Noer Fauzi Rachman
Pada mulanya, naskah ini adalah “epilog” yang dimuat sebagai Epilog dalam Muhamad Tauchid, Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan. Halaman 642-662. Untuk keseluruhan paskah bisa unduh secara bebas pada: https://pppm.stpn.ac.id/sdm_downloads/tauchid-masalah-agraria-sebagai-masalah-penghidupan-dan-kemakmuran-rakyat-indonesia
Sebagian orang hidup di dalam kegelapan;
Segelintir saja yang hidup di tempat yang terang;
dan mereka yang hidup di kegelapan tetap tak terlihat.
(Bertold Brecht, Threepenny Opera)[1]
Penerbitan ulang buku karya Mochammad Tauchid Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia jilid 1 dan 2 (Djakarta, Tjakrawala, 1952/53), oleh tiga penerbit berbeda-beda, yakni Pewarta – Yogyakarta pada 2009, Sekolah Tinggi Pertanahan (STPN) – Yogyakarta pada 2010, dan Bina Desa Sadar Jiwa – Jakarta pada 2011, menunjukkan betapa istimewanya buku ini. Ya bagi penulis secara pribadi, buku ini memiliki makna yang istimewa. Ia istimewa pula kedudukannya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dan untuk menginspirasikan perjuangan pengembangan kebijakan agraria yang memihak kepentiongan petani.
Buku yang pada mulanya terbit lebih setengah abad yang lalu, merupakan buku klasik yang penting, tidak boleh diabaikan begitu saja oleh para pelajar perubahan agraria, peminat sejarah, para pejabat birokrasi agraria, hingga pejuang-pejuang petani. Dengan diterbitkan ulang, buku ini dapat dinikmati manfaatnya oleh pembaca yang lebih luas. Penulis anjurkan untuk membacanya dengan seksama. Buku ini mengadung detail-detil yang mengagumkan mengenai masalah agraria, kebijakan agraria dan hubungan keduanya dari waktu-ke-waktu semenjak masa kerajaan, masa kolonial hingga saat awal masa kemerdekaan saat buku itu ditulis awal tahun 1950-an. Lebih dari itu, buku ini juga adalah sumber untuk memahami bagaimana seorang guru dari generasi pejuang kemerdekaan Indonesia memikirkan nasib petani di negeri yang baru dimerdekakan dari kolonialime ini. Muchammad Tauchid merajutnya dengan aspirasi kerakyatan dan kebangsaan, dan kedua aspirasi ini dibayangkannya sedemikian rupa sehingga dapat bertemu dalam upaya Negara Republik Indonesia memecahkan “masalah agraria” yang sesungguhnya merupakan “masalah penghidupan dan kemakmuran rakjat Indonesia”. Penulis menyimpulkan bahwa informasi yang sangat kaya dan aspirasi kerakyatan dan kebangsaan ini lah yang membuat buku Masalah Agraria ini berumur melebihi umur hidup penulisnya. Hanya sedikit sekali saja buku berbahasa Indonesia yang bisa terus “bernyawa” melebihi ikatan nyawa pada raga penulisnya di muka bumi.
Sikap dasar yang ditujukkan oleh Tauchid adalah menolak untuk melanjutkan warisan-warisan feudal dan kolonial yang repotnya bukan hanya berupa politik agraria, tapi sudah mengendap demikian lama dan terus dipraktekkan dalam hubungan-hubungan agraria, terutama menyangkut kepemilikan tanah dan hubungan sosial produksi yang sifatnya material. Sebagai guru Tauchid memilih jalan menunjukkan secara detil bagaimana politik agraria pemerintahan kolonial disusun dan dijalankan sedemikian rupa sehingga menyengsarakan rakyat petani, dan menyediakan kekayaan dan kejayaan bagi para pengusaha kapitalis dan penguasa kolonial. Kesadaran demikian inilah yang membuat Tauchid mengarahkan anjuran-anjurannya para perubahan politik agraria di satu pihak, dan upaya-upaya membangkitkan rakyat petani membangun kesadaran kritis dan kekuatan di pihak lain. Penulis menafsirkan apa yang dilakukan Tauchid ini adalah berupaya mendekatkan Negara yang baru merdeka itu dengan rakyat petani yang sengsara. Penulis mengistilahkan hal ini adalah perjuangan menjadikan petani sebagai warga Negara yang berhak atas layanan terbaik berupa perlindungan dan pemberdayaan dari penguasa pemerintahan, dan perjuangan kewarganegaraan ini bergantung pada arah dan hasil dari pertarungan kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja dalam perubahan politik agraria dan dalam pembangunan kesadaran krtitis dan kekuatan rakyat itu.
Naskah ini mengajak pembaca untuk memikirkan bagaimana cara menjadikan pemerintah (khususnya birokrasi agraria) sebagai kekuatan sosial
yang mengurus perwujudkan keadilan sosial bagi petani
miskin di pedesaan dan pedalaman. Meskipun dapat dimengeri dengan sederhana,
menjadikan “Pemerintah” sebagai “Pengurus” sama sekali bukan perkara
mudah. Kebiasaan memerintah telah menyatu dalam kedudukannya, dan
sudah diterima sebagai sesuatu yang alamiah. Kata “pemerintah” berasal dari
kata dasar “perintah” yang diberi imbuhan “em” sehingga menjadi
“p-em-erintah”, alias pemberi perintah. Hendro Sangkoyo (2001:1) pernah
menulis dengan gamblang sebagai berikut:
“Pemerintahan” sebagai mitos yang harus diterima sebagai ketentuan bagi
rakyat, yang nyaris diterima begitu saja dan dianggap bersifat alami. Dalam
mitos yang sekarang masih melekat sebagai wacana publik itu, pemerintahan
merupakan sebuah pertunjukan tentang bagaimana mengelola
sumber-sumber alam, orang, barang, dan uang, dengan para
pengelola negara sebagai pemain panggungnya, dan rakyat sebagai
pengamat dan pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat,
paling jauh, adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan. Ajakan
pembaruan cara dan agenda pemerintahan dengan demikian bersifat
mudah-mudahan, penuh harap pada para pengelola negara yang baru serta
pada ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor nyaring
dari bawah panggung tentang reformasi, yang tetap takzim pada
akar kata itu: perintah.
Pengurusan merupakan suatu konsep tandingan yang sangat
akrab bagi penutur bahasa Indonesia, dan mengacu kepada konsep
pokok yang lebih jitu: urus. Setelah sejarah membuktikan
kegagalan dari pengelolaan perubahan tanpa-rakyat selama tiga
puluh tahun, penggantian orang, perombakan dekorasi panggung dan
atau skenario baru saja mengandungi resiko kegagalan yang
sama, selama rakyat sendiri tidak aktif dan tidak
berkesungguhan mengurus apa yang menjadi persyaratan
kehidupannya.
Menjadikan ‘pemerintah’ sebagai pengurus yang mewujudkan keadilan
sosial bagi petani di pedesaan dan pedalaman ini merupakan sisi
lain dari perjuangan kewarganegaraan petani. Istilah kewarganegaraan
disini sengaja dimunculkan bukan sama sekali dalam kerangka administrasi
keimigrasian yang sempit itu, akan tetapi secara luas sebagai subjek yang
memiliki kesadaran kritis dan kekuatan mengubah nasibnya, termasuk dalam
menyadari hak-hak konstitusional dirinya sebagai warganegara dengan
ciri-ciri yang khusus, yakni mayoritas penduduk pedesaan penghasil utama
bahan makanan dan bahan baku industri, dan tenaga kerja di bidang pertanian
dan non-pertanian. Bukan sebaliknya, meneruskan perjalanan petani sebagai
objek eksploitasi, penindasan dan penaklukan, seperti yang secara gambling
telah ditunjukkan buku Masalah Agraria (Tauchid 1952, 1953)
dan buku Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Fauzi 1999).
Muara dari tulisan ini adalah suatu undangan untuk terus menghidupkan
cita-cita keadilan sosial yang menjadi tujuan pendirian Negara Republik
Indonesia, dan bukan meneruskan kebiasaan memperlakukan Negara Republik
Indonesia sebagai negara kolonial yang hidup di masa paskakolonial.
