Noer Fauzi Rachman[1]dan Laksmi Savitri[2]
Dimuat dalam Dignitas Volume VII No. 2 Tahun 2011. For full and free access at https://kalamkopi.files.wordpress.com/2017/04/rachman-dan-savitri-kapitalisme-perampasan-tanah-global-dan-agenda-studi-gerakan-agraria.pdf
Abstrak
Kapitalisme berproses dengan tujuan akhir adalah melepaskan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam relasi tanah dengan manusia, dan menempatkan tanah sebagai komoditi. Namun kapitalisme (dan juga masyarakat) tidaklah memiliki wajah tunggal. Tulisan ini menguraikan betapa pentingnya pemahaman bagi kalangan promotor Reforma Agraria tentang bagaimana kapitalisme bekerja dalam konteks perampasan tanah dan juga pengerukan sumberdaya alam. Cara bagaimana kapitalisme ini berkembang secara berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lain perlu dipahami analisis sebagai dasar untuk melakukan Reforma Agraria.
Margaret Thatcher, pemimpin Partai Konservatif Inggris (1975-1990) yang memenangi tiga kali pemilu untuk posisi perdana menteri Inggris, bersama-sama dengan Ronald Reagan (Presiden Amerika ke-40, memenangidua kali pemilihan umum 1981-1989) secara terang benderang menegaskan posisinya sebagai kampiun penganjur “kapitalisme perusahaan-bebas (free-enterprise capitalism)” dan menyuarakan konsepsi there is no alternative[3]. Istilah ini – dan singkatannya TINA – kemudian dipopulerkan kalangan gerakan sosial sebagai “anti-globalisasi”.Saat kita membicarakan masalah ekonomi, tidak bisa tidak, kita niscaya membicarakan kapitalisme, dan cara bekerjanya.
Fernand Braudel, sejarawan Perancis pemimpin dari Aliran Annales (Annales School) dalam ilmu sejarah, menulis kalimat yang dikutipkan di atas dalam salah satu karya klasiknya Civilization and Capitalism 15th – 18thCentury Volume II: the Wheels of Commerce: “manakala kapitalisme diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela.” Dia melanjutkan, “Suka atau tidak, … terdapat suatu bentuk kegiatan ekonomi yang tak bisa dihindari memanggil ingatan kita pada kata ini, dan tidak bisa tidak” (Braudel 1979:231).
Adalah sulit dimengerti bila membicarakan apa yang sekarang disebut Reforma Agraria,[4] tanpa didasari oleh pemahaman tentang bagaimana kapitalisme berkembang, dan berkembang secara berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di seantero nusantara.[5] Belajar memahami perkembangan kapitalisme ini sungguh diperlukan, seiring dengan keperluan untuk senantiasa belajar menghadapinya, termasuk melakukan tindakan bersama untuk menyelamatkan dan memperbaiki kesejahteraan rakyat, memulihkan alam yang dirusak, dan meningkatkan produktivitas rakyat.
Tanpa adanya pemahaman yang memadai mengenai kapitalisme dan cara kerjanya, organisasi-organisasi yang mengagendakan Reforma Agraria, akan bergerak-gerak sedemikian rupa sehingga gerakan mereka bagaikan “jauh panggang dari api”. Karena begitu jauhnya “panggangan” dari “api” maka proses memasak tidak terjadi, masakan tidak ada yang bisa disajikan. Apa yang mau dituju sama sekali tidak dapat dicapai.
Pendekatan untuk Memahami Perkembangan Kapitalisme Indonesia
Tidak ada yang meragukan bahwa sistem produksi kapitalis adalah yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan sofistikasi teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. Ketiganya mengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidak kompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yang tidak lagi dapat dipakai.
Dalam karya klasiknya Capitalism, Socialism and Democracy (1944) bab “Can Capitalism Survive”, Joseph A. Schumpeter menulis sebagai berikut:
Kapitalisme, dengan demikian, hakekatnya adalah suatu bentuk atau metoda perubahan ekonomi, dan bukan hanya tidak pernah statis tapi tidak pernah biasa statis. Dan karakter evolusioner dari proses kapitalis bukan hanya dikarenakan fakta bahwa kehidupan ekonomi berlangsung dalam suatu lingkungan sosial dan alam yang berubah dan perubahan ini mengubah data dari perilaku ekonomi; Hal ini memang penting dan perubahan-perubahan ini (perang, revolusi dan sebagainya) sering membentuk perubahan industrial, akan tetapi kesemua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pula terutama dikarenakan peningkatan yang rada-otomatis dalam hal ilmu dan jumlah modal, atau pada perilaku aneh dari sistem-sistem moneter, yang kesemuanya memang benar berpengaruh. Dorongan pokok yang menyusun dan menjaga mesin kapitalis bergerak adalah berasal dari barang-barang konsumsi yang baru, metoda-metoda produksi atau transportasi yang baru, pasar-pasar baru, bentuk-bentuk baru dari organisasi industrial yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan kapitalis (Schumpeter 1976:82-83).
Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses penghancuran yang kreatif).
Melalui proses sirkulasi barang dagangan, kebutuhan manusia pun pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalisme sanggup membentuk bagaimana cara sector ekonomi dikelola oleh badan-badan pemerintahan hingga ke pemikiran cara bagaimana cara ekonomi pasar itu diagung-agungkan.
