Noer Fauzi Rachman
Kim Malone
Ekonom dan ilmuan sosial dunia ketiga nicaya mengenal karya Hernando De Soto. De Soto saat ini adalah konsultan dan konseptor ternama kelas wahid pada skala dunia dari banyak badan pembangunan/dana internasional seperti Bank Dunia, Inter-American Development Bank, Asian Development Bank, Komisi Eropa, USAID hingga belum lama ini, ia diangkat sebagai ketua kehormatan dari the High Level Commission on Legal Empowerment of the Poor (HLCLEP), yang merupakan badan bentukan antar-pemerintahan Negara-negara Nordic (Denmark, Finland, Iceland, Norwagia and Sweden), yang didukung oleh pemerintah Canada, Egypt, Guatemala, Tanzania, the United Kingdom, dan badan internasional antara lain UN Economic Commission for Europe (UNECE). De Soto telah mendapatkan puji-pujian dari berbagai orang ternama di dunia, misalnya, George H.W. Bush, Bill Clinton, Hamid Karzai, Alberto Fujimori, Milton Friedman, Javier Pérez de Cuéllar, dll. The Institute for Liberty and Democracy (ILD, lembaga penelitiannya de Soto) juga mendapatkan penghargaan istemewa dari lebih dari 20 universitas, badan pembangunan internasional, hingga perusahaan-perusahaan transnasional. Sejarah, karya-karya dan berbagai puja-puji ini dapat ditemukan dalam situs maya ILD (http://www.ild.org.pe)
Reputasinya telah tersohor sebagai pemikir pembangunan yang mempromosikan resep sederhana dan sangat menggoda: integrasi asset rakyat miskin dalam sector informal kota ke dalam sistem pasar melalui program legalisasi secara masif yang dijalankan oleh pemerintah. Reputasinya ini dibangun mulai dari ILD di Peru, dimana ia menjadi direkturnya untuk pertama kalinya di tahun 1980. Sepanjang masa kepemimpinannya, ILD melakukan penelitian, implementasi, pelatihan dan advokasi agar pemerintahan Peru mengadopsi usulan kebijakan, membiayai dan menjalankan legalisasi asset rakyat miskin kota secara massif yang ia maksudkan. Kerja advokasi ILD berhasil hingga presiden Peru Alan Garcia (1985 – 1990) mengangkat de Soto menjadi penasehat dan usulan kebijakann de Soto diadopsi menjadi program pemerintah. Hasil penelitian dan kerjaan ILD kemudian menjadi dasar dari buku-buku yang ditulisnya. Dua buku utamanya yang mendapat sambutan luas adalah The Other Path: Invisible Revolution in the Third World (1989) dan The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else (2000). Keduanya merupakan karya yang paling banyak dirujuk oleh ekonom dan ilmuan sosial Barat mengenai pembangunan di dunia ketiga. Buku pertamanya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Masih Ada Jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga, terbitan Yayasan Obor, 1992.
Berbeda dengan sejumlah pihak yang memuji dan memakai pemikiran de Soto sebagai pembenar atas eksistensi dan signifikansi ekonomi rakyat, tulisan ini hendak menyingkap misi de Soto sebagai bagian dari jaringan intelektual neoliberal yang memuja-muja keutamaan dari sistem hukum dan mekanisme pasar kapitalis untuk memberantas kemiskinan di negara-negara dunia ketiga.
De Soto dan Indonesia: Cerita Anjing yang Menggonggong
De Soto peduli dengan bagaimana system-sistem kepemilikan (property systems) dibangun di Negara-negara non-Barat. Ia yakin, pada saat ini mayoritas aturan yang menjadi dasar kepemilikan dan transaksi aset-aset di Negara-negara non-Barat terjadi di luar sistem hukum formal. Untuk memoderisasikannya, negera-negara Dunia Ketiga musti mengkonversi dan merrajut semua aturan yang ekstra-legal itu ke dalam suatu sistem tunggal yang menjadi pegangan semua pihak. Pendek kata, semua kontrak-kontrak sosial di luar sistem formal, harus diintegrasikan dalam satu kontrak sosial yang mencakup semuanya.
