Usep Setiawan
adalah salah satu dari banyak aktivis organisasi non-pemerintah yang ikut
membesarkan gerakan agraria dan mempromosikan reforma agraria (aktivis
agraria). Bedanya dengan yang lain, Usep Setiawan sangat rajin menulis di surat-surat
kabar nasional. Buku ini adalah buktinya. Dengan artikel-artikelnya, ia
memperluas pengaruhnya sebagai pemimpin Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang
terus-menerus mengiringi proses kebijakan agraria pemerintah dengan analisis,
kritik, dukungan dan tentunya juga usulan. Artikel-artikelnya bukan saja
membuatnya menjadi dikenal, melainkan juga membuka pintu-pintu untuk dirinya
masuk lebih dalam proses pembentukan kebijakan agraria selanjutnya. Dengan memasuki
pintu itu, dirinya, dan aktivis KPA lainnya, bisa ikut meng- amati dan juga
pada sebagian kegiatan dapat berperan mempenga- ruhi proses kebijakan itu,
mulai dari pembuatan hingga implemen- tasinya.
Pengaruh Usep
Setiawan dan KPA yang dipimpinnya juga dibentuk oleh artikel-artikel yang
terbit di surat-surat kabarini. Pada satu saat ketika saya sedang melakukan
penelitian lapangan dengan mengikuti kegiatan seminar formalBadan Pertanahan
Nasional (BPN) di tengah tahun 2007 dalam rangka mengevaluasi peraturan
pemerintah mengenaitanah terlantar, Usep Setiawan diperkenalkan oleh moderator,
Managam Manurung, SH (yang kemudian menjadi Sekretaris Utama BPN, pejabat
tertinggi kedua di BPN) dan diakui reputasinya sebagai penulis masalah agraria
di surat-suratkabar nasional yang tulisannya senantiasa dibaca oleh
pejabat-pejabat BPN. Pada kesempatan lain, saya membaca naskah-naskah pidato
Kepala BPN, Joyo Winoto, dan menemukan ungkapan-ungkapan penghormatan dari
pimpinan tertinggidi BPN itu terhadap Usep Setiawan dan perannya sebagai
pemimpin KPA. Misalnya, pada satu kesempatan acara resmiBPN, Usep Setiawan
disebutnya sebagai “kader bangsa” yang berperan dalam mengusung salah satu
agenda bangsa yakni reforma agraria. Dengan akses langsung pada proses
kebijakan di BPN, dan lembaga pemerintahan lainnya,Setiawan dapat menganalisa,
menilai, mengkritik dan memberi usulan, sekaligus mengukuhkan dirinya sebagai
“perwakilan” publik.
Usep Setiawan
pula yang menjadi salah satu anggota delegasi resmi Indonesia dalam The
International Conferenceon Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD) in
Porto Alegre, Brazil, yang diorga- nisir oleh the Food and Agriculture
Organization of the United Nations (FAO), dan Pemerintah Brazil, 7-10 Maret
2006. Lebih dari itu, tanpa andil Usep Setiawan, partisipasi, susunan,
persiapan dan tampilan delegasi Indonesia di konferensi itu akan berbeda. Di
bawah kepe- mimpinannya, KPA menjadi simpul pertemuan dari berbagai organi-
sasi pedesaan akar-rumput, ornop-ornop, danakademisi yang menganggap konferensi
ini sebagai momentum penting dalam membentuk komitmen badan-badan pemerintah
Indonesia (cq BPN dan Departemen Pertanian) untuk kebijakan reforma agraria
yang mereka tuntut. UsepSetiawan pula yang memprakarsai tersedianya rubrik
laporan khusus dalam salah satu surat kabar nasional untuk melaporkan proses
dan hasil konferensi ini.
Saya percaya cara
bagaimana suatu pengetahuan dihasilkan bergantung pada posisi si pembuatnya
dalamhubungannya dengan posisi-posisi lain, dan bagaimana suatu pengetahuan
disajikan juga bergantung bagaimana posisi sipenyajinya dalam hubungan dengan
cara dan bentuk bagaimana pengetahuan itu disajikan, dan juga sidang
penikmat/pembaca (audience) yang disasar.[1]
Tentunya kecakapan Usep Setiawan dalam menulis artikel opini,
relevansitulisannya, dan reputasinya yang dipelihara terus menerus dalam
berhubungan dengan redaktur dan jurnalis surat kabarmerupakan penentu akhir
dari tulisan-tulisannya yang tersaji di surat-surat kabar itu.
Sebagai artikel
dalam surat kabar, secara individual tiap tulisannya diabdikan untuk menanggapi
masalah kongkrit yang dihadapi rakyat, kebijakan agraria, atau posisi
kelembagaan tertentu dalam menyikapi masalah agraria rakyatpedesaan atau
perkotaan. Pengantar ini pertama-tama hendak menunjukkan posisi yang dipilih
dan kemudian diembanUsep Setiawan. Sikap dan pandangan yang tertuang dalam
keseluruhan artikel Usep Setiawan akan terlihat bersifat kondisional, sesuai
argumen yang dia hendak ditandingi, atau hendak dipromosikan, dan panggung yang
sedang dimainkannya. Di sejumlah artikel pembaca bisa menemukan apresiasi
positif atas niat dan rencana serta langkah pemerintah untuk merumuskan konsep
dan menjalankan kebijakan yang sejalan dengan reforma agraria.
Namun tak jarang
pula kita temukan artikel yang mengkritik, meng- gugat bahkan menolak rancangan-rancangan
dan produk-produk kebijakan yang dinilainya tak sejalan atau bahkan
bertentangan dengan semangat dan tujuan reformaagraria. Usep Setiawan meya-
kini bahwa dengan artikelnya, ia turut menumbuhkan kepercayaan diri para pelaku
gerakan reforma agraria atas jalur tempuh perju- angan yang dipilihnya. Ia
berharap kalangan akar rumput dalam gerakan agraria,seperti serikat tani,
nelayan, buruh dan masyarakat adat, secara tak langsung terungkap dan
dibenarkan perannya mela- lui pengaruh dari tulisan-tulisan yang mengangkat
masalah yang mereka perjuangkan. Selain itu, ia meyakini pula denganartikelnya
akan merangsang segelintir akademisi untuk terus mengamati dan kemudian
memikirkan masalah agraria rakyat dan agenda reforma agraria.
Di bagian
selanjutnya, saya akan menyajikan rute perjalanan mulai dari babak
pengorganisasian bawah tanah rakyat pedesaan korban perampasan tanah hingga
artikulasi protes dan tuntutan “kembalikan tanah kami”, hingga advokasi
kebijakan pembaruan agraria, hingga kebijakan ‘reforma agraria’ sekarang ini.
Usep Setia- wan terlibat di sebagian besarperjalanan ini, dan mengamati keselu-
ruhkannya. Secara berbeda-beda, artikel-artikel opini Usep Setiawan
disituasikan oleh panggung-panggung dimana ia berperan dalam babak-babak yang
masing-masing punya plot cerita yang berhu- bungan satu sama lain.
Apa yang telah
ditunjukkan oleh Usep Setiawan dalam lima belas tahun lebih perjalanannya
bersama KPA memberi jalan untuk memikirkan dan merenungi kembali apa yang
mungkin dan telah diperankan oleh aktivis dan ornop-ornop ini.Melalui
naskah-naskah Setiawan dalam buku ini, saya diberi jalan untuk menunjukkan
batas- batas dari peran yang ditampilkan oleh aktivis kota terpelajar dan
ornop-ornop yang dimana mereka bekerja di dalam hubungannya dengan masalah
rakyat pedesaan, perkembangan kapitalisme, dan kebijakan pemerintah.
