Dari Okupasi Tanah menuju Pembaruan Agraria: Konteks dan Konsekuensi dari Serikat Petani Pasundan


Noer Fauzi Rachman*)

_________________________________________________________________________________ 

Final draft naskah  “Dari Okupasi Tanah menuju Pembaruan Agraria: Konteks dan Konsekuensi dari Serikat Petani Pasundan”, in Dua Abad Penguasaan Tanah, Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. S.M.P. Tjondronegoro and Gunawan Wiradi (eds).  Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Obor, 2008. Pp. 433-482. Naskah ini merupakan perluasan dari makalah "The New Sundanese Peasants' Union: Peasant Movements, Changes in Land Control, and Agrarian Questions in Garut, West Java" yang disajikan pada Workshop on “New and Resurgent Agrarian Questions in Indonesia and South Africa”, The Center for Southeast Asia Studies & The Center for African Studies Friday, 24 October 2003, Institute of International Studies Conference Room 223 Moses Hall, University of California at Berkeley. http://repositories.cdlib.org/cseas/CSEASWP1-03. Dengan judul yang sama, dengan versi yang sedikit berbeda, makalah tersebut itu dimuat pada tahun 2005 di Jurnal Analisis Sosial No. 9(3):51-77. 

_________________________________________________________________________________

“The political mobilization and organization of
 the rural landless and near landless 
is a necessary condition for land reform; but it is not a sufficient one”
(Solon L. Barraclough, 1998) [1]

 

Pendahuluan 

Serikat Petani Pasundan (SPP), suatu organisasi massa petani yang terbesar di Jawa Barat, sepanjang bulan Agustus – September tahun 2003 mengalami kesibukan yang luar biasa. Mereka harus menghadapi suatu “operasi gabungan” dari Polisi Daerah Jawa Barat, satuan Brigade Mobil, Polisi Resor Garut, Polisi Hutan Perhutani dan aparat Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), yang bertujuan mengusir para petani penggarap dari lokasi yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi dan hutan lindung atau hutan produksi Perhutani.  Operasi yang diberi nama Operasi Wanalaga Lodaya[2] ini berlangsung semenjak 11 Agustus 2003, dan berakhir 23 September 2003,[3] melibatkan 387 petugas, terdiri dari 320 Polisi dan 67 Polisi Hutan (Polhut),[4] dan dipusatkan pada tiga bentang kawasan hutan, yakni Talagabodas, Papandayan dan Sancang – di mana pada semua tempat ini petani-petani yang tergabung dalam SPP menduduki dan menggarap tanah yang sebelumnya dikuasasi oleh Perhutani dan/atau BKSDA. Ini adalah operasi resmi yang terbesar yang pernah dihadapi SPP. Untuk wilayah Gunung Papandayan saja, di desa Sarimukti kecamatan Pasirwangi, pada tanggal 11 Agustus 2003, jam 09.00, operasi ini mendatangkan “aparat gabungan dipersenjatai lengkap dengan senjata laras panjang dan pistol juga peta lokasi”, dan “pada malam tanggal 12 Agustus 2003, aparat gabungan sudah membuat Tenda Penampungan untuk kepentingan operasi di tiap-tiap lokasi”.[5]  Bisa dibayangkan ketegangan yang terjadi di desa itu: pasukan seperti itu hadir di desa yang jumlah penduduknya kurang lebih 4.300 jiwa/964 Kepala Keluarga. 

Operasi penindasan terhadap petani penggarap ini adalah operasi yang pertama di Kabupaten Garut setelah tumbangnya rejim otoritarian Soeharto di tahun 1998 lalu. Walau telah diketahui sebelumnya, operasi ini sama sekali tidak dapat dipengaruhi perencanaannya oleh SPP, karena pembuatan kebijakan, termasuk komandan operasi ini bukan berada di lingkaran para penguasa pemerintahan kabupaten Garut. Melainkan, operasi ini berada di bawah komandan Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Jawa Barat,[6] yang yang berada di luar jangkauan pengaruh pimpinan SPP. 

Operasi ini merupakan babak lanjutan dari ketegangan yang terjadi antara petani-petani lapar tanah yang terorganisir dalam Serikat Petani Pasundan (SPP) dengan para penguasa tanah luas di Kabupaten Garut, yakni Perhutani, perkebunan-perkebunan besar, dan pengelola kawasan konservasi.[7] SPP secara terbuka mendeklarasikan eksistensinya dan melakukan pengorganisasian dan mobilisasi petani secara terbuka mulai awal tahun 2000 lalu, dengan cara utama melakukan okupasi dan penggarapan tanah yang sebelumnya adalah tanah yang dikuasai Perhutani atau perkebunan-perkebunan besar atau kawasan konservasi. Manakala terdapat bentrokan-bentrokan dengan pihak keamanan perkebunan/perhutani/pengelola kawasan konservasi, maka SPP bersama para pendukung melakukan protes/demonstrasi baik secara delegasi atau melibatkan massa banyak atau hanya dalam bentuk surat ke kantor-kantor manajer perkebunan/perhutani/pengelola kawasan konservasi di kota, atau ke kantor-kantor parlemen/pemerintahan di kota kabupaten atau kota propinsi, bahkan hingga sampai ke Jakarta.   Aksi protes/demonstrasi itu, biasanya menuntut dihentikannya tindakan kekerasan atas petani yang terjadi di lapangan dan disertai oleh suatu kampanye tentang kewajiban pemerintah mengagendakan dan menyelenggarakan pembaruan agraria (agrarian reform). 

Dalam kasus di atas, ratusan anggota SPP dan para pendukungnya yang berada di kota Garut bergabung dalam Komite Pemuda dan Mahasiswa untuk Petani, mendatangi DPRD kabupaten Garut pada hari Selasa 19 Agustus 2003, dan membuat suatu pernyataan sikap atas operasi itu yang pada intinya mendesak “dilepaskannya petani/buruh tani yang ditahan”.[8]  Lebih dari itu, sejumlah organisasi non-pemerintah pendukung SPP di Bandung dan Jakarta, mampu membuat suatu koalisi sementara, yang diberi nama SAKTI (Solidaritas Anti Kekerasan Terhadap Petani)[9] untuk memprotes penangkapan tersebut dan menuntut pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Tanah. Koalisi ini, pada tanggal 21 Agustus 2003, juga telah mendatangi kantor Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia mengadukan terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam operasi Wanalaga Lodaya itu. Mereka “menyampaikan bahwa akibat operasi tersebut, banyak petani dtangkap dan ditahan aparat keamanan. Selain itu, tanaman para petani baik yang sudah siap panen maupun yang baru ditanam menjadi terlantar. Pengadu meminta Komnas HAM melakukan kunjungan lapangan untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dan membantu penyelesaian antara petani dengan pihak Perhutani dan perkebunan.”[10] Atas dasar laporan ini, KOMNAS HAM telah melakukan kunjungan lapangan 29 – 31 Agustus 2003 mengklarifikasi pengaduan itu untuk kemudian membuat rekomendasi atas temuan mereka itu.[11]  Menanggapi berbagai protes itu, Kapolda Jawa Barat Dadang Garnida tetap melanjutkan operasi itu, karena meyakini bahwa operasi itu legal dan polisi memiliki kewenangan untuk menegakkan hukum dengan menangkan orang yang melakukan perambahan hutan secara ilegal. “Sejak 14 Agustus, kami sudah menangkap 613 penggarap tanah di lahan milik Perhutani dan Dinas Kehutanan. Selain itu, kami sudah menangkap 27 pemodal yang 'mengompori' warga agar membabat hutan dan menanam tanaman sesuai pesanan mereka." Mereka akan dikenakan ancaman maksimum hukuman 10 tahun penjara atau denda 20 juta, sesuai dengan Undang-undang 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.[12]

 

***

 

Demikianlah satu potongan cerita, tampilan lokal dari aksi-reaksi atas okupasi tanah oleh petani itu, yang dimaksudkan untuk mengajak pembaca mengenali lebih jauh mengenai gerakan agraria kontemporer dalam konteks sejarah dan geografinya. Tulisan ini adalah suatu usaha untuk memperkenalkan kemunculan suatu gerakan massa petani di Kabupetan Garut, yang telah menjadi salah satu labolatorium praktek yang utama dari cara bagaimana gerakan petani mempromosikan pembaruan agraria sepanjang hampir 10 tahun terakhir ini.[13] Akan disajikan secara serba singkat, di bawah kondisi agraria macam apa kemunculan dari SPP itu, bagaimana dinamika aksi-reaksi gerakan SPP di kabupaten Garut, dan apa saja konsekuensi dari gerakan tersebut.

 Analisa tentang kondisi kemasyarakatan yang memungkinkan suatu gerakan agraria muncul sungguh esensial, seperti dianjurkan dan diberi teladan oleh Barrington Moore (1966), akan memberi pemahaman yang lebih baik mengenai dinamika gerakan agraria itu sendiri. Perbedaan utama di antara sarjana peneliti gerakan agraria seperti James Scott, Samuel Popkin dan Jaime Paige, juga diisi oleh perbedaan analisis tentang konteks kemasyarakatan itu dan cara bagaimana perubahan kemasyarakatan itu dihadirkan. [14]

Okupasi Tanah, Pertumbuhan Organisasi Petani dan Perubahan Hukum Agraria[15]

Aksi-aksi okupasi tanah (land occupation) ini – sangat popular saat ini di kalangan aktivis agraria dengan istilah rekaliming (dari asalah kata reclaiming) -- dilakukan atas tanah-tanah yang pernah menjadi tanah garapan penduduk, tapi akibat praktek penindasan, tanah tersebut menjadi bagian dari perkebunan besar dan yang disebut hutan Perhutani, dan proyek pemerintah atau perusahaan besar lainnya. Tindakan penggarapan/okupasi (kembali) ini tentu adalah kontroversial.  Pihak yang tidak menyetujui tindakan ini, biasa menyebutnya dengan istilah “penjarahan” – artinya mengambil secara beramai-ramai yang bukan haknya. 

Tindakan penggarapan/okupasi (kembali) wilayah pengambilan ini semakin meluas setelah Presiden Republik Indonesia di bulan Maret tahun 2000 Abdurahman Wahid – yang dikenal memiliki kedekatan dengan aktivisme ornop --  membuat pernyataan yang sangat popular bagi banyak petani saat itu. Ia menyatakan bahwa tidak tepat jika rakyat dituduh menjarah, karena “sebenarnya perkebunan yang nyolong tanah rakyat. Ngambil tanah kok ‘gak bilang-bilang’”. Selanjutnya ia mengatakan bahwa “sebaiknya 40% lahan dari perkebunan dibagikan kepada petani penggarap yang membutuhkan. Bahkan kalau mau, saham perkebunan itu juga bisa dimiliki oleh masyarakat,” “kalau selama ini negara menjadi kaya karena menguasai dan mengelola tanah dan kekayaan alam, maka untuk ke depan sebaiknya rakyat juga menikmati hal yang sama,” dan “kalau kita kaya harus bareng-bareng dan kalau miskin pun harus bareng-bareng”.[16] Pernyataan publik ini memiliki dampak yang besar dalam membenarkan dan menguatkan aksi petani mereokupasi tanah perkebunan. Di suatu kesempatan Dirjen Perkebunan Departemen Kehutanan dan Perkebunan pernah mengemukakan bahwa sampai September tahun 2000, jumlah luas tanah yang dijarah mencapai 118.830 ha pada perkebunan negara, dan 48.051 pada perkebunan swasta.[17]

Kalkulasi sementara yang dibuat pada akhir tahun 2002 atas 22 (dua puluh dua) wilayah yang menjadi basis lokal dari SPP di Kabupaten Garut, mereka telah menguasai hampir 4000 ha lahan, yang melibatkan 5.000an keluarga petani (lihat tabel 1).[18] Walaupun jumlah ini belum besar dibanding dengan luasan wilayah Kabupaten Garut, namun okupasi dan penggarapan ini telah dirasakan oleh pihak perkebunan dan perhutani sebagai ancaman yang nyata. 

Di awal tahun 2001, sebuah rapat pejabat tinggi kabupaten Garut, yang dibuat khusus mengenai keadaan perkebunan dan kehutanan di kabupaen Garut menyebutkan bahwa[19]  

2.1.     Dari 12 Perkebunan (yang masih aktif) ada 6 Perkebunan yang mengalami penjarahan, terdiri dari 2 Perkebunan PTPN dan 4 Perkebunan Swasta. 

Kejadian terakhir yang menimpa Perkebunan Dayeuhmanggung PTPN VIII telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 4,7 milyar.

2.2.     Akibat dari adanya penebangan liar di kawasan hutan sekitar Gunung Papandayan, telah menimbulkan bencana berupa “banjir lumpur” yang menimpa Daerah Kecamatan Cisurupan. Banjir lumpur sampai setinggi lutut sungguh kejadian langka, hal ini merupakan wujud dari kerusakan ekologis dan tidak ternilai dengan ukuran jumlah uang.

2.3.     Penyebab dari aksi penjarahan pada umumnya bermula dari hilangnya “idealisme sebagai akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan kesulitan mencari sumber nafkah yang diyakini memberi harapan masa depan lebih baik. Kondisi yang muram ini telah dimanfaatkan “Provokator” yang berdalih akan memperjuangkan perbaikan nasib rakyat kecil demi menegakkan keadilan dan kebenaran, telah menimbulkan gerakan massa liar dan emosional yang secara “apriori” menolak setiap penelasan yang disampaikan oleh Aparatur Pemerintah.

2.4.     Upaya penanganan masalah keamanan yang dilakukan oleh alat negara secara legal formal, nampaknya belum mampu memotivasi masyarakat sekitar Perkebunan dan Hutan agar mendukung/membantu operasi penangkapan “provokator.

