Quo Vadis Keadilan Agraria: Legalisasi Aset Tanah dan Reforma Agraria



Versi Bahasa Inggrisnya terbit  sebagai "Land titles do not equal agrarian reform", Inside Indonesia 98: Oct-Dec 2009. https://www.insideindonesia.org/land-titles-do-not-equal-agrarian-reform 

*)


Noer Fauzi Rachman**)

 


Badan Pertanahan Nasional (BPN) di bawah kepemimpinan Joyo Winoto, PhD., telah menunjukkan prestasinya yang mengagumkan dalam legalisasi aset tanah. Jumlah bidang tanah yang dilayaninya melalui berbagai jenis proyek meningkat sangat tajam. Masa sebelum kepemimpinannya di tahun 2004, jumlah bidang tanah yang dilegalisasi hanyalah 269.902 bidang. Di tahun 2008 jumlahnya mencapai 2.172.507, lebih dari 800 persen dibanding tahun 2004 itu. Bila ditambah dengan bidang yang dibiayai sendiri oleh perorangan, kelompok maupun badan usaha maka jumlahnya mencapai 4.627.039 bidang. Sepanjang lima tahun belakangan, BPN telah melakukan penataan kelembagaan, perampingan prosedur, peningkatan alokasi APBN hingga 500%, dan memperbanyak bidang tanah yag disertifikatkan melalui berbagai skema yang secara administrasi diberi nama PRONA (Proyek Nasional Agraria), redistribusi tanah, dan P4T (Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan. Pemanfaatan Tanah). Selain itu,  BPN juga membuat terobosan baru yang diberinama Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) berupa pembesaran daya jangkau pelayanan kantor pertanahan melalui kantor bergerak (mobile land service), dengan mobil, sepeda motor maupun perahu serta teknologi informatika dan komunikasi. Sudah 60 wilayah Indonesia telah dapat dijangkau oleh kantor bergerak ini. Dengan berbagai perubahan yang berujung pada percepatan layanan pemerintah demikian itu, diperkirakan hanya diperlukan waktu delapan belas tahun saja untuk melegalisasi seluruh bidang tanah di Indonesia, sementara itu tanpa kesemuanya diperlukan waktu seratus sepuluh tahun!

 

Klaim-klaim keberhasilan yang spektakuler itu adalah bagian utama dari iklan satu halaman “Pertanahan untuk Rakyat. Bukan Omong Kosong” dari Tim Sukses pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di Koran Media Indonesia tanggal 24 Juni 2009, dan sajian Kepala BPN dalam acara Save Our Nation di MetroTV pada Rabu, 15 Juli 2009, pukul 22.00 – 23.00 WIB dan disiarkan ulang pada Senin, 20 Juli 2009, pukul 16.00 – 17.00 WIB.



 

Iklan itu hadir tepat ketika Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melakukan musyawarah nasional kelima di Bogor untuk pertanggungjawaban mandat yang diberikan pada kepemimpijan KPA tiga tahun sebelumnya, untuk menetapkan sasaran dan program strategis dan sekaligus untuk menetapkan kepemimpinan tiga tahun yang akan datang. Klaim keberhasilan itu ditanggapi secara kritis oleh eksponen KPA, jaringan nasional organisasi non-pemerintah yang sejak tahun 1995 secara lantang menyampaikan kritik terhadap Land Administration Project yang dibiayai oleh dana hutang Bank Dunia dan hibah dari AUSAID (lihat: “Noer Fauzi: 'We promote community-based land mapping'”, and  ”Australians help codify Indonesian land titles” Inside Indonesia 47: Jul-Sep 1996).

Dalam siaran persnya tanggal 3 Juli 2009, Sekretaris Jenderal KPA yang baru terpilih, Idham Arshad menilai “adalah keliru jika Pemerintahan SBY menganggap diri telah menjalankan program pertanahan untuk rakyat, apalagi menjalankan Reforma Agraria (Pembaruan Agraria)”. Selanjutnya ia menekankan, “Kenyataannya, program ini telah menyeret petani yang bertanah kecil semakin cepat kehilangan tanahnya, karena tanah tersebut semakin mudah dijual atau diagunkan kepada perbankan. Dalam keadaan bertanah sempit dan situasi makro ekonomi yang tidak berpihak kepada petani, maka sertifikasi pertanahan … tanpa didahului oleh Pembaruan Agraria adalah alat sistematis yang justru menjerumuskan tanah petani semakin cepat terjual dan jatuh kepada pemodal besar, sehingga ketimpangan tanah pun semakin lebar. Itulah sebabnya tanah pertanian sekarang ini semakin banyak dimiliki oleh kelompok non petani yang tinggal di kota, sementara petani gurem telah menjadi buruh tani.”[1]