Di bagian akhir
pengantar ini akan disajikan renungan saya mengenai perlunya kembali kita
mempelajari sebab-sebab dari masalah agraria secara sungguh-sungguh. Mau tidak
mau kita harus kembali memahami apa itu kapitalisme, bagaimana kapitalisme itu
bekerja memasukkan tanah dan kekayaan alam sebagai bagian dari sistem
produksinya, dan menciptakan kondisi-kondisi dan ruang baru bagi kelangsungan
hidupnya. Memahami kesemua hal ini ada- lah salah satu syarat perlu bagi bisa
dijalankannya reforma agraria sebagai jalan utama mewujudkan “Keadilan Sosial
bagi SeluruhRakyat Indonesia” (Sila ke 5 Pancasila!).
Dari ‘perampasan
tanah’ ke kebijakan ‘reforma agraria’
Dengan
dikumpulkannya artikel-artikel itu, dan disajikan secara kronologis dalam buku
ini, pembaca dapat mengikuti bagaimana Usep Setiawan memandang masalah agraria,
gerakan agraria, dan arena pembentukan kebijakan agraria dalamkisaran sepuluh
tahun terakhir ini. Analisisnya tak dapat dilepaskan dari posisinya sebagai
salah satu pemimpin KPA. Tahun 1998-2002 ia adalah Manager Advokasi Kebijakan
di Badan Pelaksana KPA. Tahun 2002-2005, ia adalah Deputi Sekretaris Jenderal
(Sekjen) KPA bidang Advokasi. Sementara itu periode selanjutnya (2005-2009) ia
menjabat sebagai Sekjen KPA. Selanjutnya untuk periode 2009-2012 ia menjabat
Ketua Dewan Nasional KPA.
Tulisan-tulisan
Usep Setiawan ini dapat lebih baik dipahami dengan latar belakang pemahaman
mengenai rute perjalanan dari protes-protes perampasan tanah hingga ke
kebijakan ‘reforma agraria’ sekarang ini. Dalam bagian berikut, pengantar ini
akan menyajikan secara selintas rute itu dimana Usep Setiawan aktif terlibat,
dengan resiko melewatkan kelengkapan dan detil-detil dari peristiwa di antara
babak-babak, dalam rute perjalanan itu. Melalui rute ini Usep Setiawan menempa
diri dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan suatu perjalanan kolektif
kepemimpinan KPA.
Pada mulanya
“aktivis agraria” adalah barang asing. Kategori “aktivis agraria” dalam dunia
aktivisme di jamanIndonesia di bawah rejim otoritarianisme Orde Baru memiliki
asal-usul sejak tahun awal 1980an, sebelum Usep Setiawanmulai berkiprah. Pada
waktu itu kategori “aktivis mahasiswa”, “aktivis hak asasi manusia” dan “akti-
vis lingkungan”sudah terlebih dahulu hadir dan tampil dalam pang- gung-panggung
sosial-politik. Melalui kategori-kategori ini lah “akti- visagraria” muncul.
Para aktivis agraria ini membedakan diri setelah melalui pengalaman
kunjungan-kunjungan ke desa, tinggalsewaktu- waktu bersama korban perampasan
tanah untuk memahami situasi hidup mereka. Pada waktu itu dikenal istilahTurba,
turun ke bawah. Sejak tengah tahun 1980-an di berbagai kota mulai dari Medan,
Padang, Palembang, Lampung dipulau Sumatera; hampir semua kota universitas di
Jawa; hingga kota Mataram di Lombok, Menado, Palu, Ujung Pandangdi Pulau
Sulawesi, Samarinda, Banjarmasin, Pontianak di pulau Kalimantan hingga Biak dan
Jayapura di Irian Jaya, merebak komite-komite aktivis mahasiwa dan juga
organisasi non-pemerintah (waktu itu dikenal dengan nama LSM,Lembaga Swadaya
Masyarakat) melakukan pembelaan atas korban peram- pasan tanah akibat
bekerjanya perusahaan-perusahaan kehutanan, pertambangan dan perkebunan, dan
juga proyek-proyek raksasa seperti waduk, transmigrasi dansebagainya. Melalui
apa yang dikon- sepsikan sebagai bantuan hukum struktural, Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI), 14 kantor-kantor LBH dan sejumlah Pos LBH-nya memiliki
andil menjadi pemulai, promotor,pembela petani korban dan teman kerja bagi
aktivis yang mengorganisir dan mengartikulasikan protes-protes.[2]
Selainitu, ornop-ornop lain di berbagai kota memiliki andil serupa.
Tuntutan utama
yang terkemuka saat itu adalah pengembalian tanah yang dirampas dan pemulihan
dari tindakan-tindakan represif seperti intimidasi, teror hingga penggusuran.
Memang melalui kerja-kerja pembelaan, solidaritas atas korban, kasus-kasus
perampasan tanah terangkat menjadi berita media massa, sehingga publik
mengetahuinya. Lebih dari itu, pemahaman atas kasus-kasus perampasan tanah ini
memungkinkan para aktivis mempelajari konsentrasipenguasaan tanah secara
besar-besaran pada perusahaan- perusahaan kapitalis, proyek pembangunan dan
badan-badan pemerintah.[3]
Bergesernya
tuntutan pengembalian tanah yang dirampas ke tuntutan akan kebijakan penataan
struktur agraria (landreform) terjadi di awal 1990an, seiring dengan
berkembangnya analisis tentang struktur agraria, dan kritik yang tajammengenai
orientasi kapitalistik dari politik agraria yang dijalankan secara otoritarian
oleh badan-badan pemerintah secaraterpisah satu sama lain, maupun rejim Orde
Baru secara keseluruhan. Di tahun 1991 terkenal di kalangan aktivis tema“Tanah
untuk Rakyat”—sebagaimana judul suatu poster-kalender yang terkenal pada saat
itu yang dibuat oleh aktivis, pelukisdari Bandung, Yayak Yatmaka, yang juga
disertai puisi Wiji Tukul di dalamnya.[4]
Rangkaian kegiatan demonstrasi, diskusi, seminar, publikasi yang dilakukan
aktivis organisasi non-pemerintah tak putus- putusnya menyuarakan
keharusanpenyelesaian konflik agraria dan pelaksanaan land reform (lihat
misalnya Harman et al 1995; Fauzi and Fidro 1998; Fauzi dan Faryadi 1998).
Usep Setiawan
yang pada saat itu adalah mahasiswa jurusan Antropologi Universitas Padjadjaran
(Unpad), Bandung menempa diri menjadi aktivis agraria semenjak awal tahun
1990-an. Persentuhannya langsung dengan sejumlahkorban perampasan tanah di Jawa
Barat, dibimbing oleh kelompok aktivis yang lebih terdahulu melakukan
kunjungan-kunjungan ke desa, dan mengungkap kasus-kasus itu melalui
protes-protes atas penindasan yang terjadi dalam sejumlah kasus tanah tersebut.
Usep Setiawan mulai bersentuhan langsung dengan korban-korban kasus tanah,
antara lain,Mekarsaluyu dan Ciburial (Bandung), Jatige- de (Sumedang), Lengkong
dan Gunungbatu (Sukabumi), Tapos (Bo- gor), Badega, Cisaruni dan Kampung Dukuh
(Garut), Cimerak dan Pasawahan (Ciamis), Cigalontang dan Kampung Naga
(Tasikmalaya).
