Karena Gunawan Wiradi adalah Guruku


Noer Fauzi Rachman*)

Naskah pidato debut pada 16 September 2012 untuk acara peringatan ulang tahunnya yang ke 80, Gunawan Wiradi, diselenggarakan di Bogor. 

Pengantar

Saya berterima kasih, dan merasa terharu dan terhormat dipilih oleh Guru saya, Dr. Hc. Ir. Gunawan Wiradi, M.Soc.Sc, untuk berpidato di acara peringatan ulang tahunnya yang ke 80 ini. Tanpa beliau sebagai guruku, saya tidak akan sampai memiliki daya jelajah ke studi-studi agraria.  Gunawan Wiradi mengajarkan bahwa menekuni studi-studi agraria, bukan sekedar untuk reputasi diri dalam arena akademik, melainkan secara vokasional berpihak, seperti yang dianjurkan oleh Max Weber (Wiradi 2008:281-291).  Ia menulis:

Seorang peneliti yang peduli pada nasib dan masa depan bangsanya, dan yang batinnya meronta melihat kemelaratan yang dialami oleh rakyatnya, tidak bisa lain kecuali harus menjadi peneliti yang memiliki semangat vokasional!

Semangat vokasional inilah yang ia wariskan kepada kami, generasi baru yang melanjutkan studi-studi agraria.

Pada kesempatan yang istimewa ini saya ingin sampaikan pada pak Wiradi dan para hadirin sekalian, bahwa satu dari sekian banyak jasa pak Wiradi sebagai jembatan intelektual yang memungkinkan saya menjelajah sampai ke topik studi dan konsep-konsep yang sangat berpengaruh dalam studi-studi agraria yang dahulu maupun sekarang. Tiga di antaranya adalah “sejarah kebijakan agraria”, “akumulasi primitif, dan “kredo agraria”.  

 

Sejarah Kebijakan Agraria 

Pak Wiradi memperkenalkan sejarah kebijakan agraria pada kami, generasi aktivis tengah hingga akhir tahun 1980-an, yang sedang haus akan penjelasan ilmiah mengapa perampasan tanah petani berlangsung secara brutal untuk kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan di seantero negeri, mengapa pemerintah menggunakan dan menyalahgunakan kewenangan-kewenangannya demi memfasilitasi perampasan tanah itu, baik melalui konsesi-konsesi yang diberikannya, birokrasi represifnya, maupun yang pada gilirannya mentransformasikan petani menjadi pekerja tak bertanah. Kami pun bertanya mengenai seluruh atribut Negara Budiman, yang melekat di Konstitusi UUD 1945, dan Undang-undang Pokok Agraria 1960. Apa konsekuensi semua itu untuk nasib petani? Dari pelajaran sejarah di sekolah menengah, kami masih mendapati moto-moto warisan revolusi kemerdekaan, seperti “petani adalah  soko guru revolusi”, dan sebagainya. Bagaimana, petani yang begitu berjasa bagi kemerdekaan Indonesia itu bisa bernasib tragis di bawah rejim pemerintahan paska-kolonial?  

Pada masa itu, dapatlah dikatakan kerangka kerja para aktivis agraria dalam keseluruhan gerakannya adalah “Kembalikan Tanah Rakyat yang Dirampas Pembangunan”. Saya ingat pada poster “Tanah Untuk Rakyat” yang menghebohkan pada tahun 1990-an itu. Meskipun isu “Tanah untuk Rakyat” ini naik ke media massa ini, namun belum menyentuh masalah ketimpangan struktur agraria. Dengan kata lain, tema sentral yang berkembang pada saat itu baru menyentuh hilangnya akses rakyat atas tanah yang selama ini mereka kuasai, miliki, duduki, tinggali, atau digarap. UUPA 1960 masih dirujuk sebagai undang-undang pelindung para petani yang posisinya kalah dan dikalahkan dalam konflik agraria. Belum lebih jauh dari itu.

Bapak Gunawan Wiradilah yang memperkenalkan saya pada “Tonggak-tonggak Perjalanan Kebijaksanaan Agraria di Indonesia[1]”, yang membuat saya mengerti bahwa, kebijakan agraria Indonesia yang saat itu berujung pada perampasan-perampasan tanah itu adalah cuma satu babak saja dari perjalanan panjang sejak masa kolonial.  Betapa tidak. Makalah yang diedarkan itu benar-benar telah menggoda, merangsang alam pikiran kami. Kami memfotokopi dan membacanya berkali-kali. Ya, karena naskah demikian banyak diminati para aktivis, kami berkali-kali memfotokopinya. Kami mendebatkan, menuliskan komentar hingga merujuknya ketika kami menulis karya kami sendiri, baik untuk bahan latihan dan kursus bagi para pengerak rakyat maupun terbitan di koran, majalah, jurnal dan buku. “Tonggak-tonggak Kebijakan Agraria Indonesia”  itu pula yang secara khusus membuat saya tergerak meminta karya-karya terserak Wiradi lainnya, dan  menyunting karya-karya terserak itu lainnya menjadi buku: Wiradi (2001) Reforma Agraria: Urusan yang Belum Berakhir.yang kemudian diberi pengantar oleh Prof. Sajogyo.

Disini perlu saya sebut bahwa buku Noer Fauzi (1999) Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria) diinspirasikan oleh “Tonggak-tonggak Kebijakan Agraria Indonesia” itu. Lebih dari itu, disertasi saya Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia (Rachman 2011) dan buku Land Reform dari Masa ke Masa (Rachman 2012) merupakan pengembangan lebih lanjut dari minat dan pemahaman historis yang semakin dalam dan luas mengenai perjalanan kebijakan agraria Indonesia.

 Akumulasi Primitif

Buku Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia mempekerjakan konsep analitik “akumulasi primitif” untuk memahami secara lebih baik kebijakan agraria Indonesia sejak masa kolonial. Saya sampai pada konsep ini pun berkat meniti jembatan yang disediakan oleh Gunawan Wiradi. Saya masih ingat beliau memberikan papernya  mengenai Chayanov[2], yang  pada gilirannya membawa saya memahami debat-debat agraria klasik, yang membawa saya pada konsep akumulasi primitif.  

Ijinkan saya mengelaborasi sedikit relevansi dari konsep akumulasi primitif itu.

Apakah Akumulasi Primitif itu? Karl Marx mengunakan istilah “the so-called primitive accumulation” berangkat dari pengertian Adam Smith previous accumulation.[3] Ia menyadari bahwa motif akumulasi kekayaan dan keuntungan itu merupakan penggerak kapitalisme. Dan syarat awalnya adalah akumulasi stock, dan ia menulis, ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”.  Tapi, syarat akumulasi stock itu bukan syarat cukup. Yang menentukan bagaimana kekayaan diakumulasikan adalah suatu transformasi hubungan-hubungan sosial dalam proses produksi, juga adalah hubungan kepemilikan (property relations) – sebagaimana diurai dengan bagus oleh Ellen Meiksins Wood (2002:36).  Dalam konteks inilah untuk pertama kalinya tanah-tanah dan kekayaan alam diputuskan dari hubungan sosial pra-kapitalis, dan dijadikan bagian modal dalam sirkuit baru sistem produksi kapitalis. Di lain pihak, petani yang tadinya punya hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan secara brutal, dan kemudian dibebaskan menjadi tenaga kerja bebas.

Menurut Massimo de Angelis, modal harus dipahami sebagai sebuah kekuatan (force). Sehingga sehubungan dengan penghentian akses penduduk atas tanah melalui tindakan perampasan (land disposession), modal harus dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis 2004:59, n . 5). Oleh sebab itu, enclosure ditempatkan de Angelis sebagai ciri yang melekat pada cara produksi kapitalisme. Ia mengelompokkan enclosure menjadi dua model implementasi, yakni: ”(i) enclosure sebagai sebuah rancangan ”kekuasaan atas” (power over), dan (ii) enclosure sebagai sebuah akibat dari proses akumulasi.  Pada  yang pertama ... menunjukkan berbagai macam strategi yang sungguh-sungguh dirancang dengan berbagai bentuk dan nama . Sedangkan pada makna yang dua, enclosure merupakan akibat yang tak direncanakan (unintended by-product) dari akumulasi yang (dalam bahasa ekonomi) dikenal sebagai ”negative externalities”, yang tak dikalkulasi dalam harga pasar dari barang-barang yang dihasilkan, karena biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para penghasil barang itu itu memang berada di luar perusahaan yang memiliki barang itu (de Angelis 2004:77-78). 

Bagaimana penggunaan konsep akumulasi primitif dapat dipekerjakan untuk memahami problem agraria dewasa ini? 

Ijinkanlah saya menjawab pertanyaan itu dengan merujuk pada apa yang terjadi di Merauke sehubungan dengan pembentukan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).[4] Dari pengalaman MIFEE kita bisa melihat adanya proses kebijakan yang bertingkat dengan beragam aktor telah menyediakan banyak pintu bagi produksi dan pembentukan ruang untuk sistem produksi kapitalis yang baru, dalam hal ini produksi komoditas-komoditas  kehutanan dan perkebunan. 

Tidak terlalu sulit untuk menelusuri proses kebijakan yang melahirkan proyek ini. Krisis pangan yang melekat erat pada krisis energi semakin menajam pada tahun 2008 menjadi tantangan kreativitas bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah wacana krisis menjadi peluang. Harga komoditas pangan yang meroket dan permintaan energi terbarukan yang meningkat di tengah situasi tidak terlalu dirasakan dan mudah dilihat oleh banyak orang di Indonesia, baik karena ketersediaan stok, intervensi-inetrvensi pasar oleh pemerintah dengan import bers dan komoditas pertanian lain, operasi-operasi pasar,  maupun injeksi uang tunai pada orang miskin. Yang sangat terlihat adalah krisis pangan dan energi global telah menjadi pembuka pintu bagi peluang investasi di kedua sektor itu. Peluang ini segera ditangapi oleh elite pemerintah dengan menghasilkan/memodifikasi kebijakan-kebijakan yang bermuara pada pemberian konsesi-konsesi perkebunan skala raksasa. 

Hal ini bisa dilihat jelas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang ditandatangani oleh presiden pada Maret 2008. Peraturan ini dengan jelas menunjuk Kabupaten Merauke sebagai Kawasan Andalan. Pada Mei 2008, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 20082009 yang menginstruksikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Gubernur Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke. Pada tahun yang sama, Kementerian Pertanian mendapat rapor merah karena belum berhasil meluncurkan program MIFEE.

Sementara instrumen kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke maupun Provinsi Papua, juga desain MIFEE belum lagi selesai, gerak cepat izin lokasi yang dikeluarkan Bupati Merauke pada 2008 telah menghasilkan pengalokasian tanah seluas 300.000 hektar kepada PT Medco yang juga dilegitimasi secara adat. Pada 2009, salah satu anak perusahaan PT Medco berhasil mendapatkan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Surat Keputusan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Nomor 18/Menhut-II/2009 dengan total luas 169.400 hektar. Di lokasi yang berbeda dengan anak perusahaan yang lain, PT Medco juga memperoleh izin pengembangan industri kayu serpih seluas 2.800 hektar. Pada 2010, melalui anak perusahaan yang berbeda lagi, PT Medco sudah mendapatkan izin lokasi untuk HTI seluas 74.219 hektar. Kayu serpih ini diekspor ke Korea dan China, bukan untuk bahan baku kertas, melainkan sebagai bahan bakar pengganti batubara. Bisnis kayu serpih sebagai bahan bakar terbarukan menjustifikasi operasi HTI PT Medco dalam rubrik Energy Estate. Dua anak perusahaan PT Medco yang disebut terdahulu pada saat ini sudah beroperasi dan melakukan pembayaran untuk pelepasan tanah adat, termasuk pembayaran penggantian kayu yang mereka panen dari hutan orang Marind. Lebih jauh lagi, bisnis kayu serpih ini juga sudah berhasil menarik investasi dari Korea Selatan melalui LG International.


Gambar 1. Peta Ijin Lokasi 2008-2010 (Sumber: BKPMD Kabupaten Merauke, 2010)

Selanjutnya pada 2010, PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dikeluarkan untuk mengatur luasan pengusahaan budidaya tanaman dengan memperbolehkan penguasaan tanah di Papua dua kali lipat dari batas maksimum untuk daerah lain di Indonesia, yaitu mencapai 20.000 hektar. Namun, pada 2009, Grup Rajawali telah lebih dulu mengantongi izin lokasi untuk perkebunan tebu di Merauke melalui dua anak perusahaannya dengan luasan mencapai 35.000 hektar. Pada saat itu, juga sudah ada sepuluhperusahaan pemegang izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit dengan total luas 377.387,90 hektar, dengan rata-rata luas ijin yang dikeluarkan sebesar 35.000 hektar.


Bagan 1.  Proses Perampasan Tanah
 di MIFEE (
sumber: Savitri et al, akan terbit)

Selanjutnya, perkembangan luasan konsesi yang diberikan melalui penggunaan kewenangan Bupati Merauke dalam memberikan Ijin Lokasi, dari waktu ke waktu semakin bertambah secara fantastis, dari Januari 2007 hingga di Agustus 2010, untuk 48 perusahaan mencapai luas 2.319.094 hektar!!! (Data dari BKPMD kabupaten Merauke 2011).

Pada prakteknya, luasan konsesinya tidak akan sebesar ini. Saat ini sedang terus berlangsung proses “perampasan tanah” yang berlangsung melalui Jalur perundang-undangan dan jalur adat (lihat bagan 1. Bagan Proses Perampasan Tanah, sumber: Savitri et al, akan terbit). 

Dari pengalaman penelitian di MIFEE[5]  saya mendapatkan afirmasi atas apa yang dianalisis oleh geografer ternama, David Harvey[6], bahwa

”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumber daya  baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja. Namun, ekspansi re-organisasi dan rekonstruksi geografis sering adalah perusak nilai-nilai yang telah menancap dalam pada tempat-tempat itu (terikat secara sosial pada tanah), dan juga bagi nilai-nilai yang belum melembaga (Harvey 2003;116). 

Alat analitik akumulasi primitif ini masih handal dan terus menerus perlu dipelajari dan dipekerjakan menghadapi masalah-masalah agraria Indonesia, dan lebih lanjut, kemudian studi-studi termaksud sanggup membuat sumbangan bagi literature akademik studi agraria Indonesia.

 Kredo Agraria

 Pidato saya kali ini akan saya tutup dengan mengemukakan  lagi satu konsep lagi yang saya dapatkan dengan meniti beliau sebagai jembatan, yakni Kredo Agraria, agrarian creed.  Sebagaimana diuraikan oleh Erich H. Jacoby dalam buku berjudul Man and Land: The Essential Revolution (1971),

Kredo Agraria bukanlah suatu doktrin tertentu, tetapi ia mencerminkan harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi bergenerasi-generasi petani, agar suatu ketika tanah dapat dinikmati dengan bebas sebebas udara, dan tidak dimiliki siapapun, dan oleh karenanya diperuntukkan bagi semua yang menggarapnya. Bahwa para petani berjuang untuk memiliki tanah dan mendapatkan jaminan atas kepunyaannya, sama sekali tidak bertentangan dengan Kredo Agraria. Itu hanyakan suatu cara menyesuaikan diri dengan sistem-sistem ekonomi dan masyarakat yang bekerja berdasarkan sistem-sistem kepemilikan yang sudah mapan.Meski sering dikaburkan oleh mitos-mitos dan legenda-legenda lokal, Kredo Agraria itu adalah universal. Ia tidak terikat pada suatu saat waktu atau suatu rangkai isi ajaran tertentu, sesungguhnya ia kuat sekali tertancap di hati para penggarap yang kemudian diungkapkan dengan sadar, dan mendorong kaum lemah melawan para penindasnya” (Jacoby 1971:88).[7] 

 Lanjutnya:

Kredo Agraria itu, yang telah sering digunakan dan disalahgunakan dalam berbagai propaganda politik, sesungguhnya berakar kuat di hati rakyat dan menjadi ukuran mereka untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pemerintahan nasional. … Tugas yang sangat berat adalah menemukan cara yang paling singkat dan efektif untuk membuka katup energi-energi yang dibutuhkan untuk pembangunan, dan disinilah usaha tak kenal henti untuk mewujudkan Kredo Agraria  sungguh begitu berharga”. (Jacoby, 1971:88, 90, 92).[8]

 

Sekian.