 

Kontras Posisi, Argumentasi, dan Visi

 

Dalam dua tahun terakhir ini, sejak tahun 2007, penulis melakukan penelitian yang mendalam mengenai bagaimana proses-proses perubahan kebijakan, kelembagaan dan program di dalam BPN. Berbeda dengan KPA, para pejabat di BPN menilai antara agenda legalisasi aset tanah dan reforma agraria bukan lah dua hal yang dipertentangkan dan perlu dipertentangkan. Bahkan bagi petugas BPN di lapangan tidak dibedakan secara kontras antara pendaftaran tanah melalui apa yang dikenal dengan istilah “ajudikasi” (pendaftaran tanah yang dijalankan melalui Land Management and Program Development Project yang dibiayai dari hutang Bank Dunia) maupun “redistribusi tanah” (yang dijalankan melalui Proyek Pembaruan Agraria Nasional yang dibiayai oleh APBN murni). Bahkan, di kantor pertanahan kabupaten Garut, Jawa Barat, salah satu tempat penelitian lapangan penulis lakukan di tahun 2007, pejabat penanggungjawab proyek lapangan dari kedua proyek itu adalah sama. Tentu saja keduanya memiliki perbedaan sumber dan mekanisme anggaran, prosedur dan sejumlah pelaksanaan teknis di lapangan. Namun kedua-duanya dipahami sebagai pendaftaran tanah dengan jalur dan prosedurnya sendiri-sendiri. Yang pertama melalui jalur ajudikasi, yang lain melalui jalur redistribusi tanah. Asal-usul status tanah dari keduanya berbeda. Untuk jalur ajudikasi asal usul status tanah tersebut adalah tanah milik yang dibuktikan melalui bukti-bukti kepemilikan adat, sedangkan untuk jalur redistribusi asal-usul tanahnya adalah tanah negara yang telah ditegaskan sebagai objek redistribusi tanah oleh Kepala BPN. 

 

Sementara itu, bagi KPA, gagasan untuk mempertentangkan keduanya berangkat dari suatu yang diharuskan oleh posisi dan cara bagaimana kedua agenda itu dihasilkan. Agenda legalisasi asset tanah dipahaminya bersumber dari suatu agenda global untuk mempercepat dan memperluas  pasar tanah. Selain dimotori oleh Bank Dunia suatu argumen utama pentingnya kepastian hak tanah untuk pertumbuhan ekonomi, agenda formalisasi hak-hak atas tanah melalui layanan pendaftaran tanah oleh pemerintah memperoleh pembenaran ideologis dari visi yang dipromosikan oleh Hernando de Soto, seorang ekonom yang berasal dari Peru. Reputasinya telah tersohor sebagai pemikir pembangunan yang mempromosikan resep sederhana dan sangat menggoda, yakni integrasikan aset tanah rakyat miskin ke dalam sistem pasar melalui program legalisasi secara masif yang dijalankan oleh pemerintah. De Soto yakin, pada saat ini mayoritas aturan yang menjadi dasar kepemilikan dan transaksi aset-aset di Negara-negara non-Barat terjadi di luar sistem hukum formal. Untuk memoderisasikannya, negara-negara non-Barat, seperti Indonesia, musti mengkonversi dan mengubah semua aturan yang ekstra-legal itu ke dalam suatu sistem tunggal yang menjadi pegangan semua pihak. Pendek kata, semua kontrak-kontrak sosial di luar sistem formal, harus diintegrasikan dalam satu sistem hukum property yang mencakup semuanya. Hanya dengan cara inilah tanah-tanah rakyat adalah modal mati (death capital) yang berada di luar sistem hukum (extra-legal), dapat dihidupkan melalui pendaftaran tanah dan masuk dalam sistem. Jadi yang de Soto lakukan adalah meredefinisikan dan mempromosikan sistem pasar dari kapitalisme sebagai instrumen untuk rakyat keluar dari kemiskinan. 