Konsorsium
Pembarauan Agraria (KPA) didirikan pada tahun 1994 oleh organisasi-organisasi
non-pemerintah,kelompok-kelompok aktivis mahasiswa, dan organisasi akar rumput
rakyat lokal untuk menjadi koalisi yang bekerjamenjadi penyebar gagasan
pembaruan agraria dan mengusahakan perubahan kebijakan dan politik agraria, sertamengembangkan
kapasitas organisasi-organisasi rakyat. Studi- studi mengenai keadaan agraria
wilayah, politik agraria nasional, dan agenda pembaruan agraria yang dilakukan
sejumlah aktivis peneliti agraria memberi dasar penting bagikelahiran KPA yang
secarakhusus mengusung agenda pembaruan agraria (Lihat antara lain Kasim dan
Suhendar 1996; Bachriadi et al 1997, Fauzi 1997a, 1999, Suhendar dan Winarni,
1997).
Pada saat KPA
didirikan, Usep Setiawan aktif di Huria Maha- siswa Antropologi FISIP
Universitas Padjadjaran, Bandung, dan mengelola pendidikan aktivis mahasiswa di
Keluarga Aktivis Unpad (KAU). Dia menjadi bagian dari panitiapelaksana
lokakarya agraria di kampus Universitas Padjadjaran, yang menjadi kegiatan
pendahu- luan dari Musyawarah Nasional Pertama KPA di bulan Desember tahun
1995. Setelah itu, ia aktif bekerja sama dengan pengurus Badan Pelaksana KPA,
sambil terus mengelola Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Aktivitas Sosial
(YP2AS).
Sepanjang awal
periode pertama kepemimpinan KPA (1995- 1998), tuntutan-tuntutan keadilan
agraria yangdijalankan oleh pen- duduk-penduduk desa berlangsung terus hingga
menemukan momentum yang pas untuk melakukandan meluaskan aksi-aksi pendudukan
tanah atau reklaiming, yakni saat mundurnya Presiden Jenderal Soeharto (1998)
akibat ketidakpuasan massa dan tekanan demonstrasi yang meluas, meluruhnya
dukungan dari faksi-faksi elite militer, teknokrat dan politisi akibat
perpecahan satu sama lainnya, tekanan krisis finansial internasional yang
terasakan melalui menu- runnya nilai rupiah, dan last but not least hilangnya
legitimasi kepemimpinannya. Begitu salah satu penguasa rejim otoritarian
terkuat dan terlama itu turun dari tampuk kekuasaannya, dan proses
demokratisasi dimulai, para pemimpin-pemimpin ornop memajukan kerangka analisis
dan juga kerangka kerja yang mampu menghu- bungkan aksi-aksi lokal okupasi
tanah atau reklaiming itu dengan agenda perubahan kebijakan agraria (lihat
antara lain Fauzi 2000, Bachriadi dan Lucas 2001, Wijardjo and Perdana 2001).
Pada masa ini, melalui
posisinya sebagai staf dalam KPA, Usep Setiawan banyak mempelajari bagaimana
pengorganisasian rakyat, pembangunan jaringan antar aktivis, dan advokasi
kebijakan dilaku- kan (Lihat: kerangkaadvokasi yang popular di kalangan
aktivis, Topatimasang et al 2000). Pada masa itu ia juga memperluas wawasan dan daya
jangkau: lokal, nasional, internasional.Tahun 1997, ia ikut dalam koalisi
aktivis yang dibentuk untuk mempelajari dan mengkritik pembentukan
kawasanpertumbuhan ekonomi Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN
Growth Area (BIMP-EAGA), dan koalisi aktivisinilah yang memungkinkannya untuk
pertama kalinya ia menjelajah ke luar negeri, yakni ke Davao, Filipina.
Pada masa yang
sama, dilakukan pula pembentukan asosiasi- asosiasi organisasi gerakan agraria
di tingkat lokalsampai nasional, yang ditulangpunggungi oleh aktivis-aktivis
agraria. Selain Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada masa itu kita
menyaksikan tampil ke panggung nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), FSPI (FederasiSerikat Petani Indonesia), dan lainnya. Para aktivis
ornop melakukan penempaan diri melalui kursus-kursus, seminar, danlatihan
kampanye dan advokasi kebijakan (lihat antara lain, Topatimasang et al 2000).
Sejak sebelum rejim otoritarianjatuh di tahun 1998, Usep Setiawan adalah salah
satu manajer latihan dan kursus agraria yang handal di KPA, dan
melaluikeaktifannya sebagai manager latihan dan kursus itu ia memiliki kontak
dan jaringan yang luas di kalangan aktivis dan ahliagraria baik yang lebih
junior mau- pun lebih senior. Lebih dari itu, dengan minat dan kapasitasnya un-
tuk mengikutisubstansi pengetahuan dan debat-debat dalam acara- acara itu, ia
memiliki bekal penguasaan yang baik mengenai ruang lingkup dan kedalaman
tematik mulai dari konsep-konsep yang abstrak, makro, dan global hingga yang
kongkrit, mikrodan lokal.
Dengan terbukanya
ruang-ruang demokrasi yang baru, para aktivis menggencarkan praktek
pengorganisasian danmobilisasi massa, kampanye publik, perumusan usulan-usulan
atau draft-draft tan- dingan mengenai kebijakan tententu, hingga proses-proses
perun- dingan, litigasi dan hingga ikut aktif dalam perumusan kebijakan
badan-badan baru. Salahsatu kesempatan politik yang terbuka dalam rangka
merunding agenda reformasi adalah dilakukannya sidang umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap tahun untuk mengubah Undang-undang Dasar,
dan menghasilkan ketetapan- ketetapan MPR. Para pimpinan KPA memilih arenautama
perubahan kebijakan adalah pembentukan TAP MPR. Sebagai bagian dari tim kerja
di bawah kepemimpinan KPA, Usep Setiawan adalah ujung tombak pengorganisasian
berbagai aksi untuk kampanye publik, ter- masuk bentuk-bentuk aksiteatrikal di
gedung parlemen dengan melakukan mogok makan dan berbagai rangkaian yang
menyertainya di tengah suasanasidang MPR tahun 1999 dan 2000. Itu semua
dilakukan mereka sebagai bagian dari upaya mendapatkan perhatian mediamassa,
pemerintah, dan elite politisi mengenai agenda pembaruan agraria, dan begitu
pentingnya memasukkan pembaruanagraria seba- gai salah satu yang perlu
dibuatkan TAP MPR tersendiri.
Usep Setiawan
meyakini situasi politik nasional sangat mempengaruhi pilihan posisi
kepemimpinan KPA, strategiyang ditetap- kan dan jalan yang ditempuh untuk
mempromosikan pembaruan agraria/reforma agraria.[5]
Sikap politik rezim Orde Baru yang jelas tegas anti-reforma agraria telah
dihadapi KPA dengan strategi kon- frontatif tanpa kompromi.Sewaktu Usep
Setiawan memimpin KPA, ia menilai pemerintah di masa reformasi–di bawah
Presiden Abdurah- man Wahid, Megawati dan SBY cenderung lebih terbuka dan
memungkinkan gagasan dan agenda reforma agraria dirundingkan, sehingga
dipilihlah sikap yang lebih dialogis yang memungkinkan dikembangkannya kolaborasi
kritis KPA dengan apayang dinilainya “unsur progresif” di pemerintahan.
Perlu dipahami
pada masa ini aktivisme agraria dan aktivisme lingkungan terasa merupakan dunia
yang terpisah satu sama lain, dan dihubungkan oleh di antaranya adanya
aktivis-aktivis yang melintas batas keduanya. Pembaruan agraria merupakan tema
dari aktivis agraria. Organisasi gerakan agraria yang bergerak di tingkat
nasional bekerjasama dengan Komnas HAM menyelenggarakan Konferensi Nasional
Pembaruan Agraria untuk Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Asasi Petani 17-20
April 2001 di Cibubur, tak jauh dari kota Jakarta. Selain mendeklarasikan
rumusan hak asasi petani, diserukan juga kepada panitia ad-hoc MPR untuk
membentuk TAP MPR tentang Pembaruan Agraria dengan mengacu pada Undang-undang
Pokok Agraria 1960. Sementara itu, sebelumnya, para aktivis lingkungan
memprakarsaiKonferensi Nasional Pengelolaan Sumber Daya Alam yang salah satunya
merekomendasikan perlunya Undang-undangPengelolaan Sumber Daya Alam (Jakarta,
23-25 Mei 2000).