Terima kasih

 

Daftar Pustaka 

De Angelis, Massimo. 2004. "Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures." Historical Materialism 12:57-87.

Fauzi, Noer (1999) Petani dan PenguasaDinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria)

Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

_____.  2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

_____. 2006. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. London: Verso. 

Ito, Takeshi, Noer Fauzi Rachman, dan Laksmi Savitri. 2011. “Naturalizing Land Disposession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate.” A paper presented at the International Conference on Global Land Grabbing. Sussex University.

Jacoby, Erich H. 1971. Man and Land, the Essential Revolution. New York, Random House.

Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth, Penguin Books

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.

Rachman, Noer Fauzi. 2011. Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia. Dissertation at University of California, Berkeley.

_____. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air beta, bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Rachman, Noer Fauzi dan Laksmi Savitri. 2011. “Kapitalisme, Perampasan tanah Global, dan Agenda Studi Gerakan-gerakan Agraria”,  Jurnal Dignitas. Vol VII no. 2/2011.

Savitri, Laksmi , Zuhdi S. Sang, Muntaza dan Yosep Renyut (Akan Terbit). Ina Anem, Makan Anem: Hidup Malind dalam Gelombang Pertanian Industrial di Tanah Merauke. Tp.Tt.

Wiradi, Gunawan. 1993. “Mengulas Kembali Teori Chayanov” makalah yang disampaikan pada acara diskusi Ikatan Sosiologi Cabang Bogor, 12/6/1993

_____. 2001. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Noer Fauzi (Penyunting) Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.

_____. 2008. Metodologi Studi AgrariaKarya Terpilih Gunawan Wiradi. Moh. Shohibuddin (Penyunting). Bogor: Sajogyo Institute, bekerjasama dengan Departemen Sains, Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekonologi Manusia, IPB, dan Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB.

Wood, Ellen Meiksins. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.



*) Noer Fauzi Rachman adalah Direktur dan peneliti Sajogyo Institute. Saat menulis ini juga dosen luar biasa di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. 

[1] Topik ini adalah bab dalam makalah Wiradi, Gunawan. 1986. “Kepenguasaan Tanah dalam Perspektif Transformasi Struktural”, makalah yang disajikan untuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IV, LIPI, September 1986. Jakarta. 

[2] Wiradi 1993 “Mengulas Kembali Teori Chayanov” adalah naskah yang pada mulanya makalah yang disampaikan pada acara diskusi Ikatan Sosiologi Cabang Bogor, 12/6/1993.

[3] Apa yang disebut sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation) untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Karl Marx (1976/1898) dalam Capital vol 1, Bagian VIII. Dalam bab itu, analisis Marx utamanya membahas  fenomena historis di Inggris selama periode  awal pembentukan cara berproduksi kapitalis, sesuatu yang Marx anggap sebagai bentuk yang klasik dari akumulasi primitif. 

[4] Bagian mengenai MIFEE ini berasal dari Rachman dan Savitri (2012:19-21).

[5] Penelitian tentang MIFEE ini dijalankan oleh Sajogyo Institute, bekerjasama dengan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian – Keuskupan Merauke (SKP-KAME), dan Komunitas Perfilman Intertekstual (KOPI) 2012. Publikasi awal bisa dilihat Ito et al (2009), Savitri et al (akan terbit).

[6] Apa yang dikemukakan Harvey ini merupakan ekspresi dari upayanya yang  bersungguh-sungguh mengelaborasi konsep ruang (space) dalam ekonomi politik, ilmu sosial dan humaniora (Harvey 1995, 2003, 2005, 2006). Usaha ini pada mulanya dirintis oleh Henry Lefebrve, seorang filsuf Marxian dari Perancis, yang dalam karya klasiknya The Production of Space (1974/1991).

[7] “The Agrarian Creed is not a definable doctrine but reflects the hopes and aspirations of countless peasant generations for a time when land will be as free as air and will belong to nobody, and therefore to anybody who is tilling it. That the peasant has to ask for the right to own the land and to be assured of its possession is not a contradiction of the Agrarian Creed but only a compromise with economic systems and societies based on established property rights. ... Though often obscured by local myths and legends, the Agrarian Creed is universal. It is not tied to a particular moment of time or a specific content bit is so strongly entrenched in the hearts of the tillers that it has become the recognized expression and has encourage the weak to fight their oppressors. (Jacoby 1971:88)

[8] “The fundamental importance of the Agrarian Creed is reflected throughout recorded history. … The Agrarian Creed, used and abused in political propaganda, is so strongly rooted in the minds of the people that it has become their yardstick for the success or failure of the new national government…  The immense task remains of finding the shortest and most effective way to release the energies needed for development and it is here that the continued pressure for a realization of the Agrarian Creed may prove a most valuable instrument.” (Jacoby, 1971:88, 90, 92)

 

Bantuan Hukum Struktural dan Perjuangan Agraria


Naskah "Bantuan Hukum Struktural dan Perjuangan Agraria", ini semula hendak dimuat dalam satu bab di buku Verboden Voor Honden en Inlanders dan Lahirlah LBH: Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadilan.   Irawan Saptono dan Tedjabayu. (eds.). Jakarta: YLBHI, 2012. Halaman 205-250.  

 

S. Rakhma Mary Herwati dan Noer Fauzi Rachman 

Pengantar

Konsepsi dan praktek Bantuan Hukum Struktural (BHS) merupakan suatu tanggapan kolektif dari kepemimpinan Yayasan  Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan kantor-kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang berpayungkan YLBHI atas struktur dan praktek otoritarian rejim Suharto. Konsepsi  dan praktek BHS itu berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan cara  kepemimpinan YLBHI dan kantor-kantor LBH itu meraih kesempatan politik yang tersedia, dan seperangkat kompetensi kelembagaan dan sumberdaya yang dipunyai dan dibangun dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Secara khusus tulisan ini akan secara berurutan menyajikan secara amat ringkas pemikiran mengenai bantuan hukum sebagaimana dikonsepsikan oleh pemimpin YLBHI,  bagaimana kasus-kasus pertanahan ditampilkan dalam Laporan-laporan Keadaan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diterbitkan tiap tahun oleh YLBHI, beberapa ilustrasi pola penanganan kasus pertanahan di tanah air oleh kantor-kantor LBH semasa rejim Suharto berkuasa, dan pergeseran pola penanganan kasus-kasus pertanahan di awal masa Reformasi. Selanjutnya tulisan ini secara khusus menampilkan pengalaman penanganan kasus-kasus pertanahan di Jawa Tengah oleh kantor LBH Semarang sebelum dan semasa Reformasi.  Tulisan ini ditutup dengan menyajikan sejumlah renungan penutup mengenai perubahan kepemimpinan dan krisis keuangan YLBHI di awal tahun 2000, dan pengaruhnya pada kompetensi kelembagaan dan sumberdaya kantor-kantor LBH, termasuk upaya mengejawantahkan komitmennya menyokong perjuangan rakyat pedesaan melalui BHS. 

 

Perkembangan Pemikiran Bantuan Hukum 

Dalam bukunya, Bantuan Hukum di Indonesia (1982), Adnan Buyung Nasution menguraikan sekelumit sejarahbantuan hukum. Program bantuan hukum di Indonesia yang melembaga dan beruang lingkup  luas baru dimulai sejak berdirinya Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta pada 28 Oktober 1970. Yang dimaksud bantuan hukum di sini adalah bantuan hukum khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau yang populer dikenal sebagai ‘si miskin’. Bantuan hukum bukan sekedar suatu jenis layanan profesi hukum belaka, melainkan dikerangkakan dalam konteks gerakan sosial,  Gerakan sosial dengan komponen bantuan hukum didalamnya harus dilihat sebagai suatu upaya perjuangan perhargaan, perlindunagn, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia kaum miskin. Penghargaan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi itu bukan didapat melalui suatu pemberian, melainkan diperoleh dari perjuangan. Harus disadari bahwa bantuan hukum saja tidak cukup. Struktur yang tidak jelas dan tidak adil  harus dirombak dan digantikan dengan pola hubungan yang lebih adil. [1]

 

Tujuan bantuan hukum, menurut Todung Mulya Lubis (1986) dengan demikian perlu diperluas, tidak saja terbatas pada bantuan hukum individual tetapi juga struktural, tidak saja di wilayah perkotaan tetapi juga pedesaan. Selama ini, bantuan hukum di Indonesia dinilai terlalu individual dan melayani orang-orang kota. Sudah saatnya gerakan bantuan hukum dilakukan untuk melayani kebutuhan rakyat miskin pedesaan secara aktif dan memberikan layanan bantuan hukum untuk memberdayakan mereka melakukan transformasi struktur sosial, ekonomi, dan politik yang mengekang mereka. Orientasi bantuan hukum ini adalah untuk membebaskan rakyat miskin dari struktur yang menindas mereka. Karena itu, bantuan hukum struktural harus dimulai dan mampu membuka mata orang miskin bahwa mereka adalah korban dari struktur sosial, politik, dan ekonomi yang tidak adil. Berbagai kegiatan pendidikan perlu dilakukan untuk membangkitkan dan mengembangkan kesadaran kritis mengenai sebab-sebab kemiskinan dan ketertindasan mereka.[2]

 

Para pemimpin YLBHI – yang awalnya dimotori Adnan Buyung Nasution – mempercayai bahwa untuk mengubah struktur-struktur itu para pekerja bantuan hukum mesti menggunakan pendekatan struktural dalam bantuan hukum. Para pekerja bantuan hukum tidak saja harus mewakili orang-orang miskin dalam kasus-kasus hukum, tetapi menjadi bagian yang menyokong perjuangan orang miskin itu sendiri. Dengan ‘manunggal’ bersama kekuatan rakyat yang terorganisir, pekerja bantuan hukum akan bisa menghayati persoalan-persoalan rakyat dan menemukan jalan keluar yang lebih tepat bersama rakyat. Otokritik dari pemimpin berikutnya dari YLBHI, seperti Todung Mulya Lubis, menyatakan bahwa kesalahan selama ini pekerja bantuan hukum tak mau terlibat langsung, mereka cenderung menjadi juru bicara rakyat miskin, menjadikan rakyat miskin sebagai komoditi.[3]

 

Awalnya, bantuan hukum ini adalah manifestasi sikap kedermawanan yang umumnya dilakukan pengacara kepada kliennya. Seiring dengan berkembangnya profesi hukum, hal itu berubah menjadi “kedermawanan profesi”, yang kemudian menjadi tanggung jawab profesi. Pada konteks inilah praktek bantuan hukum pro bono muncul, yang kemudian mulai melembagakan diri menjadi public interest law firm. Ini berlangsung cukup lama sampai pada gilirannya muncul perdebatan mengenai bantuan hukum struktural, dimana bantuan hukum perlu ditempatkan tidak saja sebagai layanan pada kasus-kasus individual tetapi juga pada kasus-kasus kolektif yang memungkinkan penggunaan hukum sebagai sumber daya untuk perubahan struktural.

 

Dengan demikian tujuan BHS menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, Ketua YLBHI berikutnya, adalah mewujudkan hukum yang mampu mengubah struktur sosial, politik, dan ekonomi, yang timpang ke arah struktur yang lebih adil, tempat peraturan hukum dan pelaksanaannya menjamin persamaan kedudukan warga negara.[4]  Untuk mencapainya, masyarakat miskin perlu mengembangkan pengetahuan dan pemahaman akan kepentingan bersama di antara mereka sendiri, pemahaman tentang kepentingan mereka yang dilindungi oleh hukum, tentang hak-hak yang harus diakui oleh hukum dan kemandirian mereka dalam mewujudkan hak-hak dan kepentingannya di masyarakat. 

 

Para pekerja bantuan hukum tak semata menggunakan pendekatan struktural dalam memberikan pelayanan terhadap kasus-kasus yang ditangani, tetapi mampu mendorong lembaga negara untuk mengakui, melindungi, dan memenuhi hak-hak asasi masyarakat miskin secara efektif. Melalui kegiatan pendidikan kritis akan lahir kesadaran kritis akan hak-hak mereka, termasuk hak-hak dalam proses-proses sosial, politik dan ekonomi, dan pada gilirannya akan menggerakkan upaya pembebasan masyarakat miskin dari struktur yang menindas. Kultur nrimo atas keadaan kemiskinan mereka dengan sendirinya harus diubah. Mereka miskin karena dibuat menjadi miskin bukan karena takdir yang harus diterima begitu saja. 

 

Dalam memberikan bantuan hukum, YLBHI memiliki prinsip-prinsip tertentu termasuk menentukan siapa yang dilayaninya. Anggaran Dasar YLBHI menyebutkan bahwa kantor-kantor LBH memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada “masyarakat miskin” dan “buta hukum”. Dalam praktek, kriteria “masyarakat miskin” dan “buta hukum” ditafsirkan oleh masing-masing kantor LBH. Namun di lapangan tak mudah untuk menentukan siapa “masyarakat miskin” dan “buta hukum” itu. Satu cara termudah yang selama ini dipakai adalah dengan meminta klein menunjukkan surat keterangan yang menyatakan tidak mampu dari kelurahan, selain data jumlah pendapatan per bulan. 

 

Kriteria lebih baku untuk seorang klien meliputi kriteria formil (tidak mampu) dan buta hukum (materiil). Namun kriteria ini tetap bergantung pada skala prioritas dan kemampuan setiap kantor LBH. Bila calon klien memenuhi syarat secara formal tapi tidak secara materiil, belum bisa diputuskan apakah mereka bisa menjadi klien. Ini lebih memperhitungkan aspek penanganan perkara bagi masyarakat miskin yang tak mampu membayar pengacara. Sebaliknya kalau seorang calon klien secara formal tak memenuhi syarat, tapi secara materiil sangat layak dibela maka klien tersebut berhak mendapatkan pelayanan hukum.

 

Kriteria formal itu meliputi pekerjaan, harta yang dimiliki, dan jumlah keluarga yang ditanggung. Sedangkan kriteria materiil diformulasikan berdasarkan sifat konflik dan derajat ketidakadilan yang dirasakan oleh kelompok masyarakat. Kriteria materiil itu disusun berdasarkan 12 butir hak-hak dasar yang menunjukkan sangat potensial dilanggar, meliputi: hak berbicara dan berpendapat, hak untuk berorganisasi, hak untuk bebas dari perlakuan kejam dan sewenang-wenang, hak untuk mendapatkan informasi yang tepat dari lembaga publik, hak untuk memperoleh kedudukan yang sama bagi wanita, hak untuk mendapatkan upah yang layak, hak untuk mempertahankan sumber daya, hak atas lingkungan yang bersih dan sehat, hak untuk memperoleh informasi yang jujur mengenai mutu barang, hak untuk memperoleh jasa umum yang layak dan hak untuk tinggal, hak untuk bebas dari perasaan takut.[5]

 

Berdasarkan kriteria tersebut kantor-kantor bantuan hukum yang ada di bawah payung YLBHI menyeleksi setiap kasus yang diajukan. YLBHI merancang empat prioritas kasus yang menjadi perhatian utama, meliputi kasus pidana, perburuhan, lingkungan hidup dan alokasi sumber daya alam dan kasus pertanahan. Khususnya kasus pertanahan mendapatkan banyak perhatian karena berhubungan dengan pemerataan sumber daya ekonomi masyarakat miskin. Persoalan tanah di masa depan menjadi sangat penting karena akan banyak korban dari proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Pengambilan tanah rakyat ini punya potensi konflik yang luas.[6]

 

Selain itu ada karakteristik yang dimiliki kantor-kantor LBH itu dalam memberikan bantuan hukum, yaitu kasus yang ada tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang harus diselesaikan, melainkan juga untuk melihat adanya konflik sosial yang lebih dalam. Dengan demikian langkah yang diambil tak terbatas hanya pada tindakan hukum saja tapi juga politik, seperti mendesak lembaga legislatif dalam menuntut pengakuan hak, hukum yang adil, dan penolakan terhadap kesewenang-wenangan pejabat dan lembaga dari rejim penguasa otoritarian.