Kemiskinan agraria sebagai akibat
Sepuluh tahun yang lalu, penulis membuat suatu buku Petani dan Penguasa, Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press, 1999)
yang menelaah bagaimana masalah agraria diatur oleh penguasa negara dari
waktu-ke-waktu semenjak jaman feodalisme, kolonialisme, awal masa
kemerdekaan, masa pelaksanaan UUPA 1960, Orde Baru hingga masa Indonesia di
awal masa Reformasi. Penulis menunjukkan pengaruh masing-masing politik
agraria dalam hubungannya dengan cara tanah diakumulasikan menjadi modal
dalam produksi kapitalistik, dan akibatnya pada hilangnya akses petani atas
tanah sebagai sumber utama hidup maupun habitatnya. Secara khusus penulis
menelaah dan merenungkan bagaimana nasib dan tanggapan petani atas politik
agraria yang secara struktural mempengaruhi aksesnya atas tanah yang menjadi
sandaran kelanjutan hidupnya. Sejak 1995, bersama Konsorsium Pembaruan
Agraria, penulis mempromosikan pembaruan agraria (bahasa spanyol: Reforma
Agraria) yang berlandaskan pada fungsi sosial atas tanah dan pembatasan
penguasaan tanah dan kekayaan alam – sebagaiamana telah letakkan fondasinya
oleh UUPA 1960 (lihat Bachriadi et al 1997, Wiradi 2001, Fauzi
20013).
Dua jilid buku Muhammad Tauchid itu telah menjadi sumber informasi dan
aspirasi yang memungkinkan penulis membuat buku Petani dan Penguasa yang terbit tepat setahun setelah rejim otoritarian Soeharto jatuh.[2] Lebih dari sekedar sebagai sumber informasi, buku Mochammad Tauchid
itu telah memberi inspirasi yang menyakinkan saya bahwa seorang pendidik
otodidak dapat menghasilkan buku yang bermutu dan berpengaruh.
Di akhir tahun 1980-an penulis mulai mempergunakan buku Mochammad Tauchid
ini sebagai sumber untuk membuat bahan-bahan pendidikan petani maupun
“pendamping petani”[3] untuk memahami asal-usul dari kemiskinan agraris, khususnya adalah
pengalaman yang pahit (pahit sekali!) dari kaum petani korban perampasan
tanah Dari padanya kami belajar bahwa sebab-sebab kemiskinan agraris itu
ternyata berpangkal pada politik agraria, yang ternyata memiliki sejarah
yang panjang, melebihi panjangnya umur Republik Indonesia.
Apa yang mau dicapai dengan pendidikan itu adalah suatu pendekatan memahami
kemiskinan bukan sebagai kondisi yang diterima begitu saja, melainkan
sebagai suatu akibat dari pertarungan berbagai kekuatan yang berada di dalam
maupun di luar dari pengalaman hidup petani.[4] Memahami kemiskinan sebagai akibat, akan membimbing kita pada upaya
menelusuri rantai penjelas dari kemiskinan dan kesengsaraan rakyat hingga
menemukan sebab-sebab yang
mengakarinya/mendasarinya. Penulis mempelajari cara
memahami kemiskinan agraris dan kesengsaraan petani sebagai akibat dari buku
Muchammad Tauchid. Dalam “Kata Pengantar” dari buku Masalah Agraria jilid 1, ia menulis bahwa
“rakyat langsung merasakan akibat politik agraria kolonial
Belanda berupa kemiskinan dan kesengsaraannya … buku ini bukan sekedar
kupasan tentang politik yang terdapat dalam Hukum Agraria Pemerintah Hindia
Belanda, bagaimana prakteknya dengan segala akibatnya. Juga hak-hak tanah
menurut hukum adat dengan segala peraturan yang mengikutinya. … (A)gar dalam
usaha kita menyelesaikan soal ini mempunyai gambaran, mengetahui pangkal
yang menimbulkan keadaan semacam ini.” (huruf miring dari penulis, NF)
Yang juga istimewa dari karya Muhammad Tauchid ini adalah tarikan rentang
waktu yang panjang untuk menjelaskan sebab-sebab struktural dan politik
agraria dari kemiskinan agraria yang kronis. Dalam bab demi bab bukunya itu
ini kita bisa lihat dimulai dari retrospeksinya pada “Kekuasaan Raja-raja
atas Tanah” yang kemudian berinteraksi dengan kekuatan perusahan
transnasional-kolonial Kompeni (VOC, Vereenigde Oost-Indische Compagnie, secara literal berarti Perusahaan India Timur Bersatu). Pada gilirannya Belanda membentuk pemerintahan wilayah jajahan tersendiri
yang memiliki politik agraria yang menjadi sebab dari kemiskinan rakyat yang
meluas. Lebih dari itu, kita diajak menjelajah pada detil-detil bagaimana
politik agraria kolonial itu diterapkan dan berinteraksi dengan keragaman
kehidupan rakyat dalam ruang geografis yang
berbeda-beda, khususnya pada cara rakyat mengatur penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya.
Yang paling mempesona adalah kemampuannya menunjukkan bagaimana
akibat-akibat kesemua itu pada penguasaan luas tanah-tanah, produksi
pertanian, dan kesejahteraan rakyat tani dalam Bab VI “Akibat
Politik Agraria Kolonial serta Ikatan-ikatan Adat Bagi Penghidupan dan
Kemakmuran bagi Rakyat Indonesia.” Bagian ini adalah naskah yang mempermudah
seorang pemula untuk memahami bagaimana terbentuknya struktur agraria yang
timpang dan tidak adil itu.
Dalam bagian Bab VIII, di awal sebelum ia mengemukakan pemikiran mengenai
dasar-dasar hukum dan politik agraria di masa datang, ia terlebih dahulu
mensarikan pangkal dari kesulitan untuk memakmurkan rakyat petani di
Indonesia di awal masa kemerdekaan itu. Pangkal itu adalah
(h)ukum Agraria yang kita pusakai sekarang, pokoknya bertujuan: menjamin
kepentingan modal besar partikelir di atas kepentingan Rakyat Indonesia
sendiri, dengan memberikan hak-hak istemewa kepada orang asing akan tanah,
di balik itu mengabaikan hak rakyat. Kecuali itu terdapat macam-macam hak
tanah menurut adat yang berlaku di kalangan masyarakat Indonesia sendiri.
Keadaan semacam ini tidak sepantasnya ada dalam negara yang akan menjamin
kemakmuran bagi Rakyat. (1953:51).
Menelusuri pangkal persoalan kemiskinan dan penderitaan rakyat akan
menghindarkan diri dari sikap menyalahkan korban: Sudah menjadi korban,
dipersalahkan pula. Di lain pihak, juga menghindarkan diri dari sikap
mengasihani korban.[5] Sebaliknya mengakui keutamaan dari korban sebagai pelaku utama dari
perubahan nasib mereka sendiri, sambil terus tetap menyadari kompleksitas
dari rantai penyebab penderitaan mereka. Tauchid menunjukkan keutamaan dari
organisasi tani. Menurutnya:
“Organisasi tani merupakan lapangan Tani menyusun kekuatan. Sebagai alat
perjuangannya, untuk membebaskan dirinya dari penindasan politik, ekonomi
dan sosial. Di sana belajar menambah kecerdasan otak dan jiwanya, dan dengan
kesadarannya nanti membongkar segala pokok dan alat yang menjadi sumber
kemiskinan dan kesengsaraan, untuk memperbaiki hidupnya” (Tauchid
1953:175).[6]
Dari Birokrasi Negara Budiman ke Birokrasi Pemburu Rente
Dengan membaca secara seksama naskah buku Masalah Agraria,
pembaca akan dapat menemukan endapan dari gelora kebangsaan yang
revolusioner untuk mendayagunakan kekuasaan negara untuk mengubah politik
agraria dan hubungan-hubungan sosial agraria warisan-warisan kolonialisme
dan feodalisme. Hal ini memang merupakan zeitgeist, semangat
zaman, pada waktu itu yang dihayati oleh elite terdidik zaman revolusi.
Kesenjangan yang kontras antara kemiskinan dan kesengsaraan petani dengan
kekayaan dan kejayaan elite kolonial merupakan sebagian kondisi yang ikut
membentuk semangat revolusioner itu. Kondisi kemiskinan agraria dan kesengsaraan petani yang disebabkan oleh
cara pemerintahan kolonial membentuk dan menjalankan politik agraria,
termasuk cara mereka mempergunakan cara penguasaan tidak langsung (indirect rule) dengan menggunakan elite-elite feudal, benar-benar telah
mempengaruhi pemikiran para pemimpin pejuang kemerdekaan di banyak negara
jajahan.