Kedua bidang
aktivisme ini bertemu untuk menyatukan langkah menghadapi kesempatan politik
yang terbuka berupasidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang di
mulai tahun 1999 hingga 2001. Para promotor reformaagraria dan aktivis gerakan
lingkungan untuk pertama kalinya mampu memasukkan agenda pembaruan agraria
danpengelolaan sumber daya alam dalam proses pembuatan dokumen negara, yang
kemudian menjadi TAP MPR RI No. IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Meskipun dokumen
ini dinilai berbeda-beda oleh kalangan ornop (Fauzi 2001, Bey, 2002; 2003;
Bachriadi, 2002; Wiradi, 2002; serta Ya’kub, 2004), namun dokumen negara itu
merupakan tonggak bersejarah, yang membentuk ruteselanjutnya agenda reforma
agraria, baik yang diusung oleh badan-badan negara, maupun organisasi-
organisasi gerakan agraria (Fauzi, 2002; Soemardjono, 2002, 2006; Winoto,
2007). Usep Setiawan merupakan salah satu aktivis agraria yang turut terlibat
dalam usaha merapatkan dua arus gerakan ini dan bekerja menindaklanjuti
kerjasama dari kedua dunia aktivisme ini, dan menjadi salah satu kordinator
Kelompok Kerja Ornop untuk Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
(Pokja Ornop PA-PSDA).
Salah satu badan
negara yang selanjutnya mengimplementasikan TAP MPR ini adalah Komisi Nasional
Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam konteks transitional justice untuk
menyelesaikan pelanggaran HAM di masa OrdeBaru. Ujung dari usaha ini adalah
promosi usulan pembentukan Komisi Nasional untuk Penye- lesaian Konflik
Agraria(KNuPKA) yang disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan
kemudian juga pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Bachriadi, 2004b; dan Tim
kerja KNuPKA, 2004). Usep Setiawan juga menjadi panitia pengarah dan sekaligus
motor dari usaha pembentukan KNuPKA ini, sebagai Koor- dinator Panitia
Pelaksana Tim Kerja Menggagas Pembentukan KNuPKA. Pada posisi ini, Usep
Setiawan bersama tim dari KPA, BPN dan Kementerian Kehutanan mempelajari
kelembagaan Commission on Restitution of Land Right di Afrika Selatan dalam
rangka penyelesaian klaim-klaim hak atas tanah dari rakyat yang tanahnya
dirampas semasa rejim Apartheid berkuasa sejak 1914. Setelah tim KNuPKA ini
bertemu Presiden Megawati, dan juga Presiden SBY akhirnya putusan datang melalui
Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra di tahun 2005. Isi putusan itu
adalah menolak pem- bentukan KNuPKAdan merekomendasikan penguatan kelembagaan
Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI untuk menangani dan menye- lesaikan perkara,
konflik dan sengketa agraria.
Pimpinan Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN-RI) pada periode 2001-2005
menggunakan TAPMPR itu untuk melakukan pengusulan undang-undang baru pengganti
Undang- Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 (UUPA) dengan “meredefinisi
prinsip-prinsipnya” (Sumardjono, 2002, 2006, 2008). Hal ini menangguk pro dan
kontra yang berkepanjangan, baik di kalangan ornop, sarjana hukum agraria, dan
pejabat pemerintahan, seperti halnya berbagai usulan revisi UUPA sebelumnya
(untuk sketsa mengenai hal ini lihat Bagan 1 Konstelasi Upaya-upaya untuk
Mengu- bah UUPA 1960, Bachriadi 2004b, 2006, 2007). Aliran energi yang besar
dan kontroversi ini terus berlangsung hingga KepalaBPN baru, Joyo Winoto, yang
diangkat oleh Presiden RI pada tengah tahun 2005, membuat keputusan, dan
kemudian membuat kesepakatan dengan Komisi II DPR-RI pada Rapat Konsultasi
akhir Januari 2007 untuk tidak mengubah UUPA.Pembaruan hukum akan dilakukan
terhadap produk perundang-undangan di bawah UUPA.
Pengangkatan Joyo
Winoto dimungkinkan oleh keberhasilannya bersama para sarjana di Brighthen
Institute untuk mempengaruhi (calon) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan
Yusuf Kalla mema- sukkan reforma agraria ke dalam buku visi-misi dan program
yang dibuat dalam rangka pencalonan dan kampanye pemilu presiden dan wakil
presiden di tahun 2004. Setelah diangkat menjadi Kepala BPN, Joyo Winoto
melakukan overhaul organisasi, memimpin peru- bahan yang drastis terhadap
visi-misi, organisasi dan personalia BPN-RI. Ia juga mengangkut agenda reforma
agraria dari arena gerakan sosial, dan dari TAP MPR RI No. IX/2001, dan
menjadikan- nya kerangka kebijakan BPN. Pada masa inilah UsepSetiawan mulai
memasuki arena pembuatan kebijakan di dalam BPN, baik sebagai narasumber maupun
menjadi bagian dari tim perumus kebijakan. Tak jarang Usep Setiawan
memfasilitasi pertemuan-pertemuan langsung antara Kepala BPN dengan para
aktivis organisasi non- pemerintah dan tokoh-tokoh organisasi lokal. Pada
konteks ini pula- lah, Joyo Winoto hadir memberikan pandangan sebagai pembicara
kunci dalam Seminar Nasional Pra-Musyawarah Nasional IV, Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), Medan, 12 September 2005. Munas IV KPA inilah yang kemudian
memilih UsepSetiawan menjadi Sekretaris Jenderal KPA untuk periode 2006-2009.
Di akhir pidatonya, Joyo Winoto secara eksplisit mengakuidan menempatkan KPA
sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan reforma
agraria, “terutamayang berkaitan langsung dengan pengu- atan hak-hak rakyat
atas tanah serta penyelesaian perkara, masalah, sengketa, dan konflik
pertanahan di seluruh Indonesia secara sistematis”.
Tanpa Joyo Winoto
tidak mungkin Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, dapat memiliki kebijakan
reformaagraria. Joyo Winoto lah yang mendorong Presiden mengumumkan bahwa program
refor- ma agraria akan dijalankan dengan prinsip “Tanah untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakyat”, seiring dengan dilakukannya percepatan persertifikatan
tanah-tanah. Sebagai tindak lanjutnya dilansir Program Pembaruan Agraria
Nasional (PPAN) yang dimulai dengan mengalokasikan tanah objek reforma agraria
seluas 9,25 juta hektar (8,15 juta ha berasal dari hutan konversi, dan 1,1 juta
ha berasal dari tanah di bawah kewenangan langsung BPN) plus 8 juta hektar
lebih tanah yang terlantar dari badan-badan usaha raksasa(Winoto, 2007a,
2007b).
Presiden Republik
Indonesia pada 31 Januari 2007 telah berpi- dato mengenai kemutlakan
pelaksanaan ReformaAgraria,[6]
dan juga beberapa bulan sebelumnya telah ada pertemuan khusus antara Presiden
SBY dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto, Menteri Kehutanan M.S.
