Noer Fauzi Rachman*)
Naskah pidato debut pada 16 September 2012 untuk acara peringatan ulang tahunnya yang ke 80, Gunawan Wiradi, diselenggarakan di Bogor.
Pengantar
Saya berterima kasih, dan merasa terharu dan terhormat dipilih oleh Guru saya, Dr. Hc. Ir. Gunawan Wiradi, M.Soc.Sc, untuk berpidato di acara peringatan ulang tahunnya yang ke 80 ini. Tanpa beliau sebagai guruku, saya tidak akan sampai memiliki daya jelajah ke studi-studi agraria. Gunawan Wiradi mengajarkan bahwa menekuni studi-studi agraria, bukan sekedar untuk reputasi diri dalam arena akademik, melainkan secara vokasional berpihak, seperti yang dianjurkan oleh Max Weber (Wiradi 2008:281-291). Ia menulis:
Seorang peneliti yang peduli pada nasib dan masa depan bangsanya, dan yang batinnya meronta melihat kemelaratan yang dialami oleh rakyatnya, tidak bisa lain kecuali harus menjadi peneliti yang memiliki semangat vokasional!
Semangat vokasional inilah yang ia wariskan kepada kami, generasi baru yang melanjutkan studi-studi agraria.
Pada kesempatan yang istimewa ini saya ingin sampaikan pada pak Wiradi dan para hadirin sekalian, bahwa satu dari sekian banyak jasa pak Wiradi sebagai jembatan intelektual yang memungkinkan saya menjelajah sampai ke topik studi dan konsep-konsep yang sangat berpengaruh dalam studi-studi agraria yang dahulu maupun sekarang. Tiga di antaranya adalah “sejarah kebijakan agraria”, “akumulasi primitif, dan “kredo agraria”.
Sejarah Kebijakan Agraria
Pak Wiradi memperkenalkan sejarah kebijakan agraria pada kami, generasi aktivis tengah hingga akhir tahun 1980-an, yang sedang haus akan penjelasan ilmiah mengapa perampasan tanah petani berlangsung secara brutal untuk kepentingan perusahaan-perusahaan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan di seantero negeri, mengapa pemerintah menggunakan dan menyalahgunakan kewenangan-kewenangannya demi memfasilitasi perampasan tanah itu, baik melalui konsesi-konsesi yang diberikannya, birokrasi represifnya, maupun yang pada gilirannya mentransformasikan petani menjadi pekerja tak bertanah. Kami pun bertanya mengenai seluruh atribut Negara Budiman, yang melekat di Konstitusi UUD 1945, dan Undang-undang Pokok Agraria 1960. Apa konsekuensi semua itu untuk nasib petani? Dari pelajaran sejarah di sekolah menengah, kami masih mendapati moto-moto warisan revolusi kemerdekaan, seperti “petani adalah soko guru revolusi”, dan sebagainya. Bagaimana, petani yang begitu berjasa bagi kemerdekaan Indonesia itu bisa bernasib tragis di bawah rejim pemerintahan paska-kolonial?
Pada masa itu, dapatlah dikatakan kerangka kerja para aktivis agraria dalam keseluruhan gerakannya adalah “Kembalikan Tanah Rakyat yang Dirampas Pembangunan”. Saya ingat pada poster “Tanah Untuk Rakyat” yang menghebohkan pada tahun 1990-an itu. Meskipun isu “Tanah untuk Rakyat” ini naik ke media massa ini, namun belum menyentuh masalah ketimpangan struktur agraria. Dengan kata lain, tema sentral yang berkembang pada saat itu baru menyentuh hilangnya akses rakyat atas tanah yang selama ini mereka kuasai, miliki, duduki, tinggali, atau digarap. UUPA 1960 masih dirujuk sebagai undang-undang pelindung para petani yang posisinya kalah dan dikalahkan dalam konflik agraria. Belum lebih jauh dari itu.
Bapak Gunawan Wiradilah yang memperkenalkan saya pada “Tonggak-tonggak Perjalanan Kebijaksanaan Agraria di Indonesia[1]”, yang membuat saya mengerti bahwa, kebijakan agraria Indonesia yang saat itu berujung pada perampasan-perampasan tanah itu adalah cuma satu babak saja dari perjalanan panjang sejak masa kolonial. Betapa tidak. Makalah yang diedarkan itu benar-benar telah menggoda, merangsang alam pikiran kami. Kami memfotokopi dan membacanya berkali-kali. Ya, karena naskah demikian banyak diminati para aktivis, kami berkali-kali memfotokopinya. Kami mendebatkan, menuliskan komentar hingga merujuknya ketika kami menulis karya kami sendiri, baik untuk bahan latihan dan kursus bagi para pengerak rakyat maupun terbitan di koran, majalah, jurnal dan buku. “Tonggak-tonggak Kebijakan Agraria Indonesia” itu pula yang secara khusus membuat saya tergerak meminta karya-karya terserak Wiradi lainnya, dan menyunting karya-karya terserak itu lainnya menjadi buku: Wiradi (2001) Reforma Agraria: Urusan yang Belum Berakhir.yang kemudian diberi pengantar oleh Prof. Sajogyo.
Disini perlu saya sebut bahwa buku Noer Fauzi (1999) Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria) diinspirasikan oleh “Tonggak-tonggak Kebijakan Agraria Indonesia” itu. Lebih dari itu, disertasi saya Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia (Rachman 2011) dan buku Land Reform dari Masa ke Masa (Rachman 2012) merupakan pengembangan lebih lanjut dari minat dan pemahaman historis yang semakin dalam dan luas mengenai perjalanan kebijakan agraria Indonesia.
