Noer Fauzi Rachman*)
Naskah yang didedikasikan untuk acara Perayaan 70 tahun Prof. SMP Tjondronegoro. Institute Pertanian Bogor dan Sajogyo Institute, Bogor 07 Mei 2008
The fundamental importance of the Agrarian Creed is reflected throughout recorded history
The Agrarian Creed, used and abused in political propaganda, is so strongly rooted in the minds of the people that it has become their yardstick for the success or failure of the new national government …
The immense task remains … of finding the shortest and most effective way to release the energies needed for development and it is here that the continued pressure for a realization of the Agrarian Creed may prove a most valuable instrument.
(Erich H. Jacoby, 1971:88, 90, 92)
Mula-mula saya menikmati amal budi baik pak Tjondro sebagai seorang penganjur Reforma Agraria. Ya, karya-karya beliau bersama Pak Sayogyo dan Pak Wiradi telah menjadi bahan bacaan, perdebatan dan bagian tak terpisahkan dari cara belajar OTODIDAK generasi kami. Kami adalah salah satu buah dari kerja dan pengadian panjang dari mereka yang bolehlah kami juluki mereka dengan nama the Agrarian Reform Gurus from Bogor.[1]
Betapa tidak. Di ujung Pendahuluan dari buku Dua Abad Penguasaan Tanah pak Tjondro berseru bahwa “… ketekunan Indonesia untuk mencari pemecahan yang tuntas (tentunya yang dimaksudnya adalah terhadap masalah penguasaan tanah, NFR) perlu lebih dirangsang. Semoga peredaran luas buku ini dapat menyumbang ke arah tersebut” (Tjondronegoro 1984:xvii). Buku yang terbit di kala kami masih menjadi mahasiswa tingkat awal itu benar-benar telah menggoda, merangsang alam pikiran kami. Kami membelinya dan membaca isi buku itu beberapa kali. (Ya, karena buku itu beberapa kali hilang, mungkin karena demikian banyak diminati tapi mahasiswa enggan atau belum sanggup beli, jadi kepunyaan teman dipinjam dan tidak dikembalikan!). Kami mendebatkan, menuliskan komentar hingga merujuknya ketika kami menulis karya kami sendiri, baik untuk bahan latihan dan kursus bagi para pengerak rakyat maupun terbitan di koran, majalah, jurnal dan buku (Cf. Bachriadi 1997, Fauzi 1997, 1999, 2003).[2]
Bukan hanya merangsang alam pikiran kami,[3] tapi juga buku itu telah mengkerangkakan arah kami BERGERAK – demikian kami menyebutnya pada waktu itu. Ini lah yang kemudian kami kenal dalam teorisasi gerakan sosial disebut sebagai masterframe (Cf. Goffman 1974, McAdam et al 1986, Snow and Benford 1992, Snow 2004). Sebagai masterframe, Reforma Agraria kemudian menjadi semacam tema pengikat dan penggerak (rallying theme) yang terus kami geluti baik dalam proses pendidikan, perencanaan strategi, membangun jaringan, hingga kampanye maupun advokasi kebijakan publik.
Pada dua puluh tahun lalu itu, sekitar tengah tahun 1980-an, kami memulai belajar dengan aksi-aksi solidaritas dan pembelaan terhadap rakyat yang menjadi korban dalam sejumlah kasus penggusuran. Rembetan aksi-aksi itu menyebar dengan cepat karena ‘persedian kasus penggusuran’ yang ada di meja-meja lembaga-lembaga bantuan hukum, maupun yang ditemukan sendiri oleh para aktivis mahasiswa. Kerja gerakan solidaritas dan pembelaan ini pada gilirannya juga menemukan jalannya sendiri melampaui cara-cara penangangan kasus yang dilakukan oleh LBH maupun organisasi non-pemerintah lainnya.[4]
Pada masa ini dapat dikatakan tututan yang menonjol dalam keseluruhan gerakan protes ini seputar pengembalian tanah rakyat yang dirampas proyek-proyek pembangunan. Saya ingat pada poster “Tanah Untuk Rakyat” yang menghebohkan pada tahun 1990an itu. Meskipun isu “Tanah untuk Rakyat” ini naik ke media massa ini, namun belum menyentuh masalah ketimpangan struktur agraria, yang karenanya Reforma Agraria diyakini sebagai jalan keluarnya. Dengan kata lain, tema sentral yang berkembang pada saat itu baru menyentuh hilangnya hak-hak rakyat atas tanah yang selama ini mereka kuasai, miliki, duduki, tinggali, atau digarap. UUPA 1960 masih dirujuk sebagai Undang-undang pelindung bagi para petani yang posisinya kalah dan dikalahkan dalam konflik agraria. Belum lebih jauh dari itu. UUPA belum dirujuk sebagai induk dari Reforma Agraria.