Ka’ban dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengenai usaha-usaha mengurangi
pengangguran dan mengatasi kemiskinan, serta juga sudah dilakukan Rapat Kabinet
Terbatas khusus mengenai Reforma Agraria pada tanggal 22 Mei 2007,[7] bahkan land reform telah masuk dalam
RencanaPembangunan Jangka Panjang 2005-2025 (Undang-Undang No 17/2007).[8]
Namun badan-badan pemerintah bukanlah unit-unit yang seragam dengan kepentingan
yang sama. BPN menghadapi apa yang dikenal di ka- langan pejabat pemerintah
Indonesia sebagai “ego sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan
pemerintah untuk hanyamemenuhikepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri
tanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Departemen Kehu- tanan
dan Departemen Pertanian menolak ikut serta dalam program reforma agraria itu.
Walhasil, agenda
pengalokasian kawasan hutan 8,15 juta hektar (hutan produksi konversi) sebagai
sumber tanah yangakan diredis- tribusikan macet karena Departemen Kehutanan
menolaknya. Depar- temen Kehutanan tetap mempertahankan diri sebagai tuan tanah
negara terbesar, melalui penguasaan tanah negara berupa “Kawasan Hutan”.
Menurut BPN, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah
22.140.199 ha, di dalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025
hektar, lebih dari 60 persen. Dengan mengemukakan agenda pengakuan kedaulatan
masyarakat adat, KPA dan berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan, seperti
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) danornop-ornop agra- ria dan
lingkungan hidup menantang klaim Departemen Kehutanan ini. Mereka menolak
wilayah masyarakat adat dimasukkan dalam “Kawasan Hutan”, baik itu Hutan
Produksi dan Produksi Terbatas, Hutan Lindung, maupun Hutan Konservasi.[9]
Di dalam
Departemen Kehutanan sendiri, masalah akses rakyat atas “Kawasan Hutan” negara
merupakan masalahkebijakan terus- menerus yang belum ada penyelesaiannya yang
tuntas dan terpadu sebagai akibat dari terus dipergunakannya konsep politik
hukum “Kawasan Hutan”, dimana hutan ditentukan bukan berdasarkan
fungsiekologisnya, melainkan berdasarkan penetapan suatu wilayah sebagai
“kawasan hutan” oleh Menteri Kehutanan. Banyakmasalah konflik kehutanan
bersumber pada konflik akibat dihilangkannya hak kepemilikan rakyat sebagai
akibat daridimasukkannya tanah milik rakyat dalam “kawasan hutan”. Berbagai
ragam bentuk kebijakan perhutanan sosial (SocialForestry), seperti Kawasan
Dengan Tujuan Istimewa, Hutan Kemasyarakatan (HKM), Pengelolaan Hutan
BersamaMasyarakat (PHBM), dan yang terakhir adalah Hutan Adat, adalah suatu
pengaturan hak dan kewajiban pemanfaatan (useright and obligation) suatu
“kawasan hutan” tertentu pada periode waktu tertentu saja. Kendali dan Hak
milik ataskawasan itu tetap berada di Departemen Kehutanan. Banyak juga ornop
lingkungan skala lokal maupun nasional bekerjadengan format-format kebijakan
itu di ba- wah bendera umum pengelolaan hutan berbasis masyarakat (community
basedforest management). Hal ini berbeda dengan agenda land reform kehutanan yang
didasari atas pengakuan adanya hakkepemilikan rakyat di dalam kawasan hutan,
dan dikeluarkannya tanah (untuk rakyat) dari “kawasan hutan” dan
diredistribusiuntuk masyara- kat adat, petani, petani tidak bertanah dan
pekerja pedesaan lainnya. Di pihak lain, Departemen (sekarangKementerian)
Pertanian RI merupakan suatu sektor tersendiri yang terpisah dengan agenda
Reforma Agraria ini.Kementerian Pertanian yang berkonsentrasi pa- da
peningkatan produksi pertanian pangan, khususnya padi, melalui berbagaiskema
lama dan baru di antaranya yang popular sebagai System of Rice Intensification
(SRI). Alih-alih melakukankordinasi dengan BPN atau Departemen Kehutanan dalam
agenda Reforma Agraria, Kementerian Pertanian c.q. Dirjen Pengelolaan Lahan dan
Air, memprogramkan pembuatan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Lahan
PertanianPangan Berkelanjutan, bekerja ber- sama Badan Legislasi DPR RI, yang
diajukan antara lain untuk mengendalikanlaju alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian. Menurut Naskah Akademik RUU itu, selama periode 1979-1999, kon-
versi lahan sawah di Indonesia mencapai 1.627.514 Ha atau 81.376 ha/tahun.
Khusus untuk konversi lahan sawah, 1.002.005 Ha (61,57%) atau 50.100 Ha/tahun
terjadi di Jawa, sedangkan di luar Jawa mencapai sekitar 625.459 Ha (38,43 %)
atau 31.273 Ha/tahun.
Usep Setiawan
mengamati proses kebijakan di BPN, di Kemen- terian Pertanian, dan Kementerian
Kehutanan itu. Iamelihat bahwa badan-badan pemerintah tidaklah berada dalam
satu kepentingan yang sama dan terkordinasi. Mereka masih merupakan aktor-aktor
yang bertindak untuk kepentingan sektornya sendiri-sendiri, atau mungkin
melayanikepentingan pihak lainnya, dan juga memerankan diri sebagai arena
dimana berbagai kekuatan sosial saling mempertarungkan dan merundingkan
kepentingannya masing-masing.
“Kolaborasi
Kritis” dalam proses kebijakan reforma agraria
Dalam mengemban
tanggungjawab sebagai pimpinan KPA, Usep Setiawan mengarahkan KPA berperan
sebagai apa yang disebutnya “kolaborator-kritis”, khususnya terhadap Badan
Pertanahan Nasional (BPN) —dalam maknamengawal konsep dan praktek kebijakan
reforma agraria yang digulirkan dengan tidak meninggalkan daya kritis
terhadapnya.[10] Dalam
suatu komunikasi jarak jauh dengan penulis, ia menyatakan bahwa pilihan peran
itumerupakan konsekuensi dari tanggungjawabnya sebagai pimpinan KPA. Ia
mengemukakan bahwa konteks politik yangberbeda perlu disikapi oleh pemosisian
KPA yang berbeda, sehingga strategi dan jalan tem- puhnya pun berbeda
dengansebelumnya. Dengan berperan sebagai “kolaborator-kritis”, KPA di bawah
kepemimpinannya diabdikan “untukmemastikan Reforma Agraria kembali menjadi
agenda utama BPN, dan lebih dari itu KPA terlibat secara aktif dalam
proses-proses perumusan kebijakan pertanahan hingga implementasinya”. Ia
melanjutkan, “Kolaborasi demikian dijalankan dengan kesadaran bahwa reforma
agraria membutuhkan komitmen dari Negara—yang direpresentasikan oleh pemerintah dan dalam hal ini
BPN telah ditugaskan oleh Presiden RI melalui Perpres 10/2006, diantaranya
untuk menjalankan reforma agraria. Selain itu, karena besarnya kerinduan dan
kebutuhan pada adanya badan pemerintah yang mengusungReforma Agraria, sekaligus
pelaksanaan kewajiban untuk ikut membentuknya.”
Meski demikian,
perlu dipahami bahwa keseharian KPA diling- kungi oleh pengalaman berlimpah
dari para korban perampasan tanah dan aktivis gerakan sosial pedesaan yang
geram menyaksikan masih jauhnya jarak antara retorikaReforma Agraria yang
dirumus- kan dan diimplementasikan BPN, dengan problem agraria yang mere- ka
urus sehari-hari.Usep Setiawan berpendirian bahwa “konsep dan praktek PPAN
selama ini belumlah ideal sebagaimana dibayangkan sebagai reforma agraria
sejati. Dalam optik minimum, PPAN cukup diletakkan sebagai momentum untuk
memperkuatprasyarat-prasyarat bagi kemungkinan pelaksanaan reforma agraria yang
sejati itu. … Konsepsi reforma agraria yang lebihtepat tentu saja mestilah
merujuk pada semangat konstitusi (Pasal 33) dan pemihakan yang jelas kepada
golongan ekonomilemah (UUPA 1960) serta semangat zaman untuk menentang
neo-imperialisme di lapangan agraria.”