Pada saatnya, ketetapan “untuk membentuk pemerintah negara Indonesia untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”[7] telah mendasari “perjuangan perombakan hukum agraria nasional (yang)
berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa melepaskan diri dari
cengkaraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat
tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah
dan pemerasan kaum modal asing.”[8] Tak heran bila seorang peneliti agraria ternama tahun 1960-an, Eric
Jacoby dalam buku klasiknya Agrarian Unrest in Southeast Asia (1961) mengemukakan bahwa “… dapat dinyatakan dengan jelas
bahwa sesungguhnya struktur agraria yang bersifat merusak lah yang memberi
jalan bagi gagasan kebangsaan, dan perjuangan-perjuangan politik
(selanjutnya) dikuatkan oleh identitas rasa perjuangan kemerdekaan melalui
perjuangan tanah” (Jacoby 1961:50).[9]Lebih jauh, “… pemecahan masalah tanah merupakan suatu syarat untuk
perwujudan yang sempurna dari aspirasi-aspirasi kebangsaan negeri-negeri
Asia Tenggara; dan bahwa hal itu, untuk sebagian besar, merupakan kunci bagi
pembangunan ekonomi dan reorganisasi masyarakat yang berhasil” (Jacoby
1961:253)[10]
Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
telah mendasarkan diri pada konsepsi politik hukum Hak Menguasai dari Negara
(HMN). Dalam buku Petani dan Penguasa penulis berpendapat
bahwa sifat negara budiman ini lah yang mendasari konsepsi HMN itu. Berbagai
pemikir dan pemikiran agraria di awal masa kemerdekaan tidak pernah
membayangkan bahwa pemerintah pusat sebagai pemegang kewenangan HMN itu akan
mengkhianati sifat budiman yang telah dilekatkan dalam kewenangan yang besar
(besar sekali!) itu (Fauzi and Bachriadi 1998).
Namun mereka salah terka. Praktek dari rejim penguasa Negara Orde Baru
memaksimalisasi peran negara sebagai alat pembangunan Kapitalisme.
Kewenangan yang digenggam pemerintah pusat melalui konsep HMN itu berakibat
bencana bagi rakyat petani yang menjadi korban perampasan tanah. UUPA tidak
ditempat sebagai induk dari perundang-udangan agraria. Masing-asing sektor
diatur oleh perundang-udangan tersendiri, misalnya Undang-undang No. 5 tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan No. 5/1967 dan
Undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan. HMN yang telah disektoralisasikan itu menjadi sumber
kewenangan yang luar biasa bagi rejim penguasa, dengan menyingkirkan sifat
budiman yang dahulu telah dilekatkan padanya. Kita menyaksikan tak
henti-hentinya bagaimana perampasan tanah itu dibenarkan melalui proses yang
saya istilahkan negaraisasi tanah-tanah rakyat, yakni tanah rakyat
dimasukkan dalam kategori sebagai “tanah negara”, lalu atas dasar definisi
“tanah negara” itu, pemerintah pusat – baik itu Departemen Kehutanan, Badan
Pertanahan Nasional, maupun Departemen Pertambangan – memberi hak-hak baru
untuk badan-badan usaha produksi maupun konservasi (Fauzi dan Bachriadi
1998). Jadi sebagian badan-badan usaha produksi dan konservasi raksasa itu
berdiri di atas proses penyingkiran rakyat petani dari tanah dan sumber daya
alam yang menjadi sandaran keberlangsungan hidupnya.
Dalam posisi negara Orde Baru yang sangat birokratik dan otoritarian,
seperti banyak dianalisis oleh ilmuan sosial Indonesia tahun 1980an dan
1990an (misalnya Bulkin 1984a, 1984b, Mas’oed 1989, Budiman 1991)[11], pengadaan tanah untuk usaha produksi pertambangan, kehutanan, perkebunan,
perumahan, maupun kawasan industri memberikan kemungkinan luas bagi para
birokrat pemburu rente untuk berkiprah (cf. Tornquist 1990). Maksudnya,
suatu kewenangan untuk membuat keputusan publik tertentu dari suatu pejabat
birokrasi dikeluarkan sebagai layanan terhadap perusahaan-perusahan
kapitalis di satu pihak, tapi juga di lain pihak merupakan cara untuk
memperoleh pemasukan yang besar untuk birokrasinya berupa pajak maupun
non-pajak, dan juga pemasukan bagi para pejabatnya sendiri berupa korupsi
terselubung maupun terbuka.
Prosedur yang rumit (dan yang diperumit) menjadi arena sekaligus kekuasaan
yang dapat diandalkan para birokrat pemburu rente untuk menghadapi para
pelaku bisnis yang menjadi sasarannya. Para birokrat pemburu rente
senantiasa tahu, bila perlu memonopoli informasi dan kewenangan dalam
menjalankan prosedur-prosedur itu.. Misalnya saja Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) membuat surat
keputusan Izin Lokasi untuk proyek-proyek kawasan industri atau kawasan
perumahan real estate tertentu. Birokrasi yang bersifat
pemburu rente juga bersifat otoritarian karena keputusannya tidak ada yang
bisa melakukan kontrol administrasi maupun kontrol publik atas kemungkinan
penyalahgunaannya. Birokrasi itu bersekongkol dengan pemodal asing dan
domestik menggerogoti kekayaan publik. Sifat lain dari birokrasi pemburu
rente adalah predatoris. Proyek pembukaan hutan tropis dan pembalakan kayu
secara besar-besaran dengan hak-hak pengusahaan hutan, atau pemberian
konsesi pertambangan merupakan contoh yang gamblang. Sifat predatoris itu
bisa juga dilakukan atas anggaran negara, seperti terang-benderang terjadi
dalam skandal pembukaan lahan gambut satu juta hektar di Kalimantan
Tengah-Kalimantan Selatan.
Birokasi otoritarian-rente itu tetap memerlukan justifikasi dari suatu ide
besar mengenai pembangunan. Maksudnya mereka tetap saja birokrasi
pembangunan yang mengaku mengabdikan diri pada tujuan-tujuan the greatest good for the greatest number of people, suatu paham utilitarianisme. Mereka menjadi alat teknokratik dari
kekuatan ekonomi-politik yang mendominasi negara dan masyarakat. Mereka
memerlukan justifikasi atas perbuatan maupun akibat negatif yang
ditimbulkannya. Segala korban dapat dibenarkan asal demi Pembangunan.
Pembangunan menjadi ideologi yang membenarkan korban yang bergelimpangan.
Pembangunanisme berusaha menyediakan justifikasi dan menghindarkan mereka
dari rasa bersalah.
Pada masa Indonesia di bawah rejim Orde Baru, birokrasi otoritarian pemburu
rente semacam ini lah yang ikut andil memasukkan tanah-tanah rakyat dan
kekayaan publik lainnya secara paksa ke dalam sirkuit produksi kapitalis
yang dimiliki perusahaan-perusahaan raksasa nasional maupun transnasional,
dan pada gilirannya memberi jalan bagi akumulasi kekayaan elite oligarki
yang mendominasi ekonomi politik Indonesia.
Menurut penelitian dari Robison and Hadiz (2004), Hadiz dan Robinson (2005)
dan Hadiz (2001, 2004a, 2004b, 2006) dan Winter
(2011:139-192) kebanyakan oligark Indonesia ini berhasil melewati badai
krisis finansial dan perubahan politik di masa transisi demokrasi
(1998-1999), bahkan kemudian dapat bekerja lebih baik lagi dalam tatanan
politik yang demokratis. Mereka telah berhasil membentuk kembali diri
mereka menjadi aktor-aktor demokratik melalui partai-partai politik dan
parlemen yang mereka mainkan. Dengan demikian
lembaga-lembaga demokrasi itu telah dipakai dan dibajak oleh oligarki
lama yang merupakan eksponen utama dari rejim yang terdahulu.
Ketika kebijakan desentralisasi diterapkan mulai tahun 2001, merekapun
berhasil menyesuaikan diri dan memanfaatkannya dengan mendesentralisasikan
pula kekuatan oligarkiknya dan membangun jaring-jaring baru dengan kekuatan
lokal, termasuk pula dengan para “bandit-bandit dan preman politik
dalam kepemimpinan partai-partai, parlemen-parlemen dan lembaga-lembaga
eksekutif yang kesemuanya mengendalikan agenda desentralisasi”.[12] Dalam masa desentralisasi yang berlangsung semenjak tahun 2000,
kewenangan pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan ijin lokasi,
pengusahaan hutan skala kecil, dan konsesi eksplotasi tambang batu bara
skala kecil, telah membuat para pemburu rente tidak lagi hanya terpusat di
pemerintah pusat, melainkan begitu meluas di tingkat pemerintahan
daerah.
Pada November 2001 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan
Ketetapan No IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya
Alam, dengan mana Presiden Indonesia dan DPR diberi mandat untuk
melaksanakan seperangkat arah kebijakan pembauan agraria dan kebijakan
pengelolaan sumber daya alam (lihat Tabel 1).
