Interaksi Gerakan-gerakan Agraria dan Gerakan-gerakan Lingkungan di Indonesia Awal Abad 21

 


Noer Fauzi Rachman

 

Dimuat sebagai Rachman, NF (2012) "Pengantar: Interaksi Gerakan Agraria dan Gerakan Lingkungan",  Wacana, Jurnal Ilmu Sosial Transformatif 28/XIV/2012 https://insistpress.com/wp-content/uploads/2013/01/WACANA-28-2012_Pengantar_Interaksi-Gerakan-Agraria-dan-Gerakan-Lingkungan.pdf

 


                  Membicarakan interaksi gerakan-gerakan agraria dan gerakan-gerakan lingkungan di Indonesia awal abad 21, mau tidak mau harus membicarakan berbagai bentuk krisis sosial-ekologis yang semakin hari semakin meluas dan mendalam sehubungan dengan konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan dari perusahaan-perusahaan raksasa dalam dan luar negeri. Para pelajar politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam mahfum bahwa kebijakan pemberian konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas-komoditas global terus menjadi andalan pemerintah untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perolehan rente ekonomi bagi pemerintah pusat maupun daerah. Lebih jauh dari itu, seperti ditunjukkannya dalam Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, tiap koridor ekonomi dirancang untuk menghasilkan andalan-andalan komoditas global tertentu.

                  Koridor Sumatera adalah  sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapa sawit/CPO, Karet, dan Batubara; Jawa adalah pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektor pada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut; Kalimantan adalah pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada migas, minyak kelapa sawit, dan batubara; Sulawesi dan Maluku Utara adalah pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional dengan fokus sektor pada tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel; Bali dan Nusa Tenggara adalah pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional dengan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian dan peternakan; dan Papua dan Maluku adalah pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM dengan fokus sektor pertambangan serta pertanian dan perkebunan.

Para intelektual kritis, termasuk mereka yang berada di pemerintahan, universitas dan organisasi gerakan sosial, membutuhkan alat analitik yang memadai untuk mengerti bagaimana percepatan dan peluasan situs-situs produksi komoditas global ini, dan cara bagaimana konsesi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan menjadi pembentuk utama dari tiga pasang masalah, yakni (i) kerusakan lingkungan, (ii) distribusi penguasaan tanah dan sumber daya alam yang timpang, dan (iii) konflik-konflik agraria yang merebak dimana-mana. Tiga pasang masalah itu bersifat kronis dan berdampak luas, dan telah dijadikan dasar dari perlunya kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam  sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan MPR No. IX/2001. TAP MPR ini, selain merupakan satu bukti unjuk partisipasi demokratis dari masyarakat sipil  dalam pembentukan perundang-undangan, juga merupakan tonggak dimana gerakan agraria dan gerakan lingkungan bertemu dan saling bersinergi dalam memanfaatkan kesempatan politik yang terbuka setelah rejim otoritarianisme tumbang demi kampanye keadilan agraria dan keadilan lingkungan (Rosser dkk 2005, Peluso dkk 2008). 

 

Gerakan-gerakan Ganda ala Polanyi

Pembentukan gerakan-gerakan sosial untuk memperjuangkan keadilan agraria dan keadilan lingkungan dalam menghadapi meluasnya konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan dan pertambangan perlu dipahami dengan pendekatan yang jitu. Berikut ini, penyunting Jurnal WACANA edisi ini, mencoba memahaminya melalui apa yang awalnya diteorisasi oleh Karl Polanyi sebagai “gerakan-gerakan ganda” (double movements), yakni gerakan-gerakan pasar akan ditandingi oleh berbagai bentuk gerakan tandingan (counter movements).

Dalam bagian lain buku The Great Transformation (1944/1957), Polanyi menulis “selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu) itu tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri” (Polanyi 1944:130).  

Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengkomodifikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri.

Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi mengistilahkannya: fictitious commodity (barang dagangan yang dibayangkan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. 

Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan. Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3). 

Harus dipahami bahwa ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekali berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dimana terjadi tukar-menukar barang melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang. Perbedaan itu dijelaskan dengan sangat baik oleh Polanyi: “Evolusi Sistem Pasar”. Dalam kalimat yang lugas, untuk memahami bagaimana sistem ekonomi pasar kapitalis bekerja, dia membalikkan prinsip resiprositas dari ekonomi pasar sederhana. Dalam ekonomi pasar kapitalis, “bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hubungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang melekat ke dalam sistem ekonomi kapitalis itu” (Polanyi 1944/1957:57). Pasar kapitalis memiliki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negara lah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis demikian itu bisa bekerja. 

