Noer Fauzi Rachman*)
Naskah yang didedikasikan untuk acara Perayaan 70 tahun Prof. SMP Tjondronegoro. Institute Pertanian Bogor dan Sajogyo Institute, Bogor 07 Mei 2008
The fundamental importance of the Agrarian Creed is reflected throughout recorded history
The Agrarian Creed, used and abused in political propaganda, is so strongly rooted in the minds of the people that it has become their yardstick for the success or failure of the new national government …
The immense task remains … of finding the shortest and most effective way to release the energies needed for development and it is here that the continued pressure for a realization of the Agrarian Creed may prove a most valuable instrument.
(Erich H. Jacoby, 1971:88, 90, 92)
Mula-mula saya menikmati amal budi baik pak Tjondro sebagai seorang penganjur Reforma Agraria. Ya, karya-karya beliau bersama Pak Sayogyo dan Pak Wiradi telah menjadi bahan bacaan, perdebatan dan bagian tak terpisahkan dari cara belajar OTODIDAK generasi kami. Kami adalah salah satu buah dari kerja dan pengadian panjang dari mereka yang bolehlah kami juluki mereka dengan nama the Agrarian Reform Gurus from Bogor.[1]
Betapa tidak. Di ujung Pendahuluan dari buku Dua Abad Penguasaan Tanah pak Tjondro berseru bahwa “… ketekunan Indonesia untuk mencari pemecahan yang tuntas (tentunya yang dimaksudnya adalah terhadap masalah penguasaan tanah, NFR) perlu lebih dirangsang. Semoga peredaran luas buku ini dapat menyumbang ke arah tersebut” (Tjondronegoro 1984:xvii). Buku yang terbit di kala kami masih menjadi mahasiswa tingkat awal itu benar-benar telah menggoda, merangsang alam pikiran kami. Kami membelinya dan membaca isi buku itu beberapa kali. (Ya, karena buku itu beberapa kali hilang, mungkin karena demikian banyak diminati tapi mahasiswa enggan atau belum sanggup beli, jadi kepunyaan teman dipinjam dan tidak dikembalikan!). Kami mendebatkan, menuliskan komentar hingga merujuknya ketika kami menulis karya kami sendiri, baik untuk bahan latihan dan kursus bagi para pengerak rakyat maupun terbitan di koran, majalah, jurnal dan buku (Cf. Bachriadi 1997, Fauzi 1997, 1999, 2003).[2]
Bukan hanya merangsang alam pikiran kami,[3] tapi juga buku itu telah mengkerangkakan arah kami BERGERAK – demikian kami menyebutnya pada waktu itu. Ini lah yang kemudian kami kenal dalam teorisasi gerakan sosial disebut sebagai masterframe (Cf. Goffman 1974, McAdam et al 1986, Snow and Benford 1992, Snow 2004). Sebagai masterframe, Reforma Agraria kemudian menjadi semacam tema pengikat dan penggerak (rallying theme) yang terus kami geluti baik dalam proses pendidikan, perencanaan strategi, membangun jaringan, hingga kampanye maupun advokasi kebijakan publik.