleh pihak Perhutani kepada Muspika berdasarkan surat No. 059/11/1984,[25] namun tidak memberikan jawaban

 

Awal keterlibatan LSM

Yang dilakukan oleh Bapak Imid sebagai kepala desa Sagara untuk mendapatkan penjelasan mengenai tanah Sagara, seringkali dilakukannya dengan cara  menemui salah satu pegawai BPPN Garut yang bernama Bapak Aliman. Adapun tempat tinggal beliau terletak di sekitar   jalan Pajajaran. Sampai pada suatu  hari seperti biasanya Bapak Imid datang kerumah Bapak Aliman, hal ini dilakukan  sehubungan dengan telah terjadinya penangkapan yang dilakukan oleh petugas Polres Garut terhadap warga masyarakat Sagara yang bernama Omon (40), Sahrum (51), dan Bahri (71). Bahkan dalam penangkapan itu, pihak petugas kepolisian, yang disertai oleh pihak Perhutani tidak membuktikan surat penangkapan. Dan tidak lebih seperti pemaksaan kehendak tanpa meminta penjelasan dari si pihak korban.

 Kedatangan bapak Imid ke rumah Bapak Aliman,  tanpa diduga dirumah Bapak Aliman dikenalkan kepada salah seorang aktivis Garut yang bernama  Agustiana.Setelh perkenalan itu agak lama, bapak Aliman bercerita kepada Agustiana mengenai soal tanah masyarakat sagara bahkan meminta untuk menanggapinya.Baik masyarakat di blok Ciniti, Ciuda, Cibalar dan Gunung Peer.Dan tanpa di tanya  Bapk Imid ikut menjelaskan tentang tanah tersebut.

Tanah itu adalah tanah negara   bebas dengan surat ukur (mip Breep)No. 31,32 dan 33 tahun 1927[26]

Setelah mendapat penjelasan, Agustiana bersedia akan melakukan pembelaan kasus itu dan agustiana meminta Bapak Imid untuk bersama-sama ke Sgara untuk memperoleh data di lapangan.

Diungkapkan oleh kepala desa Sagara

Waktu yang tidak pernah di duga, memberikan keuntungan yang membawa kebahagiaan[27]

 

Padawaktu itu bapak Imid menginap di Hotel Nasional,esok harinya ditemui oleh Agustiana  dengan harapan bisa bersama-sama ke lokasi sagara. Namun karena sesuatu hal yang perlu diselesaikan oleh pak Imid bahkan dengan kesediaan Agustiana akan melakukan pembelaan terhadap rakyat Sagara belum diyakini oleh pak imid secara penuh, hal ini disebabkan anggapan yang sukar diterima karena tidak mungkin akan ada orang yang dengan suka rela akan menolong rakyat dalam melakukan pembelaan terutama masalah tanah karena resikonya yang akan diperolehnya sangat besar akhirnya pak Imid pergi lebih awal meninggalkan Agustiana.[28]

            Agustiana setelah mengetahui pak Imid telah berangkat lebih awal, akhirnya memutuskan untuk langsung pergi ke sagara melalui jalan yang melewati Singajaya. Sesampainya di Desa sagara tepatnya di kampung Karees, Agustiana langsung bertemu dengan pak Saja dan menanyakan pak Lurah (Imid) tetapi menurut Pak saja bahwa Bapak Lurah Imid belum sampai di tempat, dan akhirnya Agustiana meminta ke pak saja untuk mengumpulkan masyarakat dan seketika terkumpul sekitar 50 orang penggarap.

            Setelah berkumpul 50 orang, dan melakukan pembicaraan sehubungan dengan awal penggarapan lahan tersebut, akhirnya Agustiana meminta 15 orang rakyat untuk pergi ke lokasi dan Pak saja setelah tiba di lokasi menunjukan lahan-lahan yang telah digarap oleh masyarakat.

Bentuk –bentuk perlawanan rakyat

            Untuk mempertahankan  hak-hak yang selama ini dikelola rakyat maka masyarakat sering melakukan bentuk-bentuk musyawaraah yang dihadiri oleh setiap rakyat beserta tokoh –tokoh rakyat dengan cara tidak meninggalkan lahan garapannya sekalipun apa yang terjadi, membuat rumah-rumah di tempat lokasi, memilih para tokoh penggerak massa bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, mengadakan pertemuan rutin satu bulan satu kali, memili perwakilan untuk mengkordinir massa tiap kampung, melakukan ancaman balik dengan jalan bila petugas perhutani datang ke para penggarap, maka seketika rakyat mengelilinginya, menyusun kelompok menjadi 23 kelompok diantaranya di lengkok sekitar 3 kelompok, Ciniti 6 kelompok, Gunung Peer 5 kelompok, Karees 9 kelompok yang kesemuanya jumlah penggarap sekitar 800 orang terdiri dari  4 kordinator diantaranya bapak Saja, Iim, Imid dan Aki Umri.

Orang tua dan pemuda harus bersatu agar rakyat mempunyai kekuatan. [29]

            Untuk memenuhi dana perjuangan setiap kelompok bekerja secara gotong rotong dan sekitar 50 % dari upah yang diperoleh di kumpulkan di salah satu bendahara yang dipilih oleh angora penggarap.

            Dalam melakukan mobilisasi massa, peranan pemuda sangat dipentingkan, sehingga di masing-masing blok garapan rakyat dipilih salah satu tokoh pemuda yang bisa melakukan penyampaian informasi terhadap rakyat lainnya dan mampu melakukan pertahanan ketika teror ataipun bentuk lainnya dilakukan oleh pihak perhuani.

            Seperti di ugkapkan oleh warga 

Setelah kita mendapatkan ilmu dari para Mahasiswaada beberapa kegiatan yang harus dilaksanakan dan di pertahankan diantaranya, kita tidak boleh meninggalkan lahan garapan kita,lokasi garapan harus cepat ditempati rumah, kalau diantara saudara kita di ambil oleh aparat pemerintah, maka semua warga harus berangkat, harus melakukan pertemuan yang sekurtang-kurangnya satu munggu sekali yang jatuh pada hari Juam’at, setiap kampung harus ada yang bertanggung jawab, harus menyebarkan orang ke setiap jalan yang dilalui oleh pihak Perhutani, memakai pakean sepertiABRI agar mereka takut, bila ada pihak-pihak yang menakut-nakuti maka semua rakyat harus berteriak

      Ketika suatu saat, pihak Perhutani akan melakukan pematokan dan musyawarah yang harus dihadiri oleh masing-masing perwakilan dari masyaraka,rakyat langsung menolaknya..hal ini dilakukan karena  warga merasa pertemuan ini hanya akan menguntungkan pihak Perhutani. Sehingga para pemuda melakukan perlawanan seperti yang diungkapkan oleh Endih:

Suatu hari Perhutani mengadakan Pematokan dilahan – lahan yang digarap oleh rakyat, malah mengundang tokoh – tokoh masyarakat dan warga, pada waktu pertemuan tersebut saya dan kawan – kawan mengikuti pertemuan tempatnya di Leuwi Pari, waktu itu saya dan yang lainnya disuguhi air kopi, tapi air kopi tersebut saya ludahi ketika mendengar Perhutani akan mengadakan pematokan, semua yang hadir menolak rencana tersebut akhirnya pertemuan itu dibubarkan. Setelah dibuabrkan, rakyat kembali ketempat masing – masing sedangkan saya dan kawan – kaawan sebanyak lima orang melewati tempat penjagaan perhutani, tempat itusering dipakai untuk menyimpan kayu dan pembuatan arang , saya menyuruh kawan – kaawan untuk pergi lebih dulu, supaya mereka pergi saya diam dulu ditempat itu setelah melihat kawan – kawan sudah jauh, karena merasa sangat kesal oleh tingkah laku pihak perhutani yang suka memfitnah rakyat mencuri kayu jati, padahal mereka sendiri yang mencurinya dan membuat arang, akhirnya kayu yang sudah ditebang oleh mereka untuk membuat arang, saya bakar ! setelah itu saya pulang. Selain usaha tersebut, rakyat melakukan usaha yang lainnya seperti mencegahkeinginan perhutani melakukan pematokan dengan cara membuat lobang untuk menyimpan jimat supaya apa yang dilakukan perhutani tidak jadi.[30]  

 

Legitimasi pertama bagi rakyat

Perjuangan yang dilakukan masyarakat Sagara dalam mempertahankan lahan garapannya tidak pernah mengalami lelah, lemah, dan berhenti. Hal ini dibuktikan dengan semakin seringnya pertemuan-pertemuan dari satu kampung ke kampung lain  yang dilakukan oleh para tokoh beserta para warga masyarakat. Seperti pada acara pengajian, di lokasi lahan, dengan jalan membuka sarana umum kendaraan yang menghubungkan antara perkampungan dengan lahan-lahan garapan rakyat dan lain-lain. 

Dan usaha yang dilakukan warga Sagara akhirnya tanpa diduga sebelumnya oleh masyarakat pada 1990 Mentri Agraria Sujarwo, BPN membuktikan bahwa tanah yang dikelola oleh masyarakat sagara bukan tanah Perhutani tetapi merupakan tanah negara bebas dengan persil 31,32,33 dengan luas 1100 H yang disebut dengan tanah Talaga Patengan.

