Masalah Agraria sebagai Agenda Bangsa

Sebuah Esai Pengantar

Noer Fauzi Rachman

Indonesia tanah yang mulya, Tanah kita yang kaya

Di sanalah aku berada, Untuk selama-lamanya

Indonesia tanah pusaka, Pusaka kita semuanya

Marilah kita mendo’a, Indonesia bahagia 

 

Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, Bangsanya, rakyatnya, semuanya.

Sadarlah hatinya, Sadarlah budinya untuk Indonesia Raya

 

Indonesia Raya Merdeka, Merdeka, Tanahku, Negriku, yang kucinta

Indonesia Raya Merdeka, Merdeka, Hiduplah Indonesia Raya

… 

Indonesia tanah yang suci, Tanah kita yang sakti 

Di sanalah aku berdiri, M’jaga Ibu Sejati

Indonesia tanah berseri, Tanah yang aku sayangi

Marilah kita berjanji, Indonesia abadi 

 

Slamatlah tanahnya, Slamatkan putranya, pulaunya, lautnya, semuanya

Majulah negerinya, Majulah pandunya untuk Indonesia Raya

 

Indonesia Raya Merdeka, Merdeka, Tanahku, Negriku, yang kucinta

Indonesia Raya Merdeka, Merdeka, hiduplah Indonesia Raya

 

(Lagu kebangsaan Indonesia Raya, Stanza ke-II dan ke-III)

 

Lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan pada setiap upacara resmi di sekolah maupun kantor-kantor pemerintahan, setiap awal dari dimulainya televisi, maupun pada awal acara-acara olah raga dan pemberian penghargaan pada sang juara.  Sayangnya makna yang mendalam atas rasa kebangsaan jarang dihayati para pelantun dan pendengarnya. Yang umum diketahui hanyalah stanza ke-I dari lagu itu, tapi stanza ke-II dan ke-III  jarang diketahui, disana terkandung makna yang mendalam mengenai status keberadaan manusia, tanah-air dan bangsa Indonesia sebagai kesatuan hubungan yang abadi, dan hubungan itu dijaga keabadiannya melalui ketetapan bersama untuk “Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, Bangsanya, rakyatnya, semuanya”; dan juga untuk “Slamatlah tanahnya, Slamatkan putranya, pulaunya, lautnya, semuanya.” 

Seperti terkandung dalam lagu kebangsaan  itu, Indonesia adalah suatu negeri agraris yang indah dengan tanah dan kekayaan alam yang melimpah. Sejak dahulu hingga sekarang, ungkapan-ungkapan yang memuji itu biasanya langsung disertai pertanyaan mengapa begitu banyak rakyat Indonesia hidup terbenam dalam kemiskinan terus-menerus (persistent poverty), dan sekarang ditambah lagi dengan kerusakan alam dimana-mana.  Tentunya kita sama sekali tidak dapat menerima argumen bahwa “rakyat Indonesia dilenakan oleh alam yang kaya itu sehingga menjadi malas atau tidak produktif”.  Apakah yang disebut sebagai “kutukan sumber daya alam (resource curse)” atau “paradoks keberlimpahan (paradox of plenty) yang berbunyi kurang lebih “kemiskinan yang meluas justru berada pada tempat yang kekayaan alamnya melimpah-ruah”, memang benar demikian adanya dan musti diterima sebagai keniscayaan?[1] Tulisan pengantar ini bergerak dari asumsi ganda bahwa (a) kondisi alam dan kemiskinan rakyat itu adalah hasil langsung dari politik agraria, yang kesemuanya itu tampil secara berbeda-beda dari satu waktu ke waktu lainnya, dan dari satu tempat ke tempat lainnya; dan (b) Politik agraria itu sendiri ikut dibentuk juga oleh cara bagaimana kondisi alam dan kemiskinan, dan politik agraria sebelumnya diberi arti oleh berbagai kekuatan yang juga tampil secara berbeda-beda dari satu waktu ke waktu lainnya, dan dari satu tempat ke tempat lainnya. 

Tulisan pengantar ini berangkat dari pengalaman penderitaan petani-petani miskin yang tersingkir atau terancam tersingkir dari aksesnya atas tanah-tanah yang menjadi sumber penghidupan mereka. Golongan ini dahulu oleh Soekarno diberi julukan sebagai Marhaen. Marhaen masa kini senantiasa memiliki masalah dengan politik agraria pemerintahan yang  beragam bergantung pada ruang dan waktu. Keterikatan penjelasan atas ruang dan waktu ini (kontektualitas), dan juga keterikatan penjelasan atas kedudukan si penjelas dan pada siapa dia abdikan penjelasannya itu (posisionalitas) merupakan prinsip yang dipakai oleh penulis di sini, sehubungan dengan anjuran untuk benar-benar memikirkan ragam agenda reforma agraria yang cocok dengan masalah agraria yang hendak diurus. 