Sejarah penguasaan agraria di Indonesia hampir mirip dengan sejarah yang terjadi di negara-negara paskakolonial di Asia, Amerika Latin hingga Afrika. Pemberlakuan hukum agraria yang baru, termasuk di dalamnya hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.
Di Indonesia, kran liberalisasi sumberdaya alam tersebut sangat jelas ketika Orde Baru pimpinan Soeharto mulai berkuasa, tahun 1967. Liberalisasi pertengahan dekade 1960an ini telah merampas kedaulatan rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah kolonial melakukan cara serupa semasa penjajahan sebelumnya.
Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai memagari lahan-lahan konsesi, dan mengeluarkan penduduk bumiputera dari wilayah itu. Hubungan dan cara komunitas lokal menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu, akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum.
Pemagaran dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu. Tanah dan kekayaan alam itu kemudian masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik. Jadi, perubahan dari alam menjadi sumberdaya alam ini berakibat sangat pahit bagi rakyat bumiputera yang harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan.
Proses demikian dipahami oleh Adam Smith – pemikir ekonomi terkenal yang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak kelihatan (invisible hands)” yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasar bekerja—dalamkarya terkenalnya The Weath of Nations bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja” (1776, I.3:277).
Belajar dari kenyataan dan keniscayaan ini, Karl Marx mengembangkan teori “the so-called primitive accumulation”, yang mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas (Marx, Das Capital, 1867).[6] Ini adalah proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota juga dilahirkan oleh proses yang ini (Lihat Davis 2006).[7]
Penyebab perubahan agraria terbesar sekarang ini adalah korporasi raksasa yang terus-menerus mengambil barang milik rakyat dengan sokongan langsung dari lembaga-lembaga negara. Dalam konteks melancarkan bekerjanya pasar kapitalisme di zaman globalisasi sekarang ini,[8] negara Indonesia secara terus-menerus dibentuk oleh perusahaan-perusahaan transnasional, badan-badan pembangunan internasional, dan negara-negara kapitalis maju agar menjadi negara neoliberal.
Harvey (2003, 2005) mengemukakan istilah accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara perampasan) yang dibedakan dengan accumulation by exploitation, yakni akumulasi modal secara meluas melalui eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang dagangan.[9] Dalam proses akumulasi dengan cara perampasan, dia menekankan pentingnya ”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumberdaya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja” (Harvey 2003:116). Reorganisasi dan rekonstruksi geografis sebagai akibat dari pembukaan ruang-ruang baru bagi kapitalisme ini sering menjadi ancaman bagi keberlanjutan hidup rakyat pedesaan dengan segala unsur kebudayaannya yang memelihara keberadaan hubungan soaial dan nilai-nilai yang telah menancap dalam dan terikat secara sosial pada tempat-tempat itu.
Sungguh merupakan persoalan besar ketika para kapitalis menghadapi kenyataan bahwa uang yang telah tertumpuk sedemikian besarnya tidak bisa disalurkan ke dalam suatu siklus perpuataran uang yang bisa melipatgandakan uang itu lagi. Uang itu mencari tempat penyalurannya.
Pada konteks ini kita dapat mengerti bahwa keuntungan uang yang berlipat ganda diciptakan melalui produksi dan penjualan barang dalam ruang dan waktu tertentu, melainkan uang yang telah terakumulasi itu sanggup menciptakan dan membentuk ruang-ruang baru. Dalam karyanya The New Imperialism, Harvey menampilkan beragam contoh kontemporer dari apa yang disebutnya sebagai ’The cutting edge of accumulation by dispossession’: Aset-aset yang dipegang oleh negara atau dikelola secara bersama oleh penduduk dilepaskan melalui pelepasan hak secara paksa atau sukarela ke pasar, ketika modal-modal yang berkelebihan itu sanggup berinvestasi, memperbaharui dan berspekulasi dengan menggunakan aset-aset tersebut. Menurutnya, ”apa yang dilakukan melalui accumulation by disposession sesungguhnya adalah melepaskan serangkaian aset (termasuk tenaga kerja) dengan biaya yang sangat rendah (dan dalam banyak hal sungguh tanpa biaya). Modal yang telah terakumulasi secara berlebihan dapat dipakai untuk merampas rangkaian aset tersebut dan segera memasukkannya ke dalam suatu usaha baru pelipatgandaan keuntungan” (Harvey 2003: 149). Secara khusus di jaman neoliberal sekarang ini bentuk-bentuk baru accumulation by dispossession berlangsung melalui proses privatisasi badan-badan usaha milik negara dan publik, komodifikasi tanah dan sumber daya alam lain, finansialisasi yang dilakukan berbagai macam badan keuangan internasional dan nasional, kebijakan mengatasi krisis-krisis finansial, ekonomi, politik, sosial, bahkan bencana alam, hingga bentuk-bentuk privatisasi asset milik negara (Harvey 2005: 157-158).