            Pada tahun yang sama pihak Perhutani pusat, Bupati , ADM Garut , Camat , Koramil , Polsek  melakukan penyurpaian tanah, dan dari penyurpaian tersebut pihak Perhutani membuat kesimpulan bahwa tanah tersebut merupakan tanah yang termasuk sebagai Blok Pasir Salam.  Bukti yang dijadikan pengakuan pihak Perhutani yaitu dengan adanya tanaman kayu jati padahal menurut Aki Umri, kayu  jati yang terdapat di Desa Sagara merupakan tanaman milik petani yang ditanam dari mulai tahun 1964-1966. Dan bibit yang diperoleh para petani   di cari secara sukarela oleh masyarakat dari daerah Ciwalih , Nagara , Balegod  dan daerah Cisompet terutama biji-biji jati  .Sedangkan masyarakat yang diupah oleh pihak Perhutani untuk melakukan penanaman kayu jati di lahan garapan rakyat sagara, adalah masyarakat yang bukan penggarap tetapi masyarakat luar yaitu masyarakat Pangligaran, Pameungpeuk, dan Mancanegara

 Pertemuan antar  penggarap senantiasa dilakukan dengan program-program yang ditentukan oleh masing-masing kelompok walaupun akhirnya sering disebut sebagai gorombolan, pemberontak, dirampas alat-alat pertanian, pencuri kayu , memperoleh kemenangan dengan keluarnya surat keputusan Bupati kepala Derah Tingkat II Garut nomor 593. 3/ SK.195-Huk/90,[31] tentang pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk menggarap tanah di desa Sagara dan desa Karya Mukti,[32] kecamatan Cibalong[33]Kabupaten Derah Tingkat II Garut. Yang ditetapkan di Garut pada tanggal 6 Agustus 1990 Bupati Kepala Daerah tingkat II Garut Momon Gandasasmita. SH[34].    

karena bersatu akhirnya tanah berhasil didapatkan, makanya kita harus menjaga persatuan dan kesatuan jangan berceceran dan tangguh kalau ada angin. [35]

 

Dengan dikeluarnya surat garapan bagi rakyat Sagara dari Bupati, teryata tidak mengurungkan niat Dinas Kehutanan untuk tinggal diam membiarkan rakyat mengelola tanahnya. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya rakyat yang dipanggil baik melalui Polres maupun oleh pihak Perhutani untuk tetap menyingkirkan para pengarap tersebut. Tetapi bagi rakyat dengan keluarnya SK Garapan itu, semakin tidak bisa untuk dibohongi, diadu domba, karena pertemuan –pertemuan yang dilakukan oleh para penggarap dari satu kampung ke kampung lain, membicarakan di tempat peribadatan (masjid), di lokasi garapan semakin sering dilakukan.  

Wah ini hanya bisa digunakan untuk membungkus terasi, tidak sah, silahkan untuk menggarap karena suatu waktu saya yang akan menang[36]

Kekuatan antar para penggarap yang satu dengan yang lainnya semakin kuat setelah datang para pendamping dari FPPMG yang sering melakukan diskusi ataupun ikut terlibat dalam setiap pertemuan yang dilakukan oleh rakyat dalam merebut kembali hak-haknya.

Bahkan pada suatu hari seperti dituturkan oleh masyarakat bahwa : 

Setelah datang SK dari Bupati, rakyat Sagara tidak boleh menambah luas garapannya, tidak boleh membuat rumah yang kuat, malahan pada suatu hari rakyat diundang oleh Perhutani supaya mengikuti pembinaan yang diadakan oleh Perhutani Pameungpeuk dan Garut, dari Kapolsek diwakili oleh Bapak  Bangbang, Koramil dan kecamatan diwakili oleh Bapak Karyo, nasehatnya seperti ini “ Kalau rakyat melakukan pelebaran maka akan ada sangsi, seketika itu juga rakyat menanyakan “Sangsi darimana?” Perhutani menjawab “ Karena tanah ini tanah perhutani, maka sangsinyapun dari Perhutani. Rakyat yang hadir seketika juga menjawab “Perhutani bohong, penjilat !. Akhirnya tidak jadi berpidato. Setelah itu rakyat yang hadir kembali membawa arit, pacul, golok dan lainnya yang bisa digunakan untuk bertanam Bahkan PPA yang bersatu dengan Perhutani hampir menangis.[37]

 

 Potret  Penindasan

Bentuk-bentuk prilaku kehutanan yang melakukan tindakan refresif terhadap para pengolah lahan tanah negara selain menggunakan aparat setempat dengan jalan di sogok  di alihkan dengan cara pemanggilan, dengan tujuan untuk menurunkan kekuatan rakyat dalam mengolah lahan negara itu.

Tah ieu datang dei cobaan piken urang teh geningan ari dek ngabela bebeneran mah loba pisan rurungkangna teh, ngan omat urang ulah gedang ka anginan ka geretak ku sambel[38]

Tepatnya pada tanggal 31 Juli 1989 nama Yoyon bin Oon dengan surat panggilan No. 38/P/VII/PPN s/ 1989 untuk menghadap kepada PPN S/ Kantor Perhutani BKPH Pameungpeuk jalan raya pemeungpeuk No. 233 dengan alasan penyerobotan tanah hutan blok Ciniti yang digiring kepasal 9 ayat 1 pasal 6 ayat 2 PP. No. 28 th. 1985 yang ditandatangani oleh KBKPH / PPN S Utja Apandi selaku penyidik , Surat panggilan No. 175/SP/XI/PPNS/1989[39] yang ditujukan kepada A.Hobir alamat Kp. Cioa Ds Sagara, untuk menghadap kepada penyidik pegawai negri sipil, Ajun Adm KSKPH Garut Selatan KBKPH selaku Penyidik Pegawai Negri Sipil Hasan A. Satjadibrata BScf. Pada hari Senin tanggal 11 Desember tahun 1989,dan  surat panggilan No 183/SP/XI/PPNS/1989[40] yang ditujukan kepada Udju alamat Cioa Ds. Sagara kec. Cibalong untuk menghadap kepada Penyidik pegawai Negri Sipil kantor Perhutani Garut, pada hari senin tanggal 11 Desember 1989 jam 0800, sehubungan dengan pengerjaan tanah Kehutanan negri tanpa izin yang berwenang, selaku penyidik pegawai Negri sipil hasan A. Satjadibrata BScf.      

Surat perintah Penangkapan berikutnya ditujukan kepada Bahri Bin Ahmad berdasar No.  /SPP/XI/1989 Serse yang dikeluarkan di Garut pada tanggal 29 Nopember 1989 Kepala satuan Reserse Ade Sukandi dengan tindak pidana pencurian kayu dan pengerjaan tanah hutan tanpa milik. Alit, Oman bin Saan, Sahrum bin Ahmaji dan beberapa masyarakat lainnya yang secara keseluruhan  dipanggil sebanyak 28 orang dengan alasan yang tidak jelas.

Kejadian pemanggilan itu seperti diungkapkan oleh Alit yang merupakan salah satu korban.

Seperti biasanya saya menggarap lahan di lokasi blok Ciniti (sebelah atas bawah) dengan Muksin, Yoyon, Naim setelah itu pihak Perhutani yaitu Pak Edi, Kadiman dan Hamid. Sore hari saya dan kawan – kawan pulang ke rumah masing – masing. Beda waktu beberapa hari akhirnya ada panggilan kepada saya supaya datang ke kantor Perhutani, tidak ambil pusing saya langsung langsung berangkat. Setelah sampai langsung saya ditanya bermacam – macam, katanya saya  sudah mengambil tanah Perhutani, terakhir saya disuruh menandatangani surat yang sudah diketik oleh pihak Perhutani yang isinya saya mengakui bahwa tanah tersebut tanah Perhutani, namun saya menolak dan langsung pulang. Selang beberapa hari datang Bapak Ade Sukma meminta supaya berangkat ke Kapolsek. Setelah datang di Kapolsek saya ditahan selama 15 hari yang akhirnya bisa keluar lagi dengan membawa surat tahanan luar.

Tiba di rumah, tidak terasa pihak kepolisian terus memburu, malah pada suatu hari rumah saya dikepung mereka masuk ke rumah dengan menodongkan pistol, kejadian ini membaut kaget saya, istri dan anak saya, secara tidak sadar saya naik ke langit – langit tapi polisi lebih cepat tahu, saya langsung berteriak minta tolong, tidak lama kemudian datang masyarakat akhirnya saya tidak jadi dibawa oleh aparat, dan akhirnya pula saya dicapgerombolan oleh aparat. [41]

Pemangilan itu ternyata bukan yang terakhir bagi warga Desa Sagara karena pihak Perhutani melayangkan kembali surat panggilan nomor 190/sp/XII/ ppns/ 1989[42], bahkan pada tanggal 1 Desember 3 orang warga ditangkap oleh pihak POLRES dengan alasan yang tidak berhubungan. Dan akhirnya Ny Popon Binti Amirin membuat permohonan pembebasan tahanan suaminya yang bernama saja bin Awo pada tanggal 2 Maret 1990 ke Bapak Kapolres Garut  mengingat tanggung jawab seorang suami kepada keluarganya tetapi tidak di kabulkan.