 

Perjuangan Agraria Bangsa

Bagi para pemimpin dan pemikir yang mengidam-idamkan keadilan dan kemakmuran rakyat, salah satu jalan mencari sebab-sebab kemiskinan rakyat adalah dengan menyelidiki politik agraria yang dijalankan para penguasa pemerintahan yang dahulu dan sekarang, seperti telah ditauladani oleh Soekarno, Muhammad Hatta, Iwa Kusuma Sumatri dan sebagainya (White 2001, 2003). Dalam perjalanan sejarah Indonesia, kita menyaksikan kehidupan rakyat dan alam Indonesia telah dibentuk oleh politik agraria dari para penguasa feudal, kolonial  dan pascakolonial. Politik agraria yang dimaksud mencakup cara penguasa negara mengatur siapa-siapa dan bagaimana orang-orang dan badan-badan hukum bisa menguasai, memiliki, menggunakan, memanfaatkan, dan mendapat manfaat atas tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Yang tidak boleh dilupakan adalah sisi lain dari politik agraria itu adalah cara penguasa negara mengatur siapa-siapa dan bagaimana orang-orang dan badan-badan hukum tertentu tidak bisa menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan tanah dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 

Isi dan cara pemerintahan kolonial dan feodal menjalankan politik agraria, kondisi-kondisi yang membentuknya, dan akibat-akibat khusus dari padanya benar-benar telah mempengaruhi pemikiran para pemimpin pejuang kemerdekaan Indonesia.  Ketetapan “untuk membentuk pemerintah negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia … dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”[2] telah mendasari  “perjuangan perombakan hukum agraria nasional (yang) berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa melepaskan diri dari cengkaraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.”[3]  Sesungguhnya di daerah-daerah jajahan, struktur agraria yang tidak adil dan perjuangan kongkrit rakyat tani untuk keadilan agraria merupakan basis sosial dari aspirasi kebangsaan.  Tak heran bila seorang peneliti agraria ternama, Eric Jacoby dalam buku klasiknya Agrarian Unrest in Southeast Asia (1961) mengemukakan bahwa “… dapat dinyatakan dengan jelas bahwa sesungguhnya struktur agraria yang merusak lah yang memberi jalan bagi bagi gagasan kebangsaan, dan perjuangan-perjuangan politik (selanjutnya) dikuatkan oleh identitas rasa perjuangan kemerdekaan melalui perjuangan tanah.”[4] Selanjutnya, ia menyimpulkan bahwa  “… pemecahan terhadap persoalan tanah adalah suatu syarat untuk pemenuhan elan kebangsaan dari negeri-negeri Asia Tenggara dan, untuk sebagian besar, merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan reorganisasi masyarakat” (Jacoby 1961:253).[5]

Elan kebangsaan yang dialasi pengalaman penderitaan kolektif rakyat pedesaan di bawah feodalisme dan imperialisme/kolonialisme telah mengisi pembentukan gagasan kebangsaan Indonesia, melandasi perombakan hukum agraria dan program-program reforma agraria di awal pemerintahan Indonesia yang terbentuk dari revolusi nasional. Program-program itu adalah penghapusan hak istimewa desa-desa perdikan di Banyumas (UU No. 13/1946), penghapusan hak conversie, hak istemewa sekitar 40 perusahaan tebu di Surakarta dan Yogyakarta untuk peroleh tanah dan tenaga kerja (UU Darurat No. 13/1948), legalisasi pemakaian tanah-tanah perkebunan oleh rakyat (UU Darurat No. 8/1954), dan pelarangan tanah-tanah partikelir (UU No. 1/1958). Elan kebangsaan itu tidak memberi izin berlangsungnya organisasi “negara dalam negara”  dan struktur-struktur agraria yang memenderitakan kaum tani di desa-desa perdikan, kawasan vostenlanden dan tanah-tanah pertikelir itu (Praptodihardjo 1952, Tauchid 1953, Gautama 1973, Soemardjan 1962). Elan kebangsaan ini jua lah yang mendasari pembentukan panitia negara untuk menyusun undang-undang agraria nasional (melalui Surat Penetapan Presiden No 16/1948), yang selama 12 tahun melalui banyak lika-liku dan pada gilirannya menjadi apa yang kita kenal sekarang dengan nama UUPA 1960 (Harsono, 1970, Wiradi 2000, Fauzi 1999). 

Sesuai dengan makna dari nama lengkapnya, Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UUPA diniatkan sebagai undang-undang pokok atau induk dari berbagai perundang-undangan lain yang menjadi turunannya. Sayangnya karya monumental bangsa (UUPA 1960) ini, ruang penerapannya menyempit pada urusan pertanahan pada sektor pertanian rakyat, dengan pengaturan perjanjian bagi hasil (UU No. 2/1960), pembatasan penguasaan tanah maksimum dan minimum (UU No. 56/PRP/1960), cara pelaksanaan redistribusi tanah objek land reform, yakni tanah kelebihan, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah negara lainnya (PP 224/1960) dan pendaftaran tanah (PP 10/1961). 

Tenaga rakyat petani yang didorong oleh rasa pemenuhan keadilan sosial itu telah digerakkan secara politik oleh kekuatan-kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi massa underbouw-nya untuk berhadapan frontal dengan para tuan tanah. Yang kemudian terjadi adalah penciptaan perjuangan kelas di pedesaan di keseluruhan Jawa dan Bali, serta sebagian Sumatera dan Nusa Tenggara. Penyederhanaan hubungan sosial dan kebudayaan menjadi sekedar hubungan kelas belaka memungkinkan masing-masing aliran ideologi dan pengelompokan politik menemukan arena pertarungannya secara nyata di pedesaan (Lyon 1976, Utrecht 1969, Mortimer 1972). Kelembagaan dan desain penerapan land reform – seperti panitia pendaftaran tanah desa-demi-desa, panitia land reform hingga pegadilan land reform – pun menjadi arena dari pertarungan itu.[6] Walhasil, yang terbentuk adalah suatu “bara” bagi percik api pertarungan elite nasional yang di tahun 1965-19966 berujung pada peralihan politik yang brutal dan sangat dramatis dari rejim yang kemudian dijuluki “Orde Lama” ke rejim “Orde Baru” (Cribb 1990, 2001, 2002, Fauzi 1999). 