Tabel 1. Perbandingan arah kebijakan untuk pembaruan agraria dan arah kebijakan
pengelolaan sumber daya alam (PSDA)sebagaimana tercantum dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat No IX/2001
Enam Arah Kebijakan Pembaruan Agraria |
Enam Arah Kebijakan PSDA |
||
11 |
Untuk meninjau perundang-undangan agraria yang bertentangan dalam
rangka sinkronisasi kebijakan lembaga pemerintah yang
berbeda |
11 |
Untuk meninjau undang-undang dan peraturan yang terkait dengan
pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan
lembaga pemerintah yang berbeda |
22 |
Untuk melaksanakan pembaruan agraria redistributif dengan
prioritas untuk menyediakan lahan bagi rakyat miskin |
22 |
Untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam melalui
identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas dan potensi untuk pembangunan nasional |
33 |
Untuk melakukan survei tanah yang komprehensif dan sistematis dan
pendaftaran dalam rangka untuk melaksanakan reforma agraria |
33 |
Untuk memperhatikan jenis dan karakteristik sumber daya alam dan
melaksanakan berbagai upaya untuk menambah nilai sumber daya
alam. |
44 |
Untuk menyelesaikan konflik pertanahan dan mengantisipasi konflik
pertanahan yang potensial di masa depan |
44 |
Untuk menyelesaikan konflik penggunaan sumber daya alam dan
mengantisipasi potensi konflik di masa depan |
55 |
Untuk memperkuat kelembagaan pertanahan dan kewenangannya untuk
melaksanakan program reformasi agraria dan menyelesaikan konflik
tanah. |
55 |
Untuk memperluas akses publik terhadap informasi tentang potensi
sumber daya alam di daerah mereka dan mendorong pembentukan
tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan
termasuk teknologi tradisional |
66 |
Untuk menjamin ketersediaan dana untuk program pembaruan agraria
dan untuk menyelesaikan konflik lahan |
66 |
Untuk mengembangkan strategi untuk menggunakan sumber daya alam
yang didasarkan pada penggunaan yang optimal dengan memperhatikan
kondisi dan kepentingan daerah dan nasional. |
TAP MPR RI No. IX/2001 ini mendefinisikan pembaruan agraria sebagai suatu
proses yang berkesinambungan yang berkaitan dengan penataan kembali
penguasaan, penggunaan, kepemilikan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria
yang dilaksanakan untuk mencapai kepastian hukum dan perlindungan serta
keadilan dan kemakmuran bagi semua rakyat Indonesia (pasal 2), dan
membedakannya dengan pengelolaan sumber daya alam.[13]
TAP MPR RI tersebut, yang berlaku sejak tahun 2001, adalah fenomenal
(Rosser et al 2005). Setelah lebih dari dua dekade aktivisme, pemerintah
Indonesia mengagendakan “land reform”, bersama dengan agenda "pengelolaan
sumber daya alam”. Dua perangkat arah kebijakan yang tumpang
tindih dalam TAP MPR RI ini mencerminkan ketegangan tak terselesaikan
antara "pembaruan agraria" dan "pengelolaan sumber daya alam", yang tidak
hanya dalam hal isi, tetapi juga kekuatan-kekuatan sosial dalam negara dan
di antara kelompok masyarakat sipil yang mempromosikan setiap perangkat
arah kebijakan.
Di kalangan aktivis agraria berkembang debat yang berpusat pada apakah
ketetapan ini bermanfaat atau berbahaya bagi kemajuan gerakan sosial.
Pemimpin Konsorsium Pembaruan Agraria memandang bahwa TAP MPR ini dapat
digunakan sebagai alat untuk mendorong pemerintah untuk memprogramkan land
reform. Pada saat yang sama, Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
memandang Ketetapan itu sebagai keputusan berbahaya, pintu masuk potensial
untuk agenda neo-liberal dan imperialis melalui "prinsip-prinsip baru
pengelolaan sumber daya alam", dengan implikasi yang berpotensi negatif
dalam membatalkan UUPA 1960 – yang sampai sekarang adalah satu-datunya
dasar hukum untuk menjalankan land reform.[14]
Umumnya para pengusung tema “pengelolaan sumber daya alam” menyambut
dengan antusias TAP MPR tersebut. Di bawah kepemimpinan Kelompok Kerja
Pengelolaan Sumberdaya Alam (Pokja PSDA), TAP MPR tersebut mengintensifkan
pekerjaan mereka bersama-sama dengan Kementerian Negara Lingkungan Hidup
dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk merancang
Undang-undang Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang mereka klaim sebagai
"payung hukum" yang menyiratkan sebuah kebutuhan untuk merevisi semua
hukum yang berhubungan dengan sumber daya alam, termasuk UUPA 1960. Namun
inisiatif ini kandas karena Departemen Kehutanan dan Departemen
Pertambangan dan Energi ragu-ragu untuk berpartisipasi dalam penyusunan,
dan pada gilirannya mereka memblokir otorisasi dari draft tersebut untuk
diproses menjadi draft pemerintah (Suwarno 2003, 2006).
Selain itu TAP MPRRI tersebut menempuh proses kebijakan yang
berbeda dalam dua lembaga negara lainnya, yaitu BPN, dan Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia Nasional. Interaksi antara para pejabat tinggi BPN dan
aktivis agraria menjadi lebih mudah karena Maria Sumardjono – profesor
hukum tanah dari Universitas Gajah Mada yang memimpin Kelompok Studi
Pembaruan Agraria (KSPA )bersama-sama para aktivis dan akademisi lain
untuk mempromosikan TAP MPR RI tentang pembaruan Agraria – diangkat oleh
Presiden Megawati sebagai Wakil Kepala BPN. Dengan posisi barunya ini, dan
sebagai orang yang sangat terlibat dalam pembuatan Ketetapan MPR,
Sumardjono memiliki posisi untuk menggerakkan kewenangan BPN melaksanakan
Keputusan ini. Dia mendorong BPN untuk menyesuaikan rencana strategis yang
ada dan mengusulkan serangkaian kegiatan kunci melaksanakan "arah
kebijakan pembaruan agraria" (Sumardjono 2006:88-99). Tapi kemudian,
Kepala BPN, Lutfi Nasution, berhasil meyakinkan Presiden Megawati untuk
mengeluarkan Keputusan Presiden No 34/2003 yang mengarahkan kembali
pelaksanaan Ketetapan MPR ini menjadi hanya dua kegiatan, yaitu (1) untuk
menyusun revisi UUPA 1960 dan menggantinya dengan rancangan undang-undang
pertanahan yang baru; (2) untuk menmantapkan manajemen pertanahan dan
sistem informasi dalam kaitannya dengan pendaftaran tanah.[15] Kedua agenda – yang sangat cocok dengan visi Bank Dunia – yang
secara signifikan menggembosi semangat antusiasme pemikir dan aktivis
agraria yang sebelumnya mulai berpartisipasi dalam proses pembuatan
kebijakan land reform di BPN; Dan sebaliknya, memprovokasi pemikir dan
aktivis agraria untuk menolak dan menjegal upaya merevisi UUPA 1960, yang
dipercayai sebagai satu-satunya undang-undang Republik Indonesia yang
mempertahankan semangat dan jiwa sosialis dari Undang-undang Dasar
RI.
Sementara itu di luar BPN, Ketetapan tersebut menginspirasi aktivis
agraria untuk mendekati Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
untuk mengembangkan sebuah proposal kebijakan untuk membentuk lembaga
khusus, bernama Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria
(KNuPKA), untuk memproses klaim yang berhubungan dengan perampasan tanah
di bawah rezim Soeharto (Bachriadi 2004; Tim Kerja KNuPKA, 2004). Sejak
tahun 2000, Komnas HAM telah mengadopsi sebuah pendekatan "keadilan
transisional" - yang terdiri dari empat elemen kunci yaitu klaim berbasis
pencarian kebenaran, reparasi, penuntutan, dan reformasi kelembagaan -
untuk menghadapi secara memadai apa yang disebut "pelanggaran HAM masa
lalu," termasuk perampasan tanah (Komnas HAM 2001a, 2001b). Commission on Restitution of Land Rights (CRLR) dan Land Claim Court di Afrika Selatan merupakan dua acuan
inspirasi untuk para pemimpin aktivis Indonesia, komisaris hak asasi
manusia, akademisi, dan pejabat pemerintah. Namun, dalam pertemuan
khusus dengan para pendukung kebijakan pada bulan Juli 2004, Presiden
Megawati secara eksplisit menolak proposal kebijakan hanya karena, ia
berpendapat, bahwa sebuah lembaga negara baru tambahan akan menciptakan
komplikasi politik dan keuangan bagi pemerintah. Dia menekankan bahwa
dia sudah mengalami ketegangan dengan komisi negara yang ada seperti
Komisi Hak Asasi Manusia, Komisi Ombudsman, Komisi Yudisial, Komisi
Hukum Nasional, Komisi Pemberantasan Korupsi, dll. Usulan itu kembali
diserahkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) yang
baru terpilih pada akhir 2004, namun Presiden SBY memilih menyelesaikan
konflik agraria dengan tidak dengan mendirikan lembaga baru; ia
memutuskan untuk mempeluas kewenangan BPN, termasuk untuk menyelesaikan
konflik-konflik agraria.