Issue pembaruan agraria di Jawa setelah jatuhnya Orde Baru selain diisi oleh penggarapan/reokupasi petani atas tanah perkebunan/kehutanan dan konflik yang ditimbulkannya, juga diisi oleh suburnya pertumbuhan organisasi-organisasi massa petani.  Para promotor pembaruan agraria percaya bahwa penggantian rejim Orde Baru merupakan prasyarat dari dijalankannya pembaruan agraria yang menyeluruh di Indonesia. Tanpa suatu perubahan rejim, tidak ada harapan bagi siapapun untuk bisa menyaksikan dijalankan pembaruan agraria oleh rejim Orde Baru yang berkuasa pada saat itu.[20]  Namun demikian, disadari bahwa[21]

hampir semua pembaruan agraria dilakukan atas dasar kedermawanan pemerintahan, sehingga begitu minat pemerintah berubah (demi kepentingannya), maka habislah hasil-hasil positif yang mungkin pernah dicapai oleh pembaruan agraria. Memang diakui, ada suatu pemerintahan yang dengan tulus dan jujur melakukan pembaruan agraria demi rakyat banyak. Namun, begitu pemerintahan tersebut berganti, elit penguasa yang baru dapat berganti haluan, dan membalikkan keadaan. Bahkan, sekalipun pembaruan itu lahir dari sebuah revolusi, seperti misalnya Meksiko. Kedermawanan pemerintah itulah yang oleh Powelson dan Stock disebut dengan istilah “reform by-grace”. Pembaruan demikian tidak “sustainable”, karena bergantung pada “pasar politik” menurut istilah Yushiro Hayami.

... Dengan demikian, yang diperlukan adalah pembaruan yang didasarkan atas pemberdayaan rakyat. Atau menurut istilah Powelson dan Stock: “landreform by leverage”. Dalam kondisi “pasar politik” yang bagaimanapun, jika posisi tawar petani/rakyat kecil kuat, maka hasil-hasil pembaruan sebelumnya tidak begitu saja mudah dibalikkan.

Gagasan “landreform by leverage” ini tak lain adalah basis argumentasi dari eksistensi organisasi massa petani sebagai mesin utama dari pembaruan agraria. Rintisan pembangunan organisasi massa petani berbasiskan kasus tanah, yang dilakukan di awal tahun 1990-an, mendapatkan kesempatan dan iklim politik yang kondusif setelah jatuhnya rejim Soeharto.[22]

Perkembangan issue pembaruan agraria di masa setelah jatuhnya rejim Soeharto diisi juga oleh suatu debat yang sangat tajam mengenai perubahan hukum agraria, khususnya perihal posisi Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR adalah suatu hukum negara yang memiliki kedudukan di antara konstitusi dengan Undang-undang. 

Pusat perdebatannya terletak pada apakah TAP MPR ini berguna atau berbahaya bagi gerakan pembaruan agraria. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)[23], yang kemudian bergabung dengan sejumlah ornop dalam Kelompok Kerja Ornop untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (Pokja PAPSDA)[24], menilai bahwa  TAP MPR ini dapat dipergunakan sebagai alat memperbesar gerakan petani dan mendorong pemerintah menjalankan pembaruan agraria. Sementara itu, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI) dengan para aktivis ornop pendukungnya menilai TAP MPR ini berbahaya, karena dapat menjadi pintu masuk bagi agenda Neo-liberalisme dan dikuatirkan berimplikasi pada penghapusan Undang-undang Pokok Agraria 1960 yang menjadi sumber hukum pelaksanaan land reform.[25] Sementara perdebatan di kalangan non-pemerintah masih terus berlangsung, badan-badan pemerintah pusat bersikap berbeda-beda atas hadirnya ketetapan ini. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, dan juga Departemen Pertambangan, tidak melakukan tindak lanjut apapun yang berarti; Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat agenda merevisi UUPA dan  Menteri Negara Lingkungan Hidup menyusun suatu Racangan Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam (RUU PSDA). 

Naskah ini tidak akan memasuki tema-tema detil dari perdebatan yang sengit mengenai kontroversi agenda perubahan hukum ini, seperti yang telah dikaji oleh Anton Lucas dan Carl Warren (2000, 2003) [26]. Naskah ini hendak menyediakan ilustrasi kontekstual dari apa yang dikemukakan oleh Christodolou (1990) bahwa agenda dan praktek reforma agraria merupakan anak keturunan dari konflik agraria, “agrarian reform is the offspring of agrarian conflict.”[27]

 

Potret Kondisi Agraria di Kabupaten Garut 

Di tahun 2000[28], Kabupaten Garut dengan luas tanah permukaan sekitar 306,519 ha merupakan kabupaten di Jawa yang persentase luas wilayah kehutanan dan perkebunan-besarnya terbesar, yakni 50% dari keseluruhan wilayah kabupaten. Penguasaan hutan terluas dipegang oleh Perhutani Unit III KPH Garut, yaitu sekitar 31.42% atau seluas 96,305.33 ha. Selanjutnya, penguasaan hutan oleh BKSDA Sub Garut sekitar 4.28 % atau seluas 13,111.50 ha, yang meliputi hutan Konservasi/Cagar Alam 17,215.15 ha dan Taman Wisata Alam 748.65 ha. Sedangkan Perkebunan besar menguasai 11.67 % atau 25,300.0054 ha yang terdiri dari Perkebunan Swasta 12,029.315 ha dan Perkebunan Negara seluas 13,270.6903 ha. Di luar wilayah sawah yang meliputi 49,812 ha atau 16.29 %, tata guna lahan pertanian rakyat di Garut kebanyakan berupa lahan kering (tegalan dan kebun campuran) seluas 97,401 ha atau 31.78 % dari luas wilayah. Meski alokasi kerja non-pertanian lebih banyak, namun jumlah angkatan kerja produktif yang ada di pertanian yang tersedia masih sesak, yakni 277,965 orang atau 39.71% dari keseluruhan angkatan kerja produktif untuk 147.213 ha lahan.

 

          Komposisi Penggunaan Lahan di Kabupaten Garut

 

                        Sumber: www.garut.go.id/ tahun 2002.

 

Desa-desa di sekitar wilayah dimana Perhutani dan Perkebunan Besar berada, senantiasa  merupakan desa yang dipenuhi oleh petani tidak bertanah. Ilustrasi lokal yang telah disajikan secara khusus adalah Desa Sarimukti – Kecamatan Pasirwangi, salah satu desa target “Operasi Wanalaga Lodaya”. Di desa ini keluarga petani tidak bertanah mencapai 75 % dari keseluruhan keluarga tani -- pada kelas sosial ini lah SPP membangun basis sosialnya. Untuk melanjutkan hidup mereka bekerja di atas tanah milik orang lain. 

Dengan ketinggian sekitar 1500an meter di atas permukaan laut, bentangan alam (landscape) desa-desa di wilayah ini adalah berbukit-bukit dan kebanyakan diisi oleh tanaman sayuran. “Produksi sayuran di desa-desa ini mampu menyerap tenaga buruh sekitar 294 orang per hari per hektare tanah, untuk menghasilkan sayuran berusia tiga bulan seperti kol atau kentang. Angka tersebut, yang lebih besar dari angka penyerapan tenaga buruh pada budidaya padi sawah, bahkan akan lebih tinggi lagi di tempat-tempat yang topografinya menyebabkan penggarapan lahan lebih sulit dan pada musim kemarau memerlukan penyiraman tanaman. Dengan demikian, pengolahan tanah seperti ini sangat bersifat padat karya dan sekaligus padat modal karena dibutuhkan banyak pengeluaran untuk pupuk dan pestisida, sedangkan tahap pemasaran dan pengangkutan sayuran menyediakan lapangan kerja sesuai dengan jumlah sayuran yang akan dijual.”[29]

 

Produksi Padi, Palawija, Sayur dan Buah-buah di Kabupaten Garut

No

Komoditi

Tahun 2001 (ton)

1

Padi

673.365

2

Palawija

717.115

3

Sayuran

821.911

4

Buah-buahan

214.085

 

          Sumber: Bapeda Kabupaten Garut pada tahun 2002.

 

Produksi sayuran merupakan andalan utama dari produksi pertanian Kabupaten Garut, melebihi padi maupun palawija (lihat tabel). Sayuran ini disuplai ke pasar-pasar induk (grossir market) di Bandung dan Jakarta. Pada tahun 2001, produksi sayuran mencapai 821,911 ton, berbanding dengan produksi padi yang hanya 693,365 ton dan produksi Palawija 717,115 ton.[30] Budidaya sayuran ini sungguh unik, karena naik turunnya harga yang sangat drastik. Misalnya, pada masa kerja lapangan saya di awal bulan Januari tahun 2003, harga tomat di desa mencapai Rp. 4,500 rupiah per kg; dan enam bulan kemudian, pada bulan Juli 2003, harga tomat hanya mencapai 200 rupiah saja per kg. Hal ini pada umumnya dimengerti oleh penduduk sebagai permainan licik dari bandar pasar yang tak dapat diduga. 

Di wilayah pegunungan seperti ini, meskipun dengan bentang alam yang indah sekali, wajah desa yang subur makmur merata tidak akan kita temukan. Di Sarimukti, terdapat satu keluarga terkaya menguasai tanah 50-an hektar, dengan mempekerjakan 160 buruh tani. Meski sekilas bentang alam tanah yang dikuasainya tidak berbeda dengan bentang alam pertanian rakyat, namun ia memiliki dua aktivitas lain  yang mencirikan  perbedaannya dengan usaha rakyat, yakni (i) keterkaitan usaha pertaniannya dengan usaha peternakan penggemukan 100an sapi, dimana berak sapi diolah menjadi pupuk kandang untuk usaha taninya; dan batang dan daun sisa panen sayuran, seperti jagung, dipakai sebagai pakan sapi; dan (ii) usaha perdagangan dan transportasi sayuran dari desa ini ke pasar induk di kota.

Di bentang alam yang sama, juga terdapat kawasan hutan produksi dan hutan lindung Perhutani, wilayah yang dipersengketakan dengan penduduk. Kawasan seluas  + 314  ha ini dapat dikatakan telah habis dibuka oleh penduduk desa Sarimukti dan Mekarjaya semenjak tahun 2000 lalu. Petani-petani yang tergabung dalam SPP di Sarimukti berargumen bahwa tanah yang dahulu adalah bekas perkebunan kina ini diklaim secara tidak sah oleh Perhutani. Mereka meyakini bekas perkebunan Belanda itu seharusnya menjadi hak petani penggarap, dan bukan haknya Perhutani yang mengusahakannya menjadi hutan produksi maupun hutan lindung. Menurut keterangan tokoh penduduk, Perhutani tidak membedakan perlakuan pada wilayah yang disebutnya sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Mereka menanaminya dengan tanaman Pinus yang diambil getah dan kemudian ketika tidak lagi mampu memproduksi getah, Perhutani mengambil kayunya.[31] Seperti juga di tempat lain, di masa awal penanaman pinus, Perhutani membolehkan penduduk setempat untuk melakukan usaha tanam tumpang sari.

Sebelum bergabung bersama SPP, telah ada usaha sejumlah pemimpin rakyat setempat merundingkan hak atas tanah garapan bekas Perkebunan N.V. Kina Cultuur Mji Chinchona, blok Darajat I itu pada tahun 1982, yang dimulai dari inisitif Somadin dan kawan-kawan untuk menemui Jaksa Supriatna di Kantor Kejaksaan Garut dan Sopian Rauf yang saat itu menjabat Kepala Agraria Garut. Selanjutnya,[32]


Dari keduanya Somadin mendapat informasi bahwa Tanah Darajat I yang merupakan tanah bekas Perkebunan Belanda itu seharusnya bisa dimiliki oleh masyarakat, asalkan sudah digarap selama dua tahun secara berturut-turut. Mengetahui hal tersebut, pada bulan Februari 1982 bersama Mustofa, Lili, Jumali dan Odang, Somadin mendata para penggarap untuk diajukan permohonan redistribusi tanah Darajat I kepada Direktorat Agraria Jawa Barat di Bandung. 

Peluang terkabulnya permohonan redistribusi tanah yang diajukan masyarakat itu terbilang besar. Pasalnya, pada tanggal 19 Agustus 1980, menanggapi surat Perhutani bertanggal 24 Maret 1980 dan 21 Mei 1980 No. 044.5/III/80, Kepala Direktorat Agraria Drs. Koesrin melayangkan surat balasan bernomor A.788/Dir//PHT/1980 yang intinya menyatakan bahwa tanah Darajat I merupakan tanah negara ex Perkebunan N.V. Kina Cultuur Mji Chinchona yang berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. GB.156/B.A./54 tanggal 14 Oktober 1954 hak Erfpacht-nya telah berakhir sejak 29 Agustus 1953 sehingga “dapat diproses pemberian haknya kepada para penggarap untuk diberikan hak miliknya sesuai dengan Peraturan Mendagri No. 6 tahun 1972 jungto Peraturan Mendagri No. 5 tahun 1973”. 

Pada tahun yang sama, tepatnya tanggal 15 Juli 1982, Kepala Direktorat Agraria yang saat itu sudah ganti dijabat oleh Drs. Kamal Hayat melayangkan surat bernomor 430/DA/LR/4/1982 ditujukan kepada Bupati KDT II Garut Up. Kepala Kantor Agraria Garut, yang isinya menjelaskan kembali surat Direktorat Agraria Jabar kepada Perhutani tanggal 19-8-1980 No. A.788/Dit/PHT/1980 tentang status tanah Darajat I. Lebih lanjut, masih dalam surat yang sama, Kamal meminta Bupati untuk mengadakan pemeriksaan ke lokasi dan “apabila tanah tersebut telah digarap oleh rakyat maka hendaknya diusulkan sebagai Obyek Landreform seperti dimaksud dalam Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK.30/KA/1962 dapat diproses berdasar Peraturan Pemerintah No. 224/1961 sebagaimana Pelaksanaan Redistribusi”.