 

Negara Orde Baru, Kapitalisme dan Agenda Reforma Agraria  

Di awal kekuasaan rejim yang diberi julukan Orde Baru, agenda redistribusi asset jelas dikeluarkan dari agenda strategi pembangunan pemerintah. Andai kata dijalankan, agenda itu niscaya akan memporak-porandakan koalisi politik antara militer, elite-elite partai politik kanan, teknokrat pro-kapitalime Barat, petani-petani penguasa tanah luas, dan segelintir pengusaha modal besar bangsa pribumi dan asing. Padahal koalisi politik ini lah yang menjadi sandaran dari strategi pembangunan ekonomi yang baru (Mas’oed 1983, 1989). Politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang kapitalistik dijalankan Orde Baru secara sentralistik, otoritarian dan sektoral sepanjang 32 tahun (Husken and White 1989, Kasim dan Suhendar 1996, Fauzi 1977, 1999, Farid 2005).

Penghentian agenda reforma agraria itu, dan selanjutnya pilihan model pembangunan bersandarkan modal besar, menyebabkan terciptanya berbagai bentuk ketidakadilan sosial yang kronis, kesemerawutan tata penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam, kerusakan lingkungan dan konflik agraria yang berkepanjangan (Kartodiharjo dan Jhamtani 2006). Kesemua pusaka itu, yang mungkin saja dapat diwakili dalam konsep “ketidakadilan agraria dan lingkungan” semakin diperhebat dengan cara penanganan dan pemulihan krisis ekonomi yang berlangsung semenjak 1997 sampai 2004, bahkan hingga sekarang. Yang merebak di kalangan rakyat dan pimpinan lokal di banyak daerah adalah sentimen “anti-negara”, sebagai proksi dari anti-praktek rejim Orde Baru, dan merebaknya etno-nasionalisme. Ironisnya, instrumen-instrumen pembentukan negara yang demokratis dan terdesentralisir saat ini belum sanggup mendekatkan perjuangan keadilan sosial dan lingkungan itu dengan pembentukan rasa kebangsaan. Kontras dengan hal itu, yang terjadi adalah suatu pendalaman integrasi sumberdaya alam dan tenaga kerja rakyat ke dalam sirkuit kapital modal internasional, yang saat ini telah sampai pada apa yang dirumuskan oleh Karl Polanyi (1944) dalam The Great Transformation sebagai kekuasaan pasar yang memaksa tenaga kerja, uang dan tanah dilepas dari sistem-sistem sosial yang mengikatnya. Polanyi (1944) secara khusus menekankan bahwa memperlakukan tenaga kerja, uang dan tanah (alam) sebagai barang dagangan (victitious commodity) dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Inilah akibat langsung dari penerapan prinsip neoliberalisme, “suatu utopia eksplotasi tanpa batas” (Bourdieu 1998).


Reaksi dan Resistensi Komunitas 

Sepanjang tanah-tanah yang dikuasai komunitas lokal, termasuk masyarakat adat, tidak dimasukkan dalam golongan tanah-tanah yang dilekati dengan hak milik, konflik antara masyarakat lokal dengan para penguasa tanah luas di kawasan hutan maupun non kawasan hutan akan terus terjadi. Apakah itu ditujukan untuk kepentingan produksi maupun konservasi. Di masa Orde Baru, tanpa pemberitahuan dan persetujuan sebelumnya, pemerintah pusat telah memasukkan tanah-tanah mereka ke dalam hak-hak pemanfaatan tertentu, baik berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Kontrak Karya Pertambangan (KKP), Hak Guna Usaha (HGU), atau bentuk lainnya.

Namun demikian, resiko yang diterima golongan-golongan dalam masyarakat lokal tidak merata. Kaum elite akan lebih mudah beradaptasi, karena biasanya mereka memiliki berbagai sumber pendapatan dan juga jaringan dukungan di luar komunitas, bahkan hingga di kota-kota. Dengan tabungan dan modalnya, mereka dapat bergerak lebih leluasa. Sementara  mereka yang miskin dan melulu hidup bergantung pada tanah dan kekayaan alam, seperti  petani penggarap, peladang, atau pencari-pengambil hasil hutan merupakan penerima resiko terbesar. Di kalangan ini, kaum perempuanlah yang paling menderita. Mereka mengalami tiga beban sekaligus: dari kemiskinan mereka, dari ketimpangan pembagian kerja dan tanggungjawab dalam keluarga, dan dari kodrat mereka sebagai pengandung, pelahir, dan pemberi susu pada bayi mereka.  

Tidak banyak jalur jalan yang dapat ditempuh oleh kebanyakan masyarakat-masyarakat miskin dan tinggal di pedesaan-pedalaman, untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah-tanah yang telah dan masih akan dikuasainya secara turun-temurun. Lebih sulit lagi, untuk mendapatkan kembali apa-apa yang telah dirampas darinya.  Sekedar menyesuaikan diri dan berserah diri pada rekayasa penguasa, dengan sendirinya akan menyengsarakan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Bukan hanya untuk masyarakat yang telah hidup, tapi juga keturunan berikutnya.