Berikutnya surat Panggilan ditujukan untuk Iim yang pekerjaannya sebagai Guru SD, melalui surat panggilan No. Pol. 21/SP/I/1990[43] Serse untuk menghadap kepada penyidik di kepolisian sektor Pameungpeuk pada hari selasa tanggal 23 Janwari 1990 jam 08.00 selaku penyidik pembantu Ign. Suabawa,

 Surat Panggilan No. 15/SP/I/1990[44] Serse yang ditujukan kepada Saja yang harus menghadap kepada penyidik kepolisian sektor Pameungpeuk hari Selasa tanggal 23 Januari tahun 1990 jam 08.00 selaku Penyidik Pembantu Ign. Suabawa, Surat panggilan No. Pol ; 13 /SP/ I/1990[45] Serse yang ditujukan kepada Deni, Kp Desa Sagara kec Cibalong Kab. Garut, menghadap kepada penyidik Kepolisian sector pameungpeuk, hari selasa tanggal 23 Janwari tahun 1990 jam 08,00 An. Kepala Kepolisian sector Pameungpeuk selaku Penyidik Pembantu Ign Suabawa, Surat panggilan dengan No. Pol. 20 / SP/ I/ 1990[46] Serse, laporan polisi No. Pol b/  / LP/XII/198, desember 1989[47] yang ditujukan untuk Ook Alamat Kp. Karees, desa Sagara, Kec. Cibalong, kab Garut yang bekerja sebagai Punduh Karees untu menghadap ke penyidik Kepolisian Sektor Pameungpeuk, Pada hari Selasa tanggal 23 Januari 1990, selaku penyidik Ign Suabawa.     

Pada 26 Desember 1989 Ketua LKMD Ds. Sagara Kecamatan Cibalong membuat surat pengaduan kepada DPD Golkar yang secara tegas bahwa warga desa Sagara secara aspiratif politik merupakan masyarakat anggota Golkar untuk memperhatikan kondisi warga yang diresahkan oleh tindakan sepihak oleh oknum Perum Perhutani yang mengusir  rakyat dari tanah garapannya dengan menyebarkan agitasi.         

Daftar nominatif rakyat Sagara yang dipanggil hingga mencapai 28 orang dengan masing-masing kampung yang berbeda, yang tanpa didampingi oleh pengacara, sehingga rakyat senantiasa diposisikan sebagai objek agitasi untuk melepaskan tanahnya.

Persoalan ini hampir bukan rahasiah umum bagi para pejabat perhutani, aparat polisi tetapi teryata tidak ada salah satu lembaga yang mau membela rakyat dan justru yang dirasakan rakyat  semua elemen pemerintah melakukan agitasi dan refresif.

            Dan teryata Pemanggilan yang dilakukan oleh pihak Perhutani sampai tahun 1994 dengan No. 24?SP/VIII/94[48]Surat panggilan yang ditujukan untuk Neah alamat Ciniti untuk menghadap kepada penyidik Pegawai Negri Sipil di Kantor Perhutani Garut pada hari Kamis tanggal 18-8 tahun 1994 Selaku Penyidik Pegawai Negri sipil Nana Rukanna B.Sc.F. Dan atas perjuangan rakyat tersangka Sumarna bin Uha Kp. Ciniti dengan No. Pol SPP /13 A/VII/1995[49] Serse ditangguhkan yang dijamin oleh Muhdin alamat Kp, Ciniti Ds. Sagara Kec. Cibalong. Adapun Adim Sumardin bin Emud yang juga ditahan oleh pihak kejaksaan Garut di mohon oleh Agustiana sebagai penjamin untuk memperoleh jaminan tahanan luar sehubungan dengan tanggung jawab yang sangat besar yang diperlukan oleh keluarganya pada tanggal 16 April 1990.

            Selama masa pihak aparat melakukan penyelidikan dengan pertayaan kepada petani yang dipanggil tentang siapa yang menjadi pemingpin dan mengapa melakukan garapan, maka jawaban yang diberikan sam antara satu dengan lainnya yaitu :

Saya tidak mempunyai pemimpin, tidak ada yang menggerakkan, saya sendiri pemimpinnya, dan tanah yang digarap oleh saya bukan tanah kehutanan tapi tanah negara bebas saya melakukannya karena saya butuh menyambung hidup untuk saya dan keluarga. [50]

 

Manipulasi  Bukti-bukti

            Dalam proses persidangan yang dilakukan oleh Pengadilan Negri Garut terhadap para terdakwa Bahri bin Ahmad (70), Omon bin Saan (35) dan Sahrum Ahmaji (45) membukakan kebohongan yang dilakukan oleh petugas Perhutani.

kenapa saya difitnah merusak, apalagi saya menandatangani dalam BAP yang tidak pernah dilakuakan, apakah begini caranya bila pemerintahan yang akan mendirikan keadilan dan kebenaran. [51]

            Hal ini sehubungan dengan para terdakwa tidak pernah membubuhi tanda tangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh PPNS. Tetapi dipersidangan tanda tangan itu ada, dan hal ini diperkuat dengan nama Uca yang tercantum sebagai pemeriksa dalam BAP, padahal para terdakwa diperiksa oleh Lettu Pol. Suherdi dari Pakam Perhutani Garut, yang pada waktu itu dipaksa untuk mengaku perbuatan yang tidak pernah dilakukan para terdakwa di sebuah penginapan di Pameungpeuk Garut.

Seingat kita, kayanya tidak pernah menandatangani di atas kertas yang di serahkan oleh pihak polisi, sebab bagaimana saya mengakui, karena tidak pernah melakukan. Kenapa setiap yang membuat ar dari tangkai jati rakyat, tidak pernah di tangkap padahal jelas apa yang dilakukannya, dan jelas bukti tangkai yang dibakarnya, apalagi yang sering mengangkut dengan kendaraan, hampir kedengarannya tidak pernah di tangkap. [52]

 Begitupun dengan barang bukti yang dijadikan alat untuk membenarkan para terdakwa elakukan pengrusakan pohon kayu hutan yang tidak dijelaskan alat apa yang digunakan oleh masing-masing terdakwa, dan teryata dalam persidangan muncul sebuah parang, pisau kecil, dan alat-alat ini dijadikan alat bukti yang memberikan penjelasan bahwa masing-masing terdakwa melakukan penebangan  kayu hutan, dan hal ini mustahil dilakukan oleh masing-masing terdakwa, bila alat tersebut digunakan untuk menebang kayu.

Masa sebilah pisau yang besarnya seperti telunjuk bahkan pemberian orang bisa di gunakan untuk menebang kayu Jati yang ukurannya besar dan kuat dan bila orang yang menggunakan akal sehat akan menertawakan dengan kejadian tersebut. [53]

Dan kejadian ini menimbulkan kecurigaan dan keheranan melihat barang bukti bagi pihak penasehat hukum terdakwa dan para hadirin yang menyaksikan persidangan, sehingga Dindin S Maolani SH. Berkata, 

apa mungkin terdakwa bisa menebang kayu dengan alat seperti itu, saya memang tidak habis pikiran, kenapa penyidikm begitu cerobohnya, tidak sadarkah mareka, kalau dipersidangan ini akan terungkap segalanya, termasuk kebohongan-kebohongan.[54]

Dan dari persidangan itu terbongkar bahwa alat yang dijadikan kekuatan pihak perhuani dalam menguasai lahan Sagara dan Karyamukti yaitu Surat Keputusan Gubernur Jabar No. 522/SK.1790-Pem. Um / 83[55], tentang petunjuk pemetaan kawasan hutan lindung di Blok sagara, dengan menghadirkan saksi Ajun Adnministratur Perhutani, Hasan Afandi, Saca Di Karta dan KRPH Pameungpeuk, KPH  Garut, Kardiman.  

Dalam kesaksian persidangan itu ketika penasehat Dindin Maolani SH. Menanyakan kepada saksi hasan Afandi, apakah saksi mendengar dan mengetahui langsung dari Gubernur bahwa SK itu untuk Blok Sagara, dan saksi seketika tidak bisa menjawab begitupun dengan perbuatan para terdakwa saksi tidak tahu perss perbuatan para terdakwa, jadi para saksi tidak mengetahui areal mana yang di serobot dan jumlah kayu yang ditebang terdakwa.

Namun tatkala Jaksa Penuntut umum, Andy Tjoe Syafei SH. Memperlihatkan satu-satu lokasi pada saksi Kadman langsung mennjukan lokasi yang digarap para terdakwa, padahal pihak BPN mengingatkan pada pihak perhutani tidak melakukan pengusiran kepada para penggarap karena kwasan sagara adalah tanah negara yang telah digarap penduduk sejak tahun 1964 dan telah dibangun pula sebanyak 13 rumah diatasnya. Keyakinan BPN itu diperkuat pula oleh surat kepala dsa Sagara No. 02/05.07.2008/VIII/88[56] yang ditujukan kepada Bupati Garut dengan tembusan ke BPN garut, selanjutnya Bupati mengirimkan surat ke BPN No. 591/738/ Pem[57] dan dengan surat itu BPN mulai melakukan penelitian dan hasil melalui Surat No. 5001/239/1990[58], Bandung 8 April 1990 kepada bapak Gubernur Kepala daerah I Jawa Barat yang menunjuk Surat tanggal 24 Oktober 1989 No. 1811/7015/.[59] perihal penjelasan status tanah hasil penelitian dengan kesimpulan sebagai berikut :

v Bahwa sesuai dengan data yang ada pada kami yaitu peta Distrik negara No. 51 Resident Priangan tahun 1930 dan Meet Brief (surat Ukur) No. 30,31,32,33 tahun 1930 lokasi tersebut adalah tanah negara yang belum pernah diberikan sesuatu hak kepada siapapaun uga. 

v Bahwa kawasan hutan sebagai mana ditunjuk dalam surat keputusan Couverneur Generelevan Nederlandeeh Indie No. 28 tahun 1927 berdasarkan hasil penelitian tanggal 12-3 1990 terletak disebelah barat dari lokasi yang termaksud diatas atau sebelah barat sungai Cisangiri.