 

Cara pandang tersebut berimplikasi terhadap sistem evaluasi, dimana ukuran keberhasilan pelaksanaan program tak hanya dilihat dalam hal kalah-menangnya kasus yang ditangani tetapi mempertimbangkan arti strategis dari penanganan kasus itu. Bagi kantor-kantor LBH, penanganan kasus-kasus strategis itu adalah pintu masuk dalam mengembangkan (1) fungsi hukum untuk mewujudkan hak-hak rakyat yang secara de jure telah diakui, (2) mekanisme alternatif penyelesaian konflik hukum yang berdimensi publik, (3) fungsi kritik melalui lembaga peradilan sebagai forum, (4) pelembagaan nilai-nilai dan norma hukum melalui kegiatan penyadaran dan publikasi di bidang hukum, (5) gagasan tentang pembentukan, pembaruan dan penegakan hukum, (6) untuk mereartikulasi kepentingan hukum masyarakat yang mengalami ketidakadilan melalui jalur pengadilan, birokrasi, jalur konstitusional lainnya, (7) tindakan delegitimasi dan dekonstruksi konsep-konsep kehidupan bernegara yang memperlemah posisi rakyat serta sekaligus merupakan upaya perlawanan terhadap hegemoni Negara.[7]

 

Kasus-kasus yang perlu ditangani dengan pendekatan ini adalah: pertama, sifat konflik yang terungkap melalui kasus tersebut tak hanya untuk kepentingan individu tetapi juga kepentingan kelompok sosial lapis bawah, terlepas dari berapa jumlah pencari keadilan yang meminta bantuan hukum ke LBH. Kedua, sifat konflik yang vertikal, yang menghadapkan kelompok masyarakat yang lemah dan yang kuat. Ketiga, kemungkinan bagi pembaruan dan pengembangan hukum yang lebih menjamin kepentingan masyarakat miskin.[8]

 

Dengan demikian, karakteristik bantuan hukum struktural lebih berorientasi pada masyarakat kelas bawah, terutama kelompok-kelompok buruh tani, petani kecil, nelayan dan kelompok marjinal perkotaan. Kelompok-kelompok ini dihimpun dalam Masyarakat Bantuan Hukum (MBH) dan menjadi cara alternatif bagi pembelaan kolektif yang dilakukan bersama lembaga swadaya masyarakat lainnya.  

 

Bagaimana menumbuhkan dan mengembangkan komunikasi yang efektif antara LBH dengan MBH? Kantor LBH difungsikan sebagai lembaga pelayanan hukum yang berorientasi pada kerjasama dan komunikasi sosial sebagai strategi komunikasi yang lebih teratur, langsung, dan terorganisasi. Selain itu juga mengembangkan basis sosial baik secara formal maupun non formal, memberikan pendidikan hukum kepada kelompok-kelompok  basis secara kolektif, bersikap kritis terhadap situasi yang dihadapi oleh kelompok basis, dan membangun dialog hukum antara LBH dan anggota-anggota MBH.

 

Bagi MBH, memiliki motivasi dan kemandirian yang kuat dalam mewujudkan keswadayaan masyarakat dan memperjuangkan hak-hak individu dan kelompok. Dengan demikian, MBH diharapkan dapat menjadi mitra penting dalam penanganan dan pemecahan kasus-kasus struktural yang sebenarnya menyangkut nasib, hak-hak dan kewajiban mereka selaku warga negara.[9]

 

Kasus-kasus Pertanahan dalam Laporan-laporan Keadaan HAM YLBHI

 

Kantor-kantor LBH yang dibangun oleh YLBHI telah berkembang di kota-kota provinsi, termasuk Aceh, Padang, Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, Manado, dan Jayapura. Di tiap kota LBH menangani kasus-kasus yang diadukan oleh rakyat secara kolektif, baik kasus hukum pidana, perdata, administrasi maupun kasus ekstra hukum yang merupakan akibat dari penyalahgunaan kewenangan politik pejabat negara terhadap hak asasi warganya. 

 

Rekaman karya LBH di kota-kota itu dipublikasikan setiap tahun dalam buku Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disebut sebagai Laporan. Kadang buku Laporan itu terbit dua tahun sekaligus. Laporan yang tersedia adalah mulai tahun 1979, 1980, 1981, 1982-1983, 1984-1985,  1986-1987, 1989, 1990, 1991, 1992, 1993, 1994, dan terakhir 1996.[10] Namun amat disayangkan YLBHI tak menerbitkan laporan HAM seperti ini lagi sejak 1997. 

 

Dari laporan-laporan yang terbit, salah satu jenis kasus yang banyak diadukan secara kolektif oleh korban dan meminta bantuan hukum YLBHI adalah kasus-kasus pertanahan. Kasus tersebut bisa disimak dalam laporan tahun 1979, 1980, 1981, 1982-1983, dan 1984-1985. Kasus itu disajikan dalam bahasan utuh dengan kasus-kasus lainnya. Seperti pada  Laporan 1980 (YLBHI, 1981:21-34) dalam bab berjudul “Golongan Ekonomi Lemah dan Ketergantungan”, terdiri dari sub-sub bab masalah petani kecil, juga nelayan tradisional, buruh tani, cara kekerasan dalam pengalihan hak milik tanah, penggusuran tempat berdagang, keadaan buruh industri dan upah minimum, buruh wanita dan anak-anak dibawah umur, keadaan industri kecil dan kerajinan rumah tangga, perbandingan taraf hidup buruh perkotaan dan petani di pedesaan dan keadaan sektor informal. 

Kasus pertanahan semakin mendapatkan perhatian yang besar, ini terlihat pada Laporan 1986-1997. Kasus-kasus tanah pun juga disajikan pada laporan bab tersendiri. Perkembangan kasus tanah juga mempengaruhi pengalaman sosial aktivis dan kantor-kantor LBH di daerah basis baik di kota maupun di pedesaaan. LBH juga mempunyai divisi khusus urusan pertanahan yang dikerjakan oleh para sarjana hukum dan paralegal yang khusus pula. 

 

Namun dalam laporan itu tak diungkap profil-profil kasus sama sekali, kasus tanah seperti pada Laporan 1980 (1981:27) dapat dibaca dalam suatu pernyataan analitis, 

“Banyak kalanya, terjadi pengambilalihan tanah tanpa ganti rugi. Ini umumnya dilakukan untuk membuat prasarana, sehingga dapat dikategorikan sebagai  “untuk kepentingan umum”. Namun kerap kali, terjadi manipulasi. Dengan kekuatan pemaksa yang ampuh, yaitu pemerintah, tanah milik rakyat kecil itu dibeli dengan harga murah sekali, atau diambil dengan paksa, untuk keperluan pembangunan pabrik swasta yang dimiliki oleh perusahaan asing atau non-pribumi. Lebih jahat lagi, pengusiran atau penggusuran itu digunakan untuk kepentingan usaha swasta yang sangat menguntungkan,  seperti untuk real estate.”

 

Selain dalam buku laporan kasus-kasus tanah juga dibahas dalam buletin yang diterbitkan oleh YLBHI dan buku laporan kasus-kasus khusus, seperti pada buku, ”Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah” (Harman dkk, eds, YLBHI: 1995). Selain itu, tiap kantor LBH memiliki variasi kebijakan dan sumber daya serta kemampuan organisasi untuk membuat publikasi masing-masing. LBH Surabaya, misalnya, pada 1992 menerbitkan buku tersendiri tentang kasus  Nipah – Madura. LBH Semarang juga membuat publikasi tentang kasus perkebunan PT. Pagilaran Batang pada 2003 dan buku tentang penyelesaian kasus tanah perkebunan di Jawa Tengah secara non-litigasi pada 2008. Selain itu LBH Semarang juga menerbitkan buku laporan tahunan pelanggaran HAM termasuk didalamnya pelanggaran HAM di issue pertanahan yang dimuat di laporan tahun 2005, 2006, 2007, dan 2009.

 

Laporan-laporan tahunan itu dikerjakan oleh lembaga dan individu jaringan YLBHI yang dipandang turut mendalami kasus-kasus yang ditulis. Para penulis laporan-laporan itu selalu menempatkan BHS yang dianut YLBHI dalam membahas penguasaan tanah yang dimiliki oleh rakyat kecil, soal nasib rakyat dan praktek-praktek pembangunan. Pada laporan 1983-1983 bisa dibaca analisis ketidakadilan sosial, ada pelaku penindasan dan pihak yang ditindas, dalam kasus petani ladang di luar Jawa. (YLBHI, 1986:  17-18), sebagai berikut:

“Pengakuan resmi negara atas adanya hak ulayat pada satuan adat di wilayah pola berladang berpindah-pindah itu (wilayah banyak hutan) telah dikalahkan oleh ketetapan baru dalam undang-undang Pokok Kehutanan (1967) yang membuka pintu lebar bagi pengusahaan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Pemungutan kayu hutan demi memperbesar pemasukan devisa yang lebih dipentingkan di mana kurang lebih 36 juta hektar hutan dikuasai oleh  kurang lebih 500 perusahaan HPH. Sejak itu nasib petani peladang berpindah-pindah telah ditentukan, yaitu mereka termasuk golongan sasaran untuk dipindahkan ke wilayah luar ”wilayah HPH” karena dianggap merusak ”kekayaan alam Indonesia” dengan perladangan. Program resetlement bagi mereka itu umumnya masih kurang kuat dasar-dasarnya dalam hal pembinaan jenis usaha tani mana yang bercorak menetap yang  lebih produktif dan yang dapat mereka terima (adopsi) dalam waktu singkat. Peralihan ke sistem pertanian menetap bagi peladang bukanlah suatu langkah mudah, sama beratnya mendorong orang desa menjadi orang kota dalam waktu singkat.”

 

Kemudian kasus-kasus konflik pertanahan diurai dengan menggunakan analisa struktural, bisa dibaca dalam Laporan 1986-1987, terutama dalam bab Penggusuran dan Penciutan Tanah-tanah Rakyat. Bagian yang terdiri dari 63 halaman ini memuat profil kasus-kasus, dari kasus proyek waduk Kedungombo di Jawa Tengah yang menenggelamkan 22 desa yang luasnya mencapai 5.898 hektar hingga kasus perampasan tanah warga yang luasnya mencapai 400 ribu hektar oleh perusahaan perkebunan di Sumatera Utara. 

 

Tahun demi tahun laporan yang tersusun semakin lengkap. Kasus-kasus semakin banyak terungkap dan memberikan informasi lebih banyak tentang penderitaan korban. Para penulis juga memberikan analisa dan kritik kebijakan pembangunan Orde Baru. Dalam Laporan 1990 pada bab berjudul Wajah Buram Kaum Tani Indonesia, pada halaman 133, mengungkap tentang marjinalisasi kaum tani yang diakibatkan oleh kebijakan ekonomi pembangunan sektor industri dan masalah kekurangan tanah dan proses penghilangan tanah dalam pembangunan di pedesaan. 

 

Kritik terhadap kebijakan pembangunan Orde Baru itu datang dari kalangan intelektual. Salah satunya Dr. Sritua Arief dengan perspektif ekonomi politik. Pada Laporan 1991, halaman 107, ia menyatakan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia berjalan mengikuti struktur ekonomi warisan kolonial yang diperuntukkan untuk melayani negara penjajah. Sehingga, sadar atau tidak sadar, kebijakan tersebut telah memperkuat dan mengembangkan struktur ekonomi kolonial. 

 

Tentang nasib petani yang kehilangan tanah-tanahnya bisa dibaca dalam laporan tahun 1991 di halaman 113, 

“... proses akumulasi penguasaan tanah akan semakin terkonsentrasi di tangan sejumlah kecil warga masyarakat dari hari ke hari. Kaum tani, dalam kaitan ini, akan tinggal berdesakan di tanah-tanah yang telah digerogoti secara progresif oleh para tuan-tuan tanah baru. Tentunya keadaan ini akan menjadi semakin memburuk, dan akan menimbulkan konsekwensi yang tidak sederhana, tetapi jelas kaum tani akan semakin menjadi miskin dan terbelakang terus-menerus.”

 

Gagasan baru yang muncul pada laporan itu adalah soal ide pembaruan agraria (agrarian reform). Bahasan bagian ini setebal 28 halaman dengan judul Kenyataan di Sekitar Hak-hak Pedesaan, 

”…. tidak terlalu berlebihan jika mulai saat ini kita menggemakan kembali salah satu agenda politik, yakni Pembaruan Agraria (agrarian reform). Hal ini, tentu, adalah melakukan upaya-upaya yang komprehensif dalam menyelesaikan isu tanah ini. …akan memperoleh hasil yang maksimal apabila penananganannya menyentuh langsung pada elemen-elemen fundamental dari persoalan tanah: struktur penguasaan tanah yang adil dengan suatu jaminan hak-hak atas tanah yang jelas, khususnya bagi kaum tani.”   

 

Beberapa tahun kemudian ide itu mulai mendapatkan ruang. Lihat pada Laporan 1993 di bab khusus, Politik Agraria Orde Baru: Penindasan dan Perlawanan. Petani yang sebelumnya didudukkan sebagai objek dan pelengkap penderita saja-penyampai keluhan mulai ditampilkan sebagai pelaku protes dan pembuat sejarah. Seperti kutipan berikut:

Bangkitnya gerakan-gerakan protes kaum tani 1980-1990an telah sampai pada suatu titik dimana gerakan-gerakan itu perlu mendapatkan perhatian dan usaha yang lebih serius oleh mereka yang terlibat dalam issue dan kancah perjuangan kaum tani. Gerakan-gerakan protes ini, yang semula hanya muncul di satu dua daerah, kini telah menyebar ke sejumlah pelosok daerah pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan, Bali, dan kawasan NTB-NTT, dengan berbagai macam artikulasinya ... Gerakan ini memang bersifat lokal atau bertumpu pada persoalan rakyat setempat dan tidak terorganisir secara ketat, tapi pola-pola problema aksi-aksi protes itu sama dan telah membuat gerakan protes itu menjadi suatu irama ... Gerakan ini sendiri merupakan suatu wadah perjuangannya. Karena itu di masa depan, agenda yang menjadi pokok adalah Hak Berorganisasi Bagi Kaum Tani. Hanya dengan organisasi, kaum tani akan merupakan satu faktor penentu dalam proses demokratisasi di Indonesia.

 

Bagaimanakah laporan LBH-YLBHI selanjutnya? Terbitnya buku Laporan 1996: Tahun Kekerasan – Potret Pelanggaran HAM di Indonesia yang dianggap sebagai laporan terbaik, ternyata menjadi penutup penerbitan laporan-laporan tahunan. Setelah tahun 1996 tak pernah terbit laporan tahunan LBH-YLBHI.  Laporan terakhir ini menunjukkan nadi gerakan bantuan hukum LBH yang mengungkap pelanggaran hak asasi manusia. 

 

Demikian peran YLBHI dalam mempelopori pengungkapan kasus-kasus pertanahan yang terbaca pada buku-buku laporan yang dipublikasi dari 1979 sampai 1996.

 

Kasus tanah tetap menjadi bagian penting dalam pengungkapan pelanggaran HAM. Sebanyak 88 halaman dipakai untuk mengulas persoalan tanah dengan judul yang menarik, Kekuasaan Negara atas Tanah dan Hilangnya Hak Warga. Persoalan kekerasan tentara, perampasan tanah di pedesaan atau pedalaman dan penderitaan korban karena siksaan militer dideskripsikan secara mendetail. Seperti sepuluh kasus pada penerapan kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan judul Tanah sebagai Komoditi: Korban-korban Konflik Pertanahan di Perkotaan, lalu berlanjut dengan bab analisis Pola-Pola Perampasan dan Cara Penyelesaian Konflik Pertanahan, dan Analisa Pelanggaran HAM yang semua didukung oleh ragam ilustrasi yang sangat kaya.