Pilihan lain yang biasanya tersedia bagi segelintir elite adalah ikut membantu lancarnya usaha-usaha perolehan tanah tersebut, sambil di sana-sini mencoba menarik keuntungan sebagai free rider, dan mengkhianati komunitasnya secara umum, sambil berusaha dan berharap mempertahankan  legitimasi atas kedudukannya. Sedangkan bagi massa kebanyakan, mereka cenderung menghindari konfrontasi terbuka, walaupun tidak menyerah begitu saja. Mereka melakukan perlawanan secara diam-diam dan terus-menerus dengan maksud mengurangi resiko. Protes terbuka atas penetapan sepihak  yang dilakukan sejumlah korban, hanya akan berbenturan dengan aparatus represif negara, baik polisi dan tentara teritorial maupun birokrasi pemerintahan dan hukum.

Satu pilihan lain yang tersedia bagi para pemrotes terbuka itu, secara kebetulan atau terencana, adalah bergabung dengan dan mendapatkan pembelaan dari aktivis individual maupun yang banyak tergabung dalam organisasi-organisasi non-pemerintah (ornop) yang umumnya juga bagian dari jaringan ornop internasional. Nasib selanjutnya, bergantung pada hubungan kerja bersama itu dan kekuatan serta kesempatan politik yang tersedia untuk mempertahankan dan mengembangkan diri dan komunitasnya. Beruntung bila hubungan tersebut dapat menggabungkan diri dalam gerakan sosial pedesaan yang dapat menjamin akses mereka atas tanah dan kekayaan alam, seperti yang ditunjukkan oleh berbagai serikat petani maupun aliansi¬aliansi masyarakat adat.

Yang diperlukan adalah suatu reforma agraria. Reforma agraria adalah politik redistribusi asset produktif bagi kaum miskin di pedesaan, yang pada gilirannya, setelah diberikan suatu asistensi modal, pendidikan dan teknologi, akan menghasilkan pembentukan modal di dalam wilayah pedesaan. Hal ini berbeda kontras dengan politik pertumbuhan yang terus-menerus memfasilitasi konsentrasi penguasaan aset produktif di tangan perusahaan, terutama milik pribadi domestik dan lebih-lebih asing, melalui strategi akumulasi sambil mengambil aset kepemilikan publik (accumulation by dispossession), maupun akumulasi modal secara meluas melalui produksi, perdagangan dan perluasan konsumsi. (Mengenai strategi ganda dari rejim kapitalis neoliberal saat ini, tiga buku baru David Harvey 2003, 2005, 2006). 

 

Geliat Agenda Reforma Agraria Saat ini

Agenda “Reforma Agraria kembali bergeliat dimulai sejak awal 1990an dan terus digeluti oleh sejumlah sarjana dan aktivis agraria dan lingkungan yang aktif dalam pengorganisasian penduduk miskin pedesaan (petani, masyarakat adat, dan kelompok marjinal lainnya), dan advokasi kebijakan land reform/pembaruan agraria, serta menghasilkan naskah-naskah studi kondisi agraria dan kritik politik agraria yang dianut rejim Orde Baru  (Kasim dan Suhendar 1996, Bachriadi et al 1997, Suhendar dan Winarni 1997, Wiradi 1999). Lebih dari itu, rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, konferensi yang dimotori serikat-serikat petani lokal, dan organisasi non-pemerintah tak putus-putusnya menyuarakan keharusan penyelesaian konflik agraria dan agenda reforma agraria (lihat misalnya Harman et al 1995, Fauzi and Fidro 1998). Sementara itu, tuntutan-tuntutan keadilan agraria dan lingkungan yang dijalankan oleh penduduk-penduduk desa berlangsung terus hingga menemukan momentum yang pas untuk meluaskan aksi-aksi pendudukan tanah itu, yakni saat mengiringi berakhirnya kekuasaan rejim Soeharto, di tahun 1998.

Sejak masa “Reformasi” masalah penguasaan tanah (dapat diluaskan kepenguasaan alam), telah dipersoalkan kembali oleh penduduk setempat, para akademisi, aktivis gerakan sosial, manajer dan/atau konsultan-konsultan proyek, serta para pengelola usaha-usaha kegiatan konservasi, maupun para pegawai pemerintahan di pusat maupun di daerah –  yang bekerja di belakang meja maupun di lapangan. Penguasaan tanah dan kekayaan alam lainnya, bukan hanya menjadi “sumber daya yang diperebutkan” (contested resources) tapi,  telah menjadi ajang dari “pertarungan pemikiran-pemikiran” (contested paradigms). Pertarungan material mengenai tanah dan kekayaan alam itu sama pentingnya dengan pertarungan makna mengenai tanah dan kekayaan alam itu. Berbagai cara menetapkan persoalan dan jawaban telah disodorkan agar dipakai oleh para pemikir, pembuat kebijakan maupun para pelaku di lapangan.

Pada umumnya, para pelaku di lapangan dihadapkan dengan perkara-perkara praktis-teknis. Akibatnya, jawaban yang diberikan diharapkan dapat segera dirasakan oleh mereka yang berkepentingan langsung. Sementara, para pembuat kebijakan dihadapkan pada konstelasi kekuasaan yang aktual, serta desakan untuk mengubah kebijakan yang lama. Namun, acap kali, pilihan perubahan kebijakan dan implementasinya bukanlah pilihan yang didasarkan atas ketepatan untuk menjawab masalah-masalah yang ada tapi, lebih pada siapa yang lebih berpengaruh dalam menentukan arah perubahan kebijakan.