Sialnya, hanya berselang satu bulan kemudian, Kamal kembali menyurati Bupati Garut Up. Kepala Kantor Agraria Garut yang isinya bertolak belakang dengan surat pertama. Dalam surat bernomor 478/DA/LR/4/1982 dan ditandatangani tanggal 3 Agustus 1982 itu, Kamal menyatakan bahwa berdasarkan Berita Acara No. 90 tanggal 21 Agustus 1925 dan lampiran peta perubahan tata batas tanggal 28 Oktober 1925 areal/kawasan kehutanan meliputi gambar/peta No. 1 dan 2, sedangkan areal bekas hak Erfpacht Darajat I Verponding No. 15 yang Direktorat Agraria Jabar maksud adalah sebelah utaranya (lihat peta). Dengan demkian penggarapan terhadap areal/kawasan kehutanan tersebut pada peta No. 1 dan 2 tersebut di atas tidak dibenarkan, dan apabila masih ada penggarapan terhadap tanah dimaksud supaya Bupati Up. Kepala Kantor Agraria Garut berupaya menghentikan penggarapan tersebut.

Puncaknya adalah ketika Gubernur Aang Kunaefi, melalui suratnya No. 181.1/5971/Asda I tertanggal 30 Oktober 1982, memerintahkan Bupati Garut untuk menertibkan pengarapan di tanah Darajat I. Mendapat perintah tegas dari atasannya itu, Bupati pada tanggal 28 Januari 1983 menerbitkan Instruksi bernomor 13/HK.021.1-Pm/Ins/1983 yang ditujukan kepada Camat Cisurupan beserta Kepala Desa Sukajadi dan Sukajaya Kecamatan Cisurupan yang isinya memerintahkan rakyat untuk mengosongkan lahan dan menghentikan semua kegiatan penggarapan di atas tanah Darajat I, terhitung mulai sejak 1 April 1983.

 

Masih berhubungan dengan bentang alam ini adalah wilayah Cagar Alam Gunung Papandayan yang dikuasai oleh BKSDA yang langsung berada di bawah penguasaan Departemen Kehutanan. Seperti semua puncak gunung di Jawa, wilayah ini ditetapkan sebagai bagian dari kawasan konservasi dan hutan lindung karena fungsi hidrologis dan climatologisnya yang tak tergantikan, selain karena kecuramannya dan menjadi tempat hidup sejumlah spesies langka, seperti elang jawa, macam tutul dan macan kumbang serta Surili, yang sangat rentan atas perubahan ekosistem.[33] Petugas penanggungjawab wilayah Cagar Alam Gunung Papandayan, menilai bahwa Perhutani tidak berhasil memelihara fungsi dari hutan lindung dan hutan produksinya sebagai sabuk pengaman dari ekspansi wilayah garapan penduduk.[34] Di wilayah Cagar Alam ini, mereka telah mendata bahwa pada tahun 2003 terdapat 53.1 ha yang telah dibuka oleh 74 petani penggarap.[35]

Selain itu, pada bentangan alam yang sama terdapat suatu usaha yang sangat modern, dan sulit dimengerti logika operasinya oleh penduduk lokal, yakni pada tahun 1984 yakni proyek Geothermal Darajat yang mengambil panas bumi dan mengubah menjadi tenaga listrik. Lokasi proyek ini berada di dalam kawasan Cagar Alam dan Hutan Lindung Perhutani. PT  Amoseas Indonesia Inc, yang dimiliki oleh Chevron dan Texaco, mengelola tanah seluas 70 hektar lebih, dengan status penguasaan “pinjam pakai.”[36]  Pada tahun 2003 ini, proyek Geothermal Darajat memasok uap kering panas bumi ke dua pembangkit tenaga listrik, yakni (i) Darajat I, yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN, yaitu perusahaan listrik umum nasional Indonesia, menghasilkan tenaga listrik dengan kapasitas 55 Megawatt; dan (ii) Darajat II, yang dioperasikan pada bulan Mei 2000, membangkitkan tenaga listrik tambahan sebesar 70 Megawatt. Dioperasikan oleh AMOSEAS, Darajat II menjual tenaga listrik langsung ke jaringan listrik nasional.[37]

            

Serikat Petani Pasundan dan Perubahan Politik Agraria

 

Seperti secara tegas dikemukakan oleh Kriesi (1995), pergeseran dalam struktur kesempatan politik (political opportunity structure) [38] adalah penanggung jawab utama bagi mobilisasi suatu atau sejumlah kelompok gerakan (protes) sosial untuk mengedepankan klaim-klaim baru dan kerangka baru penguasaan dan pengelolaan atas sumber daya publik yang dipertentangkan, membentuk kembali aliansi kekuatan dalam masyarakat. Struktur kesempatan politik yang tidaklah bersifat tetap ini dapat berubah sepanjang waktu di luar dari pengaruh gerakan itu sendiri. Untuk kepentingan analitis, Kriesi juga mengusulkan agar kita membedakan tiga hal: (i) struktur kelembagaan formalnya, (ii) prosedur-prosedur informalnya dan strategi yang umumnya dipergunakan pemegang otoritas; dan (iii)  konfigurasi kekuasaan yang dihadapi para penantang.[39] Meski kesempatan politik itu telah terbuka, namun para pemimpin gerakan sosial tidak dapat memperkirakan keterbukaanya secara penuh sampai mereka terlibat langsung dalam jalinan dengan berbagai hubungan dengan kekuatan-kekuatan politik yang bekerja. Dalam hal ini penentunya adalah cara bagaimana pemimpin gerakan menfasirkan dan memberi arti pada kesempatan politik itu dan aksi-aksi kolektif yang dijalankannya. Apa yang dikenal dengan istilah framing ini sudah banyak menjadi tema penelitian seperti yang dikaji ulang oleh Benford dan Snow (2000).[40]

Dengan rujukan demikian, gerakan petani SPP dapat dipahami pembesarannya pertama-tama melalui akasi-aksi okupasi atau penggarapan tanah yang sebelumnya dikuasai oleh Perkebunan-perkebunan besar swasta maupun milik negara, dan Perhutani. Aksi-aksi okupasi ini dimungkinkan oleh hilangnya kemampuan represi dari para penguasa tanah luas dan aparatus negara yang represif sebagai konsekuensi langsung dari jatuhnya rejim otoritarian Orde Baru yang jatuh semenjak tahun 1998 lalu. Perubahan konfigurasi pimpinan politik di daerah (Pemda dan DPRD) juga jelas memberi kemungkinan baru bagi pimpinan SPP untuk membangun persekutuan baru yang menciptakan ruang dan iklim politik yang kondusif bagi mobilisasi para petani tak bertanah, dan hampir tak bertanah untuk melakukan okupasi atas tanah-tanah perkebunan besar dan Perhutani, demonstrasi menuntuk dijalankannya land reform, dan membangun susunan organisasinya. 

Di tiap wilayah yang menjadi basis lokal dari SPP, dibentuk suatu kepemimpinan lokal yang mereka sebut sebagai organisasi tani lokal (OTL), yang susunan pengurusnya biasanya terdiri dari Ketua, Sekretaris, Bendahara, Humas dan Satgas. Banyak dari para pimpinan lokal SPP ini, hampir semuanya laki-laki, telah memiliki pengalaman hidup di kota, sebagian sebagai pedagang yang berjualan langsung di pasar-pasar induk baik di Bandung maupun di Jakarta. Hubungan dengan kota semacam ini tentu bukan sekedar menjadi masa lalu saja, tetapi yang terpenting adalah minimnya rasa sungkan dan hormat terhadap para penguasa tanah yang menyelubungi kekuasaannya dengan ikatan-ikatan sosio-kultural. Lebih dari itu, pengalaman hidup di ruang publik kota seperti terminal angkutan publik, jalan raya dan pasar, mengajari mereka untuk mampu berani berhadapan dengan kekuasaan resmi (seperti birokrasi pasar dan polisi) maupun tidak-resmi (seperti preman), serta telah mengembangkan kemampuan untk tidak bersikap hormat dan takluk pada kekuasaan pihak-pihak yang dimusuhinya tersebut.

Dengan SPP, mereka menggunakan kemampuan yang telah dipunyai itu, dan juga mengembangkan kemampuan kepemimpinannya yang baru khususnya dalam hal memelihara keanggotaan, memobilisasi dan memimpin dalam demostrasi-demonstrasi dan, tentunya, mengembangkan argumentasi dalam perebutan tanah. Selain itu, sebagian dari pemimpin lokal SPP juga memperluas ruang kepemimpinannya melalui posisi di parlemen desa (Badan Perwakilan Desa), yang dipilih secara langsung oleh penduduk, bahkan ada beberapa orang yang telah berhasil menduduki posisi sebagai Kepala Desa. Para pimpinan lokal SPP yang menduduki posisi seperti ini, tentunya menghadapi tantangan yang besar untuk mengubah posisi Desa dari alat rejim Orde Baru untuk mengendalikan dan memobilisasi penduduk, menjadi alat dari komunitas, khususnya kepentingan petani yang berada di desa itu.[41]  Meski telah ada ralat hukum atas UU nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang telah dilakukan oleh UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah,[42] tentu pembaruan desa tidak mudah terwujud. Di Jawa Barat, sepanjang 20 tahun semenjak diterapkannya pada tahun 1979 sampai 1999, proses-proses utama komunitas desa telah ditaklukkan oleh proses-proses birokrasi.[43] Birokratisasi yang sangat berlebihan di desa-desa di Jawa Barat, telah membuat para pemimpin di desa takluk dan menjadi bagian langsung dari “pemerintah”.[44]  Di daerah dataran rendah dengan bentuk ekologi yang utama adalah sawah, sentralisasi kekuasaan di desa-desa ini, merupakan sandaran utama bagi program Revolusi Hijau, suatu upaya meningkatkan produktifitas padi melalui penggunaan bibit hibrida, pupuk kimia, pestisida, irigasi dan teknologi paska-panen. Program revolusi hijau ini telah mengakibatkan terjadinya semakin terkonsentrasinya penguasaan tanah pada segelintir orang kaya yang bertuankan negara di satu pihak, dan semakin membanyaknya petani yang tak bertanah di pihak lain.[45] Sedangkan di dataran tinggi, sentralisasi kekuasaan ini memberi keamanan pada perhutani dan/atau perkebunan besar untuk melanjutkan eksistensinya di lingkungan desa-desa yang sebagian penduduknya tak bertanah. 

Pada umumnya, semasa Orde Baru masih kukuh, meskipun proses polarisasi kelas terjadi di pedesaan, namun tidak diiringi dengan aksi protes terbuka, apalagi aksi okupasi tanah dari kaum tak bertanah. Hal ini disebabkan oleh kendali yang sangat kuat dari pemerintahan Orde Baru terhadap pedesaan,[46] masih melekatnya trauma “pembantaian PKI” dalam struktur mental petani,[47] dan tersedianya saluran dimana mereka dapat melanjutkan hidup dengan pergi migrasi secara sirkuler sebagai bagian dari apa yang diistilahkan sebagai sektor informal di kota.[48] Meskipun demikian, baik di dataran tinggi maupun di dataran rendah, selalu saja diwarnai oleh apa yang disebut James Scott (1985) sebagai “perlawanan sehari-hari dari kaum tani”.[49]

Sejarah kehadiran SPP dapat ditelusuri dari akhir tahun 1980-an. Pada akhir tahun 1980-an itu adalah mulai terjadi ‘koalisi’ antara tokoh-tokoh petani yang komunitasnya berkonflik dengan perhutani dan perkebunan besar, aktivis terpelajar di kota Garut yang tergabung dalam Forum Pemuda, Pelajar dan Mahasiswa Garut (FPPMG), dan aktivis mahasiswa dari Bandung yang tergabung dalam KPMURI (Komite Pembelaan Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia) dan aktivis ornop dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Dua kasus utama yang menjadi issue yang mengikat koalisi ini adalah “Kasus Tanah Sagara” dan “Kasus Tanah Badega”.

Pada intinya, kasus  “Kasus Tanah Sagara”ini adalah suatu persengketaan antara Perhutani dengan 776 kepala keluarga di wilayah Sagara mengenai siapa yang berhak atas tanah seluas 1100 hektar beserta pohon-pohon jati yang ada di atasnya. Persengketaan ini diisi pula dengan peristiwa-peristiwa penangkapan dan pemenjaraan terhadap pemimpin FPPMG dan juga beberapa tokoh penduduk hingga menjadikannya sebagai tempat latihan brigade mobil (brimob).  Kasus ini berakhir dengan “kalahnya Perhutani”, dengan keluarnya Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 35-VI-1997 tentang penegasan tanah negara sebagai objek pengaturan penguasaan tanah/landreform luas  578,71 Ha di desa Sagara dan Karya Mukti.[50]  Kemenangan ini mendorong aktivis FPPMG meluaskan wilayah kerja pengorganisasiannya pada kasus-kasus lain di KabupatenGarut. 