 

Publikasi-publikasi tahun YLBHI telah memberikan referensi advokasi yang sangat berguna tentang kasus-kasus pertanahan dan studi soal kritik kebijakan dan pelanggaran HAM. Para aktivis, tokoh-tokoh dari kalangan Organisasi Non-Pemerintah (Ornop) Agraria dan serikat petani serta Ornop HAM lainnya mendapatkan manfaat dari laporan tersebut, karena laporan ini bisa dipakai referensi pengungkapan kasus-kasus pertanahan dan pelanggaran HAM para petani di Indonesia. 

 

Yayasan Pusat Studi HAM (YAPUSHAM) pernah secara sistematis mengkodifikasi kasus-kasus pertanahan berdasarkan pada pendekatan pelanggaran HAM.[11] Berbeda dengan YLBHI yang mendasarkan pengetahuan yang disajikannya itu dari proses bantuan hukum yang dilakukannya, YAPUSHAM menggunakan surat kabar, yang diyakininya telah luar biasa melaporkan kasus-kasus pertanahan. INDEX Pelanggaran HAM - YAPUSHAM dalam edisi terakhirnya (No. 10/11/97) mencatat setidaknya dari laporan-laporan 28 surat kabar yang terbit di kota-kota provinsi Indonesia, terdapat 891 kasus pelanggaran HAM berupa penyitaan lahan dan perampasan lahan melalui berbagai cara selama 27 bulan, dari Juli 1994 hingga September 1996. Sayangnya setelah terbitan ini YAPUSHAM menghentikan usaha ini beserta publikasinya. 

 

Selain YAPUSHAM, laporan lain diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) mengenai studi kasus pertanahan. Pada 1992 ELSAM menerbitkan buku Kedung Ombo yang ditulis oleh Stanley Adi Prasetyo. Ornop lain adalah Lembaga Informasi Kemasyarakatan (LINK), menerbitkan buku dengan perspektif ekonomi politik, Tanah dalam Kapitalisme (Jakarta, LINK, 1988), kemudian karya Noer Fauzi dan Boy Fidro (Ed.), Pembangunan Berbuah SengketaKumpulan Kasus Pertanahan (Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara, 1995).

 

 

Penanganan Hukum Kasus Pertanahan masa Orde Baru: Beberapa Ilustrasi

 

Kebijakan pembangunan pemerintah dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1983 dan Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita VI) memprioritaskan sektor industri. Artinya, kebijakan pembangunan masa itu mengarah pada ekspolitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, melalui industri pengolahan bahan baku terutama pada sektor pertambangan di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Melalui pengembangan agro industri yang akan dipacu dengan pengembangan perkebunan besar di sebagian Sumatra, Kalimantan,  Sulawesi dan melalui industri kehutanan yang membabat hutan primer dan membangun hutan tanaman industri terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

 

Kondisi ini jelas mendorong perubahan kebijakan pemerintah pada bidang pertanahan, terutama melalui kebijakan deregulasi perijinan yang bertujuan memudahkan proses alokasi tanah untuk kepentingan industri. Seperti kemudahan pemberian izin HGU dan konsesi bagi kepentingan HTI serta perkebunan inti rakyat, yang kemudian diarahkan pada pengembangan agro-industri atau industri pulp-paper (di Medan, Jambi, Kalimantan Barat dan Timur, sebagian Sulawesi dan Irian Jaya). Lalu kebijakan Kontrak karya terhadap industri-pertambangan, misalnya kontrak karya ke-2 Freeport di Timika.  Eksploitasi besar-besaran di sektor industri itu menyebabkan meningkatnya konflik-konflik pertanahan di masyarakat, baik di desa, kota maupun di pinggir dan di tengah hutan belantara. Media massa saat itu marak memberitakan kasus-kasus pertanahan selama 5 tahun terakhir (lihat laporan tahunan YLBHI 1992). 

 

Khusus di sektor pertanahan, pemerintah secara sistematis telah melakukan empat pendekatan yang selama ini terbukti cukup efektif untuk meredam berbagai reaksi keras terhadap proses pengambilalihan tanah bagi kepentingan industri. Pertama, penetrasi atau pemaksaan penggunaan simbol-simbol hegemonik (bahasa negara) menjadi suatu realitas semantik yang diterima oleh masyarakat umum, misalnya: demi stabilitas, demi kepentingan umum, untuk mencapai tinggal landas. Kedua, instrumentasi hukum pidana melalui tindakan kriminalisasi, dekriminalisasi dan penalisasi. Ketiga, penggunaan pendekatan keamanan (keterlibatan militer) dalam berbagai proses pembebasan tanah secara langsung atau penanganan impak dari kasus pembebasan tersebut. Keempat, pengasingan kelompok-kelompok masyarakat korban konflik pertanahan dari lembaga atau institusi masyarakat (DPR, pers, Perguruan Tinggi dan Ormas) yang secara substansial seharusnya berfungsi sebagai lembaga penyalur aspirasi dan atau mengakomodasi kepentingan dan problema masyarakat.

 

Kasus sengketa tanah di Kampung Simpruk, Jakarta Selatan pada 1972 adalah awal mula bantuan hukum kasus pertanahan LBH-YLBHI. Saat itu 108 Kepala Keluarga bersengketa dengan PT Berdikari, sebuah perusahaan developer perumahan mewah, yang memperoleh izin dari pemerintah DKI Jaya untuk melakukan pembebasan tanah di daerah Kampung Simpruk Kebayoran. Izin tersebut diberikan berdasarkan pertimbangan suatu pembangunan perumahan modern dianggap penting dalam rangka pembangunan kota metropolis. 

 

Masyarakat Kampung Simpruk keberatan dengan ganti rugi sebesar Rp 3,000,00 per meter persegi ditambah dengan ganti rugi lainnya berupa uang untuk pemilik bangunan dan penyewa bangunan. Harga tanah itu tak sesuai dengan harga pasaran umum. Selain harga yang tidak sesuai dan klaim masyarakat yang mengaku tinggal dan memiliki tanah itu secara turun temurun, konflik sengketa tanah itu dipicu kebijakan pemerintah DKI Jakarta atas nama tertib hukum dan kepentingan umum membongkar paksa, memotong dan menebang pohon-pohon di areal tanah itu, yang juga tumbuh aneka buah sebagai sumber ekonomi masyarakat. 

 

Warga Kampung Simpruk menerima intimidasi dan ancaman-ancaman oleh oknum-oknum tertentu. Lalu mereka datang ke LBH Jakarta untuk mengadu dan meminta bantuan hukum. Mereka memberikan surat kuasa pembelaan pada 6 Februari 1972, maka LBH dan warga Kampung Simpruk melancarkan protes dan peringatan kepada PT Berdikari yang telah melakukan pembongkaran dan penebangan pohon-pohon secara paksa. 

 

Selanjutnya terjadi musyawarah antara LBH, PT Berdikari dan pemerintah DKI Jakarta. Akhirnya ketiga pihak mencapai kata sepakat yang dituangkan dalam akta perjanjian tanggal 12 Februari 1973, yang meliputi ganti rugi tanah dinaikkan Rp 5,000,00 per meter persegi, ditambah ganti rugi atas bangunan, tanam-tanaman, dan biaya pindah. Selain itu para warga bersangkutan mendapat pula penampungan di Kampung Rawa yang harus ditebus sebesar Rp 3,000,00.

 

Dalam penyelesaian kasus tanah ini, LBH sepenuhnya menggunakan pendekatan yang bersifat formal legal. Sementara itu masalah-masalah baru jelas masih akan timbul dan akan dihadapi oleh penduduk Kampung Simpruk, seperti soal pekerjaan baru, sekolah anak-anak, penyesuaian lingkungan baru dan sebagainya. 

 

Barangkali penyelesaian akan adil bila warga Kampung Simpruk diikutsertakan dalam pemilikan dan pengawasan terhadap PT Berdikari. Kasus itu secara jelas menggambarkan konflik kepentingan antara si kaya yang kuat, PT Berdikari dan pemerintah DKI Jakarta, dengan warga Kampung Simpruk yang miskin diwakili oleh LBH Jakarta. Di sini pihak yang kuat dengan berselubung atas nama tertib hukum dan kepentingan umum melakukan perampasan hak-hak masyarakat miskin Kampung Simpruk. Maka sebenarnya tertib hukum dan kepentingan umum yang berlaku telah memiskinkan dan menderitakan masyarakat miskin kota. Kasus Simpruk membuktikan bahwa sistem hukum dan administrasi di negara ini belum mampu memberikan efektifitas hak-hak masyarakat lapisan bawah.

 

Penanganan Kasus-kasus Pertanahan Diawal Masa Reformasi

 

Pada 1997 politik nasional Indonesia bergolak. Rejim otoritarian Suharto tampil reaksioner menghadapi aktivisme kelompok-kelompok oposisi kelas menengah kota, perpecahan di antara elite penyokongnya, dan desakan internasional. 

Gejolak politik itu mempengaruhi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dalam menyusun rencana kerja strategis selama periode empat tahun ke depan, 1998 sampai 2001. Pada pertengahan 1997, sebuah dokumen yang dikenal dengan Four Years Plan menyebut empat isu strategis, yakni  soal lemahnya sistem hukum yang demokratis, posisi tawar rakyat terhadap negara, rendahnya kesadaran publik pada nilai-nilai hak asasi manusia, dan organisasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang dinilai belum optimal memerankan diri sebagai organiasi Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi. Saat itu, pimpinan YLBHI bersama pimpinan kantor-kantor LBH daerah menetapkan program utama, yaitu kampanye perubahan kebijakan, memfasilitasi pembentukan dan penguatan organisasi rakyat seperti petani dan buruh,  membangun kesadaran publik mengenai persoalan hak asasi manusia dan demokrasi, dan memberikan pendampingan hukum bagi rakyat miskin.

 

Tengah bulan Mei 1998 rejim Suharto jatuh. Para korban perampasan tanah  melihatnya sebagai momentum untuk menggugat kembali, dan melakukan aksi pematokan atas tanah-tanah rakyat yang digusur oleh proyek-proyek pembangunan, seperti yang dilakukan oleh petani Cimacan, Tapos dan banyak lagi di daerah-daerah lain. Aksi-aksi itu telah memicu dan memperluas gerakan-gerakan petani untuk menuntut penyelesaian kasus-kasus tanah yang selama ini diabaikan. 

 

Bulan Juni-Juli 1998 para aktifis LBH yang difasilitasi oleh YLBHI berkumpul di Hotel Mega Matra, Jakarta untuk menyikapi situasi politik dan isu-isu pertanahan. Pertemuan itu melahirkan satu kata yang kemudian menjadi model gerakan perjuangan petani yaitu reklaiming. Istilah ini menjadi kesepakatan bersama untuk menyebut pengambilalihan kembali tanah-tanah rakyat. Usai pertemuan di Hotel Mega Matra, digelar pertemuan lanjutan di Ciloto pada 18-25 Agustus 1998. Pertemuan ini digagas oleh Divisi Tanah dan Lingkungan YLBHI dan mempertemukan 14 kantor daerah pada divisi tersebut. Nama-nama divisi itu beragam, disesuaikan dengan kondisi lokal isu dan kasus di wilayah masing-masing kantor. Ada yang memakai nama Divisi Hak-hak Petani, Divisi Pertanahan, Divisi Tanah dan Lingkungan. Ada yang memakai nama Divisi Sumber Daya Alam. Acara yang dihadiri oleh para kepala divisi tanah seluruh kantor LBH itu diberi nama Pendidikan Hukum Kritis I. Pendidikan hukum kritis atau disingkat PHK adalah materi dasar yang diberikan kepada para aktivis LBH. Setelah memperoleh telaah-telaah dan pandangan-pandangan tentang apa yang dinamakan hukum kritis, prinsip-prinsip pendidikan hukum kritis, bagaimana cara pandang terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah secara kritis, tataran selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikannya dalam praksis. 

 

Dalam PHK pertama ini, sudah dibicarakan mengenai kerangka-kerangka pengorganisasian, refleksi terhadap pengorganisasian yang selama ini dibangun oleh para staf LBH-LBH. Untuk membekali para staf melakukan pengorganisasian ini, diberikan materi hukum kritis, dan penelitan aksi partisipatoris.

 

Kegiatan ini juga melibatkan beberapa jaringan LBH dari daerah-daerah yang tidak ada kantor LBH daerah. Seperti PIAR (Pusat Informasi Advokasi Rakyat) Kupang, Yayasan Pancur Kasih, Pontianak,  LBH Bantaya, Palu. 

 

Dalam pertemuan ini mulai direfleksikan dan dipertanyakan soal optimalisasi gagasan BHS yang berjalan lebih dari 20 tahun, juga tentang posisi LBH dalam gerakan petani, tentang gerakan-gerakan petani yang terjadi di dunia, dan tentang strategi penanganan kasus yang menjadi perdebatan menarik dan keras karena beragam latar belakang dan pandangan mengenai hukum kritis. 

 

Forum ini juga membahas soal BHS yang menjadi panduan  ideologis YLBHI-LBH. Dalam pemikiran para petinggi YLBHI, pada saat orang-orang LBH menangani kasus, mereka bukan hanya menangani kasus itu, ia harus melihat munculnya kasus itu dari fenomena ketidakadilan yang ada di masyarakat. Dengan cara pandang itu, penyelesaian kasus tidak kasuistik dan reaktif. 

 

Mereka juga mengatakan, selama ini perjalanan konsep BHS belum dilaksanakan secara optimal, terutama saat LBH mengorganisir kekuatan petani. Persoalan lain adalah soal manajerial seperti sosialisasi konsep tersebut yang tidak dilakukan secara mendalam dan berlanjut, sehingga penanganan kasus-kasus tanah lebih mencerminkan visi pengacara dalam melihat persoalan dengan kecenderungan pada penyelesaian kasus saja. Selama 20 tahun, belum ada gerakan petani yang betul-betul mandiri.[12] Kemudian menurut mereka, peran LBH ke depan adalah memfasilitasi petani yang punya potensi kekuatan untuk mengubah struktur sosial. Dalam forum itu semakin terdengar keras soal wacana pembentukan organisasi rakyat sebagai motor untuk melakukan perubahan.

 

Konsep BHS mengandaikan para pekerjanya mampu mengidentifikasi ketimpangan, menganalisis mitra dan mengetahui kemampuan, kekuatan dan kelemahan mereka sendiri, baru kemudian merumuskan program-program. Disini dimengerti bahwa advokasi dan pengorganisasian seperti satu sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.

 

Konsep BHS menjadi satu hal yang penting untuk dirumuskan kembali. Penerapan BHS dalam masa kepemimpinan YLBHI di bawah Todung Mulya Lubis berbeda dengan penerapan BHS di bawah kepemimpinan Abdul Hakim Garuda Nusantara. Demikian juga pada masa YLBHI di bawah kepemimpinan Bambang Widjojanto.   

 

Persoalan konsep BHS itu sendiri dianggap belum tuntas dan terjebak pada penanganan kasus. Rekruitmen tidak diarahkan kepada bagaimana para pekerja bantuan hukum LBH mampu melakukan pengorganisasian petani, tetapi bagaimana menjadi lawyer yang baik. Dikeluhkan bahwa para pekerja bantuan hukum LBH tidak seluruhnya memahami konsep tersebut. Ada yang sudah mengerti namun belum melaksanakan. Persoalan lain adalah jarak antara konsep itu dengan strategi realisasinya. 