Kami belajar dan ditempa dengan pekerjaan berkunjung, berdiskusi, dan tinggal bersama petani korban-korban perampasan tanah. Istilah “turba” (turun ke bawah) atau “bunuh diri kelas” dulu mewarnai romantisme generasi kami pada waktu itu. Sekarang saya bisa katakan bahwa yang kami lakukan masa itu adalah suatu jalan terjal dan mendaki untuk menemukan dan kemudian mengusung apa yang Erich H. Jacoby (1971) sebut sebagai Agrarian Creed, Kredo Agraria. Ijinkan saya mengungkapkan sedikit apa yang dimaksud Jacobi itu dengan agrarian creed itu. Saya tertarik membaca buku berjudul Man and Land: The Essential Revolution (1971) ini karena sering dirujuk oleh pak Tjondro. Mungkin buku ini juga adalah salah satu buku favorit beliau. Dalam bab ke tiga, diungkap salah satu sifat fundamental dari hubungan-hubungan manusia dengan tanah, yakni Kredo Agraria. Apa yang dimaksudkannya dengan Agrarian Creed adalah
“kekuatan penggerak yang tak terikat waktu, tempat dan peradaban, yang sejak dulu memberi arah dan masih terus akan mengarahkan, secara langsung maupun tidak, cara pikir petani dan mereka yang peduli dengan nasibnya. Meski sering dikaburkan oleh mitos-mitos dan legenda-legenda lokal, Kredo Agraria itu adalah universal. Ia tidak terikat pada suatu saat waktu atau suatu rangkai isi ajaran tertentu, sesungguhnya ia kuat sekali tertancap di hati para penggarap yang kemudian diungkapkan dengan sadar, dan mendorong kaum lemah melawan para penindasnya.
Kredo Agraria bukanlah suatu doktrin tertentu, tetapi ia mencerinkan harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi bergenerasi-generasi petani, agar suatu ketika tanah dapat dinikmati dengan bebas sebebas udara, dan tidak dimiliki siapapun, dan oleh karenanya diperuntukkan bagi semua yang menggarapnya. Bahwa para petani berjuang untuk memiliki tanah dan mendapatkan jaminan atas kepunyaannya, sama sekali tidak bertentangan dengan Kredo Agraria. Itu hanyakan suatu cara menyesuaikan diri dengan sistem-sistem ekonomi dan masyarakat yang bekerja berdasarkan sistem-sistem kepemilikan yang sudah mapan.” (Jacoby 1971:88) [5]
Munculnya sejumlah organisasi petani lokal yang memiliki basis-basis massa di desa-desa hingga koalisi nasional para ornop dalam Konsorsium Pembaruan Agraria sedikit banyak mengusung Kredo Agraria ini. Cara bagaimana ide Reforma Agraria mengkerangkakan kredo ini telah berhasil mengubah haluan sejumlah aktivis mahasiswa dan ornop, termasuk saya sendiri. Di tengah tahun 1990an, perhatian kami mulai meluas dari konflik agraria ke struktur agraria yang timpang, dan politik agraria yang menghasilkan konflik agraria dan struktur agraria yang timpang itu.
Perluasan perhatian kami ini ikut dibentuk dan sungguh dipermudah dengan adanya buku “Dua Abad Penguasaan Tanah”, dan tentunya interaksi langsung dengan kedua penyunting buku itu. Mereka juga berperan membentuk kerangka arah kami bergerak. Arah itu adalah Reforma Agraria, yang karena satu dan lain hal generasi kami mengalihbahasakannya jadi Pembaruan Agraria, seperti yang terpatrikan pada nama Konsorsium Pembaruan Agraria. Pembaruan agraria itu sendiri kami dimaknai sebagai
“upaya yang mengacu pada proses-proses redistribusi tanah, penataan kembali struktur produksi dan struktur penguasaan sumber-sumber agraria[6] yang mengarah kepada transformasi struktur sosial dan politik yang dilakukan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial, egaliter, kesetaraan jender, dan penghormatan terhadap martabat manusia demi terwujudnya kepentingan rakyat dan kemakmuran masyarakat.”[7]
Secara sederhana, keadaan ideal seperti yang dimaksud oleh pembaruan agraria ini kami pahami sebagai Keadilan Agraria (Agrarian Justice). Tiga tahun kemudian, dalam Konferensi Pembaruan Agraria 1998, konsepsi ini dipertegas kembali dengan dikeluarkannya Deklarasi Pembaruan Agraria 1998 yang menyatakan:
“Kekeliruan pembangunan yang mendasar adalah tidak ditempatkannya pembaruan agraria berupa penataan kembali penguasaan, penggunaan, pemanfaatan, peruntukan dan pemeliharaan sumber-sumber agraria sebagai pra-kondisi dari pembangunan… Pembaruan agraria dipercayai pula sebagai proses perombakan dan pembangunan kembali struktur sosial masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan, sehingga tercipta dasar pertanian yang sehat, terjaminnya kepastian penguasaan atas tanah bagi rakyat sebagai sumberdaya kehidupan mereka, sistem kesejahteraan sosial dan jaminan sosial bagi rakyat pedesaan, serta penggunaan sumberdaya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”[8]
Kami memperoleh dan mengembangkan pemahaman ini dari karya tulis, kuliah, diskusi dan nasehat-nasehat dari segelintir orang, yang tidak berlebihan bila saya menyebut secara khusus andil Agrarian Reform Gurus from Bogor.Mereka lah ideological brokers of agrarian reform. Pak Tjondro adalah salah satu dari mereka itu.