Kebijakan “Reforma Agraria” 2005-2009
Presiden Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah
untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum, yang menuai gelombang protes dan
demonstrasi dari kalangan yang luas mulai dari aktivis gerakan sosial,
komisioner HAM, tokoh organisasi kemasyarakatan seperti Nadhatul Ulama dan
Muhamadiyah, aktivis mahasiswa, hingga akademisi perguruan tinggi.[16] Joyo Winoto, yang diangkat menjadi Kepala BPN, ditugaskan untuk
menangani protes-protes ini, kemudian mengagendakan apa yang kemudian
disebutnya “Reforma Agraria”. Winoto lah yang mempengaruhi bagaimana
Presiden SBY menyatakan ke publik komitmen pemerintah untuk melaksanakan
redistribusi tanah, melalui pidato tahunan pada 31 Januari 2007.[17] Beberapa bulan sebelumnya Presiden menyelenggarakan pertemuan khusus
antara Presiden SBY dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang baru
diangkat, Joyo Winoto, Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban dan Menteri Pertanian
Anton Apriyantono mengenai usaha-usaha mengurangi pengangguran dan mengatasi
kemiskinan melalui apa yang kemudian disebut “Reforma Agraria”.[18] Presiden telah pula menyelenggarakan Rapat Kabinet
Terbatas khusus mengenai apa yang kemudian “Reforma Agraria” itu.[19] Kemudian, Kepala BPN berhasil memasukan komponen-komponen kebijakan
land reform ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025
(Undang-undang No 17/2007).
Winoto melakukan berbagai usaha untuk mempromosikan “Reforma Agraria”, yang
dirumuskannya sebagai “asset reform + access reform” atau redistribusi tanah
yang disertai dengan segala macam asistensi dan akses untuk membuat tanah
yang diredistribusikan produktif. Usaha-usaha itu mencakup (a) penetapan
prinsip-prinsip baru kerja BPN[20], pembaruan kelembagaan atas organisasi BPN, termasuk memperbarui struktur
organisasi dan porto folio BPN baru[21] dengan mengembangkan deskripsi kerja yang baru untuk tiap
posisi; menyelenggarakan “fit and property tests” untuk semua pejabat BPN
(level 1, 2 &3) di BPN Pusat, Kanwil BPN, dan Kantor Pertanahan; dan
kemudian memindahkan 6.338 dari 22.684 pejabat BPN ke posisi baru, atau
sekitar 28 % seluruh pejabar BPN; (b) desensitisasi land reform
di kalangan pejabat pemerintahan dan lembaga negara (militer, polisi,
birokrasi hukum dan kementrian) untuk membuat land reform tidak memperoleh
asosiasi politik yang negatif dan sekaligus memantapkan “Reforma Agrariasebagai Mandat Konstutusi, Hukum dan Politik”; (c) Menyetop upaya
revisi UUPA 1960, dan mendasarkan diri pada TAP MPR RI No.
IX/2011 dan UUPA 1960 melaksanakan Program Pembaruan Agraria Nasional
(PPAN), yang mengagendakan redistribusi pada tiga jenis objek, yakni (i)
8.15 juta hektar tanah dalam kategori ”hutan konversi”, bagian dari kawasan
hutan yang dapat dikeluarkan dari kawasan hutan untuk tujuan non-kehutanan,
di bawah Jurisdiksi Departemen Kehutanan, (ii) 1,1 juta hektar dari berbagai
tipe “tanah negara” yang secara langsung berada di bawah jurisdiksi BPN, dan
(iii) lebih dari 7,35 juta hektar “tanah-tanah terlantar” yang berada di
bawah jurisdiksi BPN.
Namun, sayangnya momentum ini tidak berhasil ditingkatkan ke tingkat yang
benar-benar dibutuhkan agar kebijakan land reform bisa berjalan dan
mengatasi haling-rintang dan perlawanan dari pihak anti-reform, yakni
komitmen dimana Presiden SBY menggunakan kewenangannya untuk
mengintegrasikan atau setidaknya mensinkronkan antar badan-badan
pemerintahan pusat. Yang terjadi adalah Presiden membiarkan tiap badan
pemerintahan pusat melanjutkan kepentingan sektoralnya. Masing-masing badan
pemerintahan memiliki apa yang dikenal di kalangan pejabat pemerintah
Indonesia sebagai “ego sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan
pemerintah untuk hanya memenuhi kepentingan lembaga/sektornya
sendiri-sendiri tanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya.
Ketiadaan kepemimpinan langsung SBY dalam kebijakan land reform membuka
jalan bagi berlanjutnya sektoralisme badan-badan pemerintah itu, terutama
antara dalam hubungan kelembagaan antara, Departemen Kehutanan, Departemen
Pertanian, dan BPN.
Karena kepentingan sektoralnya lah, maka agenda redistribusi tanah 8,15 juta hektar – berupa tanah-tanah negara yang berada dalam “Kawasan Hutan” yang tergolong
Hutan Produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi –
tak berjalan. Menurut buku Joyo Winoto 2008 Tanah untuk Rakyat merujuk
pada Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari keseluruhan Hutan
Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, didalamnya telah
dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar, lebih dari 60 persen
(Winoto 2008:56).[22] Namun, Kementerian Kehutanan sebagai pihak yang berwenang menguasai kawasan itu
menolak.[23] Kehutanan tetap mempertahankan diri sebagai ‘tuan tanah negara’ terbesar,
melalui penguasaan sekitar 70 wilayah Republik Indonesia dalam “Kawasan
Hutan.[24]
Di dalam Kementrian Kehutanan masalah hak-hak rakyat atas tanah di wilayah
yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai bagian dari “Kawasan Hutan”
menjadi masalah yang kronis sebagai akibat dari terus dipergunakannya
semacam prinsip “domein verklaring” yang diperluas, dimana ditetapkan bahwa
di dalam wilayah yang ditetapkan sebagai “kawasan hutan” hanya ada satu
kepemilikan tunggal, yakni milik Negara. Hal ini didasarkan pada UU
Kehutanan No. 5/1967, yang dilanjutkan dengan UU Kehutanan No. 41/1999.
Konsep politik hukum “Kawasan Hutan”, dimana hutan ditentukan bukan
berdasarkan fungsi ekologisnya, melainkan berdasarkan penetapan suatu
wilayah sebagai “kawasan hutan” oleh Menteri Kehutanan. Masalah ini
berlanjut menjadi konflik tatkala kriminalisasi atas akses rakyat yang hidup
di dalam atau sekitar kawasan hutan diaktualkan melalui tindakan-tindakan
represif oleh aparatur negara, atau juga melalui pengerahan
paramiliter.
Berbagai ragam bentuk kebijakan perhutanan sosial (Social Forestry),
seperti Hutan Kemasyarakatan (HKM), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, dan Hutan Adat, adalah suatu
pengaturan hak dan kewajiban pemanfaatan suatu bidang dalam “kawasan hutan”
tertentu pada periode waktu tertentu saja. Hak milik atas bidang dalam
“kawasan hutan” itu tetap berada di Kementrian Kehutanan. Bentuk-bentuk
perhutanan sosial ini tidak menyelesaikan masalah tenurial dalam kawasan
hutan. Dengan mengemukakan agenda pengakuan kedaulatan masyarakat adat,
berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan, seperti Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) dan ornop-ornop agraria dan lingkungan hidup menantang
klaim Departemen Kehutanan ini. Mereka menolak wilayah masyarakat adat
dimasukkan dalam “Kawasan Hutan”, baik itu Hutan Produksi dan Produksi
Terbatas, Hutan Lindung, maupun Hutan Konservasi. Baru-baru ini
dilansir oleh suatu koalisi organsiasi masyarakat sipil, sebuah
dokumen “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial, Pandangan kelompok
masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah
mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia”, yang
di antaranya mengusulkan untuk menyelesaikan status hukum 31.957 desa yang berada di dalam, atau tumpang tindih dengan, kawasan
hutan; dan menurut sumber BPS dan Departemen Kehutanan, 71,06% dari
desa‐desa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.[25]
Kementerian Pertanian pun memisahkan diri dari kerangka Reforma Agraria
tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya asistensi teknis pertanian dan
kredit untuk para penerima tanah-tanah yang diredistribusi (land reform beneficiaries), Kementerian Pertanian memfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa
bekerja mengembangkan food estate di sejumlah tempat,
termasuk yang paling luas di kabupaten Merauke (pada mulanya diharapkan
sekitar 1,2 juta hektar, tapi kemudian pemerintah provinsi Merauke
menyetujui 500,000 hektar) (lihat Pemerintah Republik Indonesia
2010). Hal ini tak lain adalah bagian dari global land grabbing yang melayani kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa melakukan akumulasi
modal melalui penciptaan keuntungan (Lihat Zakaria et al 2010, Ito et al
2011). Tanpa mengaitkan dengan kerangka Reforma Agraria,
Kementerian Pertanian c.q. Dirjen Pengelolaan Lahan dan Air, memprogramkan
pembuatan Rancangan Undang-udang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, bekerja bersama Badan Legislasi DPR RI, yang diajukan antara
lain untuk mengendalikan laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
Menurut Naskah Akademik RUU itu, selama periode 1979-1999, konversi lahan sawah di Indonesia mencapai
1.627.514 Ha atau 81.376 ha/tahun. Khusus untuk konversi lahan
sawah, 1.002.005 Ha (61,57 %) atau 50.100 Ha/tahun terjadi di Jawa,
sedangkan di luar Jawa mencapai sekitar 625.459 Ha (38,43 %) atau 31.273
Ha/tahun.