Global land grabbing
Dengan memahami cara kerja kapital seperti dijelaskan Harvey (2003, 2005) yang menekankan pada produksi dan pembentukan ruang untuk dan melalui perkembangan usaha kapitalisme, marilah kita cermati gejala perampasan tanah global (global land grab) dengan dalih kebutuhan tanah untuk mengatasi krisis pangan dan energi. GRAIN, suatu badan penelitian yang diabdikan untuk kemajuan gerakan untuk keadilan sosial global (global justice), telah secara permulaan mendaftar dan memetakan sekitar hampir seratus transaksi tanah yang berlangsung sampai 2008. Hasilnya adalah sebuah gambaran peralihan penguasaan tanah yang menjelaskan secara gamblang pilihan penyelesaian atas uang yang telah terakumulasi secara berlebihan (Gambar 1).
Gambar 1
Peta Land Grabbing Global
Untuk wilayah region Asia Tenggara, Consortium of NTS Studies (2010a, 2010b) mengeluarkan sebuah daftar investasi, baik sebagai janji maupun sudah terealisasi (lihat Tabel 1).
Tabel 1 Daftar Investasi di Asia Tenggara
Negara Target | Negara Asal Investor | Bentuk transaksi | Status Transaksi |
Kamboja | Kuwait | Tanah disewakan untuk padi | Ditandatangani |
Kamboja | Vietnam | 100.000 ha untuk karet | Tidak diketahui |
Indonesia | Saudi Arabia | 500.000 ha dengan investasi senilai US$4,4 milyar untuk padi, tapi gagal | Tidak dilanjutkan |
Laos | Vietnam | 100.000 ha untuk karet | Tidak diketahui |
Filipina | Bahrain | 10.000 ha untuk agro-fishery | Ditandatangani |
Filipina | Cina | 1,24 juta ha disewakan, transaksi ditunda | Tidak dilanjutkan |
Vietnam | Qatar | Dana gabungan sebesar US$ 1 milyar untuk pertanian | Tidak diketahui |
Sumber: Consortium of NTS Studies (2010a).
Beragam cara perolehan tanah memang terjadi secara berbeda-beda. Taylor dan Bending (2009)mengklasifikasinya menjadi beberapa tipologi (Gambar 2). Dalam kategori ilegal, terjadi proses perampasan tanah di Sudan oleh Jarch Capital, yakni melalui suatu perjanjian transaksi tanah yang melanaggar prosedur formal negara yang dilakukan oleh seorang pemilik modal perusahaan investasi di New York dengan seorang penguasa perang wilayah (warlord) untuk luasan tak terperi: 4.000 kilometer persegi. Kasus lain adalah penggunaan kekerasan militer untuk perampasan tanah-tanah pribadi di Kolombia. Prosedur hukum untuk perubahan kepemilikan lebih sering ditempuh banyak negara, terutama di wilayah yang diakui sebagai tanah milik negara. Namun, prosedur hukum dan penggunaan kewenangan pemerintah juga dibuat oleh negara dan eliteuntuk mengesahkan pengambilalihan kepemilikan tanah-tanah adat (Etiopia, Nigeria, Filipina, dan tentunya Indonesia). Bahkan, melalui mekanisme pasar tanah, telah terjadi rekonsentrasi kepemilikan tanah yang cukup tajam di Peru, Kolombia, dan Argentina.
Selain difasilitasi langsung oleh negara-negara asal investor dan pembuatan instrumen legal oleh negara penerima investasi, investasi asing berskala besar untuk pembelian dan penyewaan tanah dengan argumen kemanan pangan ini juga difasilitasi oleh lembaga perpanjangan tangan World Bank yang disebut International Financial Corporation (IFC) (Daniel dan Mittal 2009). Pada 2008, World Bank meluncurkan himbauan yang disebut sebagai “New Deal in Global Food Policy”, yaitu himbauan untuk memacu produktivitas bahan pangan. Pada akhir tahun fiskal 30 Juni 2008, nilai investasi IFC yang ditanamkan di rantai pemasaran pangan mencapai lebih dari 1,3 miliar dolar Amerika Serikat. Jumlah proyek agribisnis yang didukung meningkat dari sejumlah 17 proyek pada 2005 menjadi 32 proyek pada 2008. Selanjutnya, pada Februari 2009, IFC membentuk sebuah proyek investasi agribisnis khusus, Altima One World Agriculture Development Fund, untuk negara berkembang sebesar 625 juta dolar Amerika. Selain Altima One World Agriculture Fund (Amerika Serikat), ada juga Chayton Atlas Agriculture Company (Inggris), Citadel Capital (Mesir), Mriya Agro Holding (Ukraina), Sena Group(Mauritius), Tereos (Perancis), SLC Agricola (Brazil), dan lain-lain.
Gambar 2 Tipologi Cara-cara Perolehan Tanah
Sumber: Taylor dan Bending (2009).
Sanggahan GRAIN dan para pendukungnya atas laporan World Bank dan munculnya solusi win-win yang diusulkan berbagai lembaga internasional atas fenomena pengambilalihan tanah skala luas untuk pertanian dan ketahanan pangan justru mengungkap dan memunculkan bahwa upaya-upaya untuk pengambilalihan tanah sesungguhnya telah diorkestrasi secara sistematis mulai dari level global sampai lokal, lengkap dengan perangkat pendukungnya. Semakin luas penguasaan tanah yang dituju, maka memerlukan level orkestrasi yang semakin global dan melibatkan aktor-aktor internasional.