Mereka bukan hanya berhasil bangkit dari kejatuhan akibat gelombang penyapuan sarjana-sarjana kiri oleh rejim Orde Baru semenjak mereka berkuasa di tahun 1966 melalui peralihan politik yang brutal. Lebih dari itu, mereka telah berperan menunjukkan bahwa krisis-krisis dari “pembangunan tanpa reforma agraria”, melalui penelitian yang ekstensif dan seksama, analisis yang rigorous, dan kritik yang mendasar. Mereka punya andil besar dalam menghidupkan Reforma Agraria sebagai agenda intelektual kritis dalam periode awal Orde Baru yang sulit, saat generasi kami belum lagi sanggup mempelajarinya. Mereka jembatan yang menyambungkan aspirasi Reforma Agraria di masa kebangsaan dahulu dengan masa ketika kami berkiprah di awal tahun 1990-an. Karena itulah kami menyebut pak Tjondro dkk sebagai ideological brokers of agrarian reform.
Kami menyadari cara bagaimana the Agrarian Reform Gurus from Bogor itu menghidupkan Kredo Agraria dan mengajurkan secara khusus agenda-agenda reforma agraria, seperti jelas tercermin dalam kepemimpinan mereka dalam (a) Survey Agro-Economi (SAE), yang dilanjutkan dengan SAE-Survey Dinamika Pedesaan di tahun 1970an hingga 1980an; (b) Tim Riset Interim Masalah Pertanahan dari Menteri Riset RI tahun 1978, beserta usaha advokasi untuk tetap memberlakukan UUPA dan menyelesaikan sejumlah masalah pertanahan yang kronis, serta anjuran untuk sejumlah tema penelitian; dan (c) Delegasi Indonesia dalam WCARD 1979, dan berbagai forum pemerintah, ornop maupun akademik tingkat nasional dan international untuk menindaklanjutinya, termasuk International Workshop di Salabintana 1984.
Semenjak tahun 1990an kami sangat menikmati bergaul dengan mereka, bersama memperdebatkan karakter masalah agraria dan politik agraria, mengembangkan kegiatan pendidikan ntuk para penggerak rakyat, dan juga melakukan advokasi dan kampanye reforma agraria yang bermuara pada lahirnya TAP MPR-RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Memang, keterbukaan politik lah yang memungkinkan ajaran-ajaran the Agrarian Reform Gurus itu untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatan dokumen negara, yang kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 itu. Pak Tjondro dan Pak Wiradi terlibat penuh dalam proses ini, di antaranya dalam Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA) yang mampu merumuskan dan mengusulkan prinsip-prinsip pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang hampir sepenuhnya diadopsi dalam TAP MPR itu. Juga dalam acara penting Komnas bekerjasama dengan organisasi gerakan agraria berupa Konferensi Nasional Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani 17-20 April 2001 di Jakarta, yang salah satu resolusinya adalah desakan pembentukan TAP MPR tentang Pembaruan Agraria. Juga dalam Lokakarya antara eksponen gerakan agraria dan gerakan lingkungan yang mampu merumuskan dasar-dasar pemikiran dan usulan versi akademisi dan ornop mengenai perlunya pengaturan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam itu, beserta kerangka implementasinya.
Meskipun dokumen ini dinilai berbeda-beda oleh kalangan ornop (Bey, 2002; 2003; Bachriadi, 2002; Wiradi, 2002; Lucas and Warren, 2003; serta Ya’kub, 2004), namun dokumen negara itu merupakan tonggak bersejarah, yang membentuk rute selanjutnya dari agenda reforma agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-organisasi gerakan agraria (Fauzi, 2002; Soemardjono, 2002; dan 2006; serta Winoto, 2007).
Salah satu badan negara yang selanjutnya mengimplementasi TAP MPR ini adalah Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks transitional justice untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa Orde Baru. Pak Tjondro dan Pak Wiradipun ikut dalam penggodokan usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA) yang disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan kemudian juga pada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (Bachriadi, 2004; dan Tim kerja KNuPKA, 2004). Namun kemudian jawaban datang dari pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di tahun 2005 yang menolak pembentukannya dan merekomendasikan penguatan kelembagaan Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menyelesaikan konflik-konflik agraria.