 

Menyelam di air keruh

            Sehubungan dengan lahan garapan yang dikelola oleh rakyat sagara terhadap lahan  tanah negara bebas semakin banyak, maka untuk memperoleh pendataan secara adminitrasi yang legal bagi para penggarap dari pihak pemerintah, akhirnya kepala desa sagara beserta para penggarap melakukan musyawarah untuk mengajukan mendapatkan legalisasi, akhirnya dilakukan pengajuan permohonan izin kepihak BPN Garut yang pada waktu itu dikepalai oleh Drs. H. Jayusman.

            Setelah proses itu dilakukan oleh pihak pemerintah desa beserta para penggarap, menimbulkan kehawatiran bagi para oknum Perhutani, hal ini disebabkan para petugas perhutani yang biasa melakukan usaha sampingan dari tanaman yang di kelola oleh rakyat dengan cara pembuatan arang ataupun ikut terlibat penebangan kayu-kayu jati yang selanjutnya digunakan untuk keperlian pribadi merek mendorong untuk melakukan bentuk-bentuk pembabadan tanaman rakyat, pembakaran gubuk rakyat, mendatangi kesetiap rakyat dengan disertai penuduhan bahwa rakyat sebagai pencuri, gerombolan, perampok, melakukan makar, dan bentuk-bentuk penindasan ini bertabah kuat setelah turun SK Bupati No. 593.3/SK.195-Huk/[60] tentang pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk menggarap tanah di Dsa Sagara dan Desa Karyamukti Kecamatan Cibalong Kabupaten garut Tingkat II Garut pada tanggal 6-8 1990 yang pada waktu iu dikepalai oleh bapak Momon Ganda sasmita. 

Pada suatu saat, rakyat akhirnya bertanya kepada salah satu pegawai perhutani berkenaan dengan tindakannya, dan seketika mengungkapkan sebagai berikut

Saya hanya diupah, dengan bayaran satu hari sekitar Rp.  7000 rupiah[61]

Membongkar Pengakuan Sepihak

            Pada tanggal 20 September 1989 Gubernur  Jawa Barat Drs. H. Karna Suwanda melalui surat No. 033.1/111[62]yang meminta informasi tentang lahan yang digarap oleh rakyat sagara merupakan tanah kawasan hutan Blok Pasir salam KRPH Pameungpeuk KPH Garut yang dalam pelaksanaanya dilapangan supaya bekerjasama dengan Bupati Daerah tingkat II beserta unsur muspika setempat nomor 522/8346/ Biapread , bandung 11-12 1989. 

Tetapi apa yan dilakukan oleh pihak perhutani dilapangan sangatlah bertentangan dengan keinginan rakyat. Mereka sering menggunakan bentuk-bentuk kekerasan dengan jalan mengejar-ngejar para penggarap, menginjak-nginjak tanaman rakyat, mengancam akan memenjarakan, mendorong masyarakat untuk mengajukan persoalan yang dihadapinya ke lembaga legislatiif Daerah tingkat II Garut ke DPD Golkar pada tanggal 26 Desember 1989, 

Hal ini dilakukan karena rakyat Desa Sagra kec. Cibalong Kab. Garut yang secara aspiratif politik merupakan masyarakat anggota golkar. Hingga  masyarakat meminta pihak DPD Golkar untuk memperhatikan rakyat yang sedang dalam keadaan resah.

 Disebabkan oleh adanya tindakan sepihak oleh oknum Perum Perhutani yang mengklaim tanah garapan rakyat serta mengusirnya dengan paksaan berupa penebangan tanaman yang dipelihara oleh rakyat, mengacung-ngacungkan sejata tajam, memukul-mukul rumah, menawan, bahkan pada tanggal 1 Desember 1989 tiga orang masyarakat di tangkap oleh Polres dengan alasan yang tidak jelas pada waktu malam hari menibulkan rasa kesal yang tak terhingga dirasakan rakyat.

Di areal tanah sagara sama sekali tidak tercantum tanah perhutani. Batas-batasnyapun hanya berbatasan dengan tanah adat dan perkebunan Mira Mare, hal ini membuktikan kawasan tersebut mutlak tanah negara bebas.[63]

 

            Pengaduan rakyat Sagara setelah sampai di DPRD II Garut langsung diterima oleh Fraksi Karya Pembangunan DPRD II Garut K.H. Mamun. Syamsudin (ketua), M Achdijat (sekretaris) dan dalam proses dialog antar asyarakat dengan pihak legislative berjanji pemasukan akan persoalan rakyat Sagara diproses secepatnya.

            Tanggal 6 Januari 1990 Bapak Imid membuat Surat  dengan No. 501.2006/07-Desa[64] yang ditujukan untuk Bapak kepala bagian inpentarisasi Pemilikan tanah Kehtanan di Jakarta perihal mohon informasi tentang data pemilikan tanah perhutani di sector Pameungpeuk Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat mengingat seringnya persengketaan antar pihak masyarakat dengan petugas perhutani dan sebelum adanya keputusan dari Gubernur DT I Jawa Barat, tetapi tidak ada jawaban yang diperoleh oleh Bapak Imid sebagai kepala Desa sagar surat yang di tembuskan kepada pihak perhutani pusat.

            Adapun usaha yang dilakukan rakyat sagar sehubungan dengan penangkapan tingga warga yang di fitnah oleh pihak Perhutani, pada tanggal 22 Januari 1990 rakyat datang LBH Bandung setelah mendapat masukan dari Drs Jayusman dan Bapak Aliman untuk memohon bantuan hukum dan konsultasi dalam kasus yang dihadapinya. Dan setelah itu LBH Bandung Dan Efendi Saman SH menjadi kuasa hokum masyarakat sagara dan ketiga rakyat yang ditangkap itu.

            Pada bulan  April 1990 masyarakat desa Sagara membuat surat yang ditujukan kepada Jaksa Agung di Jakarta, dengan tujuan mohon dibentuk team penyidik atas kasus Sagara.  yaitu: sengketa tanah antara masyarakat dengan oknum perhutani yang dibawa oleh beberapa oknum penegak hukum khususnya Kasat serse Polres Garut, dan Biro hukum perhutani Jawa Barat dengan tindakan-tindakan yang dilakukannya mengusir dengan paksa kepada masyarakat yang 80 % menggarap tanah negara Su. No. 30,31,32, dan 33 tahun 1927 dengan dibarengi tindakan-tindakan pemanggilan terhadap masyarakat oleh oknum PPNS. 

Bahkan tidak hanya itu, korban dipaksa untuk menandatangani surat pengakuan pengrusakan hutan, walaupun itu tidak dilakukannya seperti yang menimpa Bapak Alit,  menahan 7 orang tokoh masyarakat dan 1 orang kepala desa sagara yang bernama bapak Imid dengan memalsukan Tanda Tangan yang terdapat di BAP. Padahal tanah garapan itu sudah diklola secara turun temurun dan garapan yang dilakukan oleh rakyat mendapat pengakuan dari pihak BPN Garut bahwa tanah itu adalah tanah negara.

Pada waktu itu saya harus mengakui bahwa saya telah menebang kayu jati milik Perhutani. Pada pertayaan tersebut saya menolak telah melakukan pengambilan kayu milik Perhutani, hal ini disebabkan saya tidak pernah menebang kayu jati yang di akui oleh pihak Perhutani. Karena seingat saya bahwa yang menanam kayu tersebut masyarakat sendiri tanpa di banyar oleh siapapun, benar-benar hasil musyawarah rakyat.[65]

Sehubungan dengan penangkapan yang dilakukan oleh aparat sipil dan polisi terhadap kepala Desa sagara, akhirnya pada tanggal 1-4 1990 tiga perwakilan dari rakyat yaitu Agustiana, sebagai perwakilan dari Pemuda, Bapak Iim sebagai wakil ketua LKMD.

 Bapak Amin sebagai ketua Karng Taruna, mendatangi pihak eksekuitf DT II Garut, namun Aminudin sebagai ajudan Bupati menolak kehadiran utusan itu karena harus disertai dengan pemandunya yakni camat/ bagian dari pemerintahan, akhirnya ketiga utusan  rakyat Sagara kecewa karena mereka sudah menempuh jarak sekitar 150 KM. Padahal menurut sebagian informasi pihak Bupati tidak mengetahui ada perwakilan masyarakat Sagara itu, dan biasanya bila ada rakyat yang mengadu walaupun tanpa ada surat ataupun janji, bila ada ditempat biasa menerimanya dengan tangan terbuka, rupanya apa yang dilakukan oleh Aminudin sebagai Ajudan Bupati perlu dipertayakan dalam penolakan wakil rakyat Sagara.