Banyak contoh soal yang terpampang di depan mata kita, salah satunya adalah apa yang secara resmi oleh pemerintah Indonesia dijuluki Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).[10] Dari pengalaman MIFEE saja kita bisa melihat adanya proses kebijakan yang bertingkat dengan beragam aktor telah menyediakan banyak pintu bagi produksi dan pembentukan ruang baru. Tidak terlalu sulit untuk menelusuri proses kebijakan yang melahirkan proyek ini. Krisis pangan yang melekat erat pada krisis energi semakin menajam pada tahun 2008 menjadi tantangan kreativitas bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah wacana “krisis” menjadi “peluang”. Harga komoditas pangan yang meroket dan permintaan energi terbarukan yang meningkat di tengah situasi tidak terlalu dirasakan dan mudah dilihat oleh banyak orang di Indonesia, baik karena ketersediaan stok, intervensi-inetrvensi pasar oleh pemerintah dengan import bers dan komoditas pertanian lain, operasi-operasi pasar, maupun injeksi uang tunai pada orang miskin. Yang sangat terlihat adalah krisis pangan dan energi global telah menjadi pembuka pintu bagi peluang investasi di kedua sektor itu. Peluang ini segera ditangapi oleh elite pemerintah dengan menghasilkan/memodifikasi kebijakan-kebijakan yang bermuara pada pemberian konsesi-konsesi perkebunan skala raksasa.
Hal ini bisa dilihat jelas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang ditandatangani oleh presiden pada Maret 2008. Peraturan ini dengan jelas menunjuk Kabupaten Merauke sebagai Kawasan Andalan. Pada Mei 2008, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008–2009 yang menginstruksikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Gubernur Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke. Pada tahun yang sama, Kementerian Pertanian mendapat rapor merah karena belum berhasil meluncurkan program MIFEE.
Sementara instrumen kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke maupun Provinsi Papua, juga desain MIFEE belum lagi selesai, gerak cepat izin lokasi yang dikeluarkan Bupati Merauke pada 2008 telah menghasilkan pengalokasian tanah seluas 300.000 hektar kepada PT Medco yang juga dilegitimasi secara adat. Pada 2009, salah satu anak perusahaan PT Medco berhasil mendapatkan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Surat Keputusan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Nomor 18/Menhut-II/2009 dengan total luas 169.400 hektar. Di lokasi yang berbeda dengan anak perusahaan yang lain, PT Medco juga memperoleh izin pengembangan industri kayu serpih seluas 2.800 hektar. Pada 2010, melalui anak perusahaan yang berbeda lagi, PT Medco sudah mendapatkan izin lokasi untuk HTI seluas 74.219 hektar. Kayu serpih ini diekspor ke Korea dan China, bukan untuk bahan baku kertas, melainkan sebagai bahan bakar pengganti batubara. Bisnis kayu serpih sebagai bahan bakar terbarukan menjustifikasi operasi HTI PT Medco dalam rubrik “Energy Estate”. Dua anak perusahaan PT Medco yang disebut terdahulu pada saat ini sudah beroperasi dan melakukan pembayaran untuk pelepasan tanah adat, termasuk pembayaran penggantian kayu yang mereka panen dari hutan orang Marind. Lebih jauh lagi, bisnis kayu serpih ini juga sudah berhasil menarik investasi dari Korea Selatan melalui LG International.
Selanjutnya pada 2010, PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dikeluarkan untuk mengatur luasan pengusahaan budidaya tanaman dengan memperbolehkan penguasaan tanah di Papua dua kali lipat dari batas maksimum untuk daerah lain di Indonesia, yaitu mencapai 20.000 hektar. Namun, pada 2009, Grup Rajawali telah lebih dulu mengantongi izin lokasi untuk perkebunan tebu di Merauke melalui dua anak perusahaannya dengan luasan mencapai 35.000 hektar. Pada saat itu, juga sudah ada sepuluh perusahaan pemegang izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit dengan total luas 377.387,90 hektar, dengan rata-rata luas ijin yang dikeluarkan sebesar 35.000 hektar.
Selanjutnya, perkembangan luasan konsesi yang diberikan melalui penggunaan kewenangan Bupati Merauke dalam memberikan Ijin Lokasi, dari waktu ke waktu semakin bertambah secara fantastis, dari Januari 2007 hingga di Agustus 2010, untuk 44 perusahaan mencapai luas 2.144.650,99 hektar!!! (lihat Tabel 2).