Jadi, dilihat dari proses kebijakan land reform (2006-2009) nyata jelas
bahwa Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pertanahan
Nasional adalah badan-badan pemerintah tidaklah berada dalam satu
kepentingan yang sama dan terkordinasi. Mereka masih merupakan aktor-aktor
yang bertindak dengan aturannya sendiri-sendiri, untuk kepentingan sektornya
sendiri-sendiri, atau melayani kepentingan pihak lainnya, dan juga
memerankan diri sebagai arena dimana berbagai kekuatan sosial saling
memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Selain dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya
adalah tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Badan Pengelola Reforma
Agraria, suatu badan otorita khusus yang mengurus segala sesuatu berkenaan
dengan upaya merencanakan hingga memberdayakan para penerima tanah objek
land reform dan menjamin tanah-tanah yang diredistribusikan itu produktif
dan dikelola secara berlanjutan. Namun, pembentukan Badan yang diancangkan
berbentuk “Badan Layanan Umum” ini, yakni suatu jenis badan usaha pemerintah
yang tidak ditujukan untuk kepentingan profit, tidak berhasil memperoleh
otorisasi dari Departemen Keuangan sehubungan dengan keharusan untuk
menunjukkan bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana
APBN, melainkan sanggup secara terus-menerus hidup dari
perputaran uang yang bermula dari modal awal yang diberikan
pemerintah.
BPN di bawah kepemimpinan Joyo Winoto memastikan tersedianya sumber tanah
baru untuk diredistribusikan, yakni apa yang tergolong “tanah-tanah
terlantar”, yakni tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar
penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak
dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak
atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN luasan “tanah terlantar”
tersebut mencapai 7.386.289 hektar” (lihat table 2). Untuk melakukan pengambilalihan keseluruhan “tanah terlantar” ini,
diperlukan suatu peraturan pemerintah baru, yang pada gilirannya menjadi PP
No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayaguaan Tanah Terlantar.
Tabel 2. Identifikasi tanah-tanah terlantar di semua provinsi sebagaimana
didata oleh BPN tahun 2008
|
Tipe hak tanah |
Total (hektar) |
a. |
Hak Guna Usaha |
1.925.326 |
b. |
Hak Guna
Bangunan |
49.030 |
c. |
Hak Pakai |
401.079 |
d. |
Hak Pengelolaan |
535.682 |
e. |
Tanah dengan ijin lokasi, dan ijin-ijin lainnya |
4.475.172 |
|
Total |
7.386.289 |
Sumber: Badan Pertanahan Nasional, Deputi Pengendalian Tanah dan
Pemberdayaan Masyarakat, 2009.
Yang kemudian secara praktis diandalkan oleh BPN 205-2009 adalah melakukan
legalisasi aset tanah yang telah dikuasai, dipergunakan dan dimanfaatkan
rakyat, namun status hukum dari tanah tersebut adalah “Tanah Negara”. Jenis
legalisasi ini disebut secara resmi dalam kategori kerja BPN sebagai
“Redistribusi Tanah”. Luasan “Tanah Negara” ini yang disasar oleh legalisasi
asset tanah melalui jalur redistribusi ini adalah 1,1 juta hektar. Jumlah
sertifikat tanah yang dihasikan melalui jalur redistribusi tanah ini
sepanjang tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008, secara berturut-turut adalah
5.000, 4.700, 74.900, dan 332.935 sertifikat.
Selain jalur “redistribusi tanah”, BPN memiliki jalur-jalur lain dalam
legalisasi asset tanah, yakni PRONA (Proyek Nasional Agraria), dan P4T
(Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan. Pemanfaatan Tanah). Dalam legalisasi
aset tanah, BPN di bawah kepemimpinan Joyo Winoto, telah menunjukkan
prestasinya yang mengagumkan. Jumlah bidang tanah yang dilayaninya melalui
berbagai jenis layanan meningkat sangat tajam. Masa sebelum kepemimpinannya
di tahun 2004, jumlah bidang tanah yang dilegalisasi hanyalah 269.902
bidang. Di tahun 2008 jumlahnya mencapai 2.172.507, lebih dari 800 persen
dibanding tahun 2004 itu. Bila ditambah dengan bidang yang dibiayai sendiri
oleh perorangan, kelompok maupun badan usaha maka jumlahnya mencapai
4.627.039 bidang (Badan Pertanahan Nasional 2008)
Sepanjang lima tahun belakangan, BPN telah melakukan penataan kelembagaan,
perampingan prosedur, peningkatan alokasi APBN hingga lebih dari 500%, dan
memperbanyak bidang tanah yag disertifikatkan melalui berbagai skema yang
secara administrasi diberi nama PRONA (Proyek Nasional Agraria),
redistribusi tanah, dan P4T (Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan.
Pemanfaatan Tanah). Selain itu, BPN juga membuat terobosan baru
yang diberinama Larasita (Layanan Rakyat Untuk Sertifikasi Tanah) berupa
perluasan daya jangkau pelayanan kantor pertanahan melalui kantor bergerak
(mobile land service), dengan mobil, sepeda motor maupun perahu,
serta teknologi informatika dan komunikasi. Hingga tahun 2009, BPN mengklaim
sudah 60 persen wilayah Indonesia telah dapat dijangkau oleh kantor bergerak
ini. Berbagai perubahan itu berujung pada percepatan layanan pemerintah
sedemikian rupa sehingga diperkirakan hanya diperlukan waktu delapan belas
tahun saja untuk melegalisasi seluruh bidang tanah di Indonesia, sementara
itu tanpa kesemuanya diperlukan waktu seratus sepuluh tahun![26]
Apa yang terjadi sepanjang 2005-2009 adalah menjadikan redistribusi tanah
sebagai salah satu skema dari legalisasi aset tanah. Kerangka legalisasi
tanah yang dipromosikan BPN ini, secara perlahan dan pasti bersesuaian
dengan kerangka yang dipromosikan oleh Bank Dunia. Pergeseran ini dari
agenda redistributif menjadi agenda legalisasi aset tanah ini
lah yang memprovokasi kalangan aktivis agraria untuk meluncurkan kritik
yang tajam bahwa yang dijalankan adalah suatu bentuk “Reforma Agraria
Palsu” (Konsorsium Pembaruan Agraria 2009, Federasi Serikat Petani
indonesia 2009. Lihat pula: Bachriadi 2007).
Penutup:
Adakah Harapan untuk menjadikan Birokrasi Agraria sebagai Pewujud Keadilan
Sosial?
Bagaimana birokrasi agraria saat ini, baik di Badan Pertanahan Nasional,
Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan, maupun
mereka yang berada di badan-badan pemerintahan daerah, dapat mengatasi
warisan, posisi, dan kebiasaan sebagai birokrasi-otoritarian-rente. Selalu
saja ada tarikan kuat untuk menjalankan business as usual.
Inilah bagian dari tirani status quo. Memang diperlukan pengetahuan yang
memadai mengenai apa yang terjadi, apa saja yang menyebabkannya, dan
bagaimana proses pembentukannya. Tapi, lebih dari itu – seperti telah
diberikan tauladan oleh buku Mochammad Tauchid ini – adalah aspirasi
kebangsaan dan kerakyatan sekaligus. Aspirasi ini dapat membimbing komitmen
yang teguh dan kepemimpinan yang kuat untuk di satu pihak mengubahnya
menjadi birokasi agraria yang mewujudkan keadilan sosial, dan di lain pihak
menguatkan organisasi rakyat petani.