 

KPA menyadari bahwa pemikiran de Soto ini ikut mendasari cara kerja program pertanahan pemerintah selama lima tahun belakangan ini. Kepala BPN, Joyo Winoto, Ph.D,  pernah menyambut gagasan de Soto dengan ramah dan mengkombinasinya dengan “reformasi akses ala Amartya Sen” dalam majalah Tempo Edisi 10 September 2006 yang melansir suatu publikasi khusus tentang “Hernando De Soto: Gagasan Kontroversial dari Dunia Ketiga” dalam enam halaman (halaman 75 – 81). De Soto pun pernah diberi kesempatan untuk presentasi pada tangal 7 November 2006 di  hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama sekitar sepuluh menteri dan pejabat setingkat menteri, plus dua Juru Bicara Kepresidenan.[2]

 

Berbeda dengan Joyo Winoto yang memakai pemikiran de Soto sebagai dasar untuk menunjukkan pentingnya legalisasi aset tanah rakyat, kritik dari KPA berdasar pada pemahaman bahwa de Soto adalah bagian dari  jaringan intelektual neoliberal yang memuja-muja keutamaan dari private property rights, sistem hukum positif dan mekanisme pasar kapitalis. Kritik KPA berangkat dari ketidakpercayaan bahwa integrasi aset tanah ke dalam sistem pasar yang dihidupkan melalui pendaftaran tanah mampu mengentaskan kemiskinan mayoritas rakyat pedesaan dan perkotaan di negara-negara Dunia Ketiga seperti Indonesia. Apa yang dilakukan oleh de Soto dinilainya melembutkan bahkan menyembunyikan sifat rakus dan predatoris dari mekanisme pasar dana  praktek sistem produksi kapitalisme yang didasarkan pada private property system dan hubungan sosial yang eksploitatif.

 

Reforma agraria dipromosikan oleh KPA sebagai agenda yang berangkat dari kesaksian atas penderitaan korban-korban perampasan tanah, dan observasi atas penumpukan kekayaan oleh pihak penguasa tanah luas. Ketidakadilan struktural ini musti diatasi dengan mengedepankan prinsip fungsi sosial atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Agraria 1960. Agenda pokoknya adalah redistribusi tanah-tanah yang luas yang dikuasai perusahaan-perusahaan negara maupun swasta kepada petani tak bertanah dan petani gurem secara terorganisir, membantunya melakukan pemulihan fungsi-fungsi ekologis alam melalui penatagunaan tanah, dan meningkatkan produktfitas melalui penidikan dan teknologi yang tepat. Dipercayai oleh eksponen KPA bahwa hanya dengan agenda ini lah sebab-sebab kemiskinan kronis dari rakyat pedesaan bisa diatasi. 

 

Kepemimpinan sekretariat KPA sepanjang empat tahun belakangan ini terlibat secara aktif, supportif dan konstruktif dalam proses-proses kebijakan pertanahan mulai dari perumusan hingga implementasinya. Kolaborasi demikian dijalankan dengan kesadaran bahwa reforma agraria membutuhkan komitmen politik dari pemerintah. Dalam hal ini BPN adalah satu-satunya badan pemerintah yang telah ditugaskan oleh Presiden RI melalui Perpres No.10/2006, diantaranya, untuk menjalankan reforma agraria. Selain karena besarnya kerinduan dan kebutuhan pada adanya badan pemerintah yang mengusung Reforma Agraria, hal itu dijalankan juga karena sebagaimana dinyatakan dalam prinsip-prinsip hak asasi manusia bahwa tugas organisasi masyarakat sipil adalah berpartisipasi dalam cara pemerintah melaksanakan kewajibannya menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi warganya. 

 

Kritik KPA terhadap BPN sekarang ini dilansir sehubungan dengan momentum ealuasi setelah lima tahun BPN menjalankan proses kebijakan reforma agraria. Hal ini didasari atas posisi keseharian KPA dan juga organisasi-organisasi masyarakat sipil pengusung reforma agraria lainnya yang dilingkungi oleh pengalaman berlimpah dari para korban perampasan tanah, dan kalangan aktivis gerakan sosial pedesaan yang geram menyaksikan masih jauhnya jarak antara retorika Reforma Agraria yang dirumuskan dan diimplementasikan BPN, dengan problem agraria yang mereka urus sehari-hari. Konsep dan praktek Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) selama ini dinilai masih jauh dari apa yang dibayangkan KPA sebagai “reforma agraria sejati”. Selama ini, PPAN dipandangnya sebagai momentum untuk memperkuat salah satu syarat bagi apa yang disebut sebagai “reforma agraria yang sejati” itu.[3]

 

Quo Vadis Keadilan Agraria?