Tabel 2. Daftar Perusahaan yang mendapatkan Ijin Lokasi antara tahun 2007-2010
No. | Name of corporation | Commodity | Permits (ha) | Location (sub-district) |
1 | PT. Papua Agro Lestari | Oil palm | 39.800,00 | Ulilin |
2 | PT. Bio Inti Agrindo | Oil palm | 36.400,90 | Ulilin |
3 | PT. Ulilin Agro Lestari | Oil palm | 30.000,00 | Ulilin |
4 | PT. Mega Surya Agung | Oil palm | 24.697,00 | Muting |
5 | PT. Hardaya Sawit Papua | Oil palm | 62.150,00 | Jagebob |
6 | PT. Agrinusa Persada Mulia | Oil palm | 40.000,00 | Muting |
7 | PT. Central Cipta Murdaya | Oil palm | 31.000,00 | Muting, Elikobel, Ulilin |
8. | PT. Agriprima Cipta Persada | Oil palm | 33.540,00 | Muting & Ulilin |
9. | PT. Dongin Prabhawa | Oil palm | 39.800,00 | Ngguti |
10. | PT. Berkat Cipta Abadi | Oil palm | 40.000,00 | Ulilin |
| Total oil palm permit |
| 377.387,90 |
|
11 | PT. Selaras Inti Semesta | Lumber | 301.600,00 | Kaptel |
12 | PT. Medco Papua Industri Lestari | Wood chips/pellets | 2.800,00 | Kaptel |
13 | PT. Medco Papua Alam Lestari | Lumber | 74.219,00 | Ngguti, Tubang, Okaba |
14 | PT. Cipta Papua Agri Lestari | Lumber | 90.225,00 | Elikobel |
15 | PT. Plasma Nutfah Marind | Lumber | 67.736,00 | Ngguti, Okaba |
16 | PT. Inocin Kalimantan | Lumber | 45.000,00 | Ulilin |
17 | PT. Wanamulia Sukses Sejati | Lumber | 61.000,00 | Anim-ha |
18 | PT. Wanamulia Sukses Sejati | Lumber | 96.533.56 | Kaptel, Muting |
19 | PT. Wanamulia Sukses Sejati | Lumber | 116.000,00 | Kaptel, Okaba |
20 | PT. Balikpapan Forest Indonesia | Lumber | 40.000,00 | Okaba |
21 | PT. China Gate Agriculture Development | Lumber | 50.000,00 | Kimaam, Ilwayab |
| Total forest permit |
| 945.113,56 |
|
22 | PT. Kharisma Agri Pratama | Rice, corn, soy bean | 40.000,00 | Tubang |
23 | PT. China Gate Agriculture Development | Rice, corn, cassava | 20.000,00 | Okaba |
| Total food crops plantation permit |
| 60.000,00 |
|
24 | PT. Nusantara Agri Resources | Sugar cane | 40.000,00 | Ngguti, Tubang |
25 | PT. Agri Surya Agung | Sugar cane | 40.000,00 | Ilwayab, Tubang, Ngguti |
26 | PT. Hardaya Sugar Papua | Sugar cane | 44.812,00 | Jagebob |
27 | PT.Energi Mitra Merauke | Sugar cane | 40.000,00 | Okaba, Tubang, Ngguti |
28 | PT. Tebu Wahana Kreasi | Sugar cane | 20.282,00 | Tanah Miring |
29 | PT. Karya Bumi Papua | Sugar cane | 30.000,00 | Malind, Kurik |
30 | PT. Anugrah Rejeki Nusantara | Sugar cane | 40.591,49 | Tabonji |
31 | PT. Subur Alam Pratama Indonesia | Sugar cane | 40.251,62 | Tabonji, Kimaam |
32 | PT. Sukses Pratama Andalan | Sugar cane | 40.946,50 | Tabonji |
33 | PT. Lestari Subur Indonesia | Sugar cane | 40.548,61 | Tabonji |
34 | PT. Pelangi Prima Indonesia | Sugar cane | 40.286,55 | Tabonji, Kimaam |
35 | PT. Papua Daya Bioenergi | Sugar cane | 13.396,00 | Tanah Miring |
36 | PT. Bumi Agung Lestari | Sugar cane | 50.030,00 | Tubang, Okaba |
37 | PT. Valensia Indo Makmur | Sugar cane | 50.001,00 | Ilwayab |
39 | PT. Cendrawasih Jaya Mandiri | Sugar cane | 40.000,00 | Malind, Kurik |
40 | PT. Belantara Abadi Utama | Sugar cane | 40.000,00 | Tubang, Kimaam, Ilwayab |
41 | PT. Synergi Tani Nusantara | Sugar cane | 36.363,76 | Tubang |
42 | PT. Sarana Istiqamah Sejahtera | Sugar cane | 33.295,00 | Jagebob, Sota, Tnh Miring |
43 | PT. Perwita Citra Nusantara | Sugar cane | 50.000,00 | Tubang, Ilwayab |
| Total sugar cane plantation permit |
| 762.116,53 |
|
44 | PT.Sino Indonesia Shunlida | fishery | 33,00 | Merauke |
| Total permits |
| 2.144.650,99 |
|
Sumber: Badan Kordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Kabupaten Merauke, 2011
Di tahun 2011, Menteri Koordinator Perekonomian mengeluarkan suatu cetak biru Masterplan Percepatan Pembangunan Perekonomian Indonesia (MP3I) 2011-2025, dan diberikan landasan hukum melalui Inpres Nomor 32 Tahun 2011 tentang MP3I. Secara khusus, MIFEE diberi tempat di dalam salah satu dari enam koridor ekonomi, yakni Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Koridor ini direncanakan memiliki tujuh pusat ekonomi, salah satunya adalah Merauke, dengan kegiatan ekonomi utama: pertanian pangan-MIFEE. Dengan demikian, satu lagi bentuk kebijakan dikeluarkan untuk semakin memperkuat legitimasi atas produksi dan pembentukan ruang melalui industri pertanian korporasi.