 

Diusulkan pelaksanaan BHS agar disesuaikan dengan konteks lokal. Persoalan yang dihadapi dilapangan berupa pergumulan sosial, politik, dan ekonomi   perlu dihadapi pekerja bantuan hukum. Ternyata BHS memerlukan prasyarat-prasyarat, seperti pengetahuan tentang BHS itu sendiri, keterampilan di tingkat litigasi, dan pengorganisasian rakyat.[13]

 

Kemudian dalam forum dibicarakan kasus-kasus yang dikerjakan oleh kantor-kantor LBH di daerah-daerah, dan organisasi non-pemerintah lainnya. Untuk daerah Kalimantan dan Sulawesi: LBH Ujung Pandang soal kasus perampasan tanah di Pulau Lae-Lae, LBH Manado mengangkat kasus pembebasan tanah untuk pertambangan emas PT Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara; Plasma mengangkat kasus perampasan tanah adat masyarakat Jelmu Sibak, Bentian Besar, Kutai, Kalimantan Timur; Lembaga Pendukung Pemberdayaan Sosial Ekonomi Petani Karet (LPPSEPK)menyampaikan kasus penggusuran tanah dan pembabatan kawasan hutan milik masyarakat adat oleh PT Wahana Stagen Lestari di desa Balai Pinang Wilayah Pendaun Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat; YBH Bantaya mengangkat kasus tanah masyarakat Nunu vs Wakil Rakyat, dan Kasus tanah adat masyarakat Pakava Rakyat vs Perkebunan Kelapa Sawit PT Pasangkayu, anak perusahaan PT Astra International. 

 

Untuk daerah Indonesia bagian timur: LBH Bali mengangkat kasus tanah di Sendang Pasir, petani penggarap melawan PT Margarana; Nusa Tenggara Barat mengangkat kasus tanah HGU PT Gili Trawangan, Lombok Barat.  PIAR mengangkat kasus perampasan tanah masyarakat adat Kuanheun, Kupang Barat; LBH Pos Merauke dengan kasus tanah Texmaco, Kabupaten Merauke. 

 

Kasus-kasus yang terjadi di Pulau Jawa, antara lain disampaikan oleh LBH Jakarta yang mengangkat kasus tukar-menukar tanah kas desa di Serpong,Tangerang; YLBHI mengangkat kasus tanah Cibaliung, Pandeglang; LBH Surabaya mengangkat kecenderungan aksi-aksi petani di berbagai sengketa pertanahan wilayah Jawa Timur; LBH Yogyakarta mengangkat kasus pembebasan tanah untuk pelebaran jalan Kretek-Pandansimo dalam rangka proyek wisata pantai Samas; LBH Semarang mengangkat kasus tanah waduk Kedungombo dan kasus HGU PTPN IX di Dusun Kalidapu, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal. LBH Bandung mengangkat kasus tanah Selekta, petani penggarap melawan PT Harjasari. 

 

Kantor-kantor LBH di wilayah Sumatera, seperti LBH Medan membawakan kasus tanah masyarakat adat desa Tanjungan, kecamatan Simanindo, Tapanuli Utara; SULOH Aceh dengan kasus perampasan tanah masyarakat Kecamatan Bendahara Aceh Timur oleh PT Parasawita; LBH Palembang menyampaikan kasus-kasus tanah di Palembang; LBH Banda Aceh kasus tanah Kuala Batee; LBH Padang membawa kasus petani penggarap tanah negara bekas eigendom verponding 1214 Kurao Pagang, Padang, Sumatera Barat.

 

LBH Bandar Lampung menyampaikan beberapa kasus antara lain kasus tanah militer Gunung Rejo, Kecamatan Padang Cermin, kabupaten Lampung Selatan dan  Kasus hutan lindung register 34 Tangkit Tebak, kecamatan Bukit Kemuning, kabupaten Lampung Utara serta kasus penolakan pola 40%-60% PIR kelapa sawit yang dikelola PT Karya Canggih Mandiri Utama di desa Marang dan desa Way Jambu Kecamatan Pesisir Selatan kabupaten Lampung Barat dan Kasus penggusuran kebun damar masyarakat Ngambur Pesisir Selatan Krui. 

 

LBH memberikan advokasi terhadap kasus-kasus itu setelah menerima banyak pengaduan yang berlanjut pada pengorganisasian dan pemberdayaan korban. Proses pendidikan kritis dilakukan ketika advokasi berjalan, di antaranya memberikan pendidikan hukum, penyadaran hukum, memberikan informasi-informasi tentang pertanahan dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat.

 

Perlawanan masyarakat untuk menolak pengambilan tanah mereka dengan cara dan bentuk bermacam-macam: memasang spanduk, melakukan penjagaan atau ronda, membentuk sekretariat perlawanan, surat-menyurat, aksi-aksi protes dengan cara magis (mengeluarkan kutukan), pemetaan, dan pematokan. Sesudah LBH mendampingi bentuk-bentuk perlawanan itu lebih luas, tidak hanya negosiasi, lobby, mediasi dan kampanye, namun juga upaya-upaya litigasi seperti mengajukan gugatan-gugatan, dan melakukan laporan pidana. 

 

Dari kasus-kasus pelanggaran hak-hak petani di seluruh kantor daerah, hanya kantor LBH Jakarta yang tidak menangani. Saat itu YLBHI dan LBH Jakarta banyak menangani kasus penggusuran tanah di perkotaan, antara lain pembebasan tanah untuk pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, pembangunan rel di Jabotabek, perumahan elite di Simpruk, kebun karet rakyat di Pondok Indah, pembangunan Bandara Cengkareng, lapangan golf Matoa, jalan lingkar Citra Margapala. Kemudian kasus tanah rakyat di Cimacan dan di Plumpang.  

 

Secara internal, kondisi kantor-kantor LBH di masing-masing wilayah berbeda. LBH Aceh dan Papua, misalnya, banyak mengungkap dan menyelesaikan soal  pelanggaran hak-hak sipil dan politik, begitu di wilayah Jawa yang sama-sama memperhatikan soal hak-hak sipil dan politik maupun ekonomi sosial budaya (ekosob). LBH Padang adalah yang banyak memberikan perhatian pada isu ekosob. 

 

Setelah pertemuan itu berakhir, para aktifis LBH bekerja langsung di lapangan dimana mereka mulai membangun organisasi-organisasi tani lokal secara sistematis, sebagai bagian dari advokasi kasus-kasus tanah yang mulai muncul ke permukaan setelah reformasi. 

 

Sesudah tiga bulan kegiatan lapangan (diberi istilah oleh penyelenggara sebagai Out-Class), para aktifis LBH divisi tanah dan lingkungan kembali berkumpul di Bali, 1-8 Desember 1998. Mereka mempresentasikan proses advokasi kasus-kasus tanah yang dikerjakan. Acara ini sama seperti sebelumya, meski kasus-kasus yang disampaikan kembali beragam, namun sebagian besar masih menguraikan advokasi kasus yang sama.  

 

Kasus berbeda yang muncul adalah kasus penyerobotan tanah desa Teupin Reusep, Desa Reusep Tunong dan desa Gunci oleh PT Alas Helau dan PT Tusam Hutani Lestari yang diadvokasi oleh LBH Banda Aceh, advokasi LBH Medan pada kasus tanah eks perkebunan PTP IX, Desa Helvetia, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumut. Kasus tanah Blubur Limbangan oleh LBH Bandar Lampung dan proses non litigasi kasus-kasus tanah di Palembang oleh LBH Palembang. Lalu LBH Padang menyampaikan refleksi pengorganisasi rakyat dalam konteks BHS. 

 

Dari kantor-kantor LBH Jawa, adalah kasus tanah Rawa Jakarta Barat oleh LBH Jakarta, kasus tanah PT Perhutani di Cibaliung oleh YLBHI, kasus tanah petani Ciseru, Cipari, Cilacap melawan PT J.A. Wattie oleh LBH Yogyakarta, kasus tanah PTPN IX di desa Kalidapu, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah oleh LBH Semarang dan kasus tanah di daerah Tapal Kuda, Jawa Timur oleh LBH Surabaya. 

 

Sedangkan LBH Padang menyampaikan kasus tanah PTPN XIV di Kecamatan Maniampaja Sajoangin, kabupaten Wajo. LBH Jayapura, kasus tanah adat di Merauke. LBH Bali, kasus tanah petani Sendang Pasir dengan PT Margarana. 

 

Selain kasus-kasus yang ditangani LBH-YLBHI, ada beberapa jaringan LBH yang turut dalam diskusi kali ini. Antara lain LBH Rakyat yang menyampaikan kasus tanah di Nusa Tenggara Barat, PIAR Kupang menyampaikan kasus penggusuran masyarakat Pantai Kelapa, Desa Bolok, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, kemudian Plasma soal refleksi perjuangan masyarakat adat Dayak Bentian Jato Rempangan dan LPPSEPK tentang pengorganisasian petani karet di Kalimantan Barat. 

 

Ada perbedaan karakteristik antara kasus-kasus di daerah Jawa dengan luar Jawa. Di Jawa kasus-kasus tanah berkaitan dengan ketimpangan penguasaan tanah dan redistribusi tanah. Sementara isu di luar Jawa beragam. Di Bali, isu tanah berkaitan dengan perampasan tanah untuk kepentingan pariwisata. Perbedaan ini kemudian melahirkan program studi banding antar aktifis LBH di kedua wilayah itu. 

 

Dalam forum kedua ini juga didiskusikan soal pengorganisasian, tepatnya soal hubungan antara LBH dengan petani atau klien. Selama ini, keberadaan LBH dipandang sebagai pengacara, sama seperti pengacara praktek yang memegang kuasa atas masyarakat. Surat Kuasa dipandang bukan kebutuhan yang penting lagi, bahkan dipandang menjadi alat ketergantungan klien terhadap pengacara. Surat Kuasa dibutuhkan bila menangani perkara litigasi dalam kasus-kasus struktural. Selain itu surat kuasa ini sebagai sarana membangun komunikasi yang baik di kedua belah pihak. 

 

Forum kali ini memunculkan gagasan tentang penguatan sistem pendukung (supporting system) di tingkat organisasi. Forum sepakat merealisasikannya dalam bentuk aksi petani yang dilakukan serentak di seluruh basis LBH di Indonesia pada hari tani, 24 September 1998. 

 

Aksi serentak di beberapa daerah telah menghasilkan agenda pembentukan tim penyelesaian kasus. Namun dalam realisasinya, tim ini tak bisa dipakai untuk menuntaskan kasus-kasus pertanahan yang berpihak pada korban. Beberapa catatan tentang tim ini: ada satu tim yang menolak keterlibatan petani maupun di dalamnya, dengan alasan penyelesaian kasus ini adalah bagian dari kerja-kerja eksekutif. Di daerah lain, tim yang dibentuk sudah melibatkan petani, tetapi ketika mereka turun ke lapangan tidak dihadiri para petani. Lalu tim yang dibentuk dengan melibatkan petani dan LBH, tetapi yang terjadi Pemda memanfaatkan posisi petani dan LBH untuk melegitimasi hasil-hasil tim independen tersebut yang dianggap tidak memenuhi keinginan masyarakat. 

 

Selain soal pengorganisasian, isu landreform mulai diperbincangkan secara serius. Diskusi landreform itu membahas konsep landreform, kepemilikan tanah termasuk tentang cara-cara menguasai dan merebut hak kepemilikan, memanfaatkan lahan  tanpa sertifikat. 

 

Di akhir pertemuan direkomendasikan out-class kedua selama 6 bulan, untuk melanjutkan advokasi penanganan kasus, melakukan dialog region dan penguatan database. Untuk Region Jawa, temu tani se-Jawa diadakan di Semarang pada 1-3 Juni 2000 bertema Menggalang Solidaritas Perjuangan Gerakan Petani Jawa. Acara ini dihadiri oleh para petani korban di Jawa, Madura dan Bali. Di akhir pertemuan itu  para petani merespon pernyataan Gus Dur di depan Konferensi Nasional Pengembangan Sumber Daya Alam 23 Mei 2000 di Jakarta.

 

Para petani se-Jawa dan Bali itu menilai pernyataan Gus Dur yang menegaskan bahwa PTPN-PTPN yang merampas tanah-tanah rakyat pada masa lalu dan kebijakan perkebunan yang lebih memperhatikan rakyat yang tinggal di sekitar perkebunan dengan menyerahkan saham 40% untuk rakyat dan 60% untuk PTPN sesungguhnya merupakan pernyataan populis. 

 

Tetapi banyak pula yang berusaha menggagalkan ide-ide populis tersebut, misalnya, aksi ribuan buruh ke DPR RI yang digerakkan oleh Asosiasi Pengusaha Perkebunan. Kemudian strategi demiliterisasi Gus Dur, dalam prakteknya dilawan dengan strategi militerisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Misalnya, Gubernur Jawa Timur, Imam Oetomo (mantan Panglima Kodam V/Brawijaya), yang mengeluarkan Surat Keputusan No. 520/14546/022/1999 untuk pengamanan wilayah perkebunan dengan memerintahkan aparat kepolisian dan militer[14].

 

Gerakan Reklaiming adalah topik utama yang dibahas pada pertemuan Pendidikan Hukum Kritis ketiga atau In-class 3. Setelah enam bulan berada di lapangan (out-class) para aktifis LBH divisi tanah dan lingkungan bertemu untuk menyampaikan kembali kasus-kasus yang menjadi studi dan advokasi di lapangan. 

 

Berikut adalah refleksi respon beberapa pihak pasca reklaiming yang diklasifikasikan dalam empat pihak. Pihak pertama adalah rakyat, yaitu membentuk kelompok pengelolaan lahan, penguatan simbol-simbol lokal dan legalisasi lahan reklaiming. Pihak kedua adalah pemerintah, yaitu membentuk tim dan mengusulkan penyelesaian melalui pengadilan serta pengukuran lahan. Pihak pengusaha itu mendatangkan preman, mengambil alih kembali lahan reklaiming, meminta dukungan dan keterlibatan pihak luar, mengkriminalkan petani,  menggugat perdata dan menggugat administrasi. Kemudian pihak lain adalah mahasiswa, NGO, jaringan lain yang turut mendukung dan mendampingi, ulama dan informal leader yang sering melakukan kooptasi dan aparat keamanan yang melakukan konsolidasi pengamanan kebun. 

 

Berikut pernyataan sikap perani se Jawa, Madura dan Bali yang dituangkan dalam sebuah surat terbuka. 



_____________________________________________________________________________________


Surat Terbuka Untuk Presiden Gus Dur

 

Tentang Pernyataan Gus Dur di depan Konferensi Nasional Pengembangan Sumber Daya Alam 23 Mei 2000 di Jakarta :

“Kembalikan Tanah Rakyat yang Dicolong”

 

                  Bahwa benar, selama ini PTP-PTP, PTPN-PTPN, PT-PT perkebunan swasta maupun instansi pemerintah, termasuk TNI-AD-AURI, POLRI, Perhutani di berbagai wilayah di tanah air telah nyolong tanah-tanah garapan rakyat petani, yang melahirkan kesengsaraan dan sederetan penderitaan di kalangan rakyat petani hingga saat ini.

                  Berkenaan dengan hal tersebut di atas, kami rakyat petani se-Jawa-Madura dan Bali memandang perlu untuk menyampaikan pernyataan melalui surat terbuka sebagai berikut :

I.                Dukungan

1.      Mendukung pernyataan Presiden RI Bp. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menindaklanjuti atas “Pengembalian Tanah Rakyat Yang Dicolong Oleh Pihak Perkebunan (BUMN) dan Perkebunan Swasta maupun oleh Pihak Pemerintah.