Gerakan pasar dapat dibedakan sebagai penyedia kesempatan dan juga dapat menjadi kekuatan pemaksa -- sebagaimana dirumuskan ulang oleh Ellen Wood (1994) sebagai market-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan), dan market-as-imperative(pasar-sebagai-keharusan). Pasar sebagai kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalisme sanggup membentuk bagaimana cara sector ekonomi dikelola oleh badan-badan pemerintahan hingga ke pemikiran cara bagaimana cara ekonomi pasar itu diagung-agungkan.

Sementara itu, pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan sofistikasi teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. Kesemuanya mengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidak kompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yang tidak lagi dapat dipakai. Dalam karya klasiknya Capitalism, Socialism and Democracy (1944) bab “Can Capitalism Survive”,  Joseph A. Schumpeter menulis sebagai berikut:

Kapitalisme, dengan demikian, hakekatnya adalah suatu bentuk atau metoda perubahan ekonomi, dan bukan hanya tidak pernah statis tapi tidak pernah biasa statis. Dan karakter evolusioner dari proses kapitalis bukan hanya dikarenakan fakta bahwa kehidupan ekonomi berlangsung dalam suatu lingkungan sosial dan alam yang berubah dan perubahan ini mengubah data dari perilaku ekonomi; Hal ini memang penting dan perubahan-perubahan ini (perang, revolusi dan sebagainya) sering membentuk perubahan industrial, akan tetapi kesemua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pula terutama dikarenakan peningkatan yang rada-otomatis dalam hal ilmu dan jumlah modal, atau pada perilaku aneh dari sistem-sistem moneter, yang kesemuanya memang benar berpengaruh. Dorongan pokok yang menyusun dan menjaga mesin kapitalis bergerak adalah berasal dari barang-barang konsumsi yang baru, metoda-metoda produksi atau transportasi yang baru, pasar-pasar baru, bentuk-bentuk baru dari organisasi industrial yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan kapitalis (Schumpeter 1976:82-83).

 

Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses penghancuran yang kreatif). 

Proses demikian pada awalnya dipahami oleh Adam Smith – pemikir ekonomi terkenal yang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak kelihatan (invisible hands)” yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasar bekerja—dalam karya terkenalnya The Weath of Nations bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja” (1776, I.3:277). Belajar dari kenyataan dan keniscayaan ini, Karl Marx mengembangkan teori “the so-called primitive accumulation”, yang mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas (Marx, Das Capital, 1867).[1] Ini adalah proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota juga dilahirkan oleh proses yang ini (Davis 2006). 

Pembentuk pasar-sebagai-keharusan adalah korporasi raksasa yang terus-menerus mendapat dukungan fasilitas langsung maupun fasilitasi tidak langsung dari lembaga-lembaga negara. Dalam konteks melancarkan bekerjanya pasar kapitalisme di zaman globalisasi sekarang ini,[2] karakter badan-badan negara secara terus-menerus dibentuk oleh perusahaan-perusahaan transnasional, badan-badan pembangunan internasional, dan negara-negara kapitalis maju agar menjadi apa yang David Harvey sebut sebagai “negara neoliberal” (2003, 2005).  Negara neoliberal dibentuk dan juga membentuk apa yang diiistilahkannya accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara perampasan) dan accumulation by exploitation (akumulasi modal secara meluas melalui eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang dagangan).[3] Dalam proses akumulasi dengan cara perampasan, dia menekankan pentingnya ”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumberdaya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja (Harvey 2003:116). Reorganisasi dan rekonstruksi geografis untuk pembukaan ruang-ruang baru bagi sistem produksi kapitalis ini dimulai dengan menghancur-lebur hubungan kepemilikan rakyat pedesaan dengan tanah, kekayaan alam, dan wilayahnya, dan   segala hal-ihwal kebudayaannya yang hidup di atasnya dan melekat secara sosial pada tempat-tempat itu. 

Sejarah politik agraria dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia menjalani rute umum negara-negara paskakolonial di Asia, Amerika Latin hingga Afrika. Pemberlakuan hukum-hukum yang mengarur penguasaan tanah dan pengelolaan sumber daya alam, termasuk di dalamnya hukum yang mengatur konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan sumber daya alam, yang kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu. 

Di Indonesia paska kolonial, kran liberalisasi sumberdaya alam tersebut sangat jelas ketika Orde Baru pimpinan Soeharto mulai berkuasa, tahun 1967. Liberalisasi yang mulai di akhir 1960an ini telah menghabisi kedaulatan rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah kolonial melakukan cara serupa semasa kolonial, termasuk melalui agrarische Wet 1870. Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai mengkapling-kapling untuk konsesi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan mengeluarkan penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Pengkaplingan dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu. Tanah dan kekayaan alam itu kemudian masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik. Jadi, perubahan dari alam menjadi sumberdaya alam ini berakibat sangat pahit bagi rakyat petani yang harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan.