Birokasi pemerintahan di bawah rejim otoritarianisme Orde Baru, dari level pusat dan lebih-lebih di daerah, tidak memubtuhkan rumusan yang akurat tentang apa masalah dan tantangan aktual yang sesungguhnya terjadi. Budaya birokrasi yang mengutamakan “apa yang dikehendaki atasan” ketimbang “apa yang dihadapi masyarakat,” telah menumpulkan kepekaan dan kemampuan merumuskan pertanyaan yang tepat dari masalah penguasaan tanah dan kekayaan alam. Walhasil, seringkali kegagalan kebijakan (policy failure) terjadi karena ketidaktepatan memilih jawaban atas persoalan yang sebenarnya dihadapi.  Banyak energi terbuang sia-sia, bukan hanya karena korupsi, kolusi dan nepotisme - sebagaimana populer digeneralisasikan untuk semua persoalan di Indonesia – tapi, lebih karena tidak relevannya jawaban-jawaban yang dipilih atau disodorkan untuk menyelesaikan beragam soal yang ada. Oleh karena itu, kebijakan mengenai atau yang mempengaruhi penguasaan tanah dan sumber-sumber alam, sudah waktunya untuk dipertanyakan.

Kebijakan-kebijakan tersebut, tidak lagi relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Apakah itu perubahan pemerintahan di tingkat nasional yang erat kaitannya dengan perubahan politik global, tekanan ekonomi makro, dan perubahan sistem politik. Atau,  perubahan pemilikan tanah dan kekayaan alam yang erat kaitannya dengan tekanan-tekanan yang dilakukan masyarakat setempat, tuntutan pemerintahan di tingkat kabupaten yang mendesakkan adanya desentralisasi, dan desakan industri baik yang bersifat ekstraktif maupun institusi atau lembaga yang bergerak dalam upaya-upaya pelestarian alam (conservation).

Perubahan kesempatan politiklah yang memungkinkan penampilan terbuka dari berbagai mobilisasi massa hingga pembentukan organisasi-organisasi gerakan agraria di tingkat lokal hingga nasional, yang di antaranya ditulang punggungi oleh aktivis-aktivis agraria dan lingkungan. Ketika sidang-sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di tahun 1999 hingga 2001, yang terbentuk sebagai bagian dari transisi politik nasional setelah Soeharto mundur sebagai presiden Indonesia 1966-1998, para promotor reforma agraria dan aktivis gerakan lingkungan untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatan dokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.  Meskipun dokumen ini dinilai berbeda-beda oleh kalangan ornop (Bey 2002, 2003, Bachriadi 2002 , Wiradi 2002, Lucas and Warren 2003, Ya’kub 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggak bersejarah, yang membentuk rute selanjutnya dari agenda reforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi 2002, Soemarjono 2002, 2006, Winoto 2007).

Salah satu badan negara yang berusaha menerapkan TAP MPR ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks “transitional justice” untuk menyelesaikan pelanggaram HAM di masa Orde Baru.[7] Ujung dari usaha ini adalah promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA) yang disampaikan kepada Presiden Megawati Sukarnoputri dan kemudian juga pada Presiden Susilo Bambang Yudoyono (Fauzi 2001, Bachriadi 2004, dan Tim kerja KNUPKA 2004). Namun kemudian jawaban datang dari pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di tahun 2005 yang menolak pembentukannya dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menyelesaikan konflk-konflik agraria.

Pimpinan BPN-RI pada periode 2001 - 2005 menggunakan TAP MPR itu untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya” (Soemardjono 2006). Hal ini tentu menangguk pro dan kontra yang tidak selesai, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, hingga akhirnya tercapai kesepakatan antara pimpinan baru BPN-RI saat ini dengan Komisi II DPR-RI pada tahun 2007 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan perundang-undangan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA. Sedangkan, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Winoto 2006). 

Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukan Kepala BPN bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian (Republika Online September 28, 2006), dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini (misalnya untuk sektor kehutanan lihat Contreras-Hermosilla and Fay 2005, Kartodirjo 2006; sedangkan untuk sektor pertanian lihat Mayrowani et al 2004), namun di dua departemen itu, agenda reforma agraria belum menjadi agenda utama.  

 

Tatapan Reforma Agraria Yang Akan Datang

Agenda reforma agraria oleh sebagian kalangan telah diarahkan ke pembaruan hukum agraria. Sementara itu kalangan lain membuatnya sebagai haluan dalam pengorganisasi rakyat petani , atau upaya mentrasformasikan birokrasi pemerintah seperti Badan Petanahan Nasional.  Saat ini panduan yang berdasar karya tulis akademik berbahasa Indonesia mengenai seluk-beluk kondisi, politik, gerakan dan kebijakan reforma agraria masih sangat terbatas. Undangan Benjamin White (2005:132) untuk merintis bahan pengajaran “teori dan praktek reforma agraria” sungguh-sungguh relevan untuk Indonesia saat ini. Dengan sangat menyadari bahwa salah satu syarat dari pelaksanaan reforma agraria yang berhasil adalah tersedianya basis pengetahuan yang memadai, maka yang benar-benar diperlukan adalah produksi pengetahuan mengenai keragaman kondisi dan struktur agraria wilayah, kelembagaan agraria, dan politik dan pembangunan agraria wilayah yang menjadi salah satu kekuatan pemberi pengaruh yang penting. Reforma agraria yang kita idamkan adalah yang meniscayakan keanekaragaman cara pengelolaan sumberdaya alam itu  itu. Keragaman itu sungguh adalah kekayaan bangsa Indonesia. ***)


 Jakarta, 27 Februari 2008



Bibliografi 


Abrahamsen, Rita. 2000. Disciplining Democracy: Development Discourse and Good Governance in Africa, New York: Zed Book. 