Haluan reformasi birokrasi saat ini, yakni menciptakan apa yang
diistilahkan dengan good governance, yang sering diterjemahkan
menjadi “tatanan kepemerintahan yang baik”, tidak lah cukup, dan bisa salah
arah. Birokrasi yang ramping, efisien, transparan dalam dan proses pembuatan
kebijakan dan pengeloaan keuangan, jauh dari perilaku korupsi, dan
senantiasa konsultasi dengan stakeholder, tidak cukup.
Agenda good governance dijalankan oleh badan-badan
pembangunan internasional, pemerintah maupun organisasi non-pemerintah
kebanyakan dijalankan tanpa didahului oleh penyadaran mengenai ketidakadilan
sosial yang terbentuk secara struktural, dan pemberdayaan organisasi rakyat
untuk perjuangan keadilan sosial.
Jadi bila diletakkan dalam kerangka perjuangan keadilan sosial, lebih
khusus lagi adalah perjuangan keadilan agraria, maka reformasi birokrasi
semacam itu perlu dikerjakan kembali. Berbagai ketidakadilan agraria tampil
secara berbeda-beda di berbagai wilayah sesuai dengan sejarah pembentukannya
masing-masing. Ketidakadilan agraria yang dimaksud baik yang bersifat akut
dalam peristiwa-peristiwa yang meledak-ledak seperti dalam bencana sosial
buatan manusia (banjir air atau lumpur, atau kelaparan, pertarungan
perebutan tanah, hutan dan wilayah); maupun yang bersifat kronis seperti
kemiskinan-pengangguran, kesenjangan kaya-miskin, hingga diskriminasi
berdasarkan golongan ras, etnik, maupun jenis kelamin.
Bila reformasi birokrasi tidak diletakkan dalam kerangka perjuangan
keadilan sosial, khususnya lagi perjuangan keadilan agraria, maka apa yang
dihasilkannya akan sulit dinikmati oleh rakyat petani miskin yang kerja,
kelanjutan hidup, dan kesejahteraannya bergantung pada akses atas tanah dan
kekayaan alam pedesaan-pedalaman. Sebaliknya, seperti selama ini terjadi,
mereka terus dibentuk menjadi produsen bahan makan bagi kebanyakan kita
semua, dan produsen bahan mentah dan reservoir tenaga kerja bagi industri
yang dimiliki perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa.[27]
Pada konteks ini yang kita benar-benar pelukan adalah hadirnya konstitusi –
dan paham konstusionalisme – yang sanggup memberi arah bagi transformasi
birokrasi otoritarian rente, menjadi birokrasi keadilan sosial, serta
inspirasi bagi kebijakan reforma agraria? Quo vadis?
Bandung, 24 Desember 2011
Daftar Pustaka yang Dikutip
Bachriadi, Dianto, Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan (eds.), 1997, Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan
Agraria di Indonesia. Jakarta: LP-FE Universitas Indonesia dan KPA.
Badan Pertanahan Nasional. 2008. “BPN RI menjawab Tantangan atas Reforma
Agraria dan Tututan Layanan Masyarakat,” bahan presentasi tidak
diterbitkan.
Budiman, Arief. 1991. Negara dan Pembangunan: Studi tentang Indonesia dan Korea Selatan.Jakarta, Yayasan Padi dan Kapas.
_____ 1996. Teori Negara: Negara, kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: Gramedia.
Bulkin, Farchan. 1984a. “Kapitalisme, Golongan Menengah dan negara: Sebuah
Catatan Penelitian”. Prisma 2 :3-22.
_____ 1984b. “Negara, Masyarakat dan Ekonomi”, Prisma 13
(8):3-17.
FAO. 1951. Land Reform. Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic
Development. Rome: Food and Agricultural Oorganization.
Fauzi, Noer. 1997, “Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik
Agraria Indonesia Paska Kolonial”,dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan
Agraria di Indonesia p.67-122, Jakarta: LP-FEUI dan KPA.
_____ 1999. Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist
Press dan Pustaka Pelajar.
_____ 2003. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria, Yogyakarta: Karsa.
_____ 2005a. Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga,
Yogyakarta: Insist Press.
_____ 2005b. Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta:
Resist Book.
Fauzi, Noer dan Dianto Bachriadi. 1998. “Hak Menguasasi dari Negara:
Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan”. Kertas Posisi Konsorsium
Pembaruan Agraria No. 4. http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=45&&Itemid=77(last downloaded on 09/11/2009).
Freire, Paulo. 1984. Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan. Jakarta: Gramedia.
_____. 1985. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.
Hadiz, R. Vedi and Richard Robison. 2005. "Neo-liberal Reforms and
Illiberal Consolidations: The Indonesia Paradox." The Journal of Development Studies 41:220-241.
Hadiz, Vedi. 2001. “Capitalism, Oligarchis Power and the State in
Indonesia.” Historical Materialism. 8:119-151.
____ 2004a. "Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of
Neo-Institutionalist Perpectives." Development and Change35:697-718.
____ 2004b. "Indonesian Local Party Politics: A Site of
Resistance to Neo-Liberal Reform." Critical Asian Studies 36:615-636.
_____ 1999. Politik Pembebasan. Teori-teori Negara Pasca Kolonial. Jakarta: Pustaka Pelajar.
_____ 2006. “Corruption and Neo-liberal Reform: Market and Predatory Power
in Indonesia and Southeast Asia”. In The Neo-liberal Revolution, Forging the Market State. Edited by Richard Robison. New York: Pagrave Mcmillan. Halaman 70-97.
Harsono, Boedi. 1994. Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah. Jakarta: Penerbit Jambatan.
Jacoby, Eric. 1961. Agrarian Unrest in Southeast Asia. Bombay:
Asia Publishing Co.
Mas’oed, Mochtar. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik: Order Baru, 1966-1971. Jakarta: LP3ES.
Mosse, David. 2007. “Power and the durability of poverty: a critical
exploration of the links between culture, marginality and chronic poverty”.
CPRC Working Paper 107. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1615629 (last downloaded on 09/11/2009).
Robison, Richar and Vedi Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchiy in an Age of
Markerts. London: Routledge.
Sangkoyo, Hendro. 2001. “Pembaruan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat
Sosial dan Ekologis Pengurusan Daerah.” Kertas Posisi Konsorsium Pembaruan
Agraria No. 8. http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=45&&Itemid=77 (last downloaded on 09/11/2009).
Tornquist, Olle. 1990. “Rent Capitalism, State and Democracy: A Theoretical
Propositions”. In State and Civil Society in Indonesia. Edited by Arief Budiman. Clayton, Victoria. Center of Southeast Asia
Studies, Monash University. Halaman 29-49.
Tauchid, Mochammad. 1952. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia. Bagian Pertama. Djakarta: Penerbit Tjakrawala.
_____. 1953. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia. Bagian Kedua. Djakarta: Penerbit Tjakrawala.
_____. Tt. Agraria. Lima jilid (Jilid I, II, III, IV, IV, V).
Bogor: Sekretariat Pimpinan PusatGerakan Tani Indonesia.
_____. 2009. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia. Yogyakarta: Pawarta.
_____. 2010. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan.
_____. 2011. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat
Indonesia. Jakarta: Bina Desa Sadar Jiwa.
Wertheim, W.F. 2009. Elite vs Massa. Yogyakarta: Libra
bekerjasama dengan ResistBook.
Winters, Jeffrey. 2011. Oligarchy: Cambridge: Cambridge University Press.
Wiradi, Gunawan, 2001, Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, Noer Fauzi (Ed.), Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.
[1] Sangat menarik Wertheim (1984) menggunakan petikan puisi ini
untuk menunjukkan tak dapat terlihatnya hidup dan perjuangan hidup buruh
tani dan petani yang tidak bertanah sebagai lapis terendah dalam
struktur agraria di pedesaan Jawa. Kenyataan ini diabaikan dan
tidak-mau-dilihat oleh golongan yang elite terdidik dan
pengambil kebijakan di pemerintahan. Buku Wertheim ini telah
diterjemahkan oleh Herwinarko ke dalam bahasa Indonesia (Wertheim
2009).
[2] Pembuatan buku Petani dan Penguasa dimulai sepuluh tahun sebelum
diterbitkan. Bagian-per-bagian maupun keseluruhannya telah terlebih
dahulu dipakai dalam acara-cara pendidikan pemimpin petani maupun
aktivis di berbagai tempat, khususnya ketika penulis aktif di Lembaga
Pendidikan dan Pengembangan Pedesaan (LPPP) 1990-1994 dan selama dua
periode kepemimpinan Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-1998;
1999-2002.
[3] Begitulah generasi penulis di akhir tahun 1980-an/1990-an
menyebut para aktivis yang membantu petani dalam kegiatan pendidikan,
kampanye maupun advokasi kasus.