Setelah aktif
masuk ke relung-relung dan mengamati pembuatan kebijakan reforma agraria di BPN
selama ini, iaberkesimpulan, “bahwa reforma agraria itu tidak sekedar butuh
diakomodir sebagai agendanya Negara. Melainkan lebih dari itu,perlu dirumuskan
dalam konsep yang tepat, kebijakan yang benar, dan dijalankan oleh lembaga yang
kuat beserta jajaranbirokrasi yang paham, berkomitmen serta mampu bekerja nyata
dalam mempraktekan reforma agraria dari atas, dari teks ke dalam konteks
sosialnya. Untuk ke depan, tampaknya dibutuhkan rekonseptualisasi reforma
agraria yang dikembangkan olehpemerintah, sekaligus reposisi kelembagaan
pelaksana reforma agraria.”
Sehubungan dengan
hal itu, ia mendorong pula perlunya konso lidasi substansi dan gerakan di
kalangan pendorongreforma agraria itu sendiri. “Konsolidasi di kalangan gerakan
sosial yang pro-reforma agraria akan memastikan bahwa kebijakan pemerintah itu
selalu dalam pengawalan ketat dari pihak-pihak yang seharusnya menge- cap
keuntungan daridijalankannya reforma agraria, petani tak bertanah, petani gurem,
buruh tani, nelayan kecil, masyarakat adat dan kaum miskin kota—laki-laki
maupun perempuan.”
Sepanjang saya
mengikuti apa yang Usep Setiawan jalankan dari waktu-ke-waktu, pemeranannya
sebagai“kolaborator kritis” ini selain dijalankan sebagai konsekuensi dari
posisinya sebagai Sekjen KPA, juga karena tersediakondisi-kondisi yang
memungkinkannya, terutama ruang kebijakan yang terbuka. Semenjak tengah tahun
2005, ruangkebijakan itu terbuka dengan diangkatnya Joyo Winoto sebagai Kepala
Badan Pertanahan Nasional (BPN), yang melakukanperombakan organisasi dan
personil besar-besaran, dan seiring dengan itu, mengangkat reforma agraria
sebagai salah satu kerangka resmi kelembagaan BPN.
Dalam akhir
periode Badan Pertanahan Nasional (BPN) di bawah kepemimpinan Joyo Winoto, PhD,
telah menunjukkan pilihannya memformat reforma agraria dalam konteks legalisasi
aset tanah. Jumlah bidang tanah yangdilayaninya melalui berbagai jenis proyek
meningkat sangat tajam. Masa sebelum kepemimpinannya di tahun 2004, jumlah
bidang tanah yang dilegalisasi hanyalah 269.902 bidang. Di tahun 2008 jumlahnya
mencapai 2.172.507, lebih dari 800 persen dibanding tahun 2004 itu. Bila
ditambah dengan bidang yang dibiayai sendiri oleh perorangan, kelompok maupun
badan usaha maka jumlahnya mencapai 4.627.039 bidang. Sepanjang lima tahun
belakangan, BPN telah melakukan penataan kelembagaan, perampingan prosedur,
peningkatan alokasi APBN hingga 500%, dan memperbanyak bidang tanahyag
disertifikatkan melalui berbagai skema yang secara administrasi diberi nama
PRONA (Proyek Nasional Agraria),redistribusi tanah, dan P4T (Penguasaan,
Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah). Selain itu, BPN juga
membuatterobosan baru yang diberi nama Larasita berupa perluasan daya jangkau
pelayanan kantor pertanahan melalui kantor bergerak (mobile land service),
dengan mobil, sepeda motor maupun perahu serta teknologi informatika dan
komunikasi. Sudah 60 persen wilayah Indonesia telah dapat dijangkau oleh kantor
bergerak ini.
Berbagai
perubahan itu berujung pada percepatan layanan pemerintah sedemikian rupa
sehingga diperkirakan hanya diperlukan waktu delapan belas tahun saja untuk
melegalisasi seluruh bidang tanah di Indonesia, sementara itu tanpa kesemuanya
diperlukan waktu seratus sepuluh tahun! Klaim-klaim keberhasilan yang
spektakuler itu adalah bagianutama dari iklan satu halaman “Pertanahan untuk
Rakyat. Bukan Omong Kosong” dari Tim Sukses pasangan Calon Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) di Koran Media Indonesia tanggal 24 Juni 2009.[11]
Iklan itu hadir tepat ketika 188 organisasi anggota Konsorsium Pembaruan Agraria
(KPA)[12]
melakukan musyawarah nasional kelima di Puncak, kabupaten Bogor, untuk
pertanggungjawaban mandat yang diberikan pada Usep Setiawan dan kepemimpinan
KPAlain tiga tahun sebelumnya. Munas ini pula adalah arena untuk menetapkan
sasaran dan program strategis dan sekaligus untuk menetapkan kepemimpinan tiga
tahun yang akan datang. Dalam Munas ini, Usep Setiawan dipilih dan ditetapkan
menjadi Ketua Dewan Nasional KPA.
Klaim
keberhasilan itu ditanggapi secara kritis oleh Sekretaris Jenderal KPA yang
baru terpilih. Dalam siaranpersnya tanggal 3 Juli 2009, Sekjen KPA yang baru
terpilih, Idham Arsyad menilai “adalah keliru jika Pemerintahan SBY menganggap
diri telah menjalankan program pertanahan untuk rakyat, apalagi menjalankan
Reforma Agraria (PembaruanAgraria)”. Selanjutnya ia menekankan, “(K)enyata-
annya, program ini telah menyeret petani yang bertanah kecil semakincepat
kehilangan tanahnya, karena tanah tersebut semakin mudah dijual atau diagunkan
kepada perbankan. Dalam keadaan bertanah sempit dan situasi makro ekonomi yang
tidak berpihak kepada petani, maka sertifikasi pertanahan …tanpa didahului oleh
Pembaruan Agraria adalah alat sistematis yang justru menjerumuskan tanah petani
semakin cepat terjual dan jatuh kepadapemodal besar, sehingga ketimpangan tanah
pun semakin lebar. Itulah sebabnya tanah pertanian sekarang ini semakin banyak
dimiliki oleh kelompok non petani yang tinggal di kota, sementara petani gurem
telah menjadi buruh tani.”[13]
Para pejabat dan
pegawai di BPN menilai antara agenda lega- lisasi aset tanah dan reforma
agraria bukan lah dua halyang berten- tangan dan perlu dipertentangkan. Petugas
BPN di lapangan tidak membeda-bedakan antara pendaftaran tanah melalui apa yang
dikenal dengan istilah “ajudikasi” (pendaftaran tanah yang dijalan- kan melalui
Land Management and Program Development Project seba- gian yang dibiayai dari
hutang Bank Dunia) maupun “redistribusi tanah” (yang dijalankan melalui Proyek
Pembaruan Agraria Nasional yang sepenuhnya dibiayai oleh APBN). Bahkan,pejabat
penanggung- jawab proyek lapangan dari kedua proyek itu bisa sama. Tentu saja
keduanya memiliki perbedaan sumber dan mekanisme anggaran, prosedur dan
sejumlah pelaksanaan teknis di lapangan. Namun kedua-duanyaumumnya dipahami
sebagai berujung pada legalisasi aset tanah dengan jalur dan prosedurnya
sendiri-sendiri. Yang perta- ma melalui “jalur ajudikasi”, yang lain melalui
“jalur redistribusi”.