            Walaupun resiko yang tidak terhingga dirasakan oleh rakyat Sagara dalam membuktikan tanah itu sebagai tanah negara yang telah digarap oleh rakyat selama turun temurun, akhirnya menghasilkan buah yang siap untuk dipelihara dan dijaga dengan dikeluarkannya SK No. 593.3/SK.195-Huk/90[66], tentang pemberian kesempatan kepada masyarakat untuk menggarap anah di Desa sagara dan desa Karya Mukti  Kec. Cibalong Kab. Garut  Pada Tanggal 6-8 1990.

            Dengan dikeluarkannya Sk untuk para penggarap, sikap Perhutani semakin berleihan dirasakan oleh rakyat dengan menyebutkan rakyat Sagara sebagai gerombolan dan pencuri kayu,, maka pada tanggal 5 Juli 1990 masyarakat membuat surat yang ditujukan ke polres Garut untuk memproses beberapa aknum perhutani yang telah memancing keresahan masyarakat dengan jalan mengambil kayu jati dari tanah yang sedang di sengketakan serta menimbun di rumahnya, sehingga bentuk-bentuk seperti ini bagi masyarakat menimbulkan kehawatiran menjadi suatu fitnah bagi rakyat Sagara, di samping itu juga demi melaksanakan disiplin kesadaran hukum , kiranya pihak Polres berkenan mengirim petugas secepatnya agar barang bukti tidak berubah yang ditandatangai oleh bapak imid Selaku kepala desa Sagara dan RW 06 A. Subana atas nama seluruh masyarakat.

Apa yang dilakukan oleh pihak Perhutani semakin hari bukan semakin sadar tetapi semakin menggambarkan kekuasaannya, bila kelihatan samar-samar rakyat yang sedang membersihkan kebun dari ilalang, seketika di rampas paculnya. Bahkan sering berkata kasar, menginjak-nginjak tanaman, menuduh gerombolan, suka menunggu di perjalanan, dan lain-lain. [67]

            Tanpa diduga apa yang dilakukan oleh rakyat Sagara dalam melakukan usaha mempertahankan lahan garapannya, tepatnya pada tanggal 9 januari 1990 pihak BPN melalui Surat No. 005/27/KPK/1990[68] perihal undangan kepada Sdr Camat Cibalong untuk hadir pada hari rabu januari 1990 tempat di kantor BPN Garut. 

Hal ini sehubungan dengan adanya tim dari Manwil BPN Propinsi Jawa Barat untuk mengadakan penelitian mengenai tanah yang disengketakan oleh Perum Perhutani yang terletak di desa Sagara dan Karya Muti, dan dapat menghadirkan kepala Desa sagara dan Karya Mukti yang ditandatangani oleh Kepala BPN Garut Drs. H Jayusman. 

Dan pada tanggal 12 maret 1990 tim yang dilaksanakan oleh BPN Jawa Barat, Biro Hukum Pemda Tingkat I, Aparat Pemda II , BPN II Garut, camat, Desa beserta rakyat setempat. Dan dari penelitian tim itu akhirnya pada tanggal 8 April 1990 BPN kantor Wilayah Propinsi jawa barat memberikan penjelasan kepada Gubernur melalui surat No. 500.1/239/199,[69] menunjuk surat Gubernur tanggal 24 oktober 1989 No. 181.1/7015/ Bok memberikan kesimpulan sebagai berikut;

v Bahwa sesuai dengan data yang ada pada kami yaitu peta Distrik negara No. 51 Resident Priangan tahun 1930 dan Meet Brief (surat Ukur) No. 30,31,32,33 tahun 1930 lokasi tersebut adalah tanah negara yang belum pernah diberikan sesuatu hak kepada siapapaun uga. 

v Bahwa kawasan hutan sebagai mana ditunjuk dalam surat keputusan Couverneur Generelevan Nederlandeeh Indie No. 28 tahun 1927 berdasarkan hasil penelitian tanggal 12-3 1990 terletak disebelah barat dari lokasi yang termaksud diatas atau sebelah barat sungai Cisangiri.

Pada 5 Oktober 1990 ketua LKMD meminta pihak Bakortanas Daerah Jawa Barat untuk membentuk tim penyidik terhadap oknum Perhutani, Asper Pameungpeuk Kabupaten Garut tetapi tidak ada sama sekali tangapannya. Yang hanya memberikan kekesalan dan ketidak percayaan kepada pemerintah karena apa yang tidak dilakukan oleh rakyat harus diakui sebgai tindakan yang direncanakan, tetapi apa yang dilakukan pihak aparat sipil maupun polisi tidak pernah ditegakkan dan diakui.

Usaha-usaha pihak Perhutani tidak pernah surut walaupun ada surat yang membuktikan bahwa lahan yang digarap oleh rakyat Sagara benar-benar tanah negara, bahkan banyak para petugas yang menyatakan bahwa :

Surat SK Bupati untuk para penggarap maupun surat penjelasan dari TIM BPN Jawa Barat maupun penjelasan BPN Garut tidak sak dan hanya bisa digunakan untuk pembungkus ikan asin dan terasi.[70]

Untuk merebut lahan yang telah di huni dan dikelola oleh rakyat Sagara setelah melalui pemangilan rakyat ke kantor, difitnah melakukan pengrusakan kayu keras, mendatangi tiap rumah, menggedor- gedor pintu rumah, mencabut dan merusak tanaman, tidak berhasil memaksa rakyat untuk menyerahkan lahannya, maka dibuatlah bentuk lain yang dibuktikan pada tanggal 30-12 1993 melalui No. 36/058.2/PMP/1993[71] perihal pemeliharaan pal batas RPH Maroko Pamengpeuk sesuai dengan surat Adm Perhutani/ KKPH Garut tanggal 27 Desember 1993 No. 813/058.2/Humas/GRT/III[72] dan Surat kepala Biro perencanaan No.550/058.2/Can/ III tanggal 8 Desember 1993 yang ditandatangai oleh Asper Pameungpeuk Amarudin.

 Tetapi rencana yang tidak beres itu akhirnya tercium oleh Kades Sagara Bapak Imid hingga usaha  itu di tolak oleh Kepala desa Sagara beserta rakyat. Dan usaha Perhutani tidak mengakibatkan menurunya semangat untuk menyingkirkan para penggarap di desa Sagara, hal ini dibuktikan pada tanggal 12 Januari 1994 No. 01/041.5/ PMP/1994[73], perihal rekontruksi palbatas hukum di RPH, Maroko BKPH Pamengpeuk sehubungan surat dari Camat Cibalong tanggal 8 Januari 1994 perihal pemeliharaan Pel batas RPH Maroko BKPH Pameungpeuk dengan jawaban keberatan yang disampaikan oleh kepala desa beserta rakyat Sagara.

Pengakuan sepihak tanah yang terletak di BKPH Pameungpeuk RPH Garut seluas 6.450,95 Ha sebelah barat sungai Cisangiri (seluas 2.554.25 Ha masuk wilayah RPH Pameungpeuk), sebelah timur sungai Cisangiri seluas 3.896,70 Ha (masuk wilayah RPH Maroko) statusnya kawasan hutan tetap dengan pungsi sebagai kawasan lindung dan hutan produksi dengan diberi nama kelompok Hutan Pasir Salam .

Pada 29 Maret 1994 sebanyak 11 orang rakyat yang mewakili 744 warga lainnya beserta FPPMG bisa mendatangi Mentri Agraria, Mentri Departemen Dalam Negeri dan pihak DPR. Penggunaan rakyat dalam jumlah yang banyak sangat sukar dilakukan. Penghadangan melalui aparat polisi seringkali digunakan untuk menggagalkan rakyat, bahkan sampai kendaraan yang akan ditumpangi rakyat di ranjau, yang mengakibatkan kegagalan di lokasi. 

Setelah sampai di masing-masing instansi, rakyat menceritakan persolan yang dihadapinya, dan setiap akhir pertemuan janji-janji akan menyelesaikan persolan yang dihadapi oleh rakyat sering kali di ucapkannnya.

Mendengar keinginan pemerintah untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya untuk rakyat, apalagi sampai mereka mengungkapkan janjinya akan menyelesaikan persoalan yang dihadapi , bagi rakyat merupakan bentuk pengakuan yang sangat berarti. Dan rakyat merasa bahwa perjuangannya  tidak sendirian. Sehingga tidah heran ketika pulang ke kampung, mereka menceritakan apa yang dialaminya.

Berbeda dengan para aparat, apa yang dilakukan rakyat merupakan bentuk ketidak patuhan rakyat, sehingga ketika rakyat pulang , maka mengejar-ngejar rakyat, mencari-cari rakyat ataupun menyebutkan rakyat sebagai gerombolan semakin sering dilakukan.

Ketika saya dari Jakarta, sudah merasakan kegelisahan, bahkan ingat ke kampung halaman, jangan-jangan ada kejadian yang besar.  Kehawatiran itu teryata terbukti, sebab ketika saya dan teman-teman akan turun dari kendaraan Bis, saya dan teman-teman telah melihat Intel aparat kepolisian yang memperhatikan, bahkan ada yang memberitahu, bahwa aparat tersebut akan menangkap. Ketika melihat kejadian itu, saya dan teman-teman langsung pergi dari tempat itu, bahkan masing-masing pergi secara sendirian agar selamat dan tidak terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. [74]

 

Tangan yang berlumur dosa

Para penggarap seperti biasanya, setiap pagi-pagi dengan ditemai suara burung mereka pergi ke lahan garapan untuk mengolah lahan guna memenuhi kebutuhan. Tetapi tidak terbayangkan sebelunya bila rumah kecil yang di bangun mereka di lokasi garapan harus musnah di telan api.  Tepatya pada tanggal 19-3 tahun 1990 saung milik Enan (35) Eang (27) dan Omon (45) di blok Cibalar terbakar. Padahal tempat itu biasa digunakan untuk melepas lelah sehabis mengolah lahan, tetapi beda dengan pihak Perhutani , keberadaan saung itu dianggap merusak lingkungan hutan.