2.      Mendukung dihapuskannya kebijakan yang merugikan rakyat khususnya petani, nelayan, dan buruh.

II.               Kelayakan Tuntutan

1.      Kembalikan tanah hak kaum petani se-Jawa khususnya dan se-Indonesia pada umumnya, yang telah dicolong, diduduki secara paksa oleh pihak yang nyolong atau PTP-PTPN BUMN dan swasta, Polri dan TNI-AD-AURI, Pemda, Perum Perhutani, dan pihak-pihak lain

2.      Kembalikan seluruh tanah kaum tani se-Jawa dan se-Indonesia yang dicolong, dengan tanpa syarat

3.      Bebaskan tokoh-tokoh petani yang sampai saat ini ditahan/dipenjarakan

4.      Menolak dengan tegas campur tangan TNI/POLRI, preman/satgas partai politik tertentu dalam masalah sengketa tanah

III.             Kebijakan

1.      Mencabut seluruh sertifikat HGU, Hak Pakai, HPH dan hak-hak lainnya hasil rekayasa Orde Baru yang bermasalah yang merugikan rakyat

2.      Membuat kebijakan hukum terhadap pernyataan Presiden Gus Dur

3.      Mengadili pihak-pihak yang “nyolong” tanah rakyat petani sesuai hukum dan perundang-undangan yang berlaku

4.      Mencabut Undang-undang dan seluruh peraturan pertanahan yang tidak berpihak pada rakyat petani.

 

Semarang, 3 Juni 2000.

_____________________________________________________________________________________

 

Sebelum melakukan reklaiming ada tahap persiapan atau prareklaiming, meliputi kegiatan-kegiatan musyawarah kelompok, melakukan pemetaan, mempelajari sejarah kasus, mempelajari dokumen, melakukan analisis resiko, melakukan analisis kawan-lawan, konsolidasi organisasi, menggali dasar pembenar, membangun jaringan kerja, menyusun legal opinion (pandangan hukum), sosialisasi isu reklaiming, mempersiapkan dan membentuk tim negosiasi, mendayagunakan kekuatan lokal dan mempersiapkan alat atau media[15]

 

Sedangkan pelaksanaan reklaiming, dilakukan dengan melihat kondisi masing-masing kasus dan strategi yang telah disusun sebelumnya, seperti pendudukan lahan-lahan terlantar atau yang telah habis haknya. Di beberapa kasus, gerakan reklaiming ini dilakukan secara terbuka dengan memberitahukan dan mengundang aparat pemerintah ke lokasi.

            

Gerakan reklaiming yang dilakukan serentak di seluruh wilayah dengan membuka ruang-ruang penyelesaian non-litigasi. Akhirnya pemerintah di beberapa daerah, membentuk tim penyelesaian kasus-kasus tanah. Di antaranya, dibentuk Tim 13 Di Lampung dan Tim Terpadu di Sumatera Utara.[16] Namun, tidak hanya ruang non-litigasi saja yang terbuka, jalur-jalur litigasi menjadi pilihan praktis para pengusaha. Dengan memanfaatkan aparat keamanan seperti polisi, mereka melakukan penangkapan-penangkapan atau kriminalisasi terhadap petani.[17] Perusahaan juga melakukan gugatan-gugatan perdata dan administrasi sebagai upaya mengusir petani dari lahan-lahan reklaiming. Di Kabupaten Kendal Jawa Tengah, 519 orang petani digugat oleh PTPN IX Nusantara. Mereka menggugat petani setelah tak berhasil mengkriminalkan petani yang mereklaim lahan perkebunan PTPN IX. Tanah perkebunan ini dulunya adalah tanah garapan petani yang diambil PTPN IX secara paksa disekitar tahun 1957.

 

Selain meminta dan mendatangkan pihak luar seperti aparat keamanan untuk terlibat dalam pengamanan dan penjagaan lahan, dalam beberapa kasus, pihak perusahaan juga memberikan ijin kepada pihak luar (aparat keamanan) untuk memanfaatkan lahan obyek sengketa dengan tujuan agar rakyat tidak lagi menggarap lahan tersebut. 

 

Gerakan reklaiming petani tak hanya direspon oleh pihak lawan, perusahaan, pemerintah, dan aparat keamanan, tetapi juga turut direspon oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).[18] Meskipun memperoleh tentangan yang cukup keras dari pihak lawan dan aparat keamanan, bahkan ulama, gerakan penguasaan lahan masyarakat tetap kuat. Ada beberapa cara pengelolaan dan pembagian lahan. Pertama, lahan yang telah didapat diusahakan secara kolektif oleh seluruh petani dan kemudian hasilnya dibagi secara individu. Kedua, lahan diusahakan secara individu dengan pembagian tanah secara kapling, namun kepemilikannya atas nama organisasi. Ketiga, penguasaan secara individual dengan disertai perjanjian dengan organisasi untuk tidak mengalihkan penguasaan lahan kepada pihak lain. 

 

Hal yang sangat penting adalah tanah yang berhasil dimiliki kembali oleh petani dilakukan legalisasi atau pengakuan secara hukum. Pengakuan ini tak sebatas di atas sertifikat tanah tetapi pengakuan proses penguasaan dan pemilikan lokal, termasuk pengetahuan dan kearifan lokal, sejarah lokal, dan sistem sosial yang berkembang di komunitas tersebut. Sebab, bila pemerintah hanya mengandalkan sertifikat hak atas tanah, dan tidak melihat sejarah konteks lokal, maka akan terjadi kesesatan hukum, yang dapat memicu kemungkinan terjadi konflik sosial berkepanjangan.[19]

 

Para aktifis LBH melakukannya dengan mengupayakan rekomendasi-rekomendasi dari instansi pemerintah seperti rekomendasi pembatalan HGU, rekomendasi penggarapan lahan dari pemerintah dan dalam kasus tanah hutan, meminta rekomendasi untuk pengeluaran tanah rakyat dari register. Di masa depan, surat-surat tersebut sangat penting untuk mengamankan lahan dari ancaman pengambilalihan kembali maupun ancaman kriminalisasi oleh pihak perusahaan. 

 

Dalam pelaksanaannya, gerakan reklaiming ini juga menuai kontroversi, baik untuk pengusaha maupun dalam perdebatan akademis. Bagi akademisi yang menganut aliran legal formal dan positivistik, dicari dari sisi manapun, reklaiming dianggap tindakan yang tidak legal. Oleh karena itu petani selalu kalah di pengadilan.[20] Kedua adalah golongan kompromis, yang berpendapat bahwa penyelesaian sengketa hak tanah petani tidak selalu menuntut hak tanahnya tetapi juga bersama-sama mengelola tanah perkebunan. Konsep ini ditawarkan oleh beberapa pemerintah lokal. Ketiga dari kelompok yang mendukung aksi-aksi gerakan reklaiming petani. Kelompok akademisi ini punya pergaulan dengan para aktifis atau mantan aktifis.  

 

Gerakan reklaiming adalah pilihan yang strategis dalam memperjuangkan keadilan. Di balik kisah-kisah sedih gerakan reklaiming, terdapat juga success story di mana gerakan reklaiming ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan melakukan redistribusi tanah bagi masyarakat. Misalnya dengan kasus tanah yang terjadi di Desa Simbang Desa dan Desa Kebumen, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang ditahun 2002, atau redistribusi tanah dalam program Reforma Agraria BPN diatas tanah yang dikeluarkan dari HGU PT. Rumpun Sari Antan di Kabupaten Cilacap ditahun 2010.

 

Pertemuan in-class 3 ini dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan dalam bentuk pelatihan atau lokakarya soal mengelola konflik tanah dan sumber daya alam lainnya untuk aktifis dan petani. Selain itu juga dilakukan gerakan konsolidasi kekuatan petani, yang diwujukan dalam agenda-agenda kerja Divisi Tanah dan Lingkungan YLBHI. 

 

Selama tahun 1998 hingga 2001, di wilayah kerja LBH telah terbentuk organisasi-organisasi tani. Antara lain Persatuan Masyarakat  Tani (Permata) Aceh pada 13 September 1998, Badan Perjuangan Petani dan Nelayan Sumatera Utara (BPPSU), P2TANRA Sumatera Barat, KSKP Sumatera Selatan, Ikatan Petani Lampung (IPL). Pada 1 Oktober 1999 terbentuk juga Paguyuban Petani Jawa Timur (Papanjati) dan Organisasi Tani Jawa Tengah (ORTAJA) pada Mei 1999. Kemudian Serikat Tani Merdeka (SeTAM), Paguyuban Petani Tatar Sunda (Patas) dan Aliansi Tani Nelayan (ATN) Sulawesi Selatan. Organisasi-organisasi inilah yang menandai kemajuan pergerakan petani di Indonesia. 

 

LBH Semarang dan Penanganan Kasus Pertanahan di Jawa Tengah

 

DELAPAN TAHUN sesudah LBH- YLBHI berdiri (28 Oktober 1970), tepatnya pada 20 Mei 1978, di Semarang berdiri LBH Peradin Cabang Semarang, yang kemudian, sesudah pertemuan LBH Peradin se-Indonesia di Sumatera tahun 1985, bergabung ke dalam YLBHI pada 30 Juni 1985 dengan SK Dewan Pengurus YLBHI No. 033/Skep/YLBHI/VI/1985. Maka nama LBH Peradin Semarang berubah menjadi LBH Semarang. Penggabungan ini berdasar pada kesamaan komitmen untuk membela rakyat tertindas dalam berbagai kasus struktural.[21] Alamat kantor LBH Semarang saat itu Jl. Imam Bonjol No. 206. 

 

Sejak LBH-YLBHI didirikan sampai tahun 1997 penanganan perkara dalam kasus-kasus struktural sebatas hubungan pengacara dengan klien. Meskipun sebenarnya, dalam penanganan kasus itu pun, LBH juga melakukan pengorganisasian masyarakat. Namun konsep pengorganisasian hanya pada proses penyelesaian kasus untuk masyarakat korban di wilayah kasus saja. Misalnya pada penanganan kasus-kasus tanah struktural di Jawa Tengah, seperti kasus Kedungombo, kasus pencemaran Kali Tapak, kasus pencemaran lingkungan PT Kayu Lapis Indonesia, kasus proyek Pekan Raya Promosi Pembangunan (PRPP) pada tahun 1980an.

 

Pada saat itu LBH bertanggung jawab atas seluruh proses hukum, juga melakukan pengorganisasian dalam penyelesaian kasus yang sedang berjalan, seperti ketika masyarakat menghadapi intimidasi dan penangkapan, tetap melakukan proses gugatan perdata, analisis kebijakan pemerintah orde baru dan Bank Dunia terhadap perampasan tanah. Lalu juga dilakukan pembentukan kelompok-kelompok atau perwakilan masyarakat di wilayah kasus untuk mempermudah konsolidasi dan koordinasi serta pembagian peran, pengorganisasian dengan pihak lain seperti Romo Mangun dan para pendamping lain[22].

 

Sejak berdiri, LBH Semarang telah menangani kasus-kasus yang membela rakyat miskin yang dirugikan dan mengalami ketidakadilan dari kebijakan-kebijakan pemerintah. 

 

Pada 1986 LBH Semarang mulai memberikan bantuan hukum untuk kasus tanah di Kedungombo. Sekitar Oktober 1986, beberapa anggota LBH Semarang yang telah mendapatkan kuasa dari 63 petani yang terkena proyek Kedungombo menemui Bupati Sragen. Para petani menerima uang ganti rugi berdasarkan SK Gubernur Jawa Tengah yang besarnya bervariasi antara 300 sampai 750 rupiah per meter persegi. Upaya untuk menaikkan ganti rugi tak dipenuhi. Sebaliknya Pemerindah Daerah Sragen justu membentuk tim untuk mencari orang-orang atau para petani yang meminta bantuan pada LBH Semarang, seperti yang diberitakan harian Suara Merdeka pada 27 Oktober 1986. 

 

Pada kasus ini LBH Semarang mengalami kesulitan berkomunikasi dengan para petani. Letak lokasi yang jauh menjadi hambatan. Jarak antara kota Semarang dan Sragen sekitar 160 kilometer dan harus melakukan perjalanan lagi untuk menjangkau lokasi tanah-tanah petani. Selain itu korespondensi surat juga terhenti, sudah tiga kali berkirim surat meminta data tanah kepada para petani itu juga tak berbalas jawaban, sehingga LBH menarik diri dari kuasa yang diberikan agar tak dianggap menelantar perkara. 

 

Sekitar 5 bulan kemudian beberapa perwakilan klien (petani) datang ke LBH Semarang dan menanyakan nasib perkara Kedungombo yang diserahkan kepada LBH Semarang. Sadio,petani yang saat itu datang dan menerima surat pengunduran diri sebagai kuasa dari LBH Semarang menyatakan bahwa surat-surat LBH Semarang yang dikirim ditahan di Kelurahan Gilirejo, Kecamatan Miri.[23]

 

Selain kasus Kedungombo pada tahun 1987 LBH Semarang memberikan bantuan hukum kepada 36 petani tambak dalam kasus tanah di Tawangrejosari. LBH menerima kuasa dari para petani ketika Camat Semarang Barat mengundang rapat pada 14 Mei 1987. Awalnya Kepala Sub Direktorat Agraria Kodya Semarang menolak kehadiran perwakilan kuasa LBH Semarang, tapi setelah upaya penolakan itu diprotes keras oleh LBH, LBH diizinkan masuk ke dalam pertemuan itu. Dalam forum itu, LBH Semarang menolak penjelasan Camat yang menganggap tanah tambak petani di desa Tawangrejosari dan sekitarnya merupakan tanah negara. LBH Semarang menyampaikan bawah tanah itu telah ber-Letter D, C dan bahkan ada diantaranya yang bersertifikat. Masyarakat telah menggarapnya selama berpuluh tahun. Selain itu cara pembebasan tanah pun tidak didasarkan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975. 

 

Dalam laporan kegiatan LBH Semarang pada 2002, kasus tanah Kedongombo didampingi sampai tahun 1992, yang saat itu masih di tingkat kasasi. 32 warga yang melakukan gugatan hukum itu berasal dari Kedungpring, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali. LBH Semarang terus mengembangkan jaringan kerja dengan para aktivis yang masih concerndengan kasus ini, diantaranya YB. Mangun Widjaya, Emha Ainun Najib, George Aditjondro dan Hendro/Sita. 

 

Pada 1992 LBH Semarang juga menangani kasus tanah di Pulau Karimunjawa. Kasus pembebasan tanah dalam proyek kawasan wisata bahari, tepatnya pembangunan lapangan terbang di dalam pulau tersebut. Ada 14 Kepala Keluarga yang menyerahkan kuasanya kepada LBH Semarang. Persoalan warga adalah ganti rugi tanah yang terlalu rendah. 

 

Kemudian LBH Semarang melakukan upaya-upaya untuk mencegah penggusuran warga dan melibatkan para penduduk dalam pengalokasian sumber daya alam setempat (pariwisata). Sementara itu juga dilakukan inventarisasi data-data dan fakta, melakukan dialog dan pengorganisasian bersama jaringan kerja.

 

Bagi LBH Semarang kasus pertanahan menjadi isu penting, tampak dalam struktur kelembagaan yang tersusun untuk tahun 1992 dan 1991. Ada bagian yang memberikan perhatian pada soal pertanahan, namanya Unit Tanah. Unit ini di bawah koordinasi operasional. 

 

Bantuan hukum yang dilakukan LBH Semarang selanjutnya adalah bantuan hukum bagi petani dalam konflik tanah perkebunan di Jawa Tengah yang dimulai pada 1998. Kasus tanah PTPN IX Kendal adalah yang pertama, disusul kasus tanah HGU PT. Pagilaran di Kabupaten Batang, HGU PT. Tratak di Kabupaten Batang, HGU PT. Sinar Kartasura di Kabupaten Semarang, dan HGU PT. Rumpun Sari Antan di Kabupaten Pati. Setelah tahun 2000, menyusul beberapa kasus tanah berbasis perkebunan yang lain. Selain itu mulai muncul juga kasus tanah dikawasan hutan yang dikuasai Perhutani. Menghadapi reklaiming petani dalam kasus tanah perkebunan, pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Di Jawa Tengah, polisi menerapkan Undang-undang ini dalam kasus tanah perkebunan di Pekalongan, Jawa Tengah, terjadi pada 2004 yang dikenal dengan kasus PTPN IX Jolotigo. Dari hasil investigasi LBH Semarang, kasus tanah ini bermula saat PTPN IX Jolotigo mengambil alih tanah bondo deso yang digarap masyarakat. Pengambilalihan ini terjadi saat nasionalisasi tanah-tanah bekas hak erfpacht oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1959-1960.