 

Meski Presiden Republik Indonesia pada 31 Januari 2007 telah berpidato mengenai kemutlakan pelaksanaan Reforma Agraria,[4] dan juga beberapa bulan sebelumnya telah ada pertemuan khusus antara Presiden SBY dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto, Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengenai usaha-usaha mengurangi pengangguran dan mengatasi kemiskinan,[5] serta juga Rapat Kabinet Terbatas khusus mengenai Reforma Agraria pada tanggal 22 Mei 2007,[6] bahkan land reform telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2005 (Undang-undang No 17/2007), namun badan-badan pemerintah bukanlah unit-unit yang seragam dengan kepentingan yang sama. Pemahaman yang realistis mengenai negara sebagai aktor dan sekaligus arena ini menjadi mudah dilihat dari hubungan kelembagaan antara BPN, Departemen Kehutanan dan Departemen Pertanian.

 

Selain menetapkan bahwa sumber tanah yang hendak diredistribusi adalah 1,1 juta hektar yang berada dalam jurisdiksinya sendiri, BPN juga mengidentifikasi dan menyatakan bahwa sumber tanah yang hendak diredistribusi adalah 8,15 juta hektar berupa tanah-tanah yang berada dalam kawasan hutan negara yang tergolong Hutan Produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi, Departemen Kehutanan sebagai pihak yang berwenang menguasai kawasan itu tidak menanggapinya dengan positif. Bahkan dalam suatu diskusi di Pusat Kajian Agraria - IPB, pada tanggal 19 Mei 2008, pejabat Badan Planologi Departemen Kehutanan mempersoalkan cara bagaimana BPN menghasilkan dan menggunakan data itu. Keterangan yang diberikan oleh seorang pejabat tinggi  BPN pun, dalam wawancara pada 19 Juni 2009 mengkonfirmasi bahwa belum ada perubahan yang berarti dalam hubungan komunikasi dan kordinasi dengan Departemen Kehutanan mengenai agenda tersebut.

 

Walhasil, hingga saat tulisan ini dibuat agenda redistribusi tanah 8,15 juta hektar itu tetap macet. Departemen Kehutanan tetap mempertahankan diri sebagai tuan tanah negara terbesar, melalui penguasaan kawasan hutan negara. Menurut BPN, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, didalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar. Dengan mengemukakan agenda pengakuan kedaulatan masyarakat adat, KPA dan berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan ornop-ornop agraria dan lingkungan hidup menantang klaim Departemen Kehutanan ini. Mereka menolak wilayah masyarakat adat dimasukkan dalam Kawasan Hutan Produksi dan Produksi Terbatas, Hutan Lindung, dan Kawasan Konservasi Alam.[7]

 

Di dalam Departemen Kehutanan sendiri, masalah akses rakyat atas kawasan hutan negara sejak diberlakukannya Undang-undang Kehutanan No. 41/1999 menjadi masalah kebijakan terus-menerus yang belum ada penyelesaiannya yang tuntas dan terpadu sebagai akibat dari terus dipergunakannya konsep politik hukum “kawasan hutan”, dimana hutan ditentukan bukan berdasarkan fungsi ekologisnya, melainkan berdasarkan penetapan suatu wilayah sebagai “kawasan hutan” oleh Menteri Kehutanan. Departemen Kehutanan. Padahal banyak masalah konflik kehutanan bersumber pada konflik akibat dihilangkannya hak kepemilikan rakyat sebagai akibat dari dimasukkannya tanah milik rakyat dalam “kawasan hutan”. Berbagai ragam bentuk kebijakan perhutanan sosial (Social Forestry), seperti Kawasan Dengan Tujuan Istimewa, Hutan Kemasyarakatan (HKM), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), dan yang terakhir adalah Hutan Adat, hanyalah suatu pengaturan hak dan kewajiban pemanfaatan (use right and obligation) suatu “kawasan hutan” tertentu pada periode waktu tertentu saja. Banyak ornop lingkungan skala lokal maupun nasional bekerja dengan format-format kebijakan itu di bawah bendera umum pengelolaan hutan  berbasis masyarakat (community based forest management). Hal ini berbeda dengan agenda land reform kehutanan yang didasari atas pengakuan adanya hak kepemilikan rakyat di dalam kawasan hutan, dan dikeluarkannya tanah (untuk rakyat) dari “kawasan hutan” dan diredistribusi untuk kelas petani dan petani tidak bertanah. 