Pada kurun waktu yang relatif sama, para aktivis mahasiswa di Bandung, bersama-sama dengan LBH Bandung, juga mengurus kasus-kasus lain di Kabupaten Garut, seperti, kasus tanah Badega.[51]  Pada intinya, “kasus Badega” ini adalah suatu persengketaan antara 312 petani penggarap di gunung Badega - Garut dengan PT. Surya Andaka Mustika mengenai siapa yang berhak atas tanah seluas hampir 400 hektar, eks perkebunan PT Sintrin. Seperti juga kasus Sagara, kasus ini diisi pula dengan peristiwa-peristiwa penangkapan dan pemenjaraan  terhadap beberapa tokoh penduduk hingga menjadikannya sebagai tempat latihan perang-perangan tentara. Berbeda dengan kasus Sagara, kasus Badega ini lebih menjadi pusat perhatian dan menjadi bahan kampanye luas dari aktivis mahasiswa dan ornop pada akhir tahun 1980-an. 

Dua kasus konflik tanah ini kemudian menjadi contoh/rujukan dari usaha pengorganisasian petani yang dilakukan aktivis-aktivis terdidik di kota Garut dan Bandung, dalam format Serikat Petani Jawa Barat (SPJB). SPJB adalah suatu format pengorganisasian petani yang melibatkan tokoh-tokoh petani dari kasus-kasus konflik tanah yang ditangani oleh LBH Bandung sebagai pengacara/kuasa hukum mereka, semenjak akhir tahun 1980-an. SPJB sendiri didirikan pada tahun 1991dengan melibatkan di antaranya Kasus Cimerak di Kabupaten Ciamis, Kasus Sagara dan Kasus Badega di Kabupaten Garut, Kasus Jatiwangi di Kabupaten Majalengka, Kasus Gunung Batu di Kabupaten Sukabumi, dan Kasus Cikalong Kulon di Kabupaten Purwakarta. Meski SPJB kurang berhasil dalam memobilisasi politik petani di tingkat wilayah, terutama karena situasi politik yang tidak kondisuf, namun sepanjang 10 tahun dapat dikatakan, SPJB berhasil mengembangkan banyak aktivitas pendidikan untuk tokoh-tokoh petani dari berbagai kasus tanah itu dan untuk aktivis terpelajar dari kota itu sendiri. 

Aktivis terpelajar dari kota Garut mulai melepaskan diri dari SPJB pada tahun 1998, setelah terjadinya perubahan kesempatan politik akibat jatuhnya rejim otoritarian Soeharto. Selepas keluar dari penjara pada tahun 1997, selama 9 bulan karena dituduh menjadi provokator dalam kasus kerusuhan di Tasikmalaya (kota yang bersebelahan dengan Kabupaten Garut), Agustiana pemimpin dan penggerak utama SPP, menilai bahwa mereka memiliki kesempatan lebih baik untuk mengembangkan kepemimpinan dan organisasi sendiri yang lebih baik dari SPJB untuk wilayah Pasundan (Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis). Penilaian itu berpengaruh sedemikian rupa sehingga pada gilirannya, pada bulan Februari tahun 2000, sejumlah aktivis terdidik dari kelas menengah kota di Garut bersama-sama tokoh-tokoh petani dari kasus-kasus tanah di tiga kabupaten itu mendeklarasikan pendirian SPP. 

Saat ini, SPP telah menjadi laboratorium praktek dari seluruh pembicaraan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) tentang pembaruan agraria yang berlangsung semenjak tengah tahun 1980-an.[52]  Issue pembaruan agraria ini secara sistematik ditampilkan (kembali) ke panggung gerakan sosial berskala nasional, oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), suatu jaringan ornop berskala nasional yang dibentuk pada tahun 1995, oleh 65 organisasi dan beberapa akademisi dan aktivis ornop senior yang ternama.[53]Semenjak masa Orde Baru berkuasa hingga sekarang, KPA telah bekerja mengembangkan berbagai analisis mengenai konflik agraria dan struktur agraria yang terjadi di berbagai wilayah, dan mengkritik politik agraria yang menyebabkannya,  serta mempromosikan pembaruan agraria melalui seminar, lokakarya, latihan, penelitian dan penerbitan.[54]

            Pada saat pendiriannya, para pemrakarsa KPA -- penulis adalah salah satunya --  menyakini bahwa[55]

tanpa agrarian reform, fondasi ekonomi nasional akan keropos dan setelahnya perekonomian akan mengalami kontradiksi permanen dan menciptakan keterbelakangan. 

Akibat dari dilaksanakan atau tidaknya agrarian reform, adalah sebagai berikut. Pertama, agrarian reform menciptakan pasar atau daya beli. Tanpa adanya redistribusi tanah, maka tidak ada kekuatan daya beli, artinya juga tidak ada kekuatan pasar. Tanpa kekuatan pasar, produksi tidak akan berkembang. Agrarian reform adalah sebuah instrumen bagi penciptaan pasar domestik, suatu prasyarat dari setiap sistem ekonomi nasional. Kedua, petani tanpa aset tanah, sama artinya dengan petani miskin yang tidak mampu menciptakan tabungan. Padahal tabungan pertanian diperlukan oleh setiap pemerintahan guna mendanai pembangunan pertanian maupun pengembangan sektor-sektor lain. Ketiga, tanpa peningkatan ekonomi petani, maka pajak pertanian akan tetap minim. Keempat, tanpa agrarian reform, maka tidak akan terjadi diferensiasi yang meluas dari pembagian kerja di pedesaan yang tumbuh dari kebutuhan pedesaan itu sendiri. Diferensiasi yang terjadi tanpa agrarian reform bersifat terbatas, menimbulkan jurang kelas yang tajam, dan eksploitatif. Kelima, tanpa agrarian reform tidak akan terjadi investasi di dalam pertanian oleh petani sendiri. Malahan terjadi disinvestasi, karena lama-kelamaan banyak petani kehilangan tanah dan kemiskinan meluas. Akibatnya sektor industri kecil, industri rumah tangga, perdagangan, jasa dan sirkulasi uang melemah, dan hanya bisa bergantung dari intervensi modal dari kota. Akibat parahnya adalah desa menjadi sumber pemerasan kota, karena desa tunduk pada kepentingan kota. Desa menjadi sumber yang dipakai untuk mensubsidi ekonomi kota, sementara desa menjadi terbelakang. Dan keenam, tanah akhirnya hanya menjadi obyek spekulasi, karena tidak mampu digunakan secara produktif oleh kaum taninya, melainkan dijarah oleh kelas-kelas di kota bagi kepentingan spekulasi dan investasi non-produktif. Tanah dijadikan obyek komoditi dan dijadikan dasar bagi akumulasi primitif modal awal dengan mekanisme land grabbing(pengambilan tanah secara brutal), yang kemudian dijual kembali atau dimasukkan ke mekanisme pasar tanah. Semua gejala tersebut adalah yang sekarang terjadi di Indonesia, karena pemerintahan Orde Baru menolak melakukan agrarian reform.

 

Lebih dari sekedar menjadi arena praktek dari pembicaraan tentang pembaruan agraria itu, pimpinan SPP yang berasal dari aktivis terpelajar, sedang berada pada posisi yang sangat baik untuk mempengaruhi dunia ornop Indonesia yang sedang bergelut mencari strategi yang tepat dalam memperjuangkan land reform.[56] Sementara banyak ornop Indonesia sedang getol belajar tentang advokasi kebijakan[57], SPP telah memberi contoh bagaimana terlibat dalam proses advokasi dan memetik buahnya. 

Dengan sangat cerdik, SPP telah memobilisir massa petani sekitar 10.000-an petani, dari wilayah kabupaten Garut, Tasikmalaya dan Ciamis, mendemonstrasi panitia ad hoc II Badan Pekerja MPR RI yang tengah menyelenggarakan Semiloka Nasional untuk merumuskan naskah Rancangan Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria pada tanggal 15 September 2001 lalu di suatu hotel terkenal di kota Bandung. Mereka dihadang oleh barisan polisi di Cicalengka, suatu kota kecil kira-kira 30 km dari kota Garut dan 30 km dari Bandung. Negosiasi berlangsung di dua lokasi: di jalan Cicalengka antara pimpinan SPP dengan Polisi; dan di Bandung antara beberapa aktivis ornop yang menjadi peserta dan narasumber Semiloka itu dengan pimpinan panitia ad hoc II Badan Pekerja MPR RI. Pada gilirannya, sampailah pada keputusan bahwa pimpinan panitia ad hoc II Badan Pekerja MPR RI datang ke rombongan petani itu di Cicalengka, dan bukan rombongan petani itu yang meneruskan perjalanannya ke Hotel tempat Semiloka Nasional diselenggarakan. Pada tempat itu, Rambe Kamaruzzaman, sebagai pimpinan Panitia ad hoc II, menyatakan janji akan mengundurkan diri apabila TAP MPR itu tidak jadi keluar. 

Keaktifan SPP mewarnai pembuatan TAP MPR ini tidak berhenti disini. Saat Sidang Tahunan ke-3 MPR RI berlangsung, pada tanggal 7 November 2001, kembali rombongan SPP memobilisasi massa sejumlah 1000-an orang, berdemontrasi di Gedung MPR RI di Jakarta dan kembali menyuarakan keharusan MPR memproduksi TAP MPR tentang Pembaruan Agraria ini.[58]  Walhasil, SPP telah mengukuhkan citranya di Garut, terutama di kalangan anggotanya bahwa SPP ikut mendorong keluarnya TAP MPR No. IX/2001.

Keluarnya TAP MPR No. IX/2001 ini, memiliki arti strategis bagi SPP. Land reform telah menjadi kewajiban hukum dari pemerintah Republik Indonesia. Di dalam pasal 5 dinyatakan “Arah Kebijakan Pembaruan Agraria”, untuk: 

a.         Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. 

b.         Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat. 

c.          Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform. 

d.         Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 Ketetapan ini. 

e.         Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi. 

f.          Mengupayakan dengan sungguh-sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

 

Di semua lokasi kasus, pimpinan lokal SPP senantiasa menggunakan argumen TAP MPR ini sebagai alasan pembenar atas pendudukan-pendudukan tanah yang dilakukan di lapangan. Selain alat ini berhasil dipakai pada tingkat lokal,  SPP pun ikut terus memonitor, menyuarakan dan memanfaatkannya sebagai alat tagih pada pemerintah, termasuk pemerintah daerah, agar menjalankan kewajibannya itu. 

            Kesempatan politik yang baru juga terbuka akibat ditetapkannya pola baru hubungan desentralisasi antara pemerintahan Pusat dengan Daerah, sebagaimana tertuang dalam TAP MPR RI No. XV/MPR/1998 tentang Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. TAP MPR inilah yang kemudian menjadi dasar pembentukan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Selain ketegangan-ketegangan umum antara rakyat pedesaan, Negara dan Modal yang terus berlanjut sebagai hasil kerja rejim Orde Baru, penerapan perundang-undangan itu menghasilan setidaknya tiga ketegangan pokok lain di daerah, yakni (i) Ketegangan antara DPRD dengan Pemerintah Kabupaten, yang baik yang berasal dari kedudukan DPRD jauh lebih kuat dibanding sebelumnya,baik dalam kegiatan legislasi, anggaran, pengawasan maupun pemilihan-pertanggungjawaban Bupati; (ii) Ketegangan antara Pemerintah Daerah dengan Pusat yang berhubungan dengan tarik-menarik kewenangan pemerintahan, pengaturan wilayah dan keuangan; dan (iii) Ketegangan antara “Desa” dengan Pemerintahan Daerah, terutama mengenai pemerintah desa sebagai lembaga otonom atau perpanjangan tangan pemerintah.[59]

Ketegangan-ketegangan tersebut lah yang memungkinkan dikuatkannya hubungan pimpinan SPP dengan sejumlah elite di DPRD Kabupaten Garut, pertama-tama melalui pelatihan bagi DPRD, yang bertemakan “mendemokratiskan desentralisasi” dimulai pada bulan Agustus 2000. Dua agenda utama yang diurus adalah penyelesaian konflik agraria yang timbul akibat dari kebijakan dan praktek pemerintah pusat yang pro-usaha skala besar dan anti terhadap kebutuhan petani akan lahan garapan, dan mendemokratiskan pemerintah desa yang berwatak otoritarian. Selanjutnya, dua agenda ini diurus oleh DPRD dengan membentuk dua macam Panitia Khusus DPRD yang berbeda, yakni Pansus Penyelesaian Sengketa Tanah dan Pansus Pembuatan Perda Desa. 

Pansus Pembuatan Perda Desa bekerja terlebih dahulu dengan menerima paket usulan Raperda Desa yang dajukan oleh pemerintah Kabupaten. Lalu, BP-KPA dan Yapemas berkerja sama dengan Pansus menyelenggarakan lokakarya untuk merevisi dan menyempurnakan usulan itu.  Dua pokok perubahan yang baru dan dimuat dalam Perda itu adalah (i) kedudukan Desa yang otonom dan tidak berada di bawah hirarki Pemerintah Daerah (termasuk Camat); dan (ii) pembentukan kelembagaan parlemen desa, diistilahkan dengan nama resmi Badan Perwakilan Desa (BPD), yang anggotanya dipilih secara langsung. Dua pokok perubahan ini sangat cocok dengan agenda Yapemas-SPP untuk mengubah watak pemerintah desanya agar menyumbang bagi perbaikan syarat-syarat sosial-ekologis setempat, dimana segera setelah ada penetapan pemberlakuan perda itu, sejumlah anggota SPP yang merupakan tokoh lokal, mendaftarkan diri sebagai kandidat anggota BPD (Badan Perwakilan Desa), untuk dipilih secara langsung oleh penduduk desa. 