 

Lokasi tanah terletak di dua desa, pertama desa Donowangun dengan luas 6,75 hektar dan 42 hektar, yang telah mendapatkan sertifikat HGU No.1. Kedua adalah Desa Mesoyi, Dukuh Keprok, luas tanahnya 129,75 hektar dan juga telah mendapatkan sertifikat HGU No.1. Selama kurun waktu tersebut, petani di kedua desa itu tidak memiliki akses tanah tersebut.

 

Pada 31 Desember 2001 masa berlaku HGU PTPN IX telah selesai. Sekitar tiga tahun kemudian, pada 25 September 2004, petani kedua desa itu menuntut tanah bekas HGU itu melalui gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Pekalongan, dengan nomor gugatan : 20/Pdt/G/PN Pkl/2004. Dalam putusan sela, majelis hakim menyatakan gugatan masyarakat tidak dapat diterima. Masyarakat mengajukan banding atas putusan sela tersebut, tetapi ditingkat banding pun, masyarakat dikalahkan. Mereka melawan putusan itu dengan mengajukan kasasi. Dalam gugatan ini, para petani bersidang sendiri, tanpa kuasa hukum. LBH Semarang dan Handoko Wibowo (pengacara petani di Kabupaten Batang), hanya mendampingi petani dan membantu petani mempersiapkan seluruh keperluan persidangan. 

 

Bulan April 2005, para petani melakukan aksi reklaiming lahan tersebut, dengan cara menanami lahan-lahan yang terlantar, tanpa merusak tanaman teh di atas lahan perkebunan yang dikuasai PTPN IX. Kemudian PTPN IX Jolotigo melaporkan petani ke Polres Pekalongan. Pada 14 April 2005 Polres Pekalongan memanggil 2 orang petani, Ns dan Mb dan kuasa hukum petani Handoko Wibowo, SH untuk didengar keterangannya  sebagai saksi di Polres Pekalongan pada 18 April 2005 dalam perkara tindak pidana dengan sengaja merusak aset perkebunan dengan cara penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan perampasan hak atas benda tidak bergerak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 jo 21 Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Pasal 385 KUHP. 

 

Dalam kasus Jolotigo, salah satu sebab digunakannya Undang-undang Perkebunan oleh kepolisian adalah keluarnya surat dari Kepala BPN Kanwil dengan nomor 550/755/33/2005 yang ditujukan kepada Bupati Pekalongan tentang Penyelesaian Status Tanah HGU PTPN IX Jolotigo. BPN menjelaskan dengan menggunakan dasar Undang-Undang Perkebunan nomor 18 tahun 2004 Pasal 47 jo 21 bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar larangan, melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan lahan perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).

 

Ancaman terhadap petani karena keluarnya Undang-undang Perkebunan ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk disikapi. Secara eksplisit, ancaman kriminalisasi petani telah diungkapkan oleh Kapolres Pekalongan, Jawa Tengah, pada saat dilakukannya pemeriksaan terhadap petani di Polres Pekalongan. Kapolres menyatakan bahwa adanya Undang-undang Perkebunan ini menjadikan dasar yang kuat bagi kepolisian untuk menangkapi petani, tidak seperti sebelumnya, dimana pihak kepolisian masih mencari-cari pasal yang tepat untuk mengkriminalisasikan petani yang melakukan reklaiming.

 

Lalu, bagaimanakah penyelesaian kasus-kasus tanah di Jawa Tengah, yang merupakan wilayah kerja dari LBH Semarang? Keluarnya Keppres No. 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan, membawa penyelesaian kasus tanah tidak lagi sentralistik. Meskipun sebelum keluarnya peraturan itu pun, proses penyelesaian kasus-kasus tanah pun sudah ditangani oleh daerah. Jika diperhatikan, sekilas akan mempermudah proses advokasi kasus yang dilakukan, namun kenyataannya tidak seperti itu. Watak birokrat di daerah-daerah tidak pernah berubah, pun ketika penyelesaian kasus tanah dipercayakan pemerintah pusat di tangan mereka, arogansi itu semakin terlihat. 

 

Pemerintah juga terkesan melempar tanggung jawab  dan  mengadu masyarakat dengan pemerintah daerah. Padahal kebijakan-kebijakan mengenai pertanahan masih banyak yang menjadi kewenangan pusat, seperti pemberian dan pembatalan Hak Guna Usaha. Di sisi lain, masih rumitnya proses administratif yang harus ditempuh untuk pembatalan hak atas tanah yang disengketakan, dan tidak berpihaknya pemerintah terhadap petani menambah proses penyelesaian kasus tanah semakin jauh dari harapan petani[24]. Bahkan, di balik itu ada pula niatan dari pemerintah daerah untuk juga meminta bagian atas tanah-tanah yang dituntut petani. 

 

Di Jawa Tengah, respon pemerintah provinsi saat ini terkesan masih berat untuk mengabulkan tuntutan petani. Di satu sisi, pemerintah terkesan hanya menjadi wasit atas tuntutan petani, bukan menjadi pihak yang memiliki wewenang atas pengaturan sumber daya alam di wilayahnya. Padahal jika pemerintah hanya memposisikan sebagai wasit, maka sampai kapanpun penyelesaian kasus tanah tidak akan selesai, mengingat watak perusahaan-perusahaan perkebunan yang kapitalistis dan tidak akan pernah melepaskan tanah kepada negara. Karena itu fungsi dan kewenangan tim penyelesaian kasus tanah yang telah dibentuk di daerah-daerah harus diperjelas dan dipertegas. 

 

Pada awalnya pemerintah provinsi lebih mengedepankan konsep kemitraan dalam pemanfaatan tanah antara semua pihak, petani, perusahaan perkebunan, dan pemerintah. Konsep kemitraan ini sejak awal sudah ditolak petani, karena tidak berbicara mengenai hak atas tanah. Padahal hak atas tanah adalah kebutuhan mendasar petani yang tidak bisa digantikan dengan apapun juga. Tanah bagi petani penggarap memiliki hubungan emosional dan religius, sesuai dengan semboyan yang dimiliki petani : Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi, Ditohi Nganthi Pati. Yang diinginkan petani adalah adanya keadilan dalam penguasaan hak atas tanah. Proses penyelesaian kasus tanah harus terus berjalan, dan yang terpenting adalah bagaimana pemerintah bisa mengakomodir tuntutan petani atas tanah.

 

Pembentukan Organisasi Petani Tingkat Nasional: Petani Mandiri

 

WISMA PKBI Jakarta, 1999. Seluruh kantor LBH bertemu dengan petani dan organisasi tani yang ada di daerah-daerah dan provinsi. Pertemuan ini untuk menghimpun organisasi-organisasi tani secara nasional. Dan akhirnya mereka mendeklarasikan perhimpungan petani itu dengan nama Persaudaraan Petani Seluruh Indonesia (PPTSI). 

 

Pembentukan PPTSI ini dilatarbelakangi oleh kasus-kasus tanah di daerah-daerah yang berkembang cepat.[25] Maka muncul gagasan menyatukan organisasi-organisasi tani di provinsi-provinsi dalam lingkup nasional. Hal itu juga dimaksudkan untuk memback up dan memfasilitasi organisasi-organisasi tani daerah, pada saat mereka melakukan advokasi ke beberapa instansi yang berada di Jakarta, misalnya mendampingi ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Kementrian Perkebunan, Kehutanan, Gedung DPR RI dan instansi pusat lainnya yang ada kaitannya dengan kasus-kasus tanah di daerah.

 

November 2001 para pimpinan organisasi petani dan aktifis LBH  bertemu di Cisarua. Pertemuan itu untuk membentuk sebuah organisasi tani tingkat nasional. Organisasi ini untuk mendukung advokasi pertanahan tingkat nasional. Karena itu sebelum organisasi dibentuk, disiapkan kader petani untuk menggelar kongres mempersiapkan pembentukan organisasi tersebut. Dari pertemuan itu terbentuk Task Force atau gugus tugas yang diberi nama Kelompok Kerja Nasional Petani Mandiri (Pokja Petani Mandiri).

 

Seluruh organisasi tani provinsi terlibat dalam kerja Pokja. Masing-masing organisasi tani bekerja satu periode, 3 bulan sekali secara bergilir. Mandat yang diberikan oleh task force adalah melakukan advokasi kasus pada organisasi-organisasi tani provinsi, penataan produksi yaitu mengelola tanah atau lahan pertanian, inventarisasi produksi hasil pertanian unggulan (hasil bumi) dan mengakses informasi harga dan peluang pasar hasil pertanian.

 

Lalu ada juga pembagian peran di antara aktifis-aktifis LBH yang mengkhususkan diri pada pendampingan hukum. Untuk pengorganisasian petani diperankan oleh pengurus-pengurus organisasi tani di daerah. Namun para aktivis LBH juga tetap terlibat dalam pengorganisasian. Sesudah masa persiapan selesai, akhirnya Kongres Tani Nasional berhasil diselenggarakan pada Maret 2004, dengan melahirkan nama baru Pergerakan Tani Nelayan Indonesia Mandiri (Petani Mandiri). Terbentuk struktur organisasi, Petani Mandiri dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan dibantu oleh divisi-divisi: Divisi Politik, Divisi Ekonomi, Divisi Advokasi dan Divisi Kelembagaan. 

 

Visi Petani Mandiri adalah mensejahterakan petani dan nelayan serta membangun ekonomi, sosial, budaya dan politik. Misinya adalah membangun organisasi Tani dan Nelayan yang mandiri secara bersama-sama kelompok lain untuk menghilangkan ketertindasan dan keterbelakangan guna mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. Kemudian dilakukan advokasi persoalan sengketa tanah petani dan nelayan, membebaskan petani dan nelayan dari ketertindasan struktural dengan ikut serta mempengaruhi kebijakan pemerintah. 

 

Organisasi tersebut dibentuk dengan tujuan, pertama mewujudkan kebersamaan, kesejahteraan, ketentraman dan keamanan dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam bagi petani dan nelayan. Kedua, membebaskan petani dan nelayan dari segala bentuk penindasan dan pembodohan serta peminggiran untuk mencapai kesetaraan dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum dan politik. Ketiga, memperkuat posisi tawar petani dan nelayan dalam menentukan kebijakan politik, hukum, sosial, dan budaya demi terwujudnya kesejahteraan yang adil, makmur dan merata. Keempat, mewujudkan terjaminnya secara hukum atas penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam secara komunal dengan berbasis pada kearifan lokal. 

 

Anggota organisasi Pergerakan Tani Nelayan Indonesia Mandiri (PETANI MANDIRI) adalah BPPSU (Badan Perjuangan Petani Sumatera Utara), P2TANRA (Persaudaraan Petani Nelayan Sumatera Barat), KSKP (Kesatuan Solidaritas Palembang), IPL (Ikatan Petani Lampung), PATAS (Paguyuban Tani Tatar Sunda), ORTAJA (Organisasi Tani Jawa Tengah), PAPANJATI (Paguyuban Petani Jawa Timur), SeTAM (Serikat Tani Merdeka Yogyakarta), ATN (Aliansi Tani Nelayan Sulawesi Selatan).      

 

Petani Mandiri telah memberikan advokasi RUU Perkebunan pada akhir tahun 2002 sampai disahkannya menjadi Undang-undang Perkebunan. Saat itu Petani Mandiri bergabung dalam koalisi dengan organisasi lainnya yang bernama Koalisi Untuk Hak-Hak Petani (KUHAP). Tim KUHAP menolak undang-undang tersebut karena sejak pertama diusulkan, dibahas dan disahkan tidak ada partisipasi publik. 

 

Secara substantif, isi RUU Perkebunan lebih mencerminkan kemauan politik negara yang mengakomodasi kepentingan pemodal besar daripada petani kebun. Selain itu, RUU itu juga menempatkan pemerintah sebagai pihak dominan dalam mengatur agribisnis perkebunan, melegalkan praktik monopoli, memicu konflik horisontal, mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan, mengabaikan perlindungan masyarakat dan mengabaikan realitas konflik sosial[26]

 

Tak dapat dipungkiri bahwa Petani Mandiri telah berperan dalam perjuangan penyelesaian kasus-kasus pertanahan. Petani Mandiri telah mendorong keberanian gerakan reklaiming di daerah-daerah, yang sebelumnya kekuatan petani belum menyatu dalam gerakan tersebut. 

 

Reklaiming adalah pola dan model gerakan petani memperjuangkan hak-hak petani sendiri. Gerakan ini diawali tahun 1998 dan mendapatkan reaksi represif dari aparat keamanan sesudah UU Perkebunan No. 18 tahun 2004 disahkan. Disinilah gerakan tersebut mendapatkan rintangan besar karena harus berhadapan dengan kekerasan aparat keamanan atau militer. Kasus petani dengan PTPN IX Jolotigo, Pekalongan adalah pengalaman pahit dan berat karena para petani yang melakukan reklaiming tanah bekas Hak Guna Usaha PTPN IX itu berujung pada tindakan kriminalisasi para petani sendiri. Meski mendapat rintangan berat, gerakan reklaiming tidak pernah mati bahkan menyebar dalam pergerakan petani-petani di Indonesia. 

 

Penutup:

Upaya Memandirikan LBH dan Masa Depan Penanganan Kasus Pertanahan

 

HOTEL SANTIKA JAKARTA, November 2001. Agenda tahunan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) LBH-YLBHI. Acara ini diselenggarakan selama tiga hari oleh Dewan Penyantun yang dihadiri oleh 14 kantor LBH di seluruh Indonesia, Dewan Penyantun dan Dewan Pengurus. 

 

Saat itu, Kepengurusan yang dijabat oleh Bambang Widjojanto dan Munir berakhir pada 30 September 2001 yang kemudian diperpanjang sampai 30 November 2001. Lalu 26 November 2001, Victor Sibarani, Ketua Dewan Penyantun mengeluarkan sebuah Surat Keputusan (SK) yang menunjuk Irianto Subiyakto (Ketua LBH Jakarta), Haneda Sri Lastoto (Ketua LBH Bandung), dan Mappinawang (Ketua LBH Makassar) sebagai caretaker, pejabat sementara, sampai terpilihnya kepengurusan baru.  

 

Rakernas kali ini diwarnai perdebatan sengit antara Dewan Penyantun dan Dewan Pengurus LBH-YLBHI plus pengelola LBH daerah. Dari Dewan Pengurus, Bambang Widjojanto dan Munir mendesak lembaga LBH-YLBHI diubah bentuk Yayasan ke Perkumpulan. Menurut mereka bentuk perkumpulan bisa menjadi payung bagi gerakan-gerakan politik yang mengedepankan isu-isu demokrasi dan hak asasi manusia. LBH-YLBHI bisa menjadi motor gerakan massa yang diperlukan untuk mendobrak tatanan masyarakat yang sering tak berpihak kepada kaum lemah. Bentuk yayasan, kata mereka, bersifat sentralistik, kekuasaan tertinggi di tangan Dewan Penyantun yang rata-rata orang tua yang agak konservatif, sedangkan bentuk perkumpulan bisa lebih mewadahi aspirasi kaum lemah yang dianggap menjadi “konstituen” LBH-YLBHI. Dari 14 kantor LBH daerah, 10 diantaranya telah menyetujui bentuk perkumpulan. Mereka mau mendeklarasikan LBH baru yang namanya Federasi Bantuan Hukum Indonesia, yayasan dibubarkan. Tak ada lagi YLBHI.[27]

 

Bagi mereka yang menginginkan perubahan, struktur yayasan yang ada saat ini dipandang sudah tidak cocok lagi untuk menghadapi situasi ataupun peta kondisi nasional yang sudah banyak berubah. Pemilihan bentuk yayasan memberikan “kerugian”. Hal itu terutama terlihat dari peran dominan Dewan Penyantun. Todung Mulya Lubis menyatakan, Dewan Penyantun YLBHI memang mempunyai kewenangan-kewenangan dalam membikin keputusan-keputusan penting. Misalnya, dalam mengangkat ketua Dewan Pengurus. Kenyataan itulah yang menjadi pemicu perpecahan YLBHI pada tahun 1996.[28]

 

Mereka menuntut agar YLBHI dihapus. Sebagai gantinya adalah konfederasi LBH-LBH di seluruh Indonesia. Fokus aktivitas LBH juga tidak bisa lagi hanya bertumpu pada kegiatan litigatif, tapi harus lebih diarahkan untuk membangun gerakan. 