_____. 2003, Sudut Gelap KemajuanRelasi Kuasa dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta, Lafald Pustaka.

Adams, Cindy (1988) Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Alih bahasa Abdul Bar Salim (Jakarta: Haji Mas Agung)

Araghi, Farshad A. (1995). Global Depeasantization, 1945-1990. Sociological Quarterly, 36(2), 337-368.

Bachriadi, Dianto (2002)"Lonceng Kematian atau Tembakan Tanda Start? Kontroversi seputar Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 - Komentar untuk Idham Samudra Bey", Kompas, 11 January 2002. 

_____(2004). “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”. Jurnal Dinamika Masyarakat III(3):497-521.

Bey, Idham Samudra (2002) "Lonceng Kematian UUPA 1960 Berdentang Kembali - Menyoal TAP MPR No IX/MPR/2001," Kompas, 10 January 2002 (2003) 

_____“UUPA 1960 Lebih Baik Dibandingkan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam” Kompas, 10 May 2003.Bernstein, Henry (2002) “Land Reform: Taking a Long(er) View”. Journal of Agrarian Change 2(4):433-463.

Borras Jr., Saturnino M., Cristóbal Kay, and A. Haroon Akram Lodhi (2007) “Agrarian Reform and Rural Development: Historical Overview and Current Issues,” in Land, Poverty and Livelihoods in an Era of Globalization. Perspectives from Developing and Transition Countries.  Edited by Akram-Lodhi, A.H., S.M. Borras Jr, and C. Kay. London: Routledge.

Clifford, James , and George Marcus (eds) (1986) Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography. Los Angeles & Berkeley: University of California Press.

Contreras-Hermosilla, Arnoldo and Fay, Chip (2005) Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. Washington D.C.:Forest Trends. 

Cook, I et al: ‘Positionality / situated knowledge’, in D Atkinson et al (eds) Cultural Geography: A Critical Dictionary of Key Concepts. London, I.B. Tauris. Halaman 16-26

Cousins, Ben (2006) “Debating the Politics of Land Occupations” Journal of Agrarian Change, 6(4): 584-597.

_____ (2007) “Land and Agrarian Reform in the 21st Century: Changing Realities, Changing Arguments?” Keynote address on the Global Assembly of Members, International Land Coalition. Entebbe, Uganda, 24-27 April 2007.

Courville, Michael and Raj Patel (2006) “The Resurgence of Agrarian Reform in the Twenty-first Century” dalam Promissed Land. Competing Visions of Agrarian Reform. Edited by Rosset, Peter, Raj Patel, and Michael Courville. Oakland: Food First.

Cribb, Robert, 1990. “Problems in the Historiography of the Killings in Indonesia.” In The Indonesian Killings of 1965–1966: Studies from Java and Bali, ed. Robert Cribb, 1–43. Clayton, Victoria, Monash University Centre of Southeast Asian Studies.

_____  (2001) “Genocide in Indonesia, 1965–1966” Journal of Genocide Research (2001), 3(2), 219–239.

_____ (2002) “unresolved Problems in The Indonesian Killings of 1965-1966” Asian Survey, 42:4, pp. 550–563.

Davis, Mike (2004a) “The Urbanization of Empire. Megacities and The Laws of Chaos” Social Text 22(4):9-15. 

_____  (2004b) “Planet of Slums”. New Left Review 26: 5-34, merupakan bagian inti dari 

_____  2006. Planet of Slums. Verso: London and New York. 

Deininger, Klaus (2003) Land Policies for Growth and Poverty Reduction, A World Bank Policy Research. Report, Oxford, Oxford University Press and the World Bank.

De Janvry, Alain, Gustavo Gordillo, Jean-Philippe Platteau (eds) (2001) Access to Land, Rural Poverty and Public Action. Oxford : Clarendon Press.

De Soto, Hernando (2000) The Mystery of Capital: Why Capitalism Triumphs in the West and Fails Everywhere Else. London, Bantam Press. 

_____ (2003) “ Listening to the Barking Dogs: Property Law against Poverty in the non-West”. Focaal - European Journal of Anthropology. 41:179-185. 

El-Ghonemy, M.R. (2003) “Land Reform Development Challenges of 1963-2003 Continue into the Twenty-First Century”. Land Reform, Land Settlement and Cooperatives No. 2/2003.

FAO (2002) “The continuing Need for Land Reform: Making. the Case for Civil Society”. FAO Land Tenure Series: Concept Paper, Vol. 1. Rome: FAO.

Farid, Hilmar, (2005). Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66. Inter-Asia Cultural Studies 6(1):3-16.

Fauzi, Noer (1997) “Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Paska Kolonial”. In Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: LP-FEUI dan KPA. 67 - 122.

_____. (1999) Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.  Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.

_____ (2003) Bersaksi untuk Pembaruan Agraria. Jogjakarta, Karsa..

_____ (2005a) Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta, Insist Press.

_____ (2005b) Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta, ResistBook.

Fauzi, Noer, dan Boy Fidro  (Eds) (1998). Pembangunan Berbuah Sengketa. Kumpulan Kasus-kasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru. Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara . 

Feder, Ernest (1970) Counterreform. In Stavenhagen, Rudolfo (ed), Agrarian Problems and Peasant Movements in Latin America. Doubleday Anchor, New York.