Pimpinan Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) pada periode 2001-2005 menggunakan TAP MPR itu untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti UUPA dengan “meredefinisi prinsip-prinsipnya” (Soemardjono, 2002, 2006, 2008). Hal ini menangguk pro dan kontra yang berkepanjangan, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan pejabat pemerintahan, disebabkan inistiatif itu dijalankan tanpa didasari oleh konsensus politik yang mantap mengenai prinsip dasar dan arah dari revisi itu. Pak Tjondro dan the agrarian gurus lainnya mengkritisi berbagai usaha revisi ini, dan mengawal dengan sangat ketat pandangan bahwa pasal 1 sampai dengan pasal 15 adalah pasal-pasal prinsipil yang tidak boleh diubah agar Reforma Agraria tetap memiliki landasan hukum nasional.
Apa yang diperjuangkannya ini pada gilirannya memperoleh resonansi setelah Kepala BPNRI saat ini, Joyo Winoto. mengambil putusan politik dengan tercapai kesepakatannya dengan Komisi II DPR-RI pada awal tahun 2007 untuk tidak mengubah UUPA, dan pembaruan perundang-undangan dilakukan terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA (Winoto, 2007 Pers.Comm.). Selanjutnya, BPN-RI berkonsentrasi untuk menjalankan dan mengembangkan mandat pelaksanaan reforma agraria dari Presiden RI dengan prinsip “tanah untuk keadilan dan kemakmuran”, termasuk mencoba apa yang disebut sebagai PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) yang didengungkan akan mengalokasikan tanah objek reforma agraria seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) (Winoto, 2007). Itu pun masih ditambah lagi “tanah-tanah terlantar” yang juga akan dijadikan sebagai sumber tanah objek reforma agraria (Winoto, pidato 2008). Dalam proses penggodokan kebijakan PPAN inipun the Agrarian Reform Gurus bersama tokoh-tokoh penggerak agraria lainnya memberi andilnya yang sangat berarti.
Betapa panjangnya dedikasi pak Tjondro. Beruntunglah kita dapat menikmati berbagai karya tulis beliau, yang dihadirkan kembali, seperti pada Buku NEGARA AGRARIS INGKARI AGRARIA. Yang saya jelas rasakan setelah menikmati buku ini adalah komitmen pak Tjondro pada kebangsaan dan kerakyatan sekaligus. Apa yang menjadi kepedulian utamanya adalah nasib bangsa Indonesia, dan sekaligus nasib rakyat miskin pedesaan. Pak Tjondro yang dalam babak hidupnya pernah diisi oleh suatu pertempuran fisik memperjuangkan kemerdekaan nasional, benar-benar peduli bagaimana bangsa ini dikelola oleh para elite pemegang kekuasaan di berbagai badan negara.
Dalam karya yang ditulis pada tahun akhir abad 20 itu, ia mengeluh dengan santunnya[9] bahwa “… cukup banyak elite bangsa – termasuk cendekiawan dan kaum professional – … tidak lagi menaruh perhatian pada masalah agraria. Lapisan ini tidak lagi memberi perhatian karena beranggapan bahwa tinggal landas dan pertumbuhan ekonomi bisa diwujudkan tanpa pengaturan agraria yang rapi.” Saya membayangkan di depan judul artikel yang berjudul “Negara Agraria Ingkari Agraria” terdapat kata “Elite”, sehingga judul artikel yang telah diambil menjadi judul buku ini seharusnya ELITE NEGARA AGRARIS INGKARI AGRARIA. Ha l ini mengingatkan saya pada karya gurunya pak Tjondro, yakni W.F. Wertheim, “Elite Perception and Mass” ( 1984). Wertheim dengan jelas menunjuk adanya ketidakmautahuan (ignorance) kaum elite. Dengan sangat menarik, Wertheim menunjukkan bahwa ignorance itu bukan hanya diidap oleh pembuat kebijakan, tapi juga ilmuan sosial. Dia mendiskusikan karya-karya dari Selo Sumardjan, Clifford Geertz, Hildred Geertz, Robert Jay, berhadap-hadapan dengan karya M. Timmer, Margo L. Lyon, Richard Franke, dan Ten Dam. Golongan terakhir ini adalah mereka yang dinilai Wertheim mampu menunjukkan kondisi dan perjuangan hidup buruh tani dan petani yang tidak bertanah sebagai lapis terendah dalam struktur sosial agraria di pedesaan Jawa, kenyataan yang diabaikan dan tidak-mau-dilihat oleh golongan yang pertama.
Sangat menarik Wertheim (1984) mengambil puisi Bertold Brecht dalam karya terkenalnyaThreepenny Opera.
Sebagian orang hidup di dalam kegelapan;
Segelintir saja yang hidup di tempat yang terang;
dan mereka yang hidup di kegelapan tetap tak terlihat.
Di akhir tulisannya, sungguh menarik Wertheim menyebutkan bahwa
“Saya memberikan penghormatan yang besar kepada para ilmuwan Indonesia, misalnya dari Bogor maupun Yogyakarta, yang menulis dan menceritakan kebenaran tentang masyarakat desa Jawa; dan yang terus menerus mengingatkan publik dan penguasa tentang kebutuhan-kebutuhan ‘orang-orang yang dilupakan di Jawa’ (Wertheim 1984). “Orang-orang yang dilupakan di Jawa” yang dimaksud adalah mereka yang hidup dalam “dunia gelap” yang tidak dapat di(ter)lihat dari elite yang hidup di “dunia terang”.[10] Yang Wertheim maksudkan dengan Ilmuan Indonesia dari Bogor itu dapat kami pastikan adalah yang kami sebut-sebut the Agrarian Reform Gurus itu.