Kejadian itu sangat berat dirasakan rakyat, sampai salah seorag dari korban mengungkapkan sebagai berikut :

Saya mesti berbuat apa, saya ini sangat takut kalau ditangkap lalu dijebloskeun ka penjara, saya tidak ingin seperti rekan saya yang di maja hijaukan’.[75]

Selain saung yang terbakar kebunpun dibabad kejadian itu sangat berat dirasakan oleh rakyat, karena sebentar lagi masa panen tiba dan hilang, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya  harus menunggu kembali masa panen sekitar 6 bulan yang akan datang dan pasti itu tidak bisa dilakukan, mereka hanya bisa menangis dan menatap lahan yang musnah.

Bila ini kejadiannya, mengapa dengan kita yang tidak pernah memiliki dosa. Sebab apa yang kita lakukan sehubungan dengan lahan pertanian telah lama di lakukan dan di pelihara. [76]

 

Surat Perintah Penangkapan untuk Kepala Desa

            Imid selain sebagai kepala desa, juga  salah satu tokoh yang sangat disegani oleh warga setempat, hal ini sehubungan dengan kegigihannya dalam membela rakyat Desa  Sagara akhirnya mendapat surat perintah penangkapan No. Pol. 61/A.501/III/1990/Serse[77] yang dikeluarkan di Garut pada tanggal 30 maret 1990 oleh Letkol. A. Somartri Emay Kepala Kepolisian Resort Garut, atas laporan Polisi No. Pol. 8/05/LP/I/1990[78] tanggal 2 Januari 1990 .

Surat penagkapan itu sehubungan dengan kasus tanah garapan warga seluas 1.000 ha yang dikelola sekitar 700 KK. Ke-700 KK menggarap tanah negara yang sudah ada surat ukurannya tahun 1927 No. 31,32 dan 33, Tanah tersebut dinyatakan milik negara yang haknya tidak pernah diberikan kepada siapapun. Tapi tanah tersebut sudah dikelola oleh rakyat secata turun temurun.          

Untuk menjerat salah satu tokoh sagara, maka direkayasa dengan tindak pidana pencurian kayu milik perhutani sebagai mana dimaksud dalam pasal 363 KUHP, dan surat penangkapan ini berlaku dari tanggal 30 Maret 1990 s/d 3 April 1990. Kepala kepolisian Resort garut, penyidik A. Somantri Emay dan yang menerima perintah Serka Sukman.

Saya mengetahui kejadian ini, disebabkan ada musuh yang tinggal di struktur pemerintahan yang di pimpin oleh saya[79]

Sehubungan dengan penangkapan itu, akhirnya seluruh masyarakat Sagara beserta Ketua Karang Taruna membuat surat yang disampaikan kepada bapak Bupati Garut untuk mengembalikan Kepala Desa Sagara yang ditahan oleh pihak Polres Garut, sebagai korban rekayasa untuk menghentikan perjuangan rakyat yang mempertahankan hak-haknya, ditandatangani oleh Amin Saedin sebagai ketua karang taruna.           

Penangkapan Kepala Desa Sagara ini ada hubungannya dengan surat tembusan yang dikirimkan oleh ketua Rw 06 atas nama seluruh masyarakat dan kepala Desa sagara ke Bapak Kapolres Garut pada tanggal 5 Juni 1990. Hal itu berisi tentang pemohonan penangan secara  serius dan profesional terhadap beberapa oknum Perhutani yang mengambil kayu jati dari tanah yang sedang disengketakan. Bahkan di klaim milik perhutani serta menimbun di rumahnya, dan itu bila dibiarkan akan menimbulkan fitnah untuk masyarakat.Dan tembusan surat ini disampaikan kepada : Bapak Kejari garut, Danrem tarumanegara garut, Dandim Garut, Ketua Pengadilan garut, dan Bapak Camat Kecamatan Cibalong dan surat yang dutujukan untuk Bapak Kepala Bagian Inpentarisasi Pemilikan Tanah kehutanan tertanggal 6 Januari 1990, sehubungan dengan persengketaan antara pihak masyarakat dengan petugas Perum perhutani No. 501.2006/07-Desa[80]. Dan akhirnya dalam proses persidangan, Imid dijatuhi hukuman 1 tahun penjara sehubungan dengan kasus perselisihan antara 700 KK Desa sagara, dengan pihak Perhutani yang muncul kepermukaan sekitar tahun 1989. Dan karena proses ini merupakan rekayasa dan ia menolak untuk menerima putusan itu, maka ia melakukan kasasi dan sedang menunggu kasasi dari MA yang belum turun. 

Sumber Rekayasa 

            Bapak Imid memiliki tanah yang berada dibatas pemancangan perbatasan antara tanah miliknya. tetapi tanah itu   di klaim milik Perhutani terutama  diisekitar blok Ciniti seluas 0,5 H dan disekitar Blok Cibalar 1 H. Dan letak ini yang dijadikan alasan untuk menggiring kepala desa melakukan pencurian dilokasi itu. Yang paling heran,  ini di lakukan oleh orang yang membela pihak Perhutani yang menjadi aparat Desa. Dengan jalan melaporkan ke pihak polisi.  Prilaku aparat desa yang menjadi oknum perhutani ini dibenarkan oleh Bapak Adang kapolsek Pameungpeuk, bahkan memberikan pesan kepada Bapak imid untuk berhati-hati, karena yang datang melakukan pelaporan dilakukan oleh aparat desa dengan tujuan agar Bapak Imid di tangkap.

Ada musuh yang keliatannya seperti memperjuangkan, padahal jadi pendengaran yang menindas[81]

            

Ternyata akibat oknum aparat Desa yang memfitnah bapak Imid sebagai kepala desa, akhirnya berakibat terjadinya penangkapan yang dilakukan oleh Kapolres Garut yaitu oleh Agus Suwito dan Bapak Sukman dengan menyerahkan surat Penangkapan. Adapaun alasannya, disebabkan Bapak Imid  mencuri kayu dari areal perhutani. Selama introgasi Bapak Imid dipaksa untuk mengaku mencuri kayu jati dan selama pembuatan Berita Acara Penyelidikan (BAP) selesai, bapak Imid selanjutnya di masukan ke penjara, tetapi bila petugas jaga bergantian kadang bapak Imid di keluarkan dari penjara dan dimasukan ke mushola begitulah selanjutnya selama 14 hari, bahkan yang serin melakukan besuk ketika Bapak imid di penjara yaitu Bapak  Haryono Yakub yang pada waktu itu sebagai Camat Cibalong.Bahkan menurut salah seorang petugas kepolisian bahwa yang sering mendesak kapolres untuk melakukan penangkapan kepada bapak Imid yaitu Komisaris Golkar kecamatan Cibalong yang bernama Edi Prayotno.[82]

            Ketika di penjara sempat suatu kali bapak Imid di suruh untuk masuk kesalah satu ruangan dan teryata disana sudah  Bapak H. jayusman dan Aliman , Kapolres, Kasad serse Ade Sukandi, dan seketika Bapak Jayusman menjelaskan dirinya yang sangat dekat dengan Bapak Imid bahkan sempat makan dirumahnya, tetapi ucapan Bapak jayusman ternyata menyinggung perasaan bapak Kapolres hingga berbicara, “Naha Kunaon Mid silaing ? sambil meninggalkan pertemuan tersebut. Dengan sikap seperti itu, Bapak Jayusman memberikan dorongan dan semangat kepada Bapak Imid, bahkan untuk memberikan dorongan yang lebih kuat , Bapak Jayusman memberitahukan ada perintah dari Bandung untuk  bapak sukandi untuk pergi ke BPN Propinsi yang bertempat di Bandung  tetapi dua hari setelah bapak Jayusman dan bapak Ade Sukandi pergi dari penjara menjenguk Bapak Imid ada berita bahwa bapak Ade Sukandi di pensiunkan.97

            Setelah 14 hari bapak Imid di jemput dari pemerintahan desa sebagai tahanan luar namun karena kapolres tidak ada Surat penahanan Luar belum ditanda tangani oleh kapolres dan harus ditunggu sekitar 2 jam adapun yang menjamin Bapak Imid yaitu Bapak Pupuh tandia dan yang membawa dari kapolres yaitu Hijar Hisam dan akhirnya bapak Imid setelah keluar langsung dibawa ke ke Pemerinrahan desa di jalan pembangunan

 

Kepala desa yang tidak pernah dilantik 

Imid adalah salah satu tokoh  konsisten memperjuangkan tanah sagara, walaupun akhirnya pada tahun 1992, ia harus rela di tangkap dengan alasan bahwa ia ikut memperjuangan tanah yang selama ini di klaim oleh Kehutanan. Dan pada tanggal 28 Desember 1994 diadakan Pilkades, hingga akhirnya mengantarkan bapak Imid memperoleh dukungan suara terbanyak. Dari jumlah pemilih 2.357,  dinyatakan suara sah 1925 suara terbanyak itu,  mendukung Bapak Imid sebanyak 996, dan sisanya dibagi oleh kontestan lain yaitu Sahri dan Amin.