Namun, keberhasilan anggota-anggota SPP menguasai BPD di desa-desa dengan konflik agraria (sekitar 30-an desa dari 300-an desa  seluruh Kabupaten Garut), tidak dengan sendirinya mampu mengubah watak masing-masing pemerintah desa, sehubungan dengan konservatisme dari pemerintah desa, dimana Kepala Desanya telah berkuasa dalam periode sebelum reformasi. Pada kenyataannya, ketegangan antara eksponen BPD dengan pemerintahan desa yang didukung oleh birokrasi administrasi Kecamatan justru membuat stagnasi yang berkepanjangan. Diperkirakan, ketegangan akan memuncak pada masa pertanggungjawaban dan pemilihan kepala desa yang baru, dan pemerintahan desa baru akan mampu secara efektif mengembangkan watak barunya menghadapi permasalahan sosial-ekologis, setelah terciptanya resolusi atas ketegangan tersebut. 

Sementara itu, Pansus Penyelesaian Sengketa Tanah menemukan kerangka kerjanya melalui Lokakarya tentang Penyelesaian Sengketa Tanah yang diselenggarakan pada bulan November tahun 2000. Kerangka kerja itu dimulai dengan identifikasi-investigasi kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di seluruh Kabupaten Garut dan dilanjutkan dengan analisis terhadap sebab-sebab sengketa tersebut dan faktor-faktor pengawet dari sengketa itu, serta diakhiri dengan suatu tindak lanjut untuk menghadapi penyebab dan faktor pengawet tersebut. Terdapat tiga golongan utama kasus, yakni (i) Sengketa antara penduduk desa dengan Perum Perhutani; (ii) Sengketa antara penduduk desa dengan perusahaan-perkebunan baik milik pemerintah maupun milik swasta; dan (iii) Sengketa antara penduduk desa dengan Kantor Badan Pertanahan Nasional, sehubungan dengan penyalahgunaan wewenang memanipulasi kepemilikan tanah. 

Kesadaran utama dari para anggota Pansus ini sangat kuat bahwa jika konflik-konflik itu tidak segera diselesaikan, maka hal ini akan berkembang ke bentuk-bentuk konflik yang semakin mencemaskan hingga dapat memerosotkan legitimasi pemerintahan daerah di mata penduduk korban-korban sengketa. Namun, di pihak lain, mereka merasa kurang berdaya dan mengkespresikan keterbatasan bahwa meskipun saat ini adalah jaman Otonomi Daerah, pada soal sengketa tanah ini, kewenangan penyelesaiannya ada di Pemerintah Pusat, baik pada Departemen Kehutanan maupun Badan Pertanahan Nasional. Memang, secara legal pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan atas perizinan dan perjanjian kerjasama yang telah diberikan oleh pemerintah pusat sampai berakhirnya perizinan dan perjanjian kerjasama tersebut.[60] Lebih-lebih dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden nomor 10 tahun 2001[61], yang dipersepsi mereka sebagai penarikan kembali kewenangan di bidang pertanahan yang telah diberikan sesuai dengan pasal 7 UU No 22/1999. 

            Jadi, kesuksesan aksi-aksi okupasi dan penggarapan tanah petani-petani yang bergabung dalam SPP dibatasi oleh cara bagaimana kebijakan pertanahan nasional dijalankan. Alih-alih merespon kebutuhan para petani penggarap, pimpinan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI periode 2001 - 2005 sibuk menggunakan TAP MPR No. IX/2001 untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya”[62] Hal ini tentu menangguk pro dan kontra yang tidak selesai, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, hingga akhirnya tercapai kesepakatan antara pimpinan baru BPN-RI 2005-2009 dengan Komisi II DPR-RI pada tahun 2007 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan perundang-undangan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA. Sedangkan, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN).[63]  

Meskipun pengumuman bahwa pemerintah hendak menjalankan PPAN itu dilakukan Kepala BPN bersama Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian setelah mereka bertemu dengan Presiden RI[64], dan sejumlah studi telah merekomendasikan keharusan agenda reforma agraria dan pengelolaan sumber daya alam di jurisdiksi kedua departemen ini[65], namun di dua departemen itu, agenda reforma agraria belum menjadi agenda utama. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, kita sangat sulit menemukan integrasi program Reforma Agraria di kedua departemen itu. Bahkan di bawah kepemimpinan Presiden RI 2004-2009, Susilo Bambang Yodoyono, kita menyaksikan kebijakan dan program badan-badan pemerintah yang tergolong dalam apa yang disebut Feder (1970) sebagai counterreform,[66] antara lain inisiatif-inisiatif dari Departemen Kehutanan, mulai dari pembolehan investasi pertambangan di kawasan konservasi hingga bentuk-bentuk baru perhutanan sosial, dan inisiatif Departemen Pertanian, mulai dari dijalankan UU No 18/2004 tentang Perkebunan, perluasan perkebunan sawit, dan lainnya untuk bahan bakar nabati hingga pelestarian lahan pertanian sawah abadi. Yang paling menohok adalah disahkannya Undang-undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dipandang dari usaha panjang SPP menjalankan land reform by leverage, tentunya kesemua itu akan memberi pengaruh secara berbeda-beda, suatu bahan penyelidikan yang sangat menarik di masa yang akan datang. 

Undangan untuk Perangkat Analitis Ekologi Politik

Wilayah dataran tinggi Priangan semenjak bercokolnya kekuasaan kolonial di awal delapan belas, senantiasa dijadikan wilayah yang diperebutkan. Evolusi sistem ekologi-pertanian mulai dari pembukaan hutan, kemudian perladangan, lalu sistem pertanian menetap, hingga terbentuknya Kebun Talun – sebagaimana diteorikan oleh Otto Soemarwoto (1984, 1985, 1987)[67] – hanya berlaku untuk wilayah-wilayah khusus dimana pemerintahan kolonial dan paska-kolonial tidak memasukkannya dalam sirkuit akumulasi modal dengan menabalkan nilai ekonomi kapitalistik atas tanah beserta kekayaan alam yang menyertainya.  Dalam ruang-ruang inilah, di sebagian kecil wilayah, kita masih akan menemukan suatu sistem wana-tani (agroforestry) khusus dataran tinggi Jawa barat Selatan, yang biasa disebut “Kebun Talun”yakni suatu kebun campuran di luar permukiman yang terdiri dari tanaman tahunan (Talun) yang menyatu dengan tanaman semusim (Kebun)dan “kebun pekarangan”, atau umumnya disebut sebagai “pekarangan” saja.


Namun, konstruksi itu tidak berlaku untuk kebanyakan wilayah Priangan dimana hutan dan tanah-tanah garapan petani dimasukkan ke dalam sirkuit produksi kapitalisme kolonial. Petani penggarap di dataran tinggi Priangan berada di dalam suatu lingkungan agraria yang, seperti juga dataran tinggi Indonesia lainnya, telah disusun, dikhayalkan, dikelola, dikendalikan, diekspolitasi dan “dibangun” melalui serangkaian wacana dan praktek”.[68] Lingkungan agraria Priangan ini telah memiliki sejarah yang panjang semenjak ektraksi hutan jati di pantai utara, dipaksakannya produksi kopi secara luas oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), penguasaan hutan oleh badan kehutanan Hindia Belanda Boschewezen dan  kemudian dimasukkan ke dalam penguasaan Perhutani, penjualan tanah luas ke tuan-tuan tanah partikelir, ekspansi perkebunan komoditi eksport secara besar-besaran, demarkasi hutan untuk kawasan konservasi hingga pemakaian wilayah untuk ekstraksi alam dan produksi berteknologi tinggi yang terbaru, seperti eksploitasi panas bumi (geothermal projects) untuk produksi tenaga listrik, yang dimiliki oleh Perusahaan Transnasional Cevron.

            Semenjak awal hingga sekarang, politik penguasaan negara atas tanah untuk setiap periode sejarah dataran tinggi Jawa Barat Selatan bukan terbentuk akibat dinamika proses-proses lokal, melainkan merupakan resultantenya dengan dinamika nasional dan global yang melingkupinya.  Proses-proses lokal yang terikat pada tempat, menerima pengaruh dari proses-proses nasional dan global yang terjadi. Sebaliknya, faktor- faktor berbasis tempat itu, seperti degradasi hutan, kondisi kemiskinan yang kronis atau gerakan aksi-aksi protes petani, hanya akan memberi pengaruh pada kebijakan nasional, manakala ia diamplifikasi oleh aktor nasional atau global. 

            Di Indonesia, politik penguasaan negara atas tanah merupakan pancaran dari bagaimana negara itu difungsikan oleh para elite dan rejim penguasanya. Pada konteks ini, negara dapat dipandang sebagai kekuasaan yang otoritatif untuk mendefinisikan cara-cara, proses-proses dan hubungan-hubungan dimana para pelaku dapat memperoleh, mengendalikan dan mendapatkan keuntungan dari aksesnya atas tanah. Menggunakan uraian dari Ribot dan Peluso (2003), Akses atas tanah merupakan suatu kemampuan untuk mendapatkan keuntungan dari tanah, dengan segala relasi sosial yang menyertainya.[69] Dengan kerangka ini, kita akan menemukan bahwa pihak yang mengendalikan akses akan mengembangkan konflik dan kerjasama dengan pihak lain berdasarkan pada keuntungan/kerugian yang didapatkannya.  Pada hubungan konflik/kerjasama inilah kita dapat melihat signifikansi dan pengaruh dari konteks ekonomi politik dan sosial budaya yang bersifat non-tempatan. 

Muara tulisan ini adalah suatu undangan penggunaan perangkat analitis ekologi-politik (political ecology) untuk memahami perubahan agraria di dataran tinggi Indonesia secara lebih baik, sebagaimana yang telah diilustrasikan pada tulisan ini. Ekologi politik sebagai suatu ilmu hybrid telah kukuh menjadi suatu bangunan pengetahuan (body of knowledge) yang dihasilkan, dirawat, disosialisasikan dan dikembangkan oleh concerned scholars untuk menjelaskan bagaimana perubahan agraria dan/atau lingkungan terjadi sebagai akibat dari dinamika sosial, ekonomi, politik, dan sebaliknya. Meskipun terdapat berbagai variasi didalamnya, perangkat analitis ekologi politik ini, sebagaimana dikemukakan oleh Michael Watts,[70] berpusat pada tiga fondasi. Pertama, bahwa kemiskinan, kerusakan alam, dan ketertindasan sesungguhnya adalah tampilan saling menguatkan satu sama lainnya. Ketiganya merupakan teman seiring sejalan. Kedua, gejala pengurasan, penghilangan hingga perusakan mutu alam yang mengancam umat manusia, terutama orang yang miskin dan tertindas, terjadi akibat pemujaan dan pemaksaan dari cara manusia berproduksi dengan segala kuasa dan proses sosial-politik yang dipancarkan dan/atau mempengaruhi oleh cara berproduksi itu. Ketiga, keterbatasan, bias, kepentingan maupun ideologi yang diidap oleh berbagai pihak, baik yang menjadi sutradara, produser, aktor utama, pemain figuran maupun penonton yang menjadi korban atau penikmat, mau tidak mau menyadarkan kita bahwa terdapat ragam persepsi, definisi, analisis, kesimpulan hingga rekomendasi mengenai data seputar perubahan agraria/lingkungan itu. Untuk menerapkan ketiga fondasi dari perangkat analitik ekologi politik ini, seperti yang penulis telah lakukan di depan, sangat dianjurkan untuk memahami “bagaimana segala sesuatu itu berkembang bergantung sebagian pada dimana hal itu berkembang, di atas apa-apa yang telah secara historis mengendap di sana, dan di atas struktur sosial dan ruang yang telah ada di tempat itu.”[71]

Di lingkungan agraria dataran tinggi Jawa Barat ini, kita akan menemukan beragam jenis sumber daya beserta tipe organisasi pengelolanya yang berbeda-beda, baik untuk produksi maupun konservasi. Masing-masing memiliki sejarah awal mulanya masing-masing, dan dalam perjalanannya berjanin satu sama lain. Sebagian dari padanya sudah berakhir, seperti perkebunan kopi dan kina, dan hanya meninggalkan artefak-artefak baik dalam bentang alam, maupun dalam kebudayaan rakyat.  Perubahan lingkungan agraria dari dataran tinggi Jawa Barat ini sepanjang tiga abad ini sangat dinamik. Dibandingkan dengan dataran rendah di pantai utara Jawa Barat[72], lingkungan agraria dataran tinggi Jawa Barat kurang mendapatkan perhatian, terlebih-lebih dengan memperhatikan variable gerakan petani, baik dalam bentuk protes sesaat maupun gerakan massa yang cukup panjang umurnya.[73]  Usaha mengungkap sejarah perjalanan lingkungan agraria dataran tinggi Jawa Barat ini akan bertemu dengan tema klasik dari studi petani, yakni masalah agraria (agrarian question). Penyelidikan ini akan dikhususkan untuk mengetahui dinamika khusus transisi menuju kapitalisme (baik masa kolonial maupun paska kolonial) dan bagaimana dinamika ini dipengaruhi oleh politik penguasaan negara atas tanah dan hutan. 

Untuk memahami secara kritis masalah agraria kontemporer, kita tidak bisa menghindar dari apa yang disebut sebagai “akumulasi primitif (primitive accumulation)”, sebagaimana pada mulanya dikonsepsikan oleh Karl Marx  (1867) atas dasar ide Adam Smith (1776) mengenai previous accumulation sebagai syarat berkembanganya suatu perusahaan modern dalam karya kalsiknya An Inquiri into the Nature and Cause of The Wealth of Nations. Pada dasarnya “akumulasi primitif” dipahami sebagai pemisahan paksa dan brutal hubungan penguasaan tanah dan segala kekayaan alam yang tadinya menjadi ruang hidup dan digarap para petani, dan kemudian memasukan tanah dan kekayaan alam tersebut ke dalam suatu proses dan tata produksi kapitalis; Di lain pihak, para petani yang hidup dan bekerja dalam tata produksi pra-kapitalis itu, disingkirkan secara brutal dan kemudian ditransformasikan menjadi buruh upahan. Konsep alam sebagai karunia yang harus dipelihara untuk keberlangsungan hidup komunitas petani dilindas oleh pandangan baru yang menempatkan alam sebagai sumber daya (natural resources) yang harus dieksploitasi dan ditransformasi menjadi modal yang dapat diakumulasikan dan direproduksi secara meluas. 