Asal-usul status
tanah dari keduanya berbeda. Untuk “jalur ajudi- kasi” asal usul status hukum
tanah tersebut adalahtanah milik yang dibuktikan melalui bukti-bukti
kepemilikan adat, warisan, jual-beli, hibah, atau transaksi lain atas
tanahmilik itu; sedangkan untuk jalur redistribusi asal-usul status hukum tanahnya
adalah tanah negara yang telah ditegaskan sebagai objek redistribusi tanah oleh
Kepala BPN. Muara keduanya sama-sama sertifikat tanah dengan kekuatan hukum
yang sepenuhnya sama.
Sementara itu,
bagi Idham Arsyad, gagasan untuk mempertentangkan keduanya berangkat dari suatu
yang diharuskanoleh posisi dan cara bagaimana kedua agenda itu dihasilkan.
Agenda legalisasi aset tanah dipahaminya bersumber dari suatu agenda global
untuk mempercepat dan memperluas pasar tanah. Selain dimotori oleh Bank Dunia, suatu
argumen utamapentingnya kepastian hak tanah untuk pertumbuhan ekonomi, agenda
formalisasi hak-hak atas tanah mela- lui layananpendaftaran tanah oleh
pemerintah memperoleh pembenaran ideologis dari visi yang dipromosikan oleh
Hernando de Soto, seorang ekonom yang berasal dari Peru. Reputasinya telah
tersohor sebagai pemikir pembangunan yang mempromosikan resep sederhana dan
sangat menggoda, yakni integrasikan aset tanah rakyat miskin ke dalam sistem
pasar melalui programlegalisasi aset secara masif yang dijalankan oleh
pemerintah. De Soto yakin, pada saat ini mayoritas aturan yang menjadidasar
kepemilikan dan transaksi aset-aset di Negara-negara non-Barat terjadi di luar
sistem hukum formal. Untukmemoderisasikannya, negara-negara non-Barat, seperti
Indonesia, musti mengkonversi dan mengubah semua aturan yangekstra- legal itu
ke dalam suatu sistem tunggal yang menjadi pegangan semua pihak. Pendek kata,
semua kontrak-kontraksosial di luar sistem formal, harus diintegrasikan dalam
satu sistem hukum property yang mencakup semuanya. Hanya dengan cara inilah
tanah-tanah rakyat adalah modal mati (dead capital) yang berada di luar sistem
hukum (extra-legal),dapat dihidupkan melalui pendaftaran tanah dan masuk dalam
sistem.
[1] Dasar inilah
yang membuat para penganut
ilmu sosial refleksif berpendirian bahwa ilmu
s osial tidak bisa
netral, dan senantiasa disituasikan oleh diri, posisi, hubungan sosial dan ruang dimana para
pelakunya bekerja dalam hubungannyadengan pelaku lainnya. Kajian
mengenai hal ini dapat ditemukan misalnya pada karya Haraway (1988), Rose (1997), and Cook et
al.(2005).
[2] Buku-buku
Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia yang terbit setiap tahun semenjak 1979
menjadi tempat di mana kasus-kasus agraria yang terjadi di kampung- kampung
seantero kepulauan Indonesia dituliskan. Sekaligus, juga tempat dimana sebab-
sebabdari penderitaan rakyat ditunjukkan, dan tuntutan penegakan hak asasi
manusia dikedepankan. Buku-buku Laporan itu terbit hampirsetiap tahun dan ada
kalanya dua tahun digabung menjadi satu buku. Laporan yang tersedia mulai tahun
1979, 1980, 1981, 1982-1983,1984-1985, 1986-1987, 1989, 1990, 1991, 1992, 1993,
1994, dan terakhir 1996. Kecuali untuk buku pertama yang dibuattahun 1979, yang
hanya berjudul Laporan Keadaan Hak-hak Asasi manusia di Indonesia 1979, setiap
buku laporan memilikijudul tersendiri dengan anak judul. Misalnya, buku kedua,
berjudul Langit Masih Mendung, dengan anak judul Laporan KeadaanHak-hak Asasi
Manusia di Indonesia, 1980. Semenjak
tahun 1991, istilah “laporan” diganti menjadi “catatan”.
[3] Laporan
Keadaan Hak Asasi Manusia 1991 menulis: “... proses akumulai penguasaan tanah
akan semakin terkonsentrasi ditangan sejumlah kecil warga masyarakat dari hari
ke hari. Kaum tani, dalam kaitan ini, akan tinggal berdesakan di tanah-tanah
yang telahdigerogoti secara progresif oleh para tuan-tuan tanah baru. Tentunya
keadaan ini akan menjadi semakin memburuk, dan akanmenimbulkan konsekwensi yang
tidak sederhana, tetapi jelas kaum tani akan semakin menjadi miskin dan
terbelakang terus-menerus.”(YLBHI 1991: 113).
[4] Poster ini
menjadi terkenal karena aparat
kepolisian menetapkan Yayak Yatmaka, si
pelukis pembuat poster ini untuk tuduhanpenghinaan dan menjelek-jelekan
Presiden dan Istrinya. Memang dalam poster itu terdapat karikatur yang figurnya
denganmudah dikenali sebagai figur Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto.
Surat Kabar dan majalah mempublikasikan
berita ini,termasuk majalah berita Jakarta Jakarta edisi 25 Mei 1991 yang
secara mencolok memuat foto paspor si pelukis denganmenutup matanya bagaikan
figur kriminal, disertai latar belakang
poster-kalender yang disamarkan.
[5] Tanpa
prakarsa dari Gunawan Wiradi, tidak mungkin istilah reforma agraria yang
berasal dari bahasa spanyol ini menjadi populardi kalangan pegiat gerakan
sosial, yang pada gilirannya sampai juga ke para peneliti dan dosen perguruan
tinggi, dan para pejabat danpegawai pemerintah. Lihat: Wiradi, Gunawan (2000).
[6] “Pidato
Presiden RI pada Awal Tahun 2007”. 31 Januari 2007. Website resmi Presiden
Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://
www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/01/31/582.html
[7] “SBY Terima
Mentan, Menhut dan Kepala BPN. Akan Dikembangkan, Program Reforma Agraria”. 28
September 2006.Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.html
[8] “Rapat
Terbatas Bahas Reforma Agraria.” 23 Mei 2007. Website Resmi Sekretariat Negara
Republik Indonesia. http://www.setneg.go.id/
index.php?option=com_content&task=view&id=402&Itemid=55
[9] Kita
mengetahui dari studi Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay (2005),
Strengthening Forest tfanagement in Indonesia through Land Tenure Re- form,
tidak semua klaim itu telah absah secara hukum birokrasi. Menurut studi itu
klaimDepartmen Kehutanan dalam menguasai kawasan hutan seluruh Indonesia seluas
120,353,104 hektar didasarkan pada penunjukan olehMenteri Kehutanan, dan hingga
awal tahun 2005 hanya 12 juta hektar atau 10 persen saja yang telah memiliki
Berita Acara Tata Batas(BATB, Forest Delineation Process Document) (hal 11).
[10] Dalam satu
dua tulisannya kita bisa menemukan pula interaksi dengan Departemen Pertanian
dan Badan PerencanaPembangunan Nasional (Bappenas).
[11] Juga pada
sajian Kepala BPN dalam acara Save Our Nation di MetroTV pada Rabu, 15 Juli
2009, pukul 22.00 – 23.00 WIB dandisiarkan ulang pada Senin, 20 Juli
2009, pukul 16.00
– 17.00 WIB.
[12] KPA membagi
dua kategori anggota, masing-masing 103 organisasi rakyat, dan 85 lembaga
swadaya masyarakat.