Hubungan dan cara penduduk menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu, akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum. Protes-protes itu adalah bentuk khusus dari gerakan tandingan (counter-movement) yang bisa sesaat atau bisa juga berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bahkan melawan proses komodifikasi yang dilancarkan oleh pasar kapitalis itu (Fauzi 1999). Bentuk-bentuk lain dari gerakan tandingan itu beragam macam, termasuk oleh badan-badan negara sendiri, termasuk dalam menggunakan kewenangan khususnya dalam legislasi maupun birokrasi untuk melindungi warga negaranya dari daya rusak kekuatan pasar.

 

 

Daftar Pustaka

Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.

Harvey, David 1990. The Condition of Postmodernity: An Inqiury into the Origins of Cultural Change. Oxford, Oxford University Press.

_____. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

_____. 2004. "The 'New' Imperialism: Accumulation by Disposession." in Socialist Register 2004, edited by L. Panitch and C. Leys. New York: Monthly Review Press.

_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.

Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

_____. 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

Peluso, Nancy Lee, Suraya Afiff, and Noer Fauzi Rachman. 2008. “Claiming the Grounds for Reform: Agrarian and Environmental Movements in Indonesia.” Journal of Agrarian Change 8:2-3:377-408.

Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa.  Yogyakarta, Tanah Air Beta bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Rosser, Andrew, Kurnya Roesad, dan Donni Edwin. 2005. “Indonesia: The Politics of Inclusion”. Journal of Contemporary Asia, 35(1), pp. 53–77.

Wood, Ellen Meiksins. 1994. From Opportunity to Imperative: The History of the Market”. Monthly Review  46(3).

____. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.

 

 



[1] Akumulasi promitif ini bukan hanya peristiwa sejarah yang sudah selesai. Menurut Michael Perelman cara Marx merumuskan akumulasi primitif sebagai peristiwa masa lampau sungguh dapat dimengerti dari suduh pandang bahwa Marx mengabdikan keterangannya mengenai akumulasi primitif sebagai kritik yang meyakinkan terhadap kapitalisme, yakni sekali kapitalisme memegang kendali, kaum kapitalis belajar bahwa tekanan-tekanan pasar sungguh lebih efektif dalam mengeksploitasi tenaga kerja ketimbang tindakan brutal akumulasi primitif (Perelman 2000:30). Perelman juga yang memecahkan misteri ”primitif” dalam  ”akumulasi primitif”. Seperti yang secara tegas tercantum dalam tulisan Marx, kata primitif dari istilahnya Adam Smith previous accumulation. Dalam karyanya, Perelman menunjukkan kalimat lengkap dimana Marx mengambil dari Adam Smith, yakni ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata ’previous’ dari karya Adam Smith menjadi ”ursprunglich”, dimana penerjemah bahasa Inggris Marx kemudian menerjemahkannya menjadi ”primitive” (Perelman 2000:25).

[2] Mengikuti David Harvey (1990), penulis membedakan globalisasi sebagai proses saling berhubungannya berbagai bagian dunia yang utamanya ditandai oleh “semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space compressions) akibat perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi, komunikasi, dll); dan neoliberalisme sebagai suatu proyek ideologi dan politik yang menomor satukan prinsip-prinsip kebebasan, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar bebas, dan akumulasi modal skala dunia. 

[3] Accumulation by dispossession merupakan reformulasi Harvey atas ”akumulasi primitif”. Menurutnya, banyak teori-teori Marxist mengenai akumulasi modal ”mengabaikan proses akumulasi yang terbentuk melalui berbagai macam tindakan perampasan, penipuan, dan kekerasan yang diperlakukan atas berbagai hal di ”keadaan awal” yang dianggap tidak lagi relevan atau – di sini ia kemudian merujuk pada Rosa Luxemberg dalam karyanya The Accumulation of Capital (1968) – hal-hal yang berada ”di luar” dari kapitalisme yang berlaku bagaikan suatu sistem tertutup. Selanjutnya, ”mengevaluasi kembali peran yang menetap dan terus berkelanjutan dari praktek-praktek buas dari ”akumulasi primitif” atau ”akumulasi awal-mula” dalam sebuah geografi sejarah akumulasi modal, sungguh merupakan tugas yang mendesak …”. Harvey merujuk pada Parelman (2000), de Angelis (2000) dan perdebatan besar-besaran dalam The Commoner. Harvey  memutuskan untuk meluaskan dan menamakannya accumulation by disposession (akumulasi dengan cara perampasan kepemilikan), karena ia merasa ”adalah janggal  untuk menyebut suatu proses yang berkelanjutan dari ”akumulasi primitif” atau ”akumulasi awal-mula”” (Harvey 2003:144).

No comments:

Post a Comment