Akumulasi Primitif
Buku Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia mempekerjakan konsep analitik “akumulasi primitif” untuk memahami secara lebih baik kebijakan agraria Indonesia sejak masa kolonial. Saya sampai pada konsep ini pun berkat meniti jembatan yang disediakan oleh Gunawan Wiradi. Saya masih ingat beliau memberikan papernya mengenai Chayanov[2], yang pada gilirannya membawa saya memahami debat-debat agraria klasik, yang membawa saya pada konsep akumulasi primitif.
Ijinkan saya mengelaborasi sedikit relevansi dari konsep akumulasi primitif itu.
Apakah Akumulasi Primitif itu? Karl Marx mengunakan istilah “the so-called primitive accumulation” berangkat dari pengertian Adam Smith previous accumulation.[3] Ia menyadari bahwa motif akumulasi kekayaan dan keuntungan itu merupakan penggerak kapitalisme. Dan syarat awalnya adalah akumulasi stock, dan ia menulis, ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”. Tapi, syarat akumulasi stock itu bukan syarat cukup. Yang menentukan bagaimana kekayaan diakumulasikan adalah suatu transformasi hubungan-hubungan sosial dalam proses produksi, juga adalah hubungan kepemilikan (property relations) – sebagaimana diurai dengan bagus oleh Ellen Meiksins Wood (2002:36). Dalam konteks inilah untuk pertama kalinya tanah-tanah dan kekayaan alam diputuskan dari hubungan sosial pra-kapitalis, dan dijadikan bagian modal dalam sirkuit baru sistem produksi kapitalis. Di lain pihak, petani yang tadinya punya hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan secara brutal, dan kemudian dibebaskan menjadi tenaga kerja bebas.
Menurut Massimo de Angelis, modal harus dipahami sebagai sebuah kekuatan (force). Sehingga sehubungan dengan penghentian akses penduduk atas tanah melalui tindakan perampasan (land disposession), modal harus dipahami sebagai enclosing social force (De Angelis 2004:59, n . 5). Oleh sebab itu, enclosure ditempatkan de Angelis sebagai ciri yang melekat pada cara produksi kapitalisme. Ia mengelompokkan enclosure menjadi dua model implementasi, yakni: ”(i) enclosure sebagai sebuah rancangan ”kekuasaan atas” (power over), dan (ii) enclosure sebagai sebuah akibat dari proses akumulasi. Pada yang pertama ... menunjukkan berbagai macam strategi yang sungguh-sungguh dirancang dengan berbagai bentuk dan nama . Sedangkan pada makna yang dua, enclosure merupakan akibat yang tak direncanakan (unintended by-product) dari akumulasi yang (dalam bahasa ekonomi) dikenal sebagai ”negative externalities”, yang tak dikalkulasi dalam harga pasar dari barang-barang yang dihasilkan, karena biaya-biaya yang dikeluarkan oleh para penghasil barang itu itu memang berada di luar perusahaan yang memiliki barang itu (de Angelis 2004:77-78).
Bagaimana penggunaan konsep akumulasi primitif dapat dipekerjakan untuk memahami problem agraria dewasa ini?
Ijinkanlah saya menjawab pertanyaan itu dengan merujuk pada apa yang terjadi di Merauke sehubungan dengan pembentukan MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate).[4] Dari pengalaman MIFEE kita bisa melihat adanya proses kebijakan yang bertingkat dengan beragam aktor telah menyediakan banyak pintu bagi produksi dan pembentukan ruang untuk sistem produksi kapitalis yang baru, dalam hal ini produksi komoditas-komoditas kehutanan dan perkebunan.
Tidak terlalu sulit untuk menelusuri proses kebijakan yang melahirkan proyek ini. Krisis pangan yang melekat erat pada krisis energi semakin menajam pada tahun 2008 menjadi tantangan kreativitas bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah wacana “krisis” menjadi “peluang”. Harga komoditas pangan yang meroket dan permintaan energi terbarukan yang meningkat di tengah situasi tidak terlalu dirasakan dan mudah dilihat oleh banyak orang di Indonesia, baik karena ketersediaan stok, intervensi-inetrvensi pasar oleh pemerintah dengan import bers dan komoditas pertanian lain, operasi-operasi pasar, maupun injeksi uang tunai pada orang miskin. Yang sangat terlihat adalah krisis pangan dan energi global telah menjadi pembuka pintu bagi peluang investasi di kedua sektor itu. Peluang ini segera ditangapi oleh elite pemerintah dengan menghasilkan/memodifikasi kebijakan-kebijakan yang bermuara pada pemberian konsesi-konsesi perkebunan skala raksasa.
Hal ini bisa dilihat jelas dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang ditandatangani oleh presiden pada Maret 2008. Peraturan ini dengan jelas menunjuk Kabupaten Merauke sebagai Kawasan Andalan. Pada Mei 2008, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2008 tentang Fokus Program Ekonomi 2008–2009 yang menginstruksikan Kementerian Pekerjaan Umum dan Gubernur Papua untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Merauke. Pada tahun yang sama, Kementerian Pertanian mendapat rapor merah karena belum berhasil meluncurkan program MIFEE.
Sementara instrumen kebijakan tata ruang Kabupaten Merauke maupun Provinsi Papua, juga desain MIFEE belum lagi selