“… pemecahan masalah tanah merupakan suatu syarat untuk perwujudan yang sempurna dari aspirasi-aspirasi kebangsaan negeri-negeri Asia Tenggara; dan bahwa hal itu, untuk sebagian besar, merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan reorganisasi masyarakat yang berhasil.”
(Eric Jacoby 1961:253)[1]
Pengantar
Agenda penguatan akses rakyat pada tanah dan kekayaan alam dengan mengubah struktur agraria biasanya dikenal dengan istilah Reforma Agraria (bahasa Spanyol), atau dikenal juga dengan nama agrarian reform (bahasa Inggris) atau pembaruan agraria (bahasa Indonesia). Agenda Reforma Agraria ini pada mulanya adalah agendanya gerakan rakyat yang berakar pada pengalaman penderitaan petani sebagai mayoritas rakyat (pedesaan) di bawah rezim kolonial dan paska-kolonial. Penderitaan petani yang kronis itu bersumber dari politik agraria penguasa kolonial untuk penguasaan wilayah (negara kolonial), dan perluasan sistem produksi dan ekstraksi komoditas-komoditas baru (untuk perusahaan-perusahaan kapitalis skala dunia). Keresahan agraris hingga berbentuk pemberontakan-pemberontakan lokal dapat dipadamkan dengan operasi-operasi represif singkat, peperangan panjang maupun pengendalian melalui organisasi pemerintahan kolonial yang baru, termasuk dengan bentuk penguasaan tidak langsung (indirect rule) melalui elit-elit feodal pribumi setempat.