Ghimire, Krishna B. (2001) “Land Reform at the End of the Twentieth Century: An Overview of Issue, Actors and Processes” dalam Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty and Agrarian Reform. Edited by Krishna Ghimire. London: ITDG; Geneva: UNRISD.

Griffin, Keith, A.R. Khan and A. Ickowitz, (2002) “Poverty and Distribution of Land”. Journal of Agrarian Change No. 2(3): 279 – 330

_____ (2004) “In Defence of Neo-Classical Neo-Populism”. Journal of Agrarian Change 2004 no 4(3):361-386.

Haraway, Donna (1988) "Situated Knowledges: The Science Question in Feminism and Privilege of Partial Perspective" Feminist studies 14, p.575-99.

Harsono, Boedi (1994) Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Jambatan.

Harvey, David (2003)  The New Imperialism (Oxford: Oxford University Press). 

_____ (2005) A Short History of Neoliberalism (Oxford: Oxford University Press). 

_____ (2006) Spaces for Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development ((Oxford: Oxford University Press)

Harman, Benny K., Paskah Irianto, dan Noer Fauzi (eds). (1995) Pluralisme. Hukum. Pertanahan. dan. Kumpulan Kasus Pertanahan. Yayasan Lembaga Bantuan. Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta.

Hartsock, Nancy (1987) "The Feminist Standpoint" in Sandra Harding (ed) Feminism & Methodology. Milton Keynes: Open University Press.

Hobsbawm, Eric. (1985). Age of Extremes: The Short Twentieth Century 1914-1991. London: Abacus Books, Little, Brown and Co.

Husken, Frans  and Ben White, 1989, “Java: Social Differentiation, Food Production, and Agrarian Control”, in Hart, G., Andrew Turton, Benjamin White, (eds.), 1989, Agrarian Transformations: Local Processes and the State in Southeast Asia, University of California Press, Berkeley.

IFAD (2001) IFAD Poverty Report 2001The Challenge of Ending Rural Poverty. Rome: international Fund for Agricultural Development.

Kartodihardjo, Haryadi (2002) “Hutan kemasyarakatan dalam belenggu Penguasaan Sumber-sumber Agraria”, dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Endang Suhendar, Satyawan Sunito, MT. Felix Sitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta, dan Arya Hadi Dharmawan (Eds). Bandung, Akatiga. Halaman 339-357.

_____ (2006) Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan, Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor.

Kartodiharjo, Hariadi dan Hira Jhantami (2006) Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing.

Kasim, Ifdhal dan Suhendar (1996). Tanah sebagai Komoditas Strategis: Tinjauan ritis terhadap Kebijakan Pertanahan Orde baru. Jakarta: ELSAM.

Jacoby, Eric (1961) Agrarian Unrest in Southeast Asia. Bombay, Asia Publishing Co.

Ladejinsky, Wolf. (1961) “Land reform in Indonesia” (memorandum, 24 January 1961), dalam Land Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky. L. Walinsky, ed. Pp. 297-299. Oxford: University Press for the World Bank.

_____ (1964) “Land reform in Indonesia” (memorandum, 27 February 1964), dalam Land Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky. L. Walinsky, ed Pp. 340-352. Oxford: University Press for the World Bank.Leite, Sergio and Avila, Rodrigo (2006) “Agrarian Reform, Social Justice and Sustainable Development”, Issue Paper 4 in International Conference on Agrarian Reform and Rural Development(ICARD), Porto Algere, 7-10 Maret 2006.

Lipton, Michael (1974) “Toward A Theory of Land Reform”, in Agrarian Reform and Agrarian and Reformism: Studies in Peru, Chile, China and India, edited by D. Lehmann. London: Faber.

_____ (1977) Why Poor People Stay Poor: Urban Bias in World Development. Cambridge: Harvard University Press, 1977.

Lucas, Anton and Carrol Warren, (2003) “The State, The People and Their Mediators: The Struggle over Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”. Indonesia, October, 76: 87-126.

Lyon, Margo. L., (1970)  Bases of Conflict in Rural Java. Berkeley, Center for South and Southeast Asia Studies: University of California

Mas'oed, Mochtar, (1983). ‘The Indonesian Economy and Political Structure During the Early New Order 1966-1971’. PhD dissertattion, Ohio State University.

_____ (1989) Ekonomi dan Struktur Politik: Orde Baru 1966-1971. Jakarta, LP3ES.

McKeon, Nora, Michael Watts and Wendy Wolford. 2004. “Peasant Associations in Theory and Practice”. UNRISD (United Nations Research Institute for Social Development): Civil Society and Social Movements Programme Paper Number 8.

Mayrowani, Henny (2004) “Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan penelitian dan Pengembagan Pertanian, Departemen Pertanian.

Moyo, Sam (2004). ‘African Land Questions, the State and Agrarian Transition: Contradictions of Neoliberal Land Reforms’. Paper Presented at CODESRIA Conferences on Land Reform, the Agrarian Question and Nationalism in Gaberone and Dakar during 2003. www.sarpn.otg.za/documents/d0000692/index.php

Moyo Sam and Yeros Paris (2005a). ‘Introduction’ and ‘The Resurgence of Rural Movements under Neoliberalism’ in Moyo S and Yeros P (eds.). 2005. Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America. London, Zed Books.

Moyo, Sam and Paris Yeros  (Eds) (2005b) Reclaiming the Land: The Resurgence of Rural Movements in Africa, Asia and Latin America. London: Zed Book.

