Dari Okupasi Tanah menuju Pembaruan Agraria: Konteks dan Konsekuensi dari Serikat Petani Pasundan


Noer Fauzi Rachman*)

_________________________________________________________________________________ 

Final draft naskah  “Dari Okupasi Tanah menuju Pembaruan Agraria: Konteks dan Konsekuensi dari Serikat Petani Pasundan”, in Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. S.M.P. Tjondronegoro and Gunawan Wiradi (eds).  Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Obor, 2008. Pp. 433-482. Naskah ini merupakan perluasan dari makalah "The New Sundanese Peasants' Union: Peasant Movements, Changes in Land Control, and Agrarian Questions in Garut, West Java" yang disajikan pada Workshop on “New and Resurgent Agrarian Questions in Indonesia and South Africa”, The Center for Southeast Asia Studies & The Center for African Studies Friday, 24 October 2003, Institute of International Studies Conference Room 223 Moses Hall, University of California at Berkeley. http://repositories.cdlib.org/cseas/CSEASWP1-03. Dengan judul yang sama, dengan versi yang sedikit berbeda, makalah tersebut itu dimuat pada tahun 2005 di Jurnal Analisis Sosial No. 9(3):51-77. 

_________________________________________________________________________________

“The political mobilization and organization of
 the rural landless and near landless 
is a necessary condition for land reform; but it is not a sufficient one”
(Solon L. Barraclough, 1998) [1]

 

Pendahuluan 

Serikat Petani Pasundan (SPP), suatu organisasi massa petani yang terbesar di Jawa Barat, sepanjang bulan Agustus – September tahun 2003 mengalami kesibukan yang luar biasa. Mereka harus menghadapi suatu “operasi gabungan” dari Polisi Daerah Jawa Barat, satuan Brigade Mobil, Polisi Resor Garut, Polisi Hutan Perhutani dan aparat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), yang bertujuan mengusir para petani penggarap dari lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung atau hutan produksi Perhutani.  Operasi yang diberi nama Operasi Wanalaga Lodaya[2] ini berlangsung semenjak 11 Agustus 2003, dan berakhir 23 September 2003,[3] melibatkan 387 petugas, terdiri dari 320 Polisi dan 67 Polisi Hutan (Polhut),[4] dan dipusatkan pada tiga bentang kawasan hutan, yakni Talagabodas, Papandayan dan Sancang – di mana pada semua tempat ini petani-petani yang tergabung dalam SPP menduduki dan menggarap tanah yang sebelumnya dikuasasi oleh Perhutani dan/atau BKSDA. Ini adalah operasi resmi yang terbesar yang pernah dihadapi SPP. Untuk wilayah Gunung Papandayan saja, di desa Sarimukti kecamatan Pasirwangi, pada tanggal 11 Agustus 2003, jam 09.00, operasi ini mendatangkan “aparat gabungan dipersenjatai lengkap dengan senjata laras panjang dan pistol juga peta lokasi”, dan “pada malam tanggal 12 Agustus 2003, aparat gabungan sudah membuat Tenda Penampungan untuk kepentingan operasi di tiap-tiap lokasi”.[5]  Bisa dibayangkan ketegangan yang terjadi di desa itu: pasukan seperti itu hadir di desa yang jumlah penduduknya kurang lebih 4.300 jiwa/964 Kepala Keluarga.