Pertanyaannya “Bagaimana caranya?” Ada “cerita” yang sering sekali disajikan secara berulang-ulang oleh de Soto untuk meyakinkan para pembaca/pendengarnya mengenai cara mengintegrasikan asset yang masih berada di luar sistem pasar dan juga bagaimana pemerintah dapat mengetahui aturan-aturan yang berlaku dan berada di luar hukum (de Soto menggunakan istilah: ektra legal). Yakni cerita tentang gonggongan anjing, yang muncul dari pengalaman de Soto berjalan-jalan santai di pematang-pematang sawah di Bali, yang menurutnya salah satu daerah yang paling cantik di dunia. Sewaktu menelusuri pematang-pematang sawah itu, ia sama sekali tidak tahu batas-batas kepemilikan antara satu bidang dengan bidang yang lainnya. Tetapi, anjing-anjing penjaga sawah itu tahu. Setiap kali de Soto melintas batas kepemilikan, maka anjing yang berbeda mengonggongi dia. De Soto terilhami, “anjing-anjing Indonesia barangkali tidak pernah belajar tentang hukum formal, tetapi mereka sangat terpelajar tentang mana-mana asset yang dikuasai oleh majikannya.” (Sumber: “Hearing the Dogs Bark, Jeremy Clift interviews development guru Hernando de Soto”, Finance & Development, December 2003)
Cerita itu juga pernah dia jelaskan kepada lima menteri Indonesia di awal tahun 1990-an ketika diundang untuk berbicara mengenai bagaimana pemerintah Indonesia bisa mengetahui siapa yang menguasai apa dari 90% rakyat Indonesia yang hidup di sektor ektra-legal. “Anjing-anjing Indonesia ternyata telah mempunyai informasi-informasi dasar yang dibutuhkan untuk membangun system kepemilikan formal. Dengan menelusuri jalan-jalan di kota dan di desa dan mendengarkan anjing-anjing yang menggonggong, secara pelan-pelan informasi tersebut diproses mulai dari bawah ke atas, dan kemudian dijalin hingga terintegrasi ke dalam kontrak sosial formal yang berlaku.” “Salah seorang menteri,” demikian tulis de Soto, “menanggapi dengan semangat menyatakan “Ah, itu kan hukum adat!”. De Soto kemudian menyampaikan generalisasi yang berlebihan bahwa bangsa-bangsa Barat membangun sistem kepemilikan formal mereka dengan cara mulai dari aturan-aturan rakyat (de Soto, “Listening to the barking dogs: property law against poverty in the non-West”, Focaal - European Journal of Anthropology no. 41, 2003, hal 183).
De Soto dan Jaringan Neoliberalnya
Ketimbang melihatnya sebagai akademisi tulen, Ray Bromley (professor Geografi dan Perencanaan dari University of Albany, the State University of New York) menilai de Soto adalah usahawan transnasional sangat sukses menjual resep kebijakan baru. “Dia mampu menggunakan latar pendidikan Eropanya, dukungan Amerika yang didapatnya, dan kewarganegaran Perunya untuk bekerja secara internasional dan mengembangkan suatu paket pesan global. Ia sangat fasih bicara bahasa Perancis, Inggeris dan Spanyol, dengan menggunakan nama yang sama dengan contquistador, sang penakluk dari Spanyol yang terkenal, dan dengan perkoncoan pribadinya yang erat dengan lingkaran dalam di Washington dan PBB, dia menjadi seorang selebriti yang dapat memasarkan ide-idenya dengan mudah luar biasa. (“Power, Property and Poverty: Why De Soto’s “Mystery of Capital” cannot be Solved”, dalam Urban Informality, Transnational Perspectives from Middle East, Latin America and South Asia, Ananya Roy and Nezar AlSayyad, (Eds.), hal. 284).