Penutup: Gerakan Tandingan atas Gerakan Pasar
Harus dipahami bahwa ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekali berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dimana terjadi tukar-menukar barang melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang. Perbedaan itu dijelaskan dengan sangat baik oleh Karl Polanyi dalam bab 5 “Evolusi Sistem Pasar” dalam karya klasiknya The Great Transformation (1944/1957). Dalam kalimat yang lugas, untuk memahami bagaimana sistem ekonomi pasar kapitalis bekerja, dia membalikkan prinsip resiprositas dari ekonomi pasar sederhana. Dalam ekonomi pasar kapitalis, “bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hubungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang melekat ke dalam sistem ekonomi kapitalis itu” (Polanyi 1944/1957:57). Pasar kapitalis memiliki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negara lah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis demikian itu bisa bekerja.
Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengkomodifikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri.
Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi mengistilahkannya: fictitious commodity(barang dagangan yang dibayangkan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah.
Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan.
Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3).
Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis “selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu) itu tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri” (Polanyi 1944:130).
Perampasan tanah dan kekayaan alam yang dialami penduduk pedesaan Indonesia sejak dahulu, dan protes-protes agraris atas politik agraria yang melancarkan perampasan itu, perlu dipahami dengan kerangka ini (Fauzi 1999). Protes-protes itu adalah perlawanan balik yang sesaat atau bisa juga berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bahkan melawan proses komodifikasi yang dilancarkan oleh pasar kapitalis itu.
Masalah utama dari perspektif Karl Polanyi ini adalah anggapan bahwa dalam menghadapi gerakan pasar, masyarakat itu sebagai satu kesatuan yang bersatu, tidak terdiferensiasi. Untuk mengatasi kelemahan ini kita perlu kembali mempelajari sumbangan karya-karya studi agraria yang terdahulu maupun yang baru,[11] dalam rangka mengerti dinamika gerakan agraria (memodifikasi Borras et al 2009:18-19, Fauzi 2005):
1. Apa saja karateristik struktur agraria yang mendasari suatu gerakan yang muncul, atau yang tidak muncul?
2. Kondisi-kondisi apa, termasuk kesempatan politik bagaimana, yang memungkinkan gerakan itu muncul, dan berpengaruh?
3. Apa basis sosial dari gerakan agraria itu? Kelas sosial dan kelompok mana yang mereka wakili? Bagaimana bentuk keorganisasian gerakan dan cara memobilisasi para kelompok yang menjadi basisnya?
4. Apa aksi-aksi kolektif yang mereka andalkan? Bagaimana mereka memelihara aksi-aksi kolektif tersebut bisa terus berlangsung, atau berubah dari waktu-ke-waktu?
5. Apa isu utama atau tuntutan apa yang dikedepankan oleh gerakan itu? Dari mana tuntutan itu berasal? Bagaimana gerakan itu mengartikulasikan tuntutannya dan perjuangan untuk mendapatkan legitimasi atas tuntutannya tersebut?
6. Kekuatan sosial apa yang menyokong, dan bagaimana cara mereka menyokong gerakan itu? Kekuatan sosial apa menghalangi gerakan tersebut, dan bagaimana cara mereka menghalangi kekuatan gerakan itu?
7. Bagaimana gerakan memandang musuh-musuhnya? Bagaimana cara pandang ini membentuk isu atau tuntutan utama gerakan itu?
8. Apa isu yang menyatukan, atau memecah-belah unsur-unsur di dalam, maupun yang menyokong gerakan itu?
9. Seberapa efektif aksi-aksi kolektif dari gerakan itu dalam upayanya mengubah struktur agraria, dan siapa yang akan mendapatkan keuntungan? Mengapa satu gerakan lebih efektif dibandingkan yang lain?
Demikianlah. Saya percaya para penganjur, pemimpin, dan pegiat gerakan sosial pedesaan Indonesia, perlu memiliki pemahaman yang memadai cara bagaimana kapitalisme berkembang secara berbeda-beda di se-antero nusantara. Memahami masalah agraria dari perspektif demikian akan membantu pembaca untuk di satu pihak mampu mendudukkan gerakan-gerakan protes agraria yang bertumbuh, hidup, hingga yang kemudian mati, sebagai cara masyarakat melindungi diri dari gempuran pasar kapitalis.
Daftar Pustaka
Akram-Lodhi, A. Haroon and Cristobal Kay (Eds). 2009. Peasants and. Globalization, Political Economy, Rural Transformation and the Agrarian Question. London: Routledge.
Akram-Lodhi, A.H. and Cristobal Kay. 2010a. “Surveying the Agrarian Question (part 1). Unearthing Foundation, Exploring diversity.” Journal of Peasant Studies 37(1):177-202.
_____. 2010b, Surveying the Agrarian Question (part 2). Current Debates and Beyond.’ Journal of Peasant Studies 37(2):255-84
Borras Jr., Saturnino (Ed). 2009. Critical Perspectives in Rural Development Studies. London: Routledge.
Brenner, Robert. 2006. "What Is and What Is Not, Imperialism?" Historical Materialism 14:79-105.
Brass, Tom. 2005. “The Journal of Peasant Studies: The Third Decade”, Journal of Peasant Studies 32(1):153-180.
Bernstein, Henry and Byres, Terry J. 2001. “From Peasant Studies to Agrarian Change.” Journal of Agrarian Change1(1):1-56.
Borras, Saturnino M, Marc Edelman, Cristóbal Kay. 2008. Transnational Agrarian Movements Confronting Globalization. London: Willey and Son.
Braudel , Fernand. 1979. Civilization and Capitalism 15th–18th Century. Vol. 2. The Wheels of Commerce. New York: Harper & Row.