Melalui posisinya sebagai profesor di IPB dan afiliasinya di berbagai perguruan tinggi dalam dan luar negeri, serta kepemimpinannnya di yayasan AKATIGA, pak Tjondro tentu banyak membimbing studi-studi lokalitas tertentu. Berbeda dengan banyak karya studi yang memperdulikan lokalitas itu, pribadi pak Tjondro peduli dengan cara bagaimana bangsa ini dikelola oleh elite nasionalnya. Kemampuan “imajinasi sosiologis”nya[11] telah memungkinkan kita menikmati bagaimana masalah kesulitan-kesulitan hidup rakyat berhubungan dengan cara bagaimana bangsa ini dikelola oleh elitenya. Yang juga istemewa dari pak Tjondro adalah tarikan rentang waktu[12] untuk menjelaskan sebab-sebab struktural dan politik agraria dari kemiskinan agraria yang kronis. Di naskah terakhir bukunya ini kita bisa lihat betapa panjang tarikan rentang waktunya itu. Bayangkan lah dalam rangka membahas mengenai sebab-sebab dari kondisi desa yang terpuruk, pak Tjondro sanggup melakukan retropeksi ke abad18 untuk mengungkapkan prospeknya di tahun 2030.
Pak Tjondro tidak hanya melulu menganalisa. Sebagai bagian dari the Agrarian Reform Gurus from Bogor, pak Tjondro juga menjadi penganjur. Dalam bukunya ini kita akan menemukan karya baru beliau misalnya ketika dalam satu pertemuan perumusan kebijakan PPAN di bulan Desember tahun 2006, yang juga dimuat dalam buku Negara Agraris Ingkari Agraria, ia menuliskan usulan “Strategi Implementasi PPAN”:
“Bila tahun 2007 (PPAN) sudah akan dimulai, maka sebaiknya :
· Ada pernyataan pemerintah yang tegas mengenai UUPA no.5/1960 sebagai sumber acuan utama,
- Penyesuaian undang-undang sektoral yang berhubungan dengan “bumi, air dan ruang angkasa beserta segala kekayaan yang terkandung didalamnya, karena undang-undang sektoral adalah perumusan yang bersifat derivative,
- Satu lembaga negara yang selama periode pelaksanaan Reformasi Agraria dan Landreform diberi wewenang sebagai koordinator pelaksanaan antar-sektor,
- Persiapan yang diusulkan untuk dilakukan antara 2007-2010 tentu sudah harus juga membangun sistim kelembagaan dari pusat sampai ke pedesaan yang masing-masing diberi wewenang sesuai ruang cakup tugasnya. Sudah jelas tindakan ini setelah sistim hukum diselesaikan (tahap satu),
- Kesiapan kelembagaan termasuk segenap aparat pemerintah dari birokrasi sampai kepolisian dan angkatan bersenjata, sudah diberikan pejelasan dan instruksi” (Tjondronegoro 2006:451-466).
Betapa kuatnya nasehat itu! Saya ingin membandingkan dengan nasehat yang ia berikan dua puluh lima tahun sebelumnya:
Pelaksanaan reforma agraria, baik segi pengaturan bagi hasil, maupun redistribusi tanah (land reform), pengaturan ganti rugi dan sebagainya (seyogyanya) dikendalikan secara sentral, integral dan serentak ... Tindakan yang tegas perlu, karena pelaksanaan reforma agraria untuk golongan penguasa tanah dimanapun juga tidak menyenangkan dan merupakan pengorbanan. Oleh karena itu, reforma agraria sebaiknya dilakukan serentak dan dalam periode sesingkat mungkin. Semakin baik aparat perencana, pelaksana dan pengawas (termasuk pengadilan) “bersih”, semakin besar wibawa penguasa, dan kemungkinan akan dituruti oleh masyarakat luas. (Tjondronegoro 1982).[13]
Betapa panjang dedikasinya untuk reforma agraria itu!
Kita saat ini menerima hadiah dari pak Tjondro dan para penerbit naskahnya. Dengan demikian naskah beliau dapat dinikmati oleh publik lebih luas. Saya mengundang kita untuk benar-benar bersungguh-sungguh untuk menteorisasi apa-apa yang telah dan terus akan diberikan oleh the Agrarian Reform Gurus from Bogor ini, menyemarakkan dan menghadirkan karya-karya studi agraria yang baru dan segar, dan pada gilirannya dapat dijadikan pengetahuan dan pengajaran yang otoritatif.
Ya, saya rasa merupakan pekerjaan rumah kita bersama, para “generasi anak” dan “generasi cucu”, untuk bekerja satu tingkat di atas mengumpulkan dan menerbitkan kembali naskah-naskah karya mereka. Di sini saya ingat apa yang pernah disampaikan Benjamin White (2005:132; Cf. White 2002) agar kita merintis bahan pengajaran “teori dan praktek reforma agraria”. Sehubungan dengan mulai dimajukannya kebijakan Reforma Agraria dewasa ini, relevansi sosial dari usulan itu semakin kuat. Saya yakin tanpa bekal teori yang memadai, yang berangkat dari kondisi agraria yang kongkrit dan praktek reforma agraria yang pernah dijalankan, baik oleh pemerintah maupun gerakan sosial, pelaksanaan kebijakan reforma agraria nantinya tidak dapat memenuhi janji-janji besarnya.
Pada konteks ini, para akademisi, para peneliti, para aktivis gerakan sosial, dan juga pembuat kebijakan benar-benar ditantang untuk mengembangkan basis pengetahuan yang memadai mengenai keadaan dan masalah-masalah agraria yang dihadapi. Sehubungan dengan kekhasan Indonesia sebagai negeri kepulauan yang berbhineka yang diperlukan juga adalah produksi pengetahuan mengenai keragaman kondisi agraria wilayah, bukan hanya yang bersifat aspek-aspek dari keadaan agraria saat ini, tapi juga disertai dengan menghubungkan keadaan agraria saat ini dengan proses pembentukannya dalam sejarah dan geografi yang khusus pula (berkali-kali beliau dan pak Wiradi secara terpisah menyampaikan harapan pada saya untuk dapat melihat karya berjudul Dua Abad Penguasaan Tanah wlayah-wilayah luar-Jawa).
Sungguh diperlukan orang-orang dan kelembagaan otoritatif yang mampu melakukan penelitian dan pengajaran mengenai sejarkah dan geografi agraria, beserta perjalanan politik agraria dan konsekuensi-konsekuensinya, serta agenda-agenda reforma agraria menghadapi beragam krisis agraria dewasa ini. Tentunya seiring dengan itu, yang vital pula adalah memperbanyak ragam kekuatan sosial-politik yang pro-Reforma Agraria, dan meresonansikannya demi Kredo Agraria.
Produksi pengetahuan yang otoritatif itu tidak mungkin terwujud tanpa infrastruktur pengembangan pengetahuan yang memadai. Di jaman virtual sekarang ini, fasilitas e-library dan jaringan pengetahuan (knowledge network) perlu diusahakan sungguh-sungguh demi melayani mereka yang mau belajar dan mereka yang berbakat dan kompeten untuk mengusahakan produksi pengetahuan dan pengajaran yang otoritatif itu.
Dengan rasa berterima kasih pada the agrarian reform gurus from Bogor, saya akhiri sajian ini dengan kutipan dari Jacoby (1971),
“Betapa fundamentalnya Kredo Agraria itu dapat dilihat dalam sepanjang sejarah yang diketahui ….
Kredo Agraria itu, yang telah sering digunakan dan disalahgunakan dalam berbagai propaganda politik itu, sesungguhnya berakar kuar di hati rakyat dan menjadi ukuran mereka untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pemerintahan nasional yang baru …
Tugas yang sangat berat adalah menemukan cara yang paling singkat dan efektif untuk membuka katup energi-energi yang dibutuhkan untuk pembangunan, dan disinilah tekanan yang terus-menerus untuk mewujudan Kredo Agraria dapat menjadi begitu bernilai (Jacoby, 1971:88, 90, 92).
“Salam Reforma Agraria!!!
Bogor, 07 Mei 2008
Bandung, 09 Mei 2008
Daftar Pustaka yang dikutip
Bachriadi, Dianto, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (eds.) (1997), Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Jakarta: LPFE Universitas Indonesia dan KPA.
Bachriadi, Dianto (2002)"Lonceng Kematian atau Tembakan Tanda Start? Kontroversi seputar Ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 - Komentar untuk Idham Samudra Bey", Kompas, 11 January 2002.
_____(2004). “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”. Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. III, No. 3/ 2004: pp 497-521.
Contreras-Hermosilla, Arnoldo and Fay, Chip (2005) Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. Washington D.C.:Forest Trends.
Bey, Idham Samudra (2002) "Lonceng Kematian UUPA 1960 Berdentang Kembali - Menyoal TAP MPR No IX/MPR/2001," Kompas, 10 January 2002 (2003)
_____“UUPA 1960 Lebih Baik Dibandingkan RUU Pengelolaan Sumber Daya Alam” Kompas, 10 May 2003.
Fauzi, Noer (1997) “Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Paska Kolonial”. In Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: LP-FEUI dan KPA. 67 - 122.
_____. (1999) Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.
_____ (2003) Bersaksi untuk Pembaruan Agraria. Jogjakarta, Karsa.
Goffman, Erving (1974) Frame Analysis: An Essay on the Organization of Experience. London: Harper and Row.