[4] Baru-baru ini pembedaan antar memperlakukan “kemiskinan sebagai
kondisi” dan “kemiskinan sebagai akibat” dikemukakan oleh David Mosse
(2007), seorang antropolog kritis dari School of African and Oriental
Studies (SOAS), University of London.
[5] Paulo Freire, pemikir pendidikan di abad 20 yang berasal dari
Brazil, mengemukakan bahwa sikap menyalahkan korban ini dan mengasihani
korban menjadi hambatan utama bagi pembebasan kaum tertindas
dari hubungan penindasan yang melingkupi dan membentuk korban. Baca:
Paulo Freire (1972) Pedagogy of the Oppressed, Penguin Books; Paulo
Freire (1973). Education for Critical Consciousness. New York: Seabury.
Kedua buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, masing-masing
dalam Freire (1985, 1984).
[6] Ia mempersembahkan bukunya ini untuk “Saudara-saudaraku: Tani
Indonesia, Pradjurit tak dikenal orang” disertai dengan harapan
“(d)itengah-tengah kegelapan, terbayang sinar bahagia.” Tauchid juga
membuat buku-buku saku tipis Seri Agraria (lima jilid). Agraria,
diterbitkan oleh Sekretariat Pimpinan Pusat Gerakan Tani Indonesia,
Bogor, tanpa tahun. Buku ini merupakan penulisan ulang dari bab-bab buku
Masalah Agraria.
[7] Kalimat dalam Pembukaan UUD 1945.
[8] Pidato Pengantar Menteri Agraria (Mr. Sadjarwo) di dalam sidang
DPR-GR tanggal 12 September 1960 (dimuat dalam Harsono, 1994:53).
[9] Kalimat aslinya, “… it can be asserted that it was the defective
agrarian structure which paved the way for the national idea, and
political developments have confirmed the emotional identity of the
fight for freedom with the cry for land” (Jacoby 1961:50). Secara
berbeda-beda, di awal masa kemerdekaannya banyak elit negara yang baru
merdeka, benar-benar dipengaruhi oleh naskah resmi badan Persatuan
Bangsa-Bangsa, FAO (Food and Agricultural Organization) Land Reform -
Defects in Agrarian Structure as Obstacles to Economic Development yang
diterbitkan pada 1951.
[10] Bahasa Inggris aslinya “… the solution of the land problem is a
pre-requisite for the full realization of the national aspirations of
the countries of Southeast Asia and that, to a large extent, is the key
to economic development and a sound re-organization of society” (Jacoby
1961:253).
[11] Untuk kajian teori-teori negara paska kolonial secara ringkas,
lihat: Budiman (1996) dan Hadiz (1999).
[12] Hadiz mengistilahkannya sebagai “newly decentralized, predatory
networks of patronage” (Hadiz 2004a:699).
[13] Ketetapan Nomor IX tidak memberikan definisi pengelolaan sumber
daya alam kecuali pernyataan umum dan samar-samar bahwa
"(P)engelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan
angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah
lingkungan" (pasal 3).
[14] Untuk debat lebih detil lihat: Fauzi 2001, Bey, 2002; 2003;
Bachriadi, 2002; lihat juga Bey 2004, Setiawan 2004, Ya'kub,
2004.
[15] Keputusan Presiden Nomor 34/2003 juga Presiden Megawati memutuskan
untuk mendesentralisasi sebagian kewenang BPN ke pemerintah
kabupaten/kota sebagai berikut: (a) untuk melngeluarkan ijin lokasi;
(b) untuk melakukan pembebasan tanah dari proyek pembangunan; (c)
untuk menyelesaikan sengketa tanah agraria; (d) untuk menyelesaikan
kompensasi pembebasan tanah untuk proyek pembangunan; (e) untuk
menentukan penerima manfaat dan objek tanah yang ditargetkan oleh
program redistribusi tanah; juga kompensasi bagi pemilik tanah yang
tanahnya diredistribusi; (f) untuk menyelesaikan sengketa perihal
tanah-tanah adat; (g) untuk menentukan alokasi dan penggunaan
"tanah-tanah terlantar”, (h) untuk memberikan izin pembukaan tanah
pertanian yang baru;, dan (i) untuk mengatur rencana penggunaan
untuk tanah di kabupaten/kota.
[16] Perpres ini kemudian berhasil diubahnya menjadi Perpres 65/2006
tentang Perubahan atas Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36/2005
tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan
Umum.
[17] “Program Reforma Agraria, untuk pendistribusian tanah untuk
rakyat secara bertahap Insya Allah akan dilaksamakan mulai tahun 2007
ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat
termiskin yang berasal dari hutan konversi, dan tanah lain yang menurut
hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat.
Inilah yang saya sebut sebagai prinsip “Tanah untuk Keadilan dan
Kesejahteraan Rakyat”. Reformasi ini saya anggap mutlak untuk dilakukan,
mengingat selama kurun waktu 43 tahun (sejak 1961 hingga 2004), tanah
negara yang diberikan kepada rakyat baru berjumlah 1,15 juta
hektar” . Pidato Presiden RI pada Awal Tahun 2007. 31 Januari
2007. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo
Bambang
Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/01/31/582.html
[18] “SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN. Akan Dikembangkan,
Program Reforma Agraria”. 28 September 2006. Website resmi Presiden
Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang
Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.html
[19] “Rapat Terbatas Bahas Reforma Agraria.” 23 Mei 2007. Website
Resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=402&Itemid=55
[20] Apa yang dahulu disebut “catur tertib pertanahan” diganti menjadi
empat prinsip baru yakni: bahwa Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk: 1)
meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru
kemakmuran rakyat; 2) tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan
dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan
tanah; 3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan
kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada
generasi akan dating pada sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah; dan 4)
menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi
berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata
sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di
kemudian hari.
[21] Melalui Peraturan Presiden No. 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN).
[22] BPN membuat asesment tentang tanah-tanah yang secara potensial
akan menjadi sasaran PPAN (see Winoto 2008:51-57). Dalam menanggapi
permintaan yang dikemukakan oleh sekelompok aktivis LSM, dan juga dalam
ceramah yang disampaikan di Balai Senat Universitas, Universitas Gajah
Mada, pada 22/11/2007, Kepala BPN menyebutkan bahwa detil
data dan peta 8.15 juta hektar tanah hutan konversi itu tidak akan
diedarkan untuk mencegah kontroversi. Winoto meyakinkan para aktivis
bahwa BPN memiliki data dan peta digital masing-masing lokasi.
(Keterangan Winoto dalam pertemuan dengan para aktivis LSM di Jakarta,
2/5/2008). Seorang pejabar BPN memperlihatkan penulis sebuah buku tebal,
sekitar 100 halaman, di dalamnya terkandung versi cetak dari data dan
peta-peta termaksud (wawancara di bulan November 2007).
[23] Dalam suatu diskusi di Pusat Kajian Agraria - IPB, pada tanggal
19 Mei 2008, pejabat Badan Planologi Departemen Kehutanan mempersoalkan
cara bagaimana BPN menghasilkan dan menggunakan data itu. Keterangan
yang diberikan oleh seorang pejabat tinggi BPN pun, dalam wawancara
dengan penulis pada 19 Juni 2009 mengkonfirmasi bahwa belum ada
perubahan yang berarti dalam hubungan komunikasi dan kordinasi dengan
Departemen Kehutanan mengenai agenda tersebut.
[24] Kita mengetahui dari studi Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip
Fay (2005), Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure
Reform, tidak semua klaim itu telah absah secara hukum administrasi. Menurut
studi itu klaim Departmen Kehutanan dalam menguasai kawasan hutan
seluruh Indonesia seluas 120,353,104 hektar didasarkan pada penunjukan
oleh Menteri Kehutanan, dan hingga awal tahun 2005 hanya 12 juta hektar
atau 10 persen saja yang telah dikukuhkan dengan memiliki Berita Acara
Tata Batas (Contreras-Hermosilla dan Chip Fay (2005:11).
[25] Data ini bersumber dari Departement Kehutanan dan Badan Pusat
Statistik (2007).
[26] Klaim-klaim keberhasilan yang spektakuler itu adalah bagian utama
dari iklan satu halaman “Pertanahan untuk Rakyat. Bukan Omong Kosong”
dari Tim Sukses pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di
Koran Media Indonesia tanggal 24 Juni 2009, dan sajian Kepala BPN dalam
acara Save Our Nation di MetroTV pada Rabu, 15 Juli
2009, pukul 22.00 – 23.00 WIB dan disiarkan ulang pada Senin, 20 Juli
2009, pukul 16.00 – 17.00 WIB.
[27] Kenyataan pahit inilah yang ditantang secara sungguh-sungguh oleh
banyak gerakan-gerakan rakyat pedesaan di berbagai negara paskakolonial
(lihat Fauzi 2005a, 2005b).
No comments:
Post a Comment