Misi utamanya untuk memasarkan resep kebijakan “integrasi asset rakyat miskin ke dalam sistem kapitalisme” ini dengan sangat baik ditelusuri sejak awal mula oleh Timothy Mitchell (professor pada Department of Politics, New York University) dalam karyanya The Work of Economics: How a Discipline Makes its World, 2005). Membaca karya ini, akan dengan cepat kita berkesimpulan bahwa De Soto tidak lain adalah intelektual neoliberal yang bermantelkan populisme. Michell mengajak pembacanya untuk melihat jalinan kekuasaan dan skenario yang mendasari proyek yang dikerjakan De Soto dan ILD di Peru. Karya Mitchel tersebut membuka mantel populisme De Soto dengan mula-mula menunjukkan bahwa kerja “pilot project” pendaftaran tanah massif di Peru bukan hanya merupakan unjuk kerja berbagai pihak di Peru, tetapi juga usaha-usaha dari jaringan neoliberal global, yang meski melibatkan sedikit orang namun sangat teroganisir rapih. Penjelasan berikut mengenai jaringan intelektual neoliberalnya bersumberkan karya Timothy Michell tersebut.
Asal-Usul Gerakan Neo-Liberal
Gerakan neoliberal ini dapat ditelusuri mulai dari “Free Market Project” yang dibentuk di musim gugur 1946 di Law School, Universitas Chicago, dan Mont Pelcrin Society, suatu perkumpulan dari intelektual neoliberal yang dibentuk pada april 1947, dekat sekali dengan kelompok Chicago dan dapat nama dari desa di Swiss, dimana mereka pertama kalinya bertemu. Kemudian sekolah Chicago dan Mont Pelcrin Society ini meluaskan ideologi neoliberalisme dari suatu filosofi kelompok kecil kaum intelektual hingga kemudian berhasil menjadi instrument politik yang efektif sekali. The Free Market Project menjadi contoh (prototype) organisasi think-tank yang meluaskan ideologi neoliberal dengan mengkombinasikan produksi pengetahuan dan usulan praktis untuk kebijakan, yang didukung penuh oleh “penelitian” tentunya dan disokong oleh dana-dana perusahaan raksasa yang disalurkan melalui berbagai yayasan. Model Chicago ini kemudian di tiru di luar sekolah hukum oleh Heritage Foundation, the American Enterprise Institute, the Hudson Institute dan cukup banyak organisasi neoliberal yang lain yang dibentuk di Amerika Utara dan Eropa semenjak 1950 sampai sekarang.
Frederick Hayek, yang memainkan peran yang utama dalam membentuk dan membangun baik the Free Market Project maupun the Month Pelcrin Society, bertemu dengan Hernando de Soto dalam satu perjalanan ke Lima pada tahun 1979. Pada saat itu, apa yang dimulai sebagai gerakan intelektual pinggiran yang kekiri-kirian sudah menjadi ortodoksi yang paling kuat secara politik di Barat. Gerakan neoliberal pada saat itu sedang mencoba untuk memperluas jaringannya ke daerah-daerah yang lain di dunia. Pada tahun 1981, teman dekat Hayek, Antony Fisher, membentuk the Atlas Foundation for Economic Research. Tujuan yayasan ini adalah untuk mengordinasi aktivitas dan dana-dana perusahaan dalam jaringan para pemikir di Eropa dan Amerika, dan untuk memperluas yayasan ini dengan mengembangkan dan membiayai kelompok organisasi neoliberal di luar Eropa Barat dan Amerika Serikat. De Soto adalah hasil pertama dan yang paling berhasil dari prakarsa ini.
Advokasi Neo-Liberal ke Negara-negara Non-Barat
Setelah pertemuan mereka di Lima, Hayek mempertemukan de Soto dengan Fisher. The Atlas Foundation membentuk membentuk dan membiayai Institue for Liberty and Democracy yang dipunyai de Soto, sebuah institute pemikiran neoliberal yang pertama di belahan selatan. “Antony memberikan kami banyak sekali informasi dan nasehat bagaimana menjadikan lembaga ini terorganisir”, demikian ingatan de Soto. “Dengan demikian visinya Fisher juga menjadi dasar pembentukan ILD. Dia datang ke Lima dan menjelaskan pada kami bagaimana menyusun statute, bagaimana merencanakan tujuan kami, bagaimana membangun yayasan, apa yang dapat dihasilkan dalam jangka pendek dan jangka panjang.