Jacoby, Erich H. 1971. Man and Land, the Essential Revolution. New York, Random House.
Lucas, Anton and Carrol Warren, (2003) “The State, The People and Their Mediators: The Struggle over Agrarian Law Reform in Post New Order Indonesia”. Indonesia, October, 76: 87-126.
McAdam, D., McCarthy, J., & Zald, M. (1996). “Introduction: Opportunities, Mobilizing Structures, and Framing Processes—Toward a Synthetic, Comparative Perspective on Social Movements”, dalam Comparative Perspectives on Social Movements. Political Opportunities, Mobilizing Structures, and Cultural Framings, disunting olehD. McAdam, J. McCarthy & M. Zald (Eds.), New York: Cambridge University Press. Halaman 1-20.
Mills, C. Wright (1959). The Sociological Imagination. New York: Oxford University Press.
Tim Kerja KNUPKA (2004). Pokok Pokok Pikiran mengenai Penyelesaian Konflik Agraria. Hasil Lokakarya Persiapan Menuju Pembentukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA). Jalarta: KOMNAS HAM, KPA, HUMA, WALHI, BINA DESA, Maret 2004.
Soemarjono, Maria S.W. (2002). “Implementasi Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Bidang Pertanahan”, Makalah pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Pertanahan Nasional di Malino, 25-28 Maret 2002.
_____ (2006) Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Edisi revisi. Jakarta: Penerbit Kompas.
Snow, D.A. and Benford, R.D. (1992). “Master Frames and Cycles of Protest”. Frontiers in Social Movement Theory. Disunting oleh A.D. Morris. and C. McClurg Mueller. New Haven: Yale University Press.
Snow, D. A. (2004). “Framing Processes, Ideology and Discursive Fields,” dalam The Blackwell Companion of Social Movement disunting D. Snow, S. A. Soule, & H. Kriesi. Oxford: Blackwell Publishing.
Tjondronegoro, Sediono M.P. (1984) “Pendahuluan” dalam Dua Abad Penguasaan Tanah. S.M.P. Tjondronegoro, dan G. Wiradi (Eds.), Jakarta: PT. Gramedia dan Yayasan Obor.
Tjondronegoro, S.M.P. dan Wiradi, G. (Eds) (1984) Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: PT. Gramedia dan Yayasan Obor.
Tjondronegoro, Sediono M.P. (1999) Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. M.T.F. Sitorus dan G. Wiradi (Eds.). Bandung: Yayasan Akatiga.
Wiradi, Gunawan. (1997). “Pembaruan Agraria: Masalah yang Timbul Tenggelam”. In.Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia, Jakarta: LP-FEUI dan KPA. Halaman 39 – 44.
______. (2001). Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Noer Fauzi (Ed) Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.
_____. (2002). “Tantangan Gerakan Pembaruan Agraria “Posta” TAP-MPR No. IX/2001. Jurnal Analisis Sosial 7(3):1-10. Bandung, Yayasan Akatiga.
Ya’kub, Ahmad (2004). “Agenda Neoliberal menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia”, Jurnal Analisis Sosial 9(1):47-64. Bandung, Yayasan Akatiga.
Wertheim, W. F. 1984. Elite Perception and The Masses, The Indonesian Case. Working Paper no. 36, Department of South and Southeast Asia Studies, Antropology-Sociology Center, University of Amsterdam.
White, Benjamin (2002) “Agrarian Debates and Agrarian Research in Java, Past and Present”, Menuju Keadilan Agraria: 70 tahun Gunawan Wiradi. Endang Suhendar, Satyawan Sunito, MT. Felix Sitorus, Arif Satria, Ivanovich Agusta, dan Arya Hadi Dharmawan (Eds). Bandung, Akatiga. Halaman 41-83.
_____ (2005) “Between Apologia and Critical Discourse: Agrarian Transitions and Scholarly Engagement in Indonesia” in Social Science and Power in Indonensia. Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (Eds). Jakarta: Equinox and ISEAS. Halaman 107-142.
Winoto, Joyo (2007). “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”. Orasi Ilmiah di Instititut Pertanian Bogor (IPB) 1 September 2007.
*) Saat ini sedang menjadi PhD Candidate di Department of Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California, Berkeley.
[1] Saya harus mengaku bahwa saya tidak mengenal secara pribadi maupun karya-karya Ibu Pujiwati Sayogyo, dan boleh jadi ini adalah bagian dari ke-tidak-mau-tahuan (ignorance) saya selama ini. Saya yakin ia bagian tak terpisahkan dari the Agrarian Reform Gurus from Bogor ini.
[2] Karya itu pula yang secara khusus membuat saya menyunting karya-karya terserak Gunawan Wiradi yang diberi pengantar oleh Sayogyo (Wiradi 2001) – Dua dari Agrarian Reform Gurus from Bogor.