Castree, N. 2006. "David Harvey's Symptomatic Silence." Historical Materialism 14:35-57.
Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.
De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History. Value Struggles and Global Capital. London: Pluto Press.
Fauzi, Noer, 1997b, “Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Paska Kolonial”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesiap.67-122, Jakarta: LP-FEUI dan KPA.
_____. 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.
_____. 2001. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria. Yogyakarta: Karsa bekerjasama dengan Insist Press.
_____. 2005. Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogayakarta: Insist Press.
Fine, Ben. 2006. "Debating the 'New' Imperialism." Historical Materialism 14:133-156.
GRAIN. 2008. “The 2008 Land Grab for Food and Financial Security”, Grain Briefing Oktober 2008.
________. 2010. “World Bank Report on Land Grabbing: Beyond the Smoke and Mirrors”, Against the Grain September 2010.
Harvey, David 1990. The Condition of Postmodernity: An Inqiury into the Origins of Cultural Change. Oxford, Oxford University Press.
_____. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
_____. 2004. "The 'New' Imperialism: Accumulation by Disposession." in Socialist Register 2004, edited by L. Panitch and C. Leys. New York: Monthly Review Press.
_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.
_____. 2006a. "Comment on Commentaries." Historical Materialism 14:157-166.
_____. 2006b. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. London: Verso.
Herry-Priyono, B. 2006. “Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan”, naskah refleksi yang disampaikan dalam acara Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 10 November 2006.
Ito, Takeshi, Noer Fauzi Rachman, dan Laksmi Savitri. 2011. “Naturalizing Land. Dispossession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate.” Paper presented at the International Conference on Global Land Grabbing 6-8 April 2011.
Juliantara, Dadang. 1997. “Agraria adalah Akibat, Kapitalisme adalah Sebab!”, Jurnal Suara Pembaruan Agraria No. 3/1997.
Khudori. 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani. Yogyakarta: Resist Book.
Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth, Penguin Books
Consortium of Non-Traditional Security (NTS) Studies. 2010a. “‘Land Grabbing’: The Global Search for Food Security in Southeast Asia”, NTS Alert 1: Mei 2010.
________. 2010b. “‘Land Grab’ and its Discontents”, NTS Alert 2: Mei 2010.
Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.
Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
_____. 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
Setiawan, Bonnie. 2003. Globalisasi Pertanian, Jakarta: The Institute for Global Justice.
Schumpeter, Joseph A. 1944. Capitalism, Socialism and Democracy. Allen & Unwin.
Sutcliffe, Bob. 2006. "Imperialisme Old and New: A Comment on David Harvey's The New Imperialism and Ellen Meiksins Wood's Empire of Capital." Historical Materialism 14:59-78.
Tacher, Margaret. 2002. Statecraft. Strategies for a Changing World. New York, HarperCollins Publisher.
Taylor, M. dan Bending, T. 2009. Increasing Commercial Pressure on Land: Building a Coordinated Response. Roma: International Land Coalition.
Ya’kub, Ahmad, 2004, “Agenda Neoliberal Menyusup Melalui Kebijakan Agraria di Indonesia”, dalam Jurnal Analisis Sosial 9(1):47-64, Bandung: Yayasan Akatiga.
Wibowo. I. And Francis Wahono (Eds.). 2003. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Wood, Ellen Meiksins. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.
_____. 2006. "Logics of Power: A Conversation with David Harvey." Historical Materialism 14:9-34.
Zakaria, Yando., Emil O. Kleden, dan F. Samperante. 2010. Tak Terjangkau Angan Malind: Beberapa Catatan atas Upaya Percepatan Pembangunan cq. Merauke Integrated Food and Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua, dan Kesiapan Masyarakat Adat Setempat dalam Menghadapinya. Jakarta: Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Masyarakat Adat (PUSAKA).
[1] Noer Fauzi Rachman memperoleh gelar PhD dari University of California, Berkeley, USA, dalam bidang Environmental Science, Policy and Management. Saat ini mengajar studi agraria dan kebijakan pertanahan di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, dan aktif sebagai Majelis Pakar di Sajogyo Institute.
[2] Laksmi Savitri memperoleh gelar PhD dari Kassel University, Germany, dalam bidang Kajian Gender dan Agraria, Saat ini adalah Direktur Sajogyo Institute.
[3] Saya menganjurkan pembaca menelaah pembelaan dan tanggapan balik dari Margaret Thatcher atas kritik-kritik dari kaum yang anti terhadap free-enterprise capitalism, dalam bab “Capitalism and its Critics”, dalam bukunya Margaret Thatcher (2002) Statecraft, Strategies for a Changing World. New York, HarperCollins Publisher, halaman 412-466.
[4] Tanpa prakarsa dari Gunawan Wiradi, tidak mungkin istilah reforma agraria yang berasal dari Bahasa Spanyol ini menjadi popular di kalangan pegiat gerakan sosial, yang pada gilirannya sampai juga ke para peneliti dan dosen perguruan tinggi, dan para pejabat dan pegawai pemerintah. Lihat: Wiradi, Gunawan (2000, 2010).