Setelah kemenangan mutlah diperoleh Bapak Imid, maka rencana akan diadakan pelantikan yang jatuh pada tanggal 17 April 1995, dan teryata tanggal itu tidak dilaksanakan dengan alasan yang tidak jelas, hingga akhirnya diundurkan sampai 27 April 1995  bertempat di Kecamatan Cikelet Kab. Garut.

Ketika waktu pelantikan berlangsung,Bapak Imid yang merupakan calon terpilih untuk desa Sagara tidak diikut sertakan, dengan alasan masih dalam proses kasasi kasus tanah dengan Perum Perhutani Unit 111 Jabar. Bahkan para birokrasi menuduh Bapak Imid melakukan pencurian kayu perhutani. Dan untuk mengisi kekosongan di desa, maka U. Sutarman diangkat menjadi Pjs kades Sagara.

Kekesalan yang dirasakan oleh rakyat,sekarang selain soal tanah, juga apa yang sedang di alami oleh pemimpin kita[83]

Dengan pembatalan pelantikan yang diterima sehari sebelum menjelang pelaksanaan pelantikan kades se- Wilayah VII Pameungpeuk, akhirnya mengusik ketenangan warga Sagara, sehingga beberapa tokoh warga mendatangi Bupati Garut pada tanggal 2 Mei 1995., menanyakan perihal pembatalan pelantikan Kades sagara. Hal ini menurut Bupati Toharuddin Gani bahwa pelantikan yang dibatalkan sehubungan didasarkan pada aspek hukum, karena proses peradilan atas diri Imid S masih menunggu keputusan Kasasi[84] dari Mahkamah Agung.

Tanggal 28 April 1995 Warga desa Sagara menyatakan protes yang ditujukan ke Kakansospoll Kab. Garut sehubungan dengan tindakan sepihak  dilakukan oleh birokrasi Kepada Pak Imid sebagai pemenang pemilihan Kades.  Hal ini sehubungan dengan tidak di ikut sertakan dalam pelantikan.  Tetapi tidak ada jawaban  pasti yang diperoleh warga sehubungan dengan penyelesaiannya.

 Pada tanggal 29 April 1995 warga menulis surat pernyataan  ditujukan kepada Bupati Kab Garut sehubungan dengan pelantikan Kepala desa dan itupun tidak memberikan jawaban yang pasti , hingga akhirnya pada tanggal 2 Mri 1995 beberapa tokoh  masyarakat mendatangi Bupati TK II Garut agar mendapat kepastian yang jelas, tetapi pihak Pemda tidak memberikan jawaban  pasti pula, bahkan Kabag Humas menyatakan bahwa pembatalan pelantikan semata-mata berdasarkan pada hukum.

Dengan tidak dilantiknya Imid dalam pelantikan oleh instansi terkait, akhirnya tanggal 28 Juli 1995 sebanyak 300 warga datang ke DPRD Garut yang diterima oleh ketuanya. Dan warga mendesak kepada DPRD Garut untuk mendorong Bupati agar secepatnya melaksanakan pelantikan Kades terpilih. “Kami ingin dipimpin Imid“ seru warga secara serentak dengan didampingi oleh para aktivis FPPMG.Dan jawabanpun tidak memuaskan akhirnya warga masyarakat desa sagara, Kec, Cibalong. Kab. Garut memberikan Kuasa Hukum kepada LBH Bandung, untuk mempertanyakan tentang kepastian tentang pelantikan Kepala desa terplih,dan menggugat secara hukum Bupati kepala Daerah TK II Garut, tentang penanguhan kepala desa terpilih pada tanggal 7 September 1995 yang didampingi oleh FPPMG.

Dan pada hari yang sama Kordinator kelompok tani Desa Sagara Kec. Cibalong No. 412/KLP/IV/Desa/1995[85]mengirimkan surat ke Kakansospol kab Garut yang isinya untuk dilakukan pelantikan kepala desa Sagara. Namun sampai sekarang pelantikan itu tidak penah dilaksanakan. Hal ini disebabkan kasasi dari MA belum turun, padahal menurut Kabid Oprasional LBH Bandung yang diwakili oleh Irwan Nasution SH.jika alasan penundaan pelantikan terhadap Imid sebagai Kades terpilih hanya karena menunggu kasasi, sangat tidak mendasar apalagi jika dikaitkan dengan  Perda TK I Jabar, No. 22 Tahun 1981 ayat (8) butuir F tentang Tata cara Pemilihan Kepala Desa, masalah kasasi tidak menghalangi jalannya pelantikan

 
Keterlibatan Tentara

Itulah ungkapan yang sering diucapkan oleh para penggarap di Desa Sagara, sehubungan dengan keberadaan Brimop yang ditempatkan di lokasi kampung Ciniti oleh para petugas perhutani. Bahkan dilengkapi dengan persenjataan, dan hal ini menimbulkan kegelisahaan dari rasa ketakutan yang tidak terhingga dirasakan oleh rakyat setempat. Sehubungan dengan keberadaan Brimop, memaksa sebagian penduduk  pindah ke tempat tinggal  keluarganya.

Ungkap beberapa warga

Bukankan ABRI itu dari rakyat, untuk rakyat, kenapa sekarang jadi musuh rakyat[86]

Kondisi seperti ini menimbulkan kepanikan yang semakin hari semakin tidak bisa dihilangkan. akhirnya tokoh-tokoh masyarakat beserta kepala desa melakukan musyawarah,  yang dihadiri oleh perwakilan dari berbagai kampung. Ini dilakukan  guna mencari jalan alternatif mengeluarkan Brimop dari lokasi Ciniti. Dari musyawarah itu akhirnya di sepakati untuk mendatangi pihak kuasa hukum yang selama ini konsisten mendampinginya yaitu LBH Bandung. Setelah itu tidak lama kemudian, perwakilan rakyat yang terdiri dari Bapak Imid (sebagai kepala desa) saja, Udin, Memen, Muhdin, saja dan Adam pergi ke Bandung untuk menemui para Kuasa Hukum dan sesampainya di tempat, masyarakat bertemu dengan Bapak Gatot. Apa yang menjadi keresahan rakyat akhirnya secara bergantian diceritakan oleh perwakilan rakyat, dan setelah semua kejadian dicertakan oleh rakyat, akhirnya Bapak Gatot langsung menelpon ke polda sehubungan dengan keberadaan Brimop yang menimbulkan keresahan berada di lokasi Ciniti, dan dari perbincangan antara Bapak Gatot sebagai kuasa hukum rakyat dengan kapolda disepakati bahwa semua pasukan yang ditempatkan di lokasi Ciniti akan ditarik mundur. 

 

Kedatangan ABRI yang lengkap dengan persenjataan menimbulkan kehawatiran rakyat Sagara semuanya, apakah rakyat itu musuh ABRI. [87]

 

Pengabdian setengah hati

            Perjuang rakyat Sagara akan lahan garapannya, yang  diwarnai dengan pucuk senjata, pembabadan lahan, membakan rumah tempat peristirahatan di lahan, penghadangan, meranjau kendaraan, mendatangi tiap rumah rakyat, pengancaman akan dimasukan kepenjara dan lainlain akhirnya menubuhkan semangat baru bagi rakyat Sagara setelah datang keputusan mentri negara agraria kepala badan pertanahan Nasional No. 35-VI-1997 tentang penegasan tanah negara sebagai objek pengaturan penguasaan tanah/landreform luas +- 578.7100 Ha di desa Sagara dan Karaya Mukti.[88]

            Setelah Sk itu ada, pihak perhutani langsung melakukan bentuk-bentuk usaha yang bisa merugikan para penggarap, diantaranya dengan jalan mempersiapkan patok untuk memperluas areal perhutani semabanyak 200 patok. Patok-patok itu  rencananya akan ditempatkan disekitar Blok Gunung Peer dan Blok Ciniti. Tetapi akhirnya patok yang dikirim di mobil,pada suatu malam hilang.Dan diikuti oleh rakyat Ciniti yang berbondong-bondong mengusir para perhutani yang akan melakukan pematokan. 

Apa yang dilakukan oleh Pihak Perhutani tidak lain terkecuali guna memperluas erealnya. Bahkan sempat rakyat Ciniti mengejar-ngejar pihak perhutani yang akan memasang patok sampai ke Kecamatan Cibalong. Tetapi kejadian yang di alami di daerah Ciniti, sangat berbeda dengan kejadian di Blok Gunung peer. Ini dilakukan oleh para petani yang mewakilkan kepada Bapak Umri untuk menyelesaikan keinginan pihak perhutani, dalam melakukan pematokan untuk memperluas arealnya. 

Apa yang dilakukan bapak Umri sebagai tokoh masyarakat gunung Peer berbeda dengan apa yang dilakukan oleh rakyat Ciniti. Bapak Umri ketika datang pihak perhutani yang akan melakukan pematokan dipersilahkan untuk memasang patok tetapi, harus mengikuti kehendak bapak Umri. Dengan tawaran itu, akhirnya pihak Perhutani menyetujuinya, maka Bapak umri menunjukan lahan yang harus dipatok oleh pihak Perhutani di lokasi yang kemiringannya sangat curam mendekati 90 derajat. Dan teryata dengan penunjukan itu pihak perhutani menolak. Tetapi ungkap Bapak Umri bila pematokan ingin aman maka harus menuruti kehendak rakyat , maka pematokan oleh pihak perhutani untuk memperluas lahan gagal, selain patok-patok yang dipersiapkannya di kubur di tanah rakyat.