Petras, James. 1998. “The New Revolutionary Peasantry,  The growth of peasant-led opposition to neoliberalism”, Z Magazine, dalam http://www.mstbrazil.org/petras1098.html

Polanyi, Karl. 1944. The Great TransformationThe Political and Economi Origin of Our Time. Boston, Beacon Press

Prosterman, Roy L. and Tim Hanstad (2001) “Land Reform in the 21st Century: New Challenges, New Responses” Rural Development Institute (RDI) Reports on Foreign Aid and Development  No. 117.

Putzel, James (2000) “Land Reform in Asia: Lessons from the Past for the 21st Century”. LSE Development Studies Institute, London School of Economics and Political Science. Working Paper Series No 00-04.

Tim Kerja KNUPKA (2004). Pokok Pokok Pikiran mengenai Penyelesaian Konflik Agraria. Hasil Lokakarya Persiapan Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA). Jalarta: KOMNAS HAM, KPA, HUMA, WALHI, BINA DESA, Maret 2004.

Quan, Julian (2006) “Land Access in the 21st Century: Issues, Trends, Linkages and Policy Options”. Food and Agriculture Organization - Livelihood Support Program(FAO- LSP) Working Paper no. 24. 

Syahyuti (2004) Peran Strategis Departemen Pertanian terhadap Reforma Agraria di Indonesia dalam Konteks Otonomi Daerah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian Republik Indonesia.

Soemarjono, Maria S.W. (2002). “Implementasi Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Bidang Pertanahan”, Makalah pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pertanahan Nasional di Malino, 25-28 Maret 2002.

_____ (2006) Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Edisi revisi. Jakarta: Penerbit Kompas.

Suhendar, Endang dan Yohana Budi Winarni (1997). Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Akatiga.

Webster, Neil, 2004. “Understanding the Evolving Diversity and Originalities in Rural Social Movements in the Age of Globalization”: Civil Society and Social Movements - Paper No. 7. United Nation Research Institute for Social Development.

Wiradi, Gunawan. (1997). “Pembaruan Agraria: Masalah yang Timbul Tenggelam”. In.Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: LP-FEUI dan KPA. Halaman 39 – 44.

______. (2001). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Noer Fauzi (Ed) Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.

_____. (2002). “Tantangan Gerakan Pembaruan Agraria “Posta” TAP-MPR No. IX/2001. Jurnal Analisis Sosial 7(3):1-10. Bandung, Yayasan Akatiga.

Ya’kub, Ahmad (2004). “Agenda Neoliberal menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia”, Jurnal Analisis Sosial 9(1):47-64. Bandung, Yayasan Akatiga.

Walinsky, L. J., ed. 1977. Agrarian Reform as Unfinished Business: The Selected Papers of Wolf Ladejinsky. New York: Oxford University Press.

White, Benjamin (2002) “Agrarian Debates and Agrarian Research in Java, Past and Present”, Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Endang Suhendar, Satyawan Sunito, MT. Felix Sitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta, dan Arya Hadi Dharmawan (Eds). Bandung, Akatiga. Halaman 41-83.

_____ (2005) “Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia” in Social Science and Power in Indonensia. Veri R. Hadiz and Daniel Dhakidae (Eds). Jakarta: Equinox and ISEAS. Halaman 107-142.

Winoto, Joyo (2007). “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”. Orasi Ilmiah di Instititut Pertanian Bogor (IPB) 1 September 2007.

 

 

 



*) Terima kasih pada Gunawan Wiradi, Suryo Adiwibowo, Haryadi Kartodirjo, Trichandra Aprianto dan Muhamad Shohib atas pemikiran yang disampaikan pada penulis mengenai aspek-aspek tertentu dari tulisan ini. Namun, seperti umumnya, tanggungjawab atas kesalahan terletak pada pundak penulis.

**) Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-2002, Kordinator Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria 2002-2005. PhD Candidate di University of California – Berkeley, Department Environmental Science, Policy and Management (ESPM).

[1] Karya Rosser (2006) mengkaji-ulang karya-karya tulis akademik mengenai kutukan sumber daya alam dan paradoks keberlimpahan ini. Untuk kumpulan tulisan terbaru lihat Humphreys et al (2007); mengenai kasus Indonesia lihat Ross (2003), Rosser (2007) dan Tajoedin (2007). 

[2] Kalimat dalam Pembukaan UUD 1945.

[3] Pidato Pengantar Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo) di dalam sidang DPR-GR tanggal 12 September 1960, dalam Harsono (1994: 53).

[4] Kalimat aslinya, “… it can be asserted that it was the defective agrarian structure which paved the way for the national idea, and political developments have confirmed the emotional identity of the fight for freedon with the cry for land” (Jacoby 1961:50).

[5] “… the solution of the land problem is a pre-requisite for the full realization of the national aspirations of the countries of Southeas Asia and that, to a large extent, it is the key to economic development and a sound reorganization of society” (Jacoby 1961:253).

 

[6] Dalam suasana demikian, tidak heran bila Ladejinsky (1961) menyatakan “I am almost inclined to to view that it is essentially an anti-land redistribution program, although I am certain that it was not planned that way originally” (Walinsky 1977:298)

[7] Sebelumnya, Komnas bekerjasama dengan organisasi gerakan agraria menyelenggarakan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani 17-20 April 2001 di Jakarta. Salah satu resolusinya adalah desakan pembentukan TAP MPR tentang Pembaruan Agraria.

No comments:

Post a Comment