 

Di pihak lain, Departmen Pertanian RI merupakan suatu sektor tersendiri yang terpisah dengan agenda Reforma Agraria ini. Departemen Pertanian yang berkonsentrasi pada peningkatan produksi pertanian pangan, khususnya padi, melalui berbagai skema lama dan baru di antaranya yang popular sebagai System of Rice Intensification (SRI). Alih-alih melakukan kordinasi dengan BPN atau Departemen Kehutanan dalam agenda Reforma Agraria, Departement Pertanian c.q. Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, memprogramkan pembuatan Rancangan Undang-udang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, bekerja bersama Badan Legislasi DPR RI, yang diajukan antara lain untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut Naskah Akademik RU itu, selama periode 1979-1999, konversi lahan sawah di Indonesia mencapai 1.627.514 Ha atau 81.376 ha/tahun.  Khusus untuk konversi lahan sawah, 1.002.005 Ha (61,57 %) atau 50.100 Ha/tahun terjadi di Jawa, sedangkan di luar Jawa mencapai sekitar 625.459 Ha (38,43 %) atau 31.273 Ha/tahun. 

 

Akhirnya, tulisan ini mau berpesan bahwa dalam proses kebijakan Reforma Agraria badan-badan pemerintah tidaklah berada dalam satu kepentingan yang sama dan terkordinasi. Mereka masih merupakan aktor-aktor yang bertindak untuk kepentingan sektornya sendiri-sendiri, atau mungkin melayani kepentingan pihak lainnya, dan juga memerankan diri sebagai arena dimana berbagai kekuatan sosial saling mempertarungkan dan merundingkan kepentingannya masing-masing. Dengan demikian jalan untuk mewujudkan cita-cita keadilan agraria bagi kelas petani dan petani yang tidak bertanah tetap terjal dan mendaki, meski Indonesia telah hampir 10 tahun berada di bawah tatanan politik yang demokratik.

 

Berkeley, 28 Juli 2009

 

 

 

 

 

 



*) Penulis menyampaikan terima kasih untuk pimpinan KPA periode 2009-211, Usep Setiawan, Idham Arsyad, dan Dede Shineba, Adriana, dan juga Laksmi Savitri dan Mohamad Shohib dari Sajogyo Institute, yang telah memberi kritik, komentar dan usulan atas drat awal naskah ini. Seperti biasanya, tanggung jawab penulisan sepenuhnya berada pada penulis.

**) Noer Fauzi adalah Anggota Dewan Pakar KPA, dan PhD Candidate dari Department of Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California, Berkeley, USA. Tahun 1995-1998,  dan 1998-2002 menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

[1] Lihat: “Keliru Jika SBY Dianggap Telah Melakukan Pembaruan Agraria” Siaran Pers KPA 3 Juli 2009. Website resmi KPA. http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=300&Itemid=1. Semua alamat situs yang dikutip dalam tulisan ini telah dicek keberadaanya pada tanggal 28 Juli 2009. 

[2] “Bahas Pengentasan Kemiskinan, SBY Diskusi Dengan Hernando de Soto”, 7 November 2006. Situs resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/11/07/1216.html

[3] Lebih jauh lihat Iwan Nurdin (2009) PPAN: Layu Sebelum Berkembang. Jakarta, Konsorsium Pembaruan Agraria. Usep Setiawan (2008) “Dinamika Reforma Agraria di Indonesia Setelah Orde Baru”, Dua Abad Penguasaan TanahEdisi Yang Diperluas, SMP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds), Jakarta: Yayasan Obor: 399-432.. 

[4] “Pidato Presiden RI pada Awal Tahun 2007”. 31 Januari 2007. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono.http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/01/31/582.html

[5] “SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN. Akan Dikembangkan, Program Reforma Agraria”. 28 September 2006. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.html

[6] “Rapat Terbatas Bahas Reforma Agraria.” 23 Mei 2007. Website Resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=402&Itemid=55

[7] Kita mengetahui dari studi Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay (2005), Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform, tidak semua klaim itu telah absah secara hukum birokrasi. Menurut studi itu klaim Departmen Kehutanan dalam menguasai kawasan hutan seluruh Indonesia seluas 120,353,104 hektar didasarkan pada penunjukan oleh Menteri Kehutanan, dan hingga awal tahun 2005 hanya 12 juta hektar atau 10 persen saja yang telah memiliki Berita Acara Tata Batas (BATB, Forest Delineation Process Document) (hal 11).

No comments:

Post a Comment