[13] Lihat:
“Keliru Jika SBY Dianggap Telah Melakukan Pembaruan Agraria” Siaran Pers KPA 3
Juli 2009. Website resmi KPA. http://www.kpa.or.id/
index.php?option=com_content&task=view&id=300&Itemid=1. Last
download 28 Juli 2009. Joyo Winotobukan tidak menyadari kritik-kritik semacam
ini bahwa legalisasi aset sering mengarah ke lepasnya tanah tersebut dari
genggamanpemegangnya, karena tak mampu memanfaatkan secara optimal terutama
bagi mereka tidak memiliki modal dan ketrampilan. Karena itu,BPN memprogramkan
apa yang disebutnya sebagai GEMARA (Gerakan Masyarakat Reforma Agraria), suatu
upaya pemberdayaankelompok-kelompok rakyat penerima tanah yang
diredistribusikan oleh BPN. Namun, hal ini menimbulkan perdebatan tersendiri
dikepemimpinan KPA saat ini. Sebagian menanggapi secara sinis karena
pengorganisasian dan pemberdayaan rakyat adalah jalan yangpanjang dan penuh
pengorbanan dan komitmen kerakyatan yang tinggi, dan hal inilah bukanlah
sesuatu kualitas yang dimiliki birokrasi BPN.
[1]
Dasar
inilah yang membuat
para penganut ilmu sosial
refleksif berpendirian bahwa ilmu
sosial tidak bisa
netral, dan senantiasa
disituasikan oleh diri,
posisi, hubungan sosial dan ruang dimana
para pelakunya bekerja dalam hubungannyadengan pelaku lainnya. Kajian mengenai hal ini dapat ditemukan misalnya
pada karya Haraway (1988), Rose (1997), and Cook et
al.(2005).
[2]
Buku-buku Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia yang terbit setiap tahun semenjak
1979 menjadi tempat di mana kasus-kasus agraria yang terjadi di kampung-
kampung seantero kepulauan Indonesia dituliskan. Sekaligus, juga tempat dimana
sebab- sebabdari penderitaan rakyat ditunjukkan, dan tuntutan penegakan hak
asasi manusia dikedepankan. Buku-buku Laporan itu terbit hampirsetiap tahun dan
ada kalanya dua tahun digabung menjadi satu buku. Laporan yang tersedia mulai
tahun 1979, 1980, 1981, 1982-1983,1984-1985, 1986-1987, 1989, 1990, 1991, 1992,
1993, 1994, dan terakhir 1996. Kecuali untuk buku pertama yang dibuattahun
1979, yang hanya berjudul Laporan Keadaan Hak-hak Asasi manusia di Indonesia
1979, setiap buku laporan memilikijudul tersendiri dengan anak judul. Misalnya,
buku kedua, berjudul Langit Masih Mendung, dengan anak judul Laporan
KeadaanHak-hak Asasi Manusia di Indonesia, 1980. Semenjak tahun 1991, istilah “laporan”
diganti menjadi “catatan”.
[3]
Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia 1991 menulis: “... proses akumulai penguasaan
tanah akan semakin terkonsentrasi ditangan sejumlah kecil warga masyarakat dari
hari ke hari. Kaum tani, dalam kaitan ini, akan tinggal berdesakan di
tanah-tanah yang telahdigerogoti secara progresif oleh para tuan-tuan tanah
baru. Tentunya keadaan ini akan menjadi semakin memburuk, dan akanmenimbulkan
konsekwensi yang tidak sederhana, tetapi jelas kaum tani akan semakin menjadi
miskin dan terbelakang terus-menerus.”(YLBHI 1991: 113).
[4]
Poster ini menjadi terkenal karena aparat kepolisian menetapkan Yayak Yatmaka, si pelukis pembuat
poster ini untuk tuduhanpenghinaan dan menjelek-jelekan Presiden dan Istrinya.
Memang dalam poster itu terdapat karikatur yang figurnya denganmudah dikenali
sebagai figur Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto. Surat Kabar dan majalah mempublikasikan berita
ini,termasuk majalah berita Jakarta Jakarta edisi 25 Mei 1991 yang secara
mencolok memuat foto paspor si pelukis denganmenutup matanya bagaikan figur
kriminal, disertai latar belakang poster-kalender
yang disamarkan.
[5]
Tanpa prakarsa dari Gunawan Wiradi, tidak mungkin istilah reforma agraria yang
berasal dari bahasa spanyol ini menjadi populardi kalangan pegiat gerakan
sosial, yang pada gilirannya sampai juga ke para peneliti dan dosen perguruan
tinggi, dan para pejabat danpegawai pemerintah. Lihat: Wiradi, Gunawan (2000).
[6]
“Pidato Presiden RI pada Awal Tahun 2007”. 31 Januari 2007. Website resmi
Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://
www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/01/31/582.html
[7]
“SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN. Akan Dikembangkan, Program Reforma
Agraria”. 28 September 2006.Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H.
Susilo Bambang Yudhoyono.
http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.html
[8]
“Rapat Terbatas Bahas Reforma Agraria.” 23 Mei 2007. Website Resmi Sekretariat
Negara Republik Indonesia. http://www.setneg.go.id/
index.php?option=com_content&task=view&id=402&Itemid=55
[9]
Kita mengetahui dari studi Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay (2005),
Strengthening Forest tfanagement in Indonesia through Land Tenure Re- form,
tidak semua klaim itu telah absah secara hukum birokrasi. Menurut studi itu
klaimDepartmen Kehutanan dalam menguasai kawasan hutan seluruh Indonesia seluas
120,353,104 hektar didasarkan pada penunjukan olehMenteri Kehutanan, dan hingga
awal tahun 2005 hanya 12 juta hektar atau 10 persen saja yang telah memiliki Berita
Acara Tata Batas(BATB, Forest Delineation Process Document) (hal 11).
[10]
Dalam satu dua tulisannya kita bisa menemukan pula interaksi dengan Departemen
Pertanian dan Badan PerencanaPembangunan Nasional (Bappenas).
[11]
Juga pada sajian Kepala BPN dalam acara Save Our Nation di MetroTV pada Rabu,
15 Juli 2009, pukul 22.00 – 23.00 WIB dandisiarkan ulang pada Senin, 20 Juli
2009, pukul 16.00 – 17.00 WIB.
[12]
KPA membagi dua kategori anggota, masing-masing 103 organisasi rakyat, dan 85
lembaga swadaya masyarakat.
[13]
Lihat: “Keliru Jika SBY Dianggap Telah Melakukan Pembaruan Agraria” Siaran Pers
KPA 3 Juli 2009. Website resmi KPA. http://www.kpa.or.id/
index.php?option=com_content&task=view&id=300&Itemid=1. Last
download 28 Juli 2009. Joyo Winotobukan tidak menyadari kritik-kritik semacam
ini bahwa legalisasi aset sering mengarah ke lepasnya tanah tersebut dari
genggamanpemegangnya, karena tak mampu memanfaatkan secara optimal terutama
bagi mereka tidak memiliki modal dan ketrampilan. Karena itu,BPN memprogramkan
apa yang disebutnya sebagai GEMARA (Gerakan Masyarakat Reforma Agraria), suatu
upaya pemberdayaankelompok-kelompok rakyat penerima tanah yang
diredistribusikan oleh BPN. Namun, hal ini menimbulkan perdebatan tersendiri
dikepemimpinan KPA saat ini. Sebagian menanggapi secara sinis karena
pengorganisasian dan pemberdayaan rakyat adalah jalan yangpanjang dan penuh
pengorbanan dan komitmen kerakyatan yang tinggi, dan hal inilah bukanlah
sesuatu kualitas yang dimiliki birokrasi BPN.
No comments:
Post a Comment