            Luas areal yang telah diberikan kepada para penggarap ternyata baru sampai 220 Ha yang lokasinya 120 di Blok Ciniti dan, 100 Ha di Gunung Peer dan hal ini membuktikan bahwa para penguasa mencintai rakyat baru sebesar kerkil.

Saya meminta kepada semuanya supaya terus memperjuangkan lahan yang sebagian lagi, yaitu lahan yang Belum memperoleh sartifikasi, dan ingat bahwa perjuangan itu tidak boleh padam, sebab walaupun Aki sudah tua, tapi bila soal perjuangan Aki tidak akan kalah oleh generasi muda. [89]

Adapun penyerahan sartifikasi dilakukan di Kantor kepala Daerah Tingkat II Garut dengan penyerahan simbol ke Tokoh rakyat Sagara yaitu Bapak Umri yang dihadiri oleh instansi pemerintahan daerah dalam peringatan hari ulang tahun agraria.

Sekian.

 



[1] Wawancara pada tanggal 26-27 Maret 2001dengan beberapa waga Kampung lewi pari

[2] Keterang dari Aki Umri pada tanggal 26 Januari 2001

[3] Wanwancara dengan Aki Umri pada tanggal 26 Januari 2001

[4] Wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat Lewi Pari pada tanggal 26-27 Maret 2001yang merupakan korban kesewenang-wenangan kaum penjajah.

[5] Wawancara dengan Aki Umri pada tanggal 26 Januari 2001 di rumah Imid - Kampung Lengkong – Sagara.

[6] Punduh adalah kepala kampung yang membawahi beberapa RW.

[7] Wawancara dengan Aki Umri tanggal 26 januari 2001 di rumah Imid - Kampung Lengkong – Sagara.

[8] Hasil wawancara pada tanggal 26 Januari 2001 dengan Aki Umri di rumah Imid, kampung Lengkong - Sagara

[9] Seperti diceritakan ulang oleh Imid dan Ki Umri pada tanggal 26 Januari 2001 di rumah Imid, kampung Lengkong - Sagara

[10] Kecamatan Ciba;long terletak di lokasi selatan kabupaten garaut, yang jaraknya sekitar 150 Km.

[11] Birokrasi ialah penguasaan yang ada pada suatu instansi, lihat Wirjono Prodjodikoro, 1971 asas-asas ilmu negara dan politik

[12] Propinsi adalah Wilayah administratif yang terdiri dari beberapa Kabupaten dan kota Madya

[13] Pertemuan kecil yaitu sebuah pertemuan yang dihadiri oleh beberapa orang perwakilan dari masing-masing kampung

[14] Hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat pada tanggal 26 Januari 2001, diantaranya bapak Saja

[15] Endih adalah salah satu tokoh pemuda yang tinggal di kampung Karees

[16] Hasil wawancara dengan Mang Endih pada tanggal 26 Januari 2001

[17] Hasil wawancara dengan Bapak Omon pada tanggal 26 Januari 2001

[18] Hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat Sagara pada tanggal 26 Januari 2001

[19] Gubernur Sholihin adalah gubernur Jawa Barat yang mengembangkan Program Rak Gantang

[20] Rak Gantang adalah program yang menanam tanaman keras pada lahan-lahan kosong

[21] Desa Maroko adalah nama desa yang dimekarkan menjadi empat desa yang terletak di sebelah timur Kab. Garut

[22] Erfacht adalah hak untuk mengusahakan tanah terlantar yang dikuasai oleh negara dalam jangka waktu tertentu.

[23] Hasil Wanwancara dengan bapak Omon pada tanggal 26 Januari 2001

[24] Hasil wawancara dengan Kepala desa sagara pada tanggal 26 Januari 2001

[25] Lihat surat No. 059/11/1984,

[26]Hasil wawancara dengan Ke[ala desa sagara tanggal 26 Januari 2001

[27] Hasil wawancara dengan Kepala desa sagara pada tanggal 26 januari 2001

[28] Agustiana adalah salah satu pendiri FPPMG

[29] Hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat seperti bapak Omon, Ki Umri dll pada tanggal 26 Januari 2001

[30] Hasil wawancara dengan Endih pada tanggal 26 Januari 2001

[31] Lihat surat keputusan Bupati kepala Derah Tingkat II Garut nomor 593. 3/ SK.195-Huk/90,

[32] Desa Karya Mukti adalah nama desa yang berdampingan dengan desa sagara yang terletak di sebelah timur Kab. Garut

[33] Cibalong adalah nama sebuah kecamatan yang terletak di sebelah timur Kab. Garut

[34] Momon Gandha sasmita adalah nama Bupati kabupaten Garut

[35] Hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat pada tanggal 26 Januari 2001

[36] Hasil wawancara dengan para korban penindasan Perhutani pada tanggal 26 Januari 2001

[37] hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat seperti Aki Umri, Omon, Bapak lurah dll pada tanggal 26 Januari 2001

[38] hasil wawancara dengan tokoh Pemuda (Alit) pada tanggal 26 jnauari 2001

[39] Lihat Surat panggilan No. 175/SP/XI/PPNS/1989

[40] Lihat surat panggilan No 183/SP/XI/PPNS/1989

[41] Hasil wawancara pada tanggal 26 januari 2001 dengan bapak Alit

[42] Lihat surat panggilan nomor 190/sp/XII/ ppns/ 1989

[43] Lihat surat panggilan No. Pol. 21/SP/I/1990

[44] Lihat Surat Panggilan No. 15/SP/I/1990

[45] Lihat Surat panggilan No. Pol ; 13 /SP/ I/1990

[46] Lihat Surat panggilan dengan No. Pol. 20 / SP/ I/ 1990[46] Serse

[47] Lihat laporan polisi No. Pol b/  / LP/XII/198, desember 1989

[48] Lihat surat No. 24?SP/VIII/94

[49] Lihat surat No. Pol SPP /13 A/VII/1995

[50] Hasil wawancara dengan para korban pada 26 Januari 2001

[51] Hasil wawancara dengan para korban pada 26 januari 2001

[52] Hasil wawancara dengan para korban pada 26 Januari 2001

[53] Hasil wawancara dengan pihak korban pada 26 Januari 2001

[54] Lihat koran Mandala 1990 

[55] Lihat Surat Keputusan Gubernur Jabar No. 522/SK.1790-Pem. Um / 83

[56] Lihat surat kepala dsa Sagara No. 02/05.07.2008/VIII/88

[57] Lihat surat ke BPN No. 591/738/ Pem

[58] Lihat surat No. 5001/239/1990

[59] Lihat surat tanggal 24 Oktober 1989 No. 1811/7015

[60] Lihat SK Bupati No. 593.3/SK.195-Huk

[61] Hasil wawancara dengan pada 26 Januari 2001

[62] Lihat surat No. 033.1/111

[63] Hasil wawancara pada 26 Januari 2001

[64] Hasil wawancara pada 26 Januari 2001

[65] Hasil wawancara pada 26 Januari 2001

[66] Lihat SK No. 593.3/SK.195-Huk/90

[67] Hasil wawancara dengan warga pada 26 Januari 2001

[68] Lihat Surat No. 005/27/KPK/1990

[69] Lihat surat No. 500.1/239/199

[70] Hasil wawancara dengan Para saksi pada 26 januari 2001

[71] Lihat surat No. 36/058.2/PMP/1993

[72] Lihat surat No. 813/058.2/Humas/GRT/III

[73] Lihat surat No. 01/041.5/ PMP/1994

[74] Hasil wawancara dengan korban ( bapak saja) pada 26 Januari 2001 

[75] Hasil wawancara dengan korban pada 26 Januari 2001

[76] Hasil wawancara dengan bapak Omon pada 26 januari 2001

[77] Lihat surat No. Pol. 61/A.501/III/1990/Serse

[78] Lihat surat No. Pol. 8/05/LP/I/1990

[79] Hasil wawancara dengan Bapak Imid pada 26 Januari 2001

[80] Lihat surat No. 501.2006/07

[81] Hasil wawancara dengan bapak Imid pada 26 januari 2001

[82] Edi Prayotni adalah salah satu tokoh muda Golkar yang di angkat oleh rakyat untuk memimpin Golkar di daerah Kec, Cibalong

 

[83] Hasil wawancara dengan beberapa masyarakat pada 26 Januari 2001

[84] Kasasi ialah suatu proses pengadilan di Mahkamah Agung. Kasasi adalah jenjang tertinggi dalam tahapan pengadilan.  Jenjang Pengadilan yang terendah, terletak di Kabupaten adalah Pengadilan Negeri; jenjang berikutnya adalah Pengadilan Tinggi yang terletak di Propinsi, dan  mahkamah Agung di Ibu Kota Negara, yakni Jakarta. 

[85] Lihat surat 412/KLP/IV/Desa/1995

[86] Hasil wawancara dengan para warga tanggal 26 Januari 2001

[87] Hasil wawancara dengan masyarakat sagara pada 26 januari 2001

[88] Lihat  Surat Keputusan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 35-VI-1997

[89] Hasilwawancara dengan Aki Umri pada 26 januari 2001

No comments:

Post a Comment