Meskipun sebagai orang Dunia Ketiga yang “ditemukan” Hayek di Lima, de Soto sebenarnya telah memiliki pergaulan dengan gerakan neoliberal dan suatu pengalaman professional yang panjang di organisasi-organisasi yang berkaitan dengan perdagangan dan pembangunan internasional. De Soto diberarkan di Genewa, keluarganya dia pindah ketika ia berumur tujuh tahun setelah ayahnya bekerja di International Labour Organization. De Soto pertama-tama kerja pendek di Genewa untuk General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), suatu organisasi yang dipimpin oleh kaum neoliberal yang terkenal dan kemudian sebagai direktur eksekutif dari International Council of Cooper Exporting Countries (CIPEC), suatu organisasi kartel yang dibentuk pada 1867 oleh pemerintahan Peru, Cile, Zaire dan Zambia. Para pendukung de Soto, termasuk seorang jutawan industrialis Swiss bernama Stephan Schmidheiny, orang yang aktif dalam organisasi-organisasi neoliberal.
Pertemuan De Soto dengan Hayek terjadi dalam tahun dimana ia kembali ke Lima sebagai pengusaha yang mewakili investor-investor yang mempunyai hak membeli deposit pasir-pasir emas. Pengusaha pertambangan itu gagal setelah mereka pergi mengunjungi dan meninjau kembali konsesi-konsesi di hutan tropis dan menemuka adanya ratusan masyarakat local yang sudah menapis pasir mengambil emas tanpa hak konsesi. De Soto menemukan masalah dari klaim-klaim kepemilikan informal. Kontak-kontak dia di gerakan neoliberal Eropa dan Amerika Utara memberikan suatu jawaban pada masalah ini.
Pengalaman De Soto di Eropa jarang disebut-sebut oleh para pendukung neoliberalnya. Kredibilitasnya dan otoritasnya sebagai ekonom pembangunan semakin lekat pada identitasnya sebagai orang neoliberal Dunia Ketiga yang terbuka untuk menjelaskan kemiskinan di belahan dunia selatan sebagai suatu “self-inflicted injury” (luka yang dibikin sendiri) yang tidak berhubungan dengan belahan dunia utara. “Daripada melihat dunia berkembang sebagai korban kapitalisme, Hernando berargumen, kita sebenarnya lah yang membuat luka kita sendiri”, sebagaimana dilaporkan oleh Andrew Natsios, administrator USAID (US Agency for International Development). “Karena dia adalah orang Peru, dia bisa membuat argument ini menjadi lebih dapat dipercaya”. Kredibilitas ini membuatnya sangat bermanfaat untuk gerakan neoliberal. “Selama bertahun-tahun, saya bersama Antony Fisher di Atlas”, sebagaimana ditulis Alex Taufan (2004) yang menggantikan Fisher sebagai presiden di organisasi itu, “saya tidak bisa ingat adanya perbincangan tentang contoh pemikir yang berhasil tanpa menyebut tentang Hernando”.
Puncak-puncak Prestasi De Soto dan ILD
Atlas mengajarkan de Soto dalam taktik-taktik advokasi dan penelitian untuk para pemikir. Dukungan dan training yang lain datang dari sumber-sumber resmi yang lain di Washington. Tahun 1983, kaum neoliberal dalam administrasi Regan, membentuk Center for International Private Enterprise (CIPE), yang dapat tempat di National Endowment for Democracy yang baru, untuk mendukung organisasi-organisasi di dunia sedang berkembang yang memberikan advokasi untuk program-program politik neoliberal. CIPE membentuk suatu paket alat yang menjelaskan taktik-taktik yang bisa dipakai: membentuk suatu tim advokasi, mengidentifikasi masalah-masalah kunci yang cocok pada para kelompok sasaran, meneliti masalah-masalah, menetapkan tujuan-tujuan, menyususn esan dan kampanye-kampanye iklan, membuat para pembela rakyat, bekerja dengan media, dan menjadi bagian dari pada proses-proses pemerintahan (Center for International Enterprise, 2003). Tahun berikutnya CIPE memberikan hibah pertama untuk mendukung de Soto untuk Institute for Liberty and Democracy.