 

Pada Rapat Kerja Nasional LBH Indonesia tahun 2000, telah disepakati bentuk organisasi LBH untuk dua-tiga tahun ke depan adalah federasi, di mana kantor-kantor LBH akan semakin otonom dan memiliki legitimasi sosial yang kuat. Keputusan perubahan organisasi ini adalah sebuah keniscayaan bagi LBH yang selama ini memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi, melawan bentuk-bentuk dominasi dan sentralisme kekuasaan. Dan perubahan ke federasi telah mendapatkan dukungan dari kalangan akademisi, organisasi rakyat setempat, NGO lokal, mahasiswa, tokoh-tokoh agama setempat, serta dari kalangan jurnalis. Mereka berharap di masa depan kantor-kantor LBH memiliki basis dukungan lokal yang kuat dan mencapai yang bentuk ideal. 

 

Perubahan ke federasi tersebut ditentang oleh Adnan Buyung Nasution, pendiri dari YLBHI. “Saya sama sekali tidak mendukung gagasan ini. Tidak betul itu. Tidak bisa, LBH ini bukan kekuatan massa. Kekuatannya bukan pada massa, bukan dalam jumlah anggotanya, tapi kekuatan di dalam konsep pemikiran negara hukum yang demokratis. Supremacy of law yang jadi acuan kita, recht staat itu. Tidak bisa saya setujui kemauan kalian. Apalagi dari sudut pembelaan. Kalau kalian sudah bersatu dengan buruh, tani, nelayan, kalian tidak bisa jadi pembela yang baik, karena sudah menyatu dengan klien atau orang yang dibela…”

Adnan Buyung Nasution menegaskan penolakan bentuk Yayasan diubah ke Perkumpulan. “Kami tolak usul untuk mengubah yayasan menjadi perkumpulan itu, konfederasi itu. Karena kami tolak dan memang sudah habis masa jabatannya, Bambang, Munir, dan semua orang yang selama  ini menguasai LBH dengan ide konfederasi keluar semua. Kami bentuk pengurus baru secara demokratis. Terpilih Munarman sebagai sebagai Ketua Dewan Pengurus YLBHI periode 2002-2006. Saya merombak juga Dewan Penyantun menjadi Dewan Pembina…”

 

Gagalnya perubahan kelembagaan itu kemudian membawa perpecahan di tingkat internal YLBHI. Bambang Widjojanto dan Munir memutuskan keluar dari YLBHI. Keputusan itu diikuti oleh para staf YLBHI yang lain termasuk di dalamnya Boedhi Wijardjo dan Nur Amalia di dividi pertanahan. Perpecahan internal itu juga membawa perubahan di dalam gerakan petani yang selama ini berada dalam satu lingkaran YLBHI. 

 

Di antara aktifis yang keluar membentuk organisasi gerakan petani, bernama RACA Institute, sebuah lembaga resolusi konflik atas tanah, air, dan sumber daya alam lainnya (Tasdal) yang selalu bersentuhan dengan kelompok-kelompok dari kalangan petani dan penghuni pesisir (nelayan). Awal berdirinya, organisasi ini dipimpin oleh Boedhi Wijardjo. 

 

RACA Institute sebenarnya telah terbentuk pada tahun 2000. Ini dilatarbelakangi oleh benturan-benturan yang terjadi di tingkat regional dan nasional dalam penyelesaian kasus-kasus tanah. RACA dibentuk untuk merespon penilaian konflik agraria secara cepat. Seperti mempersiapkan para petani dalam bernegosiasi dan menyelesaikan konflik agraria di tingkat lokal. 

 

Dalam buku profil YLBHI sebenarnya telah diuraikan soal kemandirian, bahwa kantor-kantor LBH telah menjadi bagian penting dari dinamika gerakan demokratisasi dan perlindungan hak asasi manusia di wilayahnya masing-masing. Bahkan, LBH sebagai inspirator dan mitra yang siap bekerja dengan siapapun yang memiliki komitmen yang sama. Karena itu, dari waktu ke waktu semakin mencerminkan realitas gerakan demokratisasi dan hak asasi manusia di daerahnya. LBH-YLBHI tak lagi semata-mata memerankan dirinya sebagai bagian dari organisasi yang tersentralisasi. 

 

Tahun 2002-2003, LBH-YLBHI diterpa krisis keuangan. Tak semua kantornya kini bisa bangkit lagi, seperti semula. Keuangan menjadi persoalan yang sulit teratasi, sehingga kasus-kasus tanah tidak tertangani dengan baik oleh para aktifis LBH. Direktur LBH Palembang, Nurkholis menyatakan bahwa pada 2003 LBH Palembang hanya mampu menangani empat kasus pertanahan secara langsung. Hal ini disebabkan oleh krisis keuangan yang dialami LBH Palembang pada saat itu.[29]  Meski situasi mulai membaik beberapa tahun setelahnya, YLBHI dan kantor-kantornya belum mampu mengorganisir kekuatan petani seperti sedia kala. Para kantor tetap memiliki keterbatasan dalam hal sumber dana dan sumber daya. Bagi petani yang telah diorganisir selama beberapa tahun, hal ini sebenarnya adalah tantangan untuk benar-benar memandirikan diri, baik dalam hal advokasi, mengorganisir diri, termasuk menata lahan pasca reklaiming. 

 

 

 


 

Daftar Pustaka

Fauzi, Noer dan Boy Fidro (ed), Pembangunan Berbuah SengketaKumpulan Kasus Pertanahan. Medan: Yayasan Sintesa dan Serikat Petani Sumatera Utara, 1995.

Lembaga Informasi Kemasyarakatan (LINK) Tanah dalam Kapitalisme. Jakarta, LINK, 1988.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1979, T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (ed), Jakarta: YLBHI, 1981

________________ Langit Masih Mendung, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1980, T. Mulya Lubis dan Fauzi Abdullah (ed), Jakarta: YLBHI bekerjasama dengan Sinar Harapan.

________________  Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1981, T. Mulya Lubis, Fauzi Abdullah dan Mulyana W. Kusumah (ed), Jakarta: YLBHI bekerjasama dengan Sinar Harapan.

________________ Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1982-1983, Mulyana W. Kusumah et al. (eds),Jakarta: YLBHI, 1986.

________________ Potret Keadilan Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1984-1985, Mulyana W. Kusumah et al. (ed), YLBHI, 1987.

________________ Remang-remang Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1986, Paul S. Baut (Ed), Jakarta: YLBHI, 1989.

________________ Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989, Mulyana W. Kusumah (ed), Jakarta: YLBHI, 1990.

________________ Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1990, Ruswandi dkk (ed), Jakarta: YLBHI, 1990.

________________ Demokrasi Masih Terbenam, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1991, Mulyana W. Kusumah et al. (ed), Jakarta: YLBHI, 1991.

________________ Demokrasi di Balik Keranda, Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1992, Mulyana W. Kusumah (ed),  Jakarta: YLBHI, 1992.

________________ Demokrasi Antara Represi dan Resistensi, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1993, Mulyana W. Kusumah (ed),  Jakarta: YLBHI, 1993.

________________ Catatan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1994, Benny K. Harman et al. (ed), Jakarta: YLBHI, 1995.  

________________ 1996: Tahun Kekerasan – Potret Pelanggaran HAM di Indonesia, A. Made Tony Supriatma (ed),Jakarta, YLBHI: 1997.

Yapusham, INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 1/1/95 

_________  INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 2/2/96

_________  INDEX Pelanggaran HAM – YAPUSHAM, No. 3/3/97 

Boedhi Wijardjo, Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat, YLBHI-RACA Institute, Juli, 2001

RACA Institute, RUU Perkebunan Melestarikan Eksploitasi dan Ketergantungan, RACA Institute

Nasution, Adnan Buyung, Pergulatan Tanpa Henti, Pahit Getir Merintis DemokrasiAksara Karunia, Jakarta, 2004

Nasution, Adnan Buyung, Bantuan Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1982

 

Mulya Lubis, Todung, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, LP3ES, Jakarta, 1986.

YLBHI tt.tt. Hand in Hand with the People for DemocracyThe Profile of the Indonesian Legal Aid Institute, Jakarta: YLBHI.

 

Arsip:

 

Rekaman Proses Pendidikan Hukum Kritis, Ciloto, 1998

Rekaman Proses Pendidikan Hukum Kritis, Bali, 1998

Rekaman Proses Pendidikan Hukum Kritis, Jakarta, 1999

Rekaman Proses Pertemuan Divisi Pertanahan, Semarang, 2000

Rekaman Proses Temu Tani Se-Jawa, Semarang, 2000

Kumpulan makalah dan kasus-kasus pertanahan YLBHI, 1998

Buletin Pribadi, ”A Luta Continua, LBH Semarang” Edisi 05/Tahun II/1990



[1] Nasution, Adnan Buyung. 1982. Bantuan Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES, hal 1

[2] Lubis, Todung Mulya. 1986. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, Jakarta: LP3ES, hal 11.

[3] Ibid, hal 12.

[4] Nusantara, Abdul Hakim G. 1988. Politik Hukum Indonesia. Jakarta: YLBHI, hal 128.

[5] Pangaribuan, Luhut MP. 1988. ” Penanganan Perkara Masa Depan, Ke Arah Public Interest Litigation”. Buletin RADAR: Keadilan Untuk Semua, YLBHI, Maret-April 1988, hal 53.

[6] Ibid, hal 15

[7] Draft Kebijakan Dasar dan Strategi Program Operasional Yayasan LBH Indonesia 1993/1997, YLBHI 1994, hal19

[8] Ibid, hal 19.

[9] Satyoga, Jaka Hadi 1990. “Peranan Komunikasi dan Motivasi Terhadap Efektifitas Bantuan Hukum Masyarakat Miskin”. A Luta Continua, Buletin LBH Semarang, Edisi 05, Tahun II,  1990.

[10] Kecuali untuk buku pertama yang dibuat tahun 1979, yang hanya berjudul Laporan Keadaan Hak-hak Asasi Manusia di Indonesia 1979,  setiap buku laporan memiliki judul tersendiri dengan anak judul. Misalnya, buku kedua, berjudul Langit Masih Mendung, dengan anak judul Laporan Keadaan Hak-hak asasi Manusia di Indonesia, 1980. Semenjak tahun 1991, istilah “laporan” diganti menjadi “catatan”.  Tidak ada keterangan tertulis mengenai sebab-sebab hal ini. Dahulu penulis pernah diberitahu oleh Paskah Irianto, yang bertanggungjawab untuk pembuatan buku-buku ini di YLBHI semenjak tahun 1990 sampai dengan 1994, penggantian itu untuk menghindarkan diri dari anggapan bahwa YLBHI ”melaporkan” – suatu istilah yang waktu itu dinilai berkonotasi ada hubungan bawahan-atasan, sehingga kurang setara. Sedangkan istilah ”catatan” dinilai berkonotasi lebih independen.  Khusus untuk edisi terakhir, yakni 1996,  istilah ”catatan” pada anak judulnya diganti  menjadi ”potret”.  

[11]  Yapusham menyusun monitor HAM tersebut berdasarkan suatu format sistem pendokumentasian internasional untuk HAM, yakni HURIDOCS (Human Right Information Doccumentation System), yang telah diadaptasikan sesuai dengan kondisi Indonesia dan kapabilitas aksesibiltas data. Sistem pencatatan ini terdiri dari lima formasi struktur yang saling berhubungan, yakni kejadian (event), korban (victim), yang diduga sebagai pelaku (culprits), pihan yang mengintervensi (intervention), serta sumber pelanggaran hak asasi (sources).

[12] Disarikan dari hasil pertemuan Pendidikan Hukum Kritik I yang diselenggarakan di Ciloto, Puncak, Bogor.

[13] Ibid, hal 49

[14] Lihat buku RACA Institute RUU Perkebunan Melestarikan Eksploitasi dan Ketergantungan, RACA Institute, hal 10.

[15] Wijardjo, Boedhi, dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: YLBHI-RACA Institute, 2001, hal 135

[16] SK Gubernur KDH Tk I Sumut, no : 593.05/2814/K/1998 tanggal 17 Desember 1998 tentang pembentukan tim terpadu penelitian dan pemecahan masalah tanah garapan penduduk di areal HGU PTPN dan perkebunan swasta di Propinsi Sumut. Salah satu tugas tim adalah menginventarisasi masalah tanah di areal HGU PTPN, perkebunan swasta, dan mengadakan penyelesaian.

[17] Di Jawa Tengah, kriminalisasi petani terjadi di Kabupaten Batang, dimana 21 orang petani ditangkap polisi dan divonis 5 sampai 7 bulan penjara oleh majelis hakim. PT. Pagilaran melaporkan petani ke polisi yang mereklaim tanah perkebunan tersebut.

[18] Di Jawa Timur, tanggal 9 Maret 2003 MUI mengeluarkan fatwa No. Kep-11/SKF/MUI/JTM/III/2003 tentang Pembabatan Tanaman Kakao di Kebun Kalibakar dan Pendudukan Tanahnya oleh Rakyat. Atas laporan PTPN XII, MUI menyatakan bahwa tindakan rakyat menduduki dan membagi-bagi tanah kebun Kalibakar, hukumnya haram. Namun di bagian akhir surat ini, disebutkan bahwa SK Fatwa dan Penetapan Hukum ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan diadakan peninjauan kembali apabila di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.

[19] Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat, Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, YLBHI-RACA Institute, 2001, hal 184.

[20] Padahal tidak di semua kasus yang masuk ke pengadilan, petani dikalahkan. Ada beberapa kasus dimana petani berhasil ‘mengalahkan’ institusi peradilan. Dan hal ini biasanya didasari oleh strategi organisasi tani dan latar belakang kasus yang berbeda-beda.

[21] Secuil tentang LBH Semarang, leaflet.

[22] Wawancara dengan Puspo Adji, SH.CN, mantan Direktur LBH Semarang tahun 1992-1994, Semarang, 31 Juli 2005.

[23] Soemedi Prawirodirdjo, SH, Artikel: Dampak Pembebasan Tanah di Tawangrejosari Semarang Barat dan Sekitarnya Serta Kedungombo Sragen, dalam Bulletin PRIBADI: a luta continua, LBH Semarang, Edisi Kedua April-Juni 1989.

[24] Dalam konteks Hak Guna Usaha, kecenderungan yang terjadi adalah tarik-menarik kewenangan antara daerah tingkat II dengan provinsi dalam kewenangan penyelesaian kasus-kasus tanah, dimana mereka sama-sama terlibat sebagai anggota Panitia B yang berwenang memberikan dan membatalkan HGU.

[25] Di Jawa Tengah, sampai tahun 2000, menjelang dibentuknya Organisasi Tani Nasional, jumlah kasus-kasus tanah struktural yang ditangani LBH Semarang mencapai 15 kasus. Bahkan sampai tahun 2005, kasus-kasus tanah struktural meningkat 50% menjadi 30 kasus. Angka ini menunjukkan peningkatan cukup besar setelah dimulainya gerakan reklaiming pada tahun 1998. Pada tahun itu hanya ada 1 kasus tanah struktural berbasis perkebunan yang ditangani LBH Semarang.

[26] RUU Perkebunan Melestarikan Eksploitasi dan Ketergantungan, RACA Institute, hal 31.

[27] Adnan Buyung Nasution, Pahit Getir Merintis Demokrasi, 2004

[28] Forum Keadilan No. 33, 18 November 2001.

[29] Nurkholis, 2005. ”Wajah Bantuan Hukum Di Sumatera Selatan, Seperempat abad LBH Palembang”, Palembang: LBH Palembang dan Yayasan TIFA.