[3] Saya ingat satu edisi bulletin LINK (sekitar tahun 1986) yang bertemakan Tanah dan Kapitalisme dari Yayasan Studi Masyarakat, telah mengangkatnya sebagai pokok bahasan utama. Kritik dari redaksi LINK itu menyebutkan bahwa buku itu tidak membahas bagaimana masalah tanah itu sangat terkait dengan perjuangan ideologi dalam sejarah Indonesia. Pak Wiradi sontak menanggapi tulisan itu dan mengklarifikasinya.
[4] Dengan subur kelompok-kelompok solidaritas mahasiswa dan pemuda bertumbuhan di berbagai kota. Misalnya: KSMURB (pembelaan kasus Badega, berbasis di Bandung), KKSKPKO (pembelaan kasus Kedung Ombo, berbasis di Salatiga dan Jogja), KSKP (pembelaan terhadap kasus-kasus penggusuran di Sumatera Selatan, berbasis di Palembang), dan sebagainya. Melalui kerja jaringan LSM kasus-kasus petanahan pun menjadi kasus pelanggaran hak asasi manusia lingkungan hidup, dan dibicarakan dalam berbagai forum dalam dan luar negeri. Bahkan beberapa kasus sempat menjadi bahan pembicaraan atau contoh kasus yang terus-menerus hidup di lingkungan pergaulan aktivis LSM ataupun badan internasional, seperti yang paling terkenal adalah kasus pembangunan waduk seperti kasus Kedung Ombo, dan kasus operasi pertambangan besar di Indonesia, seperti kasus Freeport.
[5] “… the driving force that irrespective of time, place, and civilization has guided and still guides, directly and indirectly, the peasants’ way of thought and of those who are concerned with their fate. Though often obscured by local myths and legends, the Agrarian Creed is universal. It is not tied to a particular moment of time or a specific content bit is so strongly entrenched in the hearts of the tillers that it has become the recognized expression and has encourage the weak to fight their oppressors.
The Agrarian Creed is not a definable doctrine but reflects the hopes and aspirations of countless peasant generations for a time when land will be as free as air and will belong to nobody, and therefore to anybody who is tilling it. That the peasant has to ask for the right to own the land and to be assured of its possession is not a contradiction of the Agrarian Creed but only a compromise with economic systems and societies based on established property rights. (Jacoby 1971:88)
[6] Istilah sumber-sumber agraria (agrarian resources) digunakan untuk menjelaskan segala kekayaan alam, termasuk tanah dan air, yang ada di permukaan bumi maupun di dalam perut bumi, termasuk pula udara/angkasa. Istilah ini lebih digunakan secara sadar untuk menggantikan istilah sumberdaya alam (natural resources) yang dipandang lebih mengandung makna eksploitatif dan ekonomis semata. Sedangkan istilah sumber-sumber agraria dianggap lebih mengacu kepada sumberdaya yang ada dalam suatu lingkungan hidup (ekosistem) tertentu yang secara interaktif membentuk kehidupan suatu masyarakat setempat (local communities).
[7] Pandangan Dasar Konsorsium Pembaruan Agraria ayat 1.
[8] Lihat Deklarasi Pembaruan Agraria 1998, khususnya poin 10 dan 12.
[9] Dalam banyak karya tulisnya, termasuk yang dikandung dalam buku ini, saya kuatir pihak-pihak yang dikritiknya tidak tergugah sebab cara penyampaiannya yang subtil dan santun itu.
[10] Weirtheim (1984) mengutip karya Bertold Brecht, Threepenny Opera: For some are in the darkness; Others are in the light; One sees those in the light; Those in the darkness remain unseen!
[11] C. Wright Mills mendefiniskan apa yang dia istilahkan “the sociological imagination” as sesuatu kemampunan yang “ enables its possessor to understand the larger historical scene in terms of its meaning for the inner life and the external career of a variety of individuals....The first fruit of this imagination...is the idea that the individual can understand his own experience and gauge his own fate only by locating himself within his period, that he can know his own life chances in life by becoming aware of those of all individuals in his circumstances....The sociological imagination enables us to grasp history and biography and the relations between the two in society....Back of its use there is always the urge to know the social and historical meaning of the individual in society, and in the period in which he has his quality and his being (C. Wright Mills, 1959).
[12] Terima kasih untuk Laksmi Safitri untuk istilah ini.
[13] Saya menyimpan kutipan ini sejak lama, dan dimuat dalam Fauzi (2003:66). Namun, pada saat menuliskan makalah ini, saya tidak memegang naskah sumbernya yang dimuat dalam buku Proceeding Seminar dari Panitia Pertimbangan Land Reform Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia diterbitkan oleh Direktoral Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri (1982). Naskah berjudul “Peranan Beberapa Lembaga dalam Hubungan Reforma Agraria” ini kemudian dengan sejumlah editan dimuat kembali dalam kumpulan tulisan beliau Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih (Bandung: Yayasan Akatiga, 1999:169-173). Mungkin karena diedit, maka keseluruhan kutipan tersebut tidak sama seperti yang dimuat kembali dalam buku tersebut. Lihat Tjondronegoro (1999:167).
No comments:
Post a Comment