Untuk mengembangkan dukungan popular pada neoliberalisme, ILD mengidentifisir issue-issue politik bukan sebagai masalah kepemilikan tanah yang umum, atau bukan sebagai masalah property rights dari perusahaan-perusahaan tambang atau perusahaan lain, tapi sebagai masalah dari permukiman informal. Kemudian ILD mulai mempelajari komunitas-komunitas informal di Lima dan membuat kontrak dengan pemerintah kota Lima untuk menjalankan skema pendaftaran tanah (land titling) untuk permukiman informal. Hal ini menjadi langkah pertama dari program 20 tahun yang berpuncak pada program senilai 66 juta US yang dibiayai Bank Dunia. Di tahun 2003, ketika sedang mengkaji ulang dua puluh tahun usaha mendukung rganisasi-organisasi neoliberal di Negara-negara berkembang, CIPE di Washington menjelaskan proyek pertama ini di Peru sebagai inisiatif yang paling berhasil (Center for International Private Enterprise, 2003)
Dengan dukungan-dukungan dari luar negeri, lembaga De Soto bertumbuh besar, mengembangkan kampanye advokasinya dan berhasil menyusupkan pengaruhnya ke dalam proses-proses pemerintah. Selama pemerintahan Alan Garcia, pertengahan kedua 1980-an, lembaga de Soto terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan. Advokat-advokat ILD membuat proposal-proposal untuk kebijakan-kebijakan pertanhan dan perubahan administrasi. Untuk medukung kebijakan ini, ILD membuat iklan-iklan komersial di televise yang meminjam bentuk iklan-iklan loterei sejumlah pemerintah negara bagian di Amerika, yang membangkitkan masyarakat untuk bermimpi, “apa yang akan kamu lakukan bila kamu punya modal”. Pada tahun 1991, Institut ini memiliki staff 100 orang. Victor Endo , seorang advokat ILD yang kemudian kerja di World Bank, mengatakan bahwa pemikir-pemikir di ILD menjadi “sejenis sekolahan untuk para elite pembuat kebijakan. Hampir semua menteri yang penting, ahli hukum, ekonom dan para wartawan di Peru adalah alumni ILD”.
Tahun 1987, ILD mempublikasikan suatu buku berdasarkan penelitiannya dan program-program pembaruan di bawah judul El Otro Sendero (“The Other Path”), dengan subjudul, “The Economic Answer to Terrorism.” Penulis dari naskah itu adalah de Soto dan dua teman dekatnya, Enrique Ghersi Silva, seorang ekonom dan sarjana hukum yang dipengaruhi oleh gerakan hukum dan ekonomi Chicago dan kemudian menjadi anggota the Mont Pelcrin Society, dan Mario Ghibellini, seorang penulis. Tahun 1989 buku itu diterbitkan di Bahasa Ingeris di Amerika Serikat dengan sub judul yang baru, “The Invisible Revolution in the Third Worlds”. Buku ini mendapat kata pengantar dari penulis Peru, Mario Vargas Llosa, seorang bekas aktivis kiri yang beralih ke neoliberalisme akibat de Soto sendiri, dan hampir menjadi calon yang didukung oleh Amerika Serikat pada saat Pemilu Peru 1990. Buku ini medapatkan sambutan hangat dari Presiden George H.W. Bush, Richard Nixon dan beberapa orang lain dan mendapatkan Sir Antony Fisher’s Award dari Atlas Foundation, suatu penghargaan yang diberinama setelah mentornya de Soto itu meninggal. Dipromosikan dengan penghargaan, berbagai book review dan tanggapan yang hangat dari jaringan pemikiran dan yayasan neoliberal di Eropa dan Amerika, buku itu menjadi best-seller dengan cepat.