Proses “akumulasi primitif” ini sangat berhubungan dengan bagaimana pemerintahan kolonial dan paska kolonial bekerja melayani dan menghadapi dinamika kekuatan modal yang memporak-porandakan hubungan-hubungan sosial di wilayah pertanian pra-kapitalis, [74] sebagaimana dianjurkan pada mulanya dikonsepsikan oleh Kautsky (1898/1988) dalam karya klasiknya Agrarian Questions.[75]   Dengan perangkat analitis “akumulasi primitif” yang diperbaharui dan disesuaikan dengan konteks kekinikan, penulis mengundang pembaca untuk menengok pada kekuatan perangkat analitik itu untuk  memahami cara bagaimana kapitalisme bertahan hidup, berkembang meluas dan memasukkan tanah dan sumber daya alam, orang-orang dan wilayah ke dalam sistem akumulasi modal dan reproduksinya.[76] Di akhir tulisan ini, penulis mengingat anjuran dari Nancy Peluso dan Michael Watts (2001), bahwa “… suatu pemahaman berbagai cara yang khas dimana sejarah, ingatan dan praktek dari rakyat, negara-negara, dan kekuatan-kekuatan kapitalisme yang sering bergelut bersama secara brutal, dapat memberi optimisme baik pada pikiran maupun kehendak kita …”[77]


Tabel 1: Daftar Rekapitulasi Data kasus Tanah di Wilayah Kasus SPP Kabupaten Garut – Jawa Barat, 2002.

 

No.

Nama Blok

Desa/Kec

Luas

Jumlah

Tahun

Lawan

 

 

 

(ha)

KK

Mulai Konflik

 

1

Sagara, Ciniti, Tarisi

 Sagara/ Cibalong

1100

776

1989

Perhutani

2

Balegod, Kurumuy

 Karyamuikti/ Cibalong

580

452

1999

Perhutani

3

Cijeruk, Cibajing

 Sancang/ Cibalong

100

131

1999

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)

4

Pasir Leube

 Mekarjaya/ Sukaresmi

32

12

1999

BKSDA

5

Legok Salim, Belengur, Goyobod,  

 Mekarjaya/ Sukaresmi

150

230

1999

Perhutani

6

Legok Jeuro, Wahi, Gn. Aul, Daruki, Jogjogan

 Sarimukti/ Pasirwangi

200

220

1999

Perhutani

7

Lutung, barokaso

 Pangauban/ Cisurupan

150

210

1997

Perhutani

8

Lutung

Cipaganti/ Cisurupan

100

115

1997

Perhutani

9

Stamplat

 Karamat Wangi/ Cisurupan

200

540

1997

Perhutani

10

Sukamulya

 Sukamulya/ Pakenjeng

300

500

1997

Perhutani

11

Ciledug, Kiaralawang, Cileutik, Ciajag, Congeang, Balong, Baro

Sukamukti/

Cilawu

23,5

209

1999

PTPN VII Dayeuh Manggung 

12

Batu Sirep,Ciledug, Congeang

Mekarmukti/

Cilawu

13

101

1999

PTPN VII Dayeuh Manggung 

13

Legok Haji, Nabak, Cibitung

Dangiang/ Cilawu

28,410

118

1999

PTPN VII Dayeuh Manggung 

14

Cipicung, Cidahu, Burujul

Neglasari/ Cisompet

78

211

1999

PTPN VII Bunisari Lendra

15

Benjang, Cikeuyeup, Kubang

Neglasari/ Cisompet

27

50

1999

PTPN VII Bunisari Lendra

16

Cineungah

Jatisari/ Cisompet

12

30

2002

PTPN VII Bunisari Lendra

17

Batu Beureum, Batu Bero, Leuwi Panjang, Dayueh Manggung

Karyasari/

Cibalong

75

138

1999

PTPN VII Bunisari Lendra

18

Sancang

Sagara/ Cibalong

125

131

1999

PTPN VII Miramare

19

Koreak, Cigorowek, Batu Beulang

Tegallega/ Bungbulang

100

100

1999

Perusahaan Besar Swasta (PBS) Condong

20

Cikoromong, Pamoyanan, Cigorowek.

Karangwangi/ Mekarmukti

100

200

1999

PBS Condong

21

Gn. Masigi, Gn. Kembar

Sinarjaya/ Bungbulang

150

150

1999

PBS Condong

22

Kiara Pugur, Leuweung Buntu, Kiara Jangot, Lawang

Jangkurang/ Leles

200

300

1994

Kepala Desa,

 

 

Rancasalak/Kadungora

 

 

 

Pejabat Kantor Pertanahan

 

 

Mandalasari/Kadungora

 

 

 

Kabupaten Garut

 

 

 

Hegarsari/ Kadungora 

 

 

 

 

 

 

 

3792

4924

 

 

 

Sumber: Pendataan oleh Yayasan Pengembangan Masyarakat tahun 2002, yang diolah lagi oleh Penulis. 


Tabel 2.

Luas Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan Besar Negara dan Swasta di Kabupaten Garut 1997/1998

No

Kebun

Nama Perusahaan / Jenis Produksi

Luas HGU

Jumlah

I.

Perkebunan Besar Swasta

1

Condong

PT Condong Garut  / Kelapa Sawit dan Karet

8.021,4000

 

2

Pamegatan

PT. Mandala Giri Utama / Teh

1.690,5900

 

3

Selekta

PT. Harjasari / Teh

107,0572

 

4

Gunung Badega 

PT. Chakra / Teh

422,3000

 

5

Megawati

PT. Surya Andaka Mustika / Teh 

413,4500

 

6

Neglasari/ Gn Gajah

PT. Tatar Anyar Indonesia / Teh dan Karet

1.340,2969

 

7

Baru Ulis 

PT Bumi Prada / Teh 

34,2210

 

Jumlah

12.029,3151

II

Perkebunan Milik  Negara 

1

Bunisari Lendra

PTPN VIII / Karet

4.082,8750

 

2

Dayeuh Manggung 

PTPN VIII / Karet dan Teh 

1.205,4025

 

3

Papandayan

PTPN VIII / Teh 

1.991,4768

 

4

Mira Mare 

PTPN VIII / Teh

4.267,4000

 

5

Cisaruni

PTPN VIII / Teh 

1.723,5360

 

Jumlah

13.270,6903

 

Total

25.300,0054

 

Sumber: Dinas Perkebunan Pemda I Jawa Barat tahun 1998, Rangkuman Data-Data Klasifikasi Perkebunan Besar Tahun 1997/1998.

 



Terima kasih untuk Nancy Peluso dan Gillian Hart yang telah memberi masukan berharga atas isi maupun layanan penyajian naskah ini pada acara tersebut. Terima kasih khusus untuk Chip Fay yang memungkinkan perolehan sebagian biaya penelitian untuk pembuatan naskah ini dari the International Centre for Research in Agroforestry, ICRAF pada tahun 2003.

*) Noer Fauzi Rachman adalah Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-1998 dan 1999-2002. Saat ini adalah PhD Candidate pada University California at Berkeley, Department of ESPM (Environmental Science, Policy and Management).

[1] Solon L Barraclough, “Land Reform in Developing Countries: The Role of the State and Other Actors”, makalah untuk Konferensi Agraria yang diselenggarakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Pusat Penelitian dan Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) Universitas Gajah Mada, Desember 3-5, 1998, Yogyakarta., halaman 33. Versi Makalah ini juga kemudian dimuat dengan judul yang sama dalam buku Land Reform and Peasant Livelihoods: The Social Dynamics of Rural Poverty and Agrarian Reform. Krishna Ghimire (ed). London: ITDG; Geneva: UNRISD.

[2] Operasi Wanalaga Lodaya ini merupakan bagian dari operasi besar pengamanan hutan yang dijalankan oleh Departemen Kehutanan, yang dinamakan Operasi Wanalaga. Istilah Wanalaga berasal dari bahasa Sangsekerta, Wana” artinya Hutan, dan “Laga” artinya Bertempur.  Istilah “Lodaya” berasal dari bahasa Sunda yang menunjuk pada “maung lodaya” = “macan loreng”, harimau  yang dahulu hidup di hutan-hutan Jawa Barat (namun sekarang sudah punah).  Lihat, Maman Sumantri dkk, Kamus Sunda Indonesia,  Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

[3] Keterangan Kapolda Jawa Barat Insp. Gen., Dadang Garnida. Lihat “Rights group probes Garut arests”, Jakarta Post, September 1, 2003,  http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20030901.D02

[4] “Aksi Pencurian Kayu Semakin Merajalela”, Pikiran Rakyat 29 Agustus 2003, http://www.pikiran-rakyat.com/kota2.php?id=8410.

[5] Serikat Petani Pasundan, Kronologis Penangkapan yang dilakukan oleh Aparat Gabungan (Polda Jabar, Brimob, Polres Garus, Polisi Hutan, BKSDA, dll) dalam Operasi Penertiban Kawasan Hutan di Kabupaten Garut. Laporan internal, September, 2003.  

[6] Pernyataan dari Komisaris Polisi Rudai Marfianto, Wakil Kepala Polisi Resot Garut, dalam “Pemuda, Mahasiswa, SPP Protes Operasi Wanalaga”, Pikiran Rakyat 20 Agustus 2003, http://www.pikiran-rakyat.com/daerah2.php?id=8187  

[7] Dengan mengambil fokus di desa Sarimukti, cerita tentang pertentangan klaim atas tanah telah dikemas dalam film dokumenterYufik Ansari, Mimpi-mimpi Bertarung di Sarimukti, 48 menit. Bandung, KoPi 2001. Untuk seluk-beluk tentang pelaksanaan, keberhasilan-kegagalan, dan korban-korban dari Operasi Wanalaga-Lodaya ini lihatlah film Yufik Ansari Duka Ibunda, Kesaksian atas Operasi Wanalaga Lodaya 2003, 28 Menit. Bandung, KoPi 2004. Laporan resmi versi diterbitkan dalam Tim Teknis Penanggulangan Perambahan Hutan di Kabupaten garut, Penegakan Hukum dalam Kerangka Penanggulangan Perambahan Hutan di Kabupaten Garut, Bandung: Alqaprint Jatinangor. 

[8] Komite Pemuda dan Mahasiswa untuk Petani (KPMP), Pernyataan Sikap atas Operasi Wanalaga Lodaya (Polda Jabar, Perhutani, Polres Garut). Pada kesempatan itu disajikan juga kesaksian beberapa korban.  Seorang ibu lebih setengah baya, menyampaikan pertanyaan dan kesaksiannya secara terbata-bata: "Abdi bade tumaros ka aparat di dieu, ka DPRD. Bumi abdi diduruk, tangkal cau dibabad, barang-barang dialungkeun kaluar, pun lanceuk ditahan di Polres. Naha tos kedahna aparat berbuat kitu ka masyarakat? Naha bapa-bapa senang ningal kaayaan masyarakat nu sapertos kitu?” (Saya hendak bertanya pada pemerintah yang ada di sini, kepada DPRD. Rumah saya dibakar. Pohon pisang dibabat. Barang-barang dileparkan keluar. Suami saya ditahan di kantor Polres. Apakah memang seharusnya, pemerintah berbuat demikian pada masyarakat. Kenapa bapak-bapak senang melihat keadaan masyarakat seperti demikian itu?”). Demikian pula kesaksian ibu yang lain, "Saya minta kepada Bapak-bapak, tolong bebaskan suami-suami kami karena mereka tulang punggung keluarga kami. Kami tidak memiliki tanah, tetapi tidak pernah menebang dan mencuri kayu. Kami hanya memanfaatkan lahan yang kosong. Apakah salah bagi kami menggarap lahan yang tidak dipergunakan? Kami hanya menanam palawija Pak, kami bertani hanya untuk makan sehari-hari, bukan untuk mengumpulkan kekayaan," ujarnya. Lihat liputan Pikiran Rakyat, 20 Agustus 2003, http://www.pikiran-rakyat.com/daerah2.php?id=8187  Downloaded on oct 4, 2003 

[9] Koalisi sementara ini terdiri dari Pokja Ornop PA-PSDA (Jakarta); Labsosio UI (Jakarta); Yappika (Jakarta); Eknas WALHI (Jakarta); KPA/AGRA (Bandung); Skepo (Bandung); IPGI  (Bandung); Sawarung (Bandung); Panja SPREAD (Bandung); TPRHR (Bandung); Farmaci (Ciamis);  FSBKU (Tangerang); Komite AGRA (Yogyakarta); KARSA (Yogyakarta); Insist (Yogyakarta); Walhi (Yogyakarta); USC Satunama (Yogyakarta); Lappera (Yogyakarta); Perekat Obmara (NTB); Forum Sumberdaya Rakyat (NTB); SPI (Deliserdang); Pusaka Indonesia (Medan); BITRA Indonesia (Medan); AMA Kalbar (Pontianak).  Lihat, “Hentikan Penangkapan dan Kekerasan terhadap Petani dan Segera Bentuk Badan Penyelesaian Sengketa Tanah,” Siaran Pers SAKTI (Solidaritas Anti Kekerasan Terhadap Petani), Jakarta 21 Agustus 2003.

[10] Komnas HAM, “Laporan Kegiatan: Kegiatan Sub-Komisi Pemantauan bulan Agustus 2003”, http://www.komnasham.go.id/subkomisi/sk_pemantauan_LK_ag_03.htm, downloaded on  9/22/2003.