[5] Sebagai upaya mengingatkan pentingnya kedudukan kapitalisme untuk memahami perubahan agraria, dan pemahaman relasional atas kemiskinan agraris yang kronis di pedesaan, Dadang Juliantara dalam Jurnal Suara Pembaruan Agraria No. 3 Tahun 1997, pernah menulis, “Agraria adalah Akibat, Kapitalisme adalah Sebab!”
[6] Uraian menarik mengenai konsep “original accumulation” dari Adam Smith dan “primitive accumulation” dari Karl Marx, dan relevansinya untuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalam Perelman (2000) dan De Angelis (2007).
[7] Michael Perelman lah yang pertama kali bertanya mengapa Marx tidak lebih lugas mengemukakan sifat keberlangsungan akumulasi primitif. Ia menganggap bahwa cara Marx merumuskan akumulasi primitif sebagai kenyataan masa lampau sungguh dapat dimengerti, karena ”Marx mengabdikan keterangannya mengenai akumulasi primitif sebagai kritik yang meyakinkan terhadap kapitalisme, yakni sekali kapitalisme memegang kendali, kaum kapitalis belajar bahwa tekanan-tekanan pasar sungguh lebih efektif dalam mengeksploitasi tenaga kerja ketimbang tindakan brutal akumulasi primitif (Perelman 2000:30). Perelman juga yang memecahkan misteri ”primitif” dalam ”akumulasi primitif”. Seperti yang secara tegas tercantum dalam tulisan Marx, kata primitif dari istilahnya Adam Smith previous accumulation. Dalam karyanya, Perelman menunjukkan kalimat lengkap dimana Marx mengambil dari Adam Smith, yakni ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata ’previous’ dari karya Adam Smith menjadi ”ursprunglich”, dimana penerjemah bahasa Inggris Marx kemudian menerjemahkannya menjadi ”primitive” (Perelman 2000:25).
[8] Mengikuti David Harvey (1990), penulis membedakan globalisasi sebagai proses saling berhubungannya berbagai bagian dunia yang utamanya ditandai oleh “semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space compressions) akibat perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi, komunikasi, dll); dan neoliberalisme sebagai suatu proyek ideologi dan politik yang menomor satukan prinsip-prinsip kebebasan, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar bebas, dan akumulasi modal skala dunia. Untuk uraian mengenai pengaruh neoliberalisme ini bisa dilihat pada karya-karya Fauzi (2001); Wibowo dan Wahono (2003), Setiawan (2003), Khudori (2004), Ya’kub (2004), dan Herry-Priyono (2006).
[9] Accumulation by dispossession merupakan reformulasi Harvey atas ”akumulasi primitif” setelah ia mengolah teori underconsumptiondari Rosa Luxemberg dalam karyanya The Accumulation of Capital (1968). Menurutnya, banyak teori-teori Marxist mengenai akumulasi ”mengabaikan proses akumulasi yang terbentuk melalui berbagai macam tindakan perampasan, penipuan, dan kekerasan yang diperlakukan atas berbagai hal di ”keadaan awal” yang dianggap tidak lagi relevan atau – di sini ia kemudian merujuk pada Rosa Luxemberg – yang diperlakukan terhadap yang berada ”di luar dari” kapitalisme yang berlaku bagaikan suatu sistem tertutup. Selanjutnya, ”mengevaluasi kembali peran yang menetap dan terus berkelanjutan dari praktek-praktek buas dari ”akumulasi primitif” atau ”akumulasi awal-mula” dalam sebuah geografi sejarah akumulasi modal, sungguh merupakan tugas yang mendesak sebagaimana akhir-akhir ini disampaikan oleh para komentator”. Harvey merujuk pada Parelman (2000), de Angelis (2000) dan perdebatan besar-besaran dalam The Commoner. Harvey memutuskan untuk meluaskan dan menamakannya accumulation by disposession (akumulasi dengan cara perampasan kepemilikan), karena ia merasa ”adalah janggal untuk menyebut suatu proses yang berkelanjutan dari ”akumulasi primitif” atau ”akumulasi awal-mula” (Harvey 2003:144). Dalam karyanya Comment in Commentaries (Harvey 2006), yang ditulisnya sebagai tanggapan atas sejumlah komentar serta kritik dari kaum Marxist lain atas New Imperialism (Ashman dan Calinicos 2006; Brenner 2006; Brenner 2006; Castree 2006; Fine 2006; Suteliffe 2006; Wood 2006), ia berkeras bahwa ”praktek-praktek yang bersifat kanibal dan buas yang terjadi terus di negara-negara kapitalis maju dengan kedok privatisasi, reformasi pasar, pengetatan anggaran kesejahteraan dan neoliberalisasi lebih cocok bila ditampilkan sebagai accumulation by disposession. Accumulation by disposession secara kualititaf dan teoritis berbeda dengan apa yang terjadi di masa awal kapitalisme (Harvey 2006:158).
[10] Bagian MIFEE ini berdasar pada Ito dkk. (2010); Lihat pula Zakaria dkk. (2010)
[11] Pelajari karya-karya tulis dalam Hart et al (1989), juga Li (1999). Untuk suatu review mengenai sumbangan The Journal of Peasant Studies dalam studi-studi petani dan perubahan agraria, lihat: Bernstein dan Byres (2001). Untuk review karya-karya studi agraria terbaru lihat Borras (2009), Akram-Lodhi and Kay (2009, 2010a, 2010b).
No comments:
Post a Comment