Pada tahun 1990, Alberto Fujimori dipilih menjadi presiden Peru, De Soto, yang tidak lagi mendukung pencalonan Vargas Llosa karena lebih memilih calon lain yang popular, menjadi penasehat resmi dari Fujimori. Pemerintah baru ini menetapkan rencana stabilisasi keuangan neoliberal yang sangat drastis, dan kemudian Negara ini jatuh dalam situasi resesi. Pada tahun 1992, de Soto mengundurkan diri dari pemerintahan ini setelah adanya persengketaan mengenai ketidaksetujuan Fujimori untuk menentang militer. De Soto menjaga terus pilot-program pendaftaran tanah di Lima yang dibiayai dana dari Jepang. Tetapi pada tahun 1994, hancurnya hubungan baik antara pemerintah dan ILD menyebabkan proyek ini terhenti.
Pada bulan maret 1996, pemerintah Peru mengeluarkan hukum mengenai formalisasi tanah dan membentuk suatu badan, COFOPRI (Comision de Formalizacion de la Propiedad Informal), untuk mengambil alih program ILD dan kemudian meningkatkannya menjadi skema nasional, yang mempekerjakan anggota tim ILD. Dalam tahun 1998, Bank Dunia masuk dengan pinjaman agar program ini bisa berakhir sempurna. Penelitian yang didanai oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa program ini tidak berhasil mencapai tujuannya gara-gara pendaftaran tanah tidak menghasilkan peningkatan kredit pada kaum miskin. Peduli pada kegagalan itu, pada tahun 2000, Bank Dunia menjalankan suatu survey di kampung-kampung informal. Tujuan utama dari survey ini adalah untuk mendorong bank-bank komersial untuk memberi hutang uang pada orang-orang kampong.
Sementara itu, De Soto telah melihat ke pasar luar negeri dan mulai dengan pekerjaan mengadvokasikan program-program untuk mengakhiri kemiskinan dunia melalui pendaftaran kepemilikan di Mesir dan beberapa negara lain. Dia memakai pekerjaan ini sebagai bahan bukunya kedua, The Mystery of Capital (De Soto 2000). Dengan dukungan dari Margaret Thatcher, Milton Friedman, dan orang-orang neoliberal yang terkenal dan dengan penghargaan dari organisasi-organisasi neoliberal, karya de Soto sekali lagi menjadi best-seller di seluruh dunia.
Misi De Soto agar Pasar Diterima dengan Ramah
Satu pelajaran terpenting dari kasus de Soto adalah bagaimana ideologi neoliberalisme terus diproduksi dan direproduksi melalui jaringan yang melibatkan pengetahuan, ahli, uang, lembaga-lembaga, dan last but not least program Pembangunan (dengan P besar) atas nama pemberantasan kemiskinan di dunia ketiga. Karya Michell (2005) telah memberi pelajaran bagaimana jaringan neoliberal telah menciptakan kondisi agar proyek neoliberalismenya De Soto bersama IPD diterima secara luas, bukan hanya di Negara Peru.
Mereka menciptakan kelembagaan baru, mengerahkan dana-dana, merancang penelitian, menjalankan kerja lapangan, mengumpulkan informasi dan menciptakan pengetahuan, menerbitkan buku-buku, mempromosikannya dan memberinya penghargaan, membentuk sasaran-sasaran perubahan kebijakan, menyelenggarakan latihan-latihan, membangun jaringan, hingga sampai menempatkan diri dalam lingkaran pemerintahan. Semua itu, dalam rangka misi menciptakan kondisi agar perluasan pasar kapitalis diterima dengan ramah, tanpa mempersoalkan bagaimana akumulasi kekayaan terjadi dengan pelepasan asset utama kaum miskin yang berlangsung baik secara brutal maupun secara halus, siapa yang telah dan dapat berpartisipasi dalam pasar kapitalis dan siapa yang telah dan akan disingkirkan lagi, serta siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan. Bila hal-hal yang diabaikan ini diurus dengan serius, maka rute yang akan ditempuh tentu akan berbeda. ***)
Berkeley, 30 Oktober 2006
_________
Noer Fauzi Rachman adalah Mahasiswa program doktoral pada Divisi Society and Environment, Departement of Environmental Science, Policy and Management, University of California at Berkeley; dan Kim Malone, PhD, adalah peneliti Southeast Asia Studies.
No comments:
Post a Comment