[11] Ibid. Lihat juga “Petani Garut Laporkan Kekerasan Polisi ke Komnas HAM”, Tempo Interaktif, http://www.tempo.co.id/news/2003%5C8%5C21/1,1,14,id.html, downloaded on 9/22/2003.

[12] “Polda Jabar Lanjutkan Operasi Wanalaga”, Suara Pembaruan 29 September 2001, dan  “Rights group probes Garut arests”,Jakarta Post, September 1, 2003.  

[13] Kemunculan gerakan itu tentu sangat menarik untuk dibandingkan dengan gejala serupa di masa Orde Lama (1949 – 1965), seperti yang telah dilakukan dengan sangat baik oleh Edward Aspinall dalam "Indonesia: Civil Society and Democratic Breakthrough”, dalam Civil Society and Political Change in Asia. Expanding and Contracting Democratic Space", Muthiah Alagappa (ed.).  Stanford: Stanford University Press, 2004, halaman 61-96.

[14] Memang, dalam semua lukisan naratif intelektual tentang gerakan petani dimanapun juga selalu dianut suatu ketetapan bahwa ”sebelum melongok pada petani, adalah perlu untuk memperhatikan keseluruhan masyarakat” – sebagaimana ditulis oleh Barington Moore (1966:457) dalam karya klasiknya yang terkenal, Social Origin of Dictatorship and Democracy. Moore membedah bagaimana ”proses moderenisasi itu sendiri”, derajat dan bentuk yang khas dari komersialisasi dapat mempertinggi atau membuka kemungkinan terjadinya pemberontakan petani melawan kelas-kelas di atasnya. Sementara itu, Jaime Paige (1975), James Scott (1976) dan Samuel Popkin (1979) mencarinya pada konteks makro struktural yang mendorong pembentukan gerakan petani. Dengan caranya sendiri-sendiri, mereka menekankan ekspansi kapitalisme barat yang imperialistik (imperialistic-western capitalism) dan merosotnya hubungan patron-client sebagai promotor pokok gerakan petani. Lihat: James Scott, The Moral Economy of the Peasant. New Haven: Yale University Press, 1976; Samuel Popkin, The Rational Peasant. Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1979; and Jeffry Paige, Agrarian Revolution, The Free Press, 1978. Kajian perbandingan yang lebih luas atas ketiga teori ini lihat Michael Woods “Deconstructing Rural Protest: The Emergence of a New Social Movement”, Journal of Rural Studies 19, tahun 2003, hal. 309–325. Dengan menggunakan rujukan pada karya Michael Woods ini, penulis mengevaluasi cara memahami gerakan-gerakan rakyat pedesaan di Dunia Ketiga. Lihat Noer Fauzi Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta: Insist Press, 2005. 

[15] Untuk perkenalan lebih lanjut bagi pembaca berbahasa Inggeris, lihat: Anton Lucas and Carol Waren, “Agrarian Reform in Era of Reformasi”, in Indonesia in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis, Chris Manning and Peter van Diermen (eds). London: Zed Book, 2000; Dianto Bachriadi, “Land for Landless, Why the democrats in Jakarta not interested in land reform?”, Inside Indonesia, No. 64/ Oct-Dec 2000;  Anton Lucas and Carol Waren, “The State, The People and Their Mediators, The Struggle over Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”, Indonesia, no 76, October 2003.

[16] Pidato Presiden di depan peserta “Konferensi Nasional Kekayaan alam”, pada hari Selasa, 23 Mei 2000, pukul 10.00 WIB, di Hotel Indonesia (lihat berita di Kompas, Republika, SCTV, dan RCTI tanggal 24 Mei 2003. 

[17] Sebagaimana dikutip oleh Imam Kuswahyono, “Mencari Format Hukum dalam Menuju Reforma Agraria dalam Kerangka Otonomi Daerah”, 2002. http://www.otoda.or.id/Artikel/Imam%20Koeswahyono.htm downloaded on 10/4/2003.

[18] Jumlah anggota SPP di tahun 2003 tentu lebih banyak dari angka ini. Karena hanya sebagian anggotalah yang telah menguasai tanah tanah garapan hasil okupasi. 

[19] Garis bawah oleh penulis. Risalah rapat ini yang diadakan di Ruang Pasundan Hotel Panghegar Bandung, 28 Maret 2001 ini,ditandatangani oleh Letjen (Purn) DR. (Hc) H. Mashudi dan H. Aboeng Koesman sebagai Sesepuh dan Pengurus WI Asgar; Drs. H. Dede Satibi sebagai Bupati Kabupaten Garut; Drs. H. Iyos Somantri, sebagai Ketua DPRD Kabupaten Garut; Drs. H. Dede Suganda Adiwinata, sebagai Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perkebunan Jawa Barat (GPP Jabar); dan Ir. H. Sugiat, sebagai Direktur Utama PTPN VIII.

[20] Argumen ini kemudian ditulis dalam “Epilog”  dari buku Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999. 

[21] Gunawan Wiradi, “Pembaruan Agraria: Sebuah Tanggapan”, dimuat dalam Dianto Bachriadi et all (Eds), Op Cit. Pandangannya ini merujuk pada karya John P. Powelson and Richard Stock, The Peasant Betrayed: Agriculture and Land Reform in the Third World, Washington, D.C. : Cato Institute, 1990; dan Yujiro Hayami, et all,  Toward an Alternative Land Reform Paradigm : a Philippine Perspective, Manila : Ateneo de Manila University Press, 1990.

[22] Para perintis ini pada bulan Juli tahun 1998, membentuk suatu Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Saat ini, 5 (lima) tahun setelah pembentukannya, organisasi ini telah memiliki anggota serikat-serikat petani wilayah yang tersebar, yakni Perhimpunan Masyarakat Tani Aceh (PERMATA), Serikat Petani Sumatera Utara (SPSU), Serikat Petani Sumatera Barat (SPSB), Serikat Petani Sumatera Selatan (SPSS), Persatuan Tani Jambi (PERTAJAM), Serikat Petani Lampung (SPL), Serikat Petani Banten (SP Banten),  Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Petani Jawa Barat (SPJB), Serikat Petani Jawa Tengah (SPJT), Serikat Petani Jawa Timur (SP JATIM), Federasi Serikat Petani Jawa Timur (FSPJT), Serikat Tani Nusa Tenggara Barat (SERTA NTB), dan Serikat Petani Kab. Sikka NTT (SPSK NTT). Lebih dari sekedar menyuarakan tentang keharusan pembaruan agraria yang sejati (genuine agrarian reform), FSPI yang juga telah menjadi anggota aktif dari via Campesina, sebuah koalisi internasional yang menjalankan Global Campaign for Agrarian Reform, juga mengkampanyekan perlawanan terhadap neo-liberalisme yang menjadi ancaman global dari kaum petani Dunia Ketiga. See http://www.viacampesina.org/  downloaded on  10/4/2003

[23] Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) – suatu jaringan nasional untuk advokasi pembaruan agraria – yang sejak tahun 1999 telah memulai dan kemudian bersama berbagai eksponen serikat petani dan ornop lain sampai tahun 2001 mengusahakan agar Majelis Permusyawaran Rakyat membuat ketetapan khusus mengenai pembaruan agraria. See http://www.kpa.or.id/  downloaded on 10/4/2003.

[24] Lihat http://www.tanahdankekayaanalam.or.id/  downloaded on  10/4/2003.

[25] Perdebatan ini mencuat ke media massa terbesar di Indonesia, Kompas. Lihat Idham Samudera Bey, "Lonceng Kematian UUPA 1960 Berdentang Kembali - Menyoal TAP MPR No IX/MPR/2001,"  Kompas, January 10, 2002. Lihat juga, tanggapannya Dianto Bachriadi, "Lonceng Kematian atau Tembakan Tanda Start? Kontroversi seputar Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 - Komentar untuk Idham Samudra Bey", Kompas, January 11, 2002.  Lalu, juga jawabannya Idhan Samudra Bey, “UUPA 1960 Lebih Baik Dibandingkan RUU Pengelolaan Sumber daya Alam” Kompas, May 10, 2003.

[26] Untuk perkenalan lebih lanjut lihat: Anton Lucas and Carol Waren, “Agrarian Reform in Era of Reformasi”, in Indonesia in Transition, Social Aspects of Reformasi and Crisis, edited by Chris Manning and Peter van Diermen. London: Zed Book, 2000; Anton Lucas and Carol Waren, “The State, The People and Their Mediators, The Struggle over Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”, Indonesia, no 76, October 2003.

[27] Demetrios Cristodolou, The Unpromised Land, Agrarian Reform and Conflict Worldwide, London, Zed Book, 1990. halaman112.

[28] “Garut Dalam Angka 2000”, BPS Kab. Garut yang bersumber dari BPN Garut ; Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Garut No 26 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Daerah (PROPERDA) Kabupaten Garut Tahun 2001 – 2005; dan www.garut.go.id, downloaded on 9/21/2003

[29] Joan Hardjono 1990, The Dilemma of Commercial Vegetable Production in West Java, Working Paper Series. Bandung: Akatiga. http://www.akatiga.or.id/info%20&%20publick/list%20publikasi/working%20paper/b_02.htm  downloaded on 9/21/2003

[30] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPEDA) Kabupaten Garut, 2002, Proyeksi Indeks Mutu Hidup Kabupaten Garut tahun 2001-2002 dan Program Pembangunan Kabupaten Garut tahun 2002.

[31] Wawancara pada bulan Juli 2003 dengan anggota Badan Perwakilan Desa, Desa Sarimukti.

[32] Yayasan Restitusi Hak atas Rakyat, Gambaran Umum Lokasi Konflik Kehutanan di Kabupaten Garut – Jawa Barat, 2002, naskah tidak diterbitkan, halaman 5-6.

[33] Lihat “Bab III Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam”, Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan dan Perkebunan, 2000, halaman 153 - 203.

[34] Wawancara pada bulan Juli dengan Ardi Adono, Kepala Unit Gunung Papandayan - BKSDA - Jawa Barat II.

[35] Keterangan resmi dari Ikin Zaenal Mutaqin, Kepala Balai KSDA Jabar III. Lihat: Mutaqin, Ikin Zaenal, “Penanganan Perambah pada Kawasan Konservasi di Kabupaten Garut”, makalah yang disampaikan pada Semiloka Penanganan Masyarakat eks Perambah di Kabupaten Garut, Juli 2003. Departemen Kehutanan – Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam – BKSDA Jawa Barat II.

[36] Ketika ia mau menggunakan tanah ini, PT Amoseas Indonesia harus menyediakan tanah seluas tanah yang mau dipakai. Wawancara pada bulan Juli 2003, dengan Ujang Amas, Kepala Kantor Pertanahan Garut, Badan Pertanahan Nasional. 

[37] Lihat Websitenya Amoseas Indonesia Inc.: http://www.amoseas-indonesia.com; dan  http://www.api.or.id/amoseas.htm.  

[38] Sidney Tarrow, merumuskan struktur kesempatan politik sebagai “consistent, but not necessarily formal, permanent, or national - dimensions of the political environment which either encourage or discourage people from using collective action” (Sidney Tarrow Power in Movement, Cambridge, Cambridge University Press.  1994, hal. 18). Dalam usaha memperjelas konsep itu, McAdam mendaftar empat ciri utama dari padanya yakni keterbukaan relatif dari sistem politik yang melembaga, kestabilan relatif dari ikatan-ikatan para elit yang menyokong suatu kebijakan tertentu, ketersediaan persekutuan-persekutuan baru yang berpengaruh, dan kapasitas negara untuk meredam mobilisasi kekuatan-kekuatan sosial di masyarakat (lihat Mc Adam “Conceptual Origins, Current Problems, Future Directions” dalam Comparative Perspective on Social MovementPolitical opportunity Structure, Mobilizing Structures, and Cultural Framings. David McAdam, J.D. McCarty, and M.N. Zald (Eds). Cambridge: Cambridge University Press,1996. Struktur kesempatan politik ini dapat dipandang sebagai yang bertanggungjawab untuk peningkatan atau penurunan resiko atau keuntungan dari berbagai upaya mobilisasi kekuatan sosial di masyarakat, yang bekerja melalui persepsi para pemimpin kekuatan itu mengenai derajat ancaman dan keuntungan yang berhubungan dengan putusan kebijakan publik, kesempatan berhasilnya mobilisasi, dan bagaimana otoritas negara memfasilitasi atau meredam mobilisasi tersebut (lihat Charles Tilly, From Mobilization to Revolution. New York: Random House, 1978).

[39] Hanspeter Kriesi,“The Political Opportunity Structure of New Social Movement: Its Impact on Their Mobilization”, The Politics of Social Protest, Comparatice Perspectives on States and Social Movements, J. Craigh Jenkins and Bert Klandermans (Eds), London: University College London, 1995, halaman170.

[40] R.D. Benford dan D. A. Snow, "Framing Processes and Social Movements." Annu. Rev. Sociol. Vol. 26, tahun 2000, halaman 611-639. 

[41] Dalam rangka menguatkan kemampuan para pimpinan lokal ini, Yapemas sdang menjalankan suatu program yang diberinama KARSA (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria), yang pada pokoknya adalah menguatkan kompetensi pimpinan formal Desa dalam rangka menjalankan pembaruan agraria. Lihat, Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, “Democratizing Decentralization: Local Initiatives from Indonesia”,  makalah yang disajikan pada the International Association for the Study of Common Property 9th Biennial Conference, Victoria Falls, Zimbabwe, 2002.

[42] Sangat menarik untuk disebutkan disini bahwa bagian Menimbang butir e. UU No. 22 tahun 1999 menyebutkan  “bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan di Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-undang Dasar 1945 (garis bawah, pen.) dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti.”  Melalui pemberlakukan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, “Desa” hendak dikembalikan ‘statusnya’ dari bagian dari pemerintahan yang terendah sebagai diatur dalam Undang-undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, kembali menjadi suatu institusi otonom yang memiliki apa yang diistilahkan dengan “hak asal-usul”.   Ditetapkan prinsip “otonomi asli” ini, pada tingkat praktis terwujud dalam bentuk adanya Badan Perwakilan Desa yang anggotanya dipilih langsung oleh penduduk. 

[43] Istilah “Negara dalam Desa” sangat tepat melukiskan hal ini, lihat Bab 4.   “State in the Village” dari Hans Antlov, Exemplary Center, Administrative Periphery. Rural Leadership and the New Order in Java. Surrey, Curzon Press, 1995. page 46 – 73. 

[44] Tak dapat dihitung berapa banyak kata “pemerintah” dipergunakan oleh penduduk Indonesia setiap harinya. Namun, jarang sekali pengguna kata “pemerintah” itu menyadari asal dari kata itu. Padahal, arti kata “pemerintah” itu sungguh mempengaruhi hajat hidup penggunanya. Kata “pemerintah” adalah merupakan kata bentukan, yang berasal dari kata “perintah” yang diberi sisipan “em” di antara huruf “p” dan “e”. Kata “pemerintah” ini, berarti pembuat perintah.

[45] Lihat Gillian Hart, Power, Labor, and Livelihood : Processes of Change in Rural Java, Berkeley: University of California Press,1986; Gillian Hart et al, (Ed), Agrarian Transformation: Local Processes and the State in Southeast Asia, Berkeley: University of California Press, 1989; Jonathan Pincus, Class, Power, and Agrarian Change: Land and Labour in Rural West Java, Houndmills, Basingstoke, Hampshire : Macmillan Press ; New York : St. Martins Press, 1986

[46] Lihat Hans Antlov, Op Cit.

[47] Mengenai pembantaian massal ini, lihat Rober Cribb, The Indonesian Killings of 1965-1966: Studies from Java and Bali, Centre of Southest Asian Studies, Monash University, 1990.

[48] Graeme Hugo, Population Mobility in West Java. Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1978. Untuk uraian historic tentang peran ekonomi non-pertanian di Jawa, lihat   Benjamin White, et al In the Shadow of Agriculture: Economic Diversification and Agrarian Change in Java, 1900-1990, The Hague, Netherlands : Institute of Social Studies, 1991.

[49] James C. Scott,  Weapons of the Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance, New Haven : Yale University Press, 1985; Juga, khusus untuk resistensi pada Perhutani lihat Nancy Lee Peluso, Rich Forests, Poor People : Resource Control and Resistance in Java, Berkeley : University of California Press, 1992.

[50] Lihat, Ibang Lukmanudin, “Mari Bung Rebut Kembali, Rakyat Sagara Menuntut Hak atas Tanah”, dalam Mengubah Ketakutan menjadi Kekuatan, Kumpulan Kasus-kasus Advokasi, Yogyakarta: Insist Press, 2001.

[51] Lihat Dianto Bachriadi, “Warisan Kolonial yang Tidak Diselesaikan: Konflik dan Pendudukan tanah di Tapos dan Badega, Jawa Barat”, dalam Berebut Tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung, Anu Lounella dan R. Yando Zakaria (Eds.), Yogyakata: Insist Press bersama KARSA, 2002.

[52] Lihat Gustomo Bayu Aji, Tanah untuk Penggarap, Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin, 2005. 

[53] Lihat: http://www.kpa.or.id. Konsorsium Pembaruan Agraria dalam Musyawarah Nasional Pertamanya di bulan Desember tahun 1995 telah menetapkan tujuannya, yakni“menciptakan sistem agraria yang adil dan menjamin pemerataan pengalokasian sumber-sumber agraria bagi seluruh rakyat Indonesia, dalam hal menjamin kebebasan berserikat, jaminan kepemilikan, penguasaan dan pemakaian sumber-sumber agraria bagi petani, nelayan, dan masyarakat adat serta jaminan kesejahteraan bagi rakyat kecil” (Anggaran Dasar Konsorsium Pembaruan Agraria, 1995, pasal 2). Lalu, ditetapkan bahwa peran dari KPA adalah “memperjuangkan Pembaruan Agraria”, dan KPA “berfungsi sebagai penguat, pemberdaya, dan pendukung perjuangan petani, nelayan, masyarakat adat, serta rakyat pada umumnya”. Secara khusus KPA berfungsi sebagai “kelompok penekan terhadap kebijakan dan sistem agraria yang tidak adil” (Anggaran Dasar, Pasal 4).

[54] Dianto Bachriadi, et al (Eds), Op Cit. 

[55] Bonnie Setiawan, “Pembaruan Agraria, Suatu Tinjauan Konseptual”, dalam Dianto Bachriadi et al (Eds), Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI dan KPA, 1997.

[56] Sekretaris Jenderal SPP pada tahun 2002 yang lalu dipilih menjadi Ketua Majelis Kedaulatan Anggota dari Konsorsium Pembaruan Agraria. Konsorsium ini ditetapkan berdirinya pada bulan Desember tahun 1995, oleh enam puluh lima organisasi non-pemerintah dan sejumlah individu. Lihat: http://www.kpa.or.id

[57] lihat: Roem Topatimasang, dkk, Merubah Kebijakan PublikPanduan Latihan Advokasi, Yogyakarta: Insist Press, 2000

[59] Noer Fauzi dan R. Yando Zakaria, Mensiasati Otonomi Daerah, Panduan Fasilitasi Pengakuan dan Pemulihan Hak-hak Rakyat, Yogyakarta: Insist Press bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria, 2001.

[60] sebagaimana dimaksud oleh Peraturan Pemerintah No. 25 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, Bab IV Pasal 8, yang berbunyi, “Perizinan dan perjanjian kerja sama Pemerintah dengan pihak ketiga berdasarkan kewenangan Pemerintah sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan dan perjanjian kerja sama”.

[61] Keppres ini diedarkan ke semua daerah kabupaten melalui Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang menegaskan “tetap berlakunya seluruh perundang-undangan dan peraturan pemerintah produk mulai Undang-undang Pokok Agraria (UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria) hingga Surat Edaran Menteri yang pernah dikeluarkan”.

[62] Maria S.W. Soemarjono, “Implementasi Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Bidang Pertanahan”, Makalah pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pertanahan Nasional di Malino, 25-28 Maret 2002.

[63] Joyo Winoto “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”. Orasi Ilmiah di Institut Pertanian Bogor (IPB) 1 September 2007.

[64] “SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN : Akan Dikembangkan, Program Reforma Agraria” http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.htm

[65] Misalnya untuk sektor kehutanan lihat Arnoldo Contreras-Hermosilla and Chip Fay, Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. Washington D.C.:Forest Trends, 2005; dan Hayadi Kartodirjo, Refleksi Kerangka Pikir Rimbawan, Menguak Masalah Institusi dan Politik Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Himpunan Alumni Fakultas Kehutanan IPB, 2006; sedangkan untuk sektor pertanian lihat Henny Mayrowani, “Studi Prospek dan Kendala Penerapan Reforma Agraria di Sektor Kehutanan”, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 2004.

[66] Ernest Feder, “Counterreform” dalam Agrarian Problems and Peasant Movements in Latin America. Rudolfo Stavenhagen (ed.). Doubleday Anchor, New York, 1970.

[67] Otto Soemarwoto, “Constancy and Change in Agroecosystems”, dalam Cultural Values and Human Ecology in Southeast Asia, Karl L Hutterer, et al (Eds), Michigan: Ann Arbor, 1985. Lihat juga karya-karyanya klasiknya yang lain, “The talun-kebun System, A Modified Shifting Cultivation, in West Java”. Environmentalist 4 [suppl 7], 1984 hal. 96–98; “Homegardens: A Traditional Agroforestry System with a Promising Future”, dalam H.A. Steppler and P.K.R. Nair. (eds.), Agroforestry: A Decade of Development. Nairobi, ICRAF, 1987, hal 157-170. Juga, karya Otto Soemarwoto dan I. Soemarwoto, “The Javanese Rural Ecosystem” dalam Rambo, A. T, and P.E. Sajise (Eds) An Introduction to Human Ecology Research on Agricultural System in Southeast Asia. Los Banos: University of Philippines, 1984. Pp. 254-287; Otto Soemarwoto, I. Soemarwoto, Karyono, E.M. Soekartadireja, and A. Ramlan, “The Javanese Home Garden as an Integrated Agro-ecosystem”. Food and Nutrition Bulletin. Vol 7. No.3, 1985, hal. 44-47; Otto Soemarwoto, L. Chrisanty, Henky, Y.H. Herri, J. Iskandar, Hadyana and Priyono, “The Talun-Kebun: A Man-made Forest Fitted to Family Needs”, dalam. Food and Nutrition Bulletin. Vol. 7. No.3. hal. 48-51; dan Otto Soemarwoto, and G.R. Conway, “The Javanesse Homegarden.” J. Farm. Syst. Res. Ext. 2 tahun 1991, hal. 95-118.  Teori ini juga dianut secara relatif meluas, termasuk dalam dalam karya penting Tony Whitten, et alThe Ecology of Java and Bali, Singapura: Periplus, Edition, 1996, hal. 607.

[68] Kalimat aslinya adalah “Indonesia Uplands have been constituted, imagined, managed, controlled, exploited and “developed” through a range of discouses and practices”, Tania Murrai Li, “Marginality, Power and Production: Analysing Upland Transformations” dalam Transforming the Indonesian Uplands, Tania Murrai Li (Ed), Amsterdam, Harwood Academic Publisher, 1999, halaman 1.

[69] Jadi, pengertian akses atas tanah termasuk, namun lebih lebih luas dari sekedar suatu hak atas tanah, yang banyak terikat dengan tatanan hukum yang berlaku, baik hukum negara maupun hukum adat. Lihat: Jesse C. Ribot dan Nancy Lee Peluso, 2003, “A Theory of Access”,  Rural Sociology 68(2), 2003 halaman 153-181. 

[70] Michael Watts, “Political Ecology” dalam A Companion to Economic Geography, Trevor Barnes and Eric Sheppard (eds). Oxford: Blackwell, 2000, halaman 257-274.

[71] Allan Pred and Michael John Watts, Reworking Modernity: Capitalism and Sym- bolic Discontent. New Brunswick, NJ: Rutgers University Press, 1992, halaman 11.

[72] Yang terbaru, misalnya Jan Breman and Gunawan Wiradi, Good Times and Bad Times in Rural Java : Case Study of Socio-economic Dynamics in Two Villages Towards the End of the Twentieth Century, Singapore : Institute of Southeast Asian Studies, 2002.

[73] Untuk perspektif sejarah tersedia artikel yang ditulis oleh Thommy Svensson, “Peasant and Politics in Early Twentieth Centuries West Java”, dalam Indonesia and Malaysia, Scandinavian Studies in Contemporary Society. Thommy Svensson dan Per Sorensen (Eds). London: Curzon Press Ltd, 1983; Thommy Svensson, “Bureaucracies and Agrarian Change, A Southeast Asia Case”, dalam Agrarian Society in History, Essay in Honour of Magnus Morner. Mats Lundahl and Thomy Svensson. London: Routledge, 1990.

[74] Usaha menerapkan konsepsi akumulasi primitif ini pada perjalanan politik agraria Indonesia, dilakukan oleh Noer Fauzi, Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar, 1999; dan juga oleh Farid, Hilmar. 2005. "Indonesia's Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965-66." Inter-Asia Cultural Studies 6:3-16.

[75] Karl Kausky. (1898). The Agrarian Question. Dua Jilid. London: Zwan Publication, 1988.

[76] Kebangkitan kembali konsepsi “akumulasi primitif”  dalam dunia akademik saat ini dapat ditelusuri dari tiga andil utama, yakni (i) Michael Perelman, terutama bukunya The Invention of Capitalism, Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation, Durham: Duke University Press, 2000; (ii) David Harvey, terutama dalam karyanya The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press, 2003, dan A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press, 2005; dan (iii) Massimo de Angelis, terutama karyanya “Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation”  in Working Paper No. 29.  Departement of Economics.  University of East Anglia London, 2000; "Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures," Historical Materialism No. 12 tahun 2000; dan The Begining of History. Value Struggles and Global Capital. London: Pluto Press, 2007.

[77] Aslinya dalam bahasa Inggeris: “... a better understanding of the specific ways in which history, memory, and the practices of people, states, and the forces of capitalism often come together violently might provide for an optimism of both the intellect and the will…“, Nancy Peluso and Michael Watts, “Violent Environtments” in  Violent Environtments,  Nancy Peluso and Michael Watts  (Eds), Ithaca: Cornel University Press, 2001. Halaman 38. Kalimat terakhirnya “an optimism of both the intellect and the will” itu merupakan gubahan baru atas kalimat "pessimism of the intelligence, optimism of the will,” yang diterkenalkan oleh Antonio Gramsci, seorang teoritikus-praktikus gerakan sosialis-marxis dari Italia. Karya utamanya berupa tulisan terpisah-pisah telah dikumpulkan dalam An Antonio Gramsci Reader: Selected Writings 1916-1935. David Forgacs (ed.). New York: Schocken Books, 1988. Kumpulan catatan dari penjara telah dikenal luas dan diterbitkan dalam Prison Notebooks. Vol. 1. Trans. J. Buttigieg and A. Callari, J. Buttigieg (Ed.). New York: Columbia University Press, 1992; dan Prison Notebooks. Vol. 2. J. Buttigieg (Trans. and ed.). New York: Columbia University Press, 1996.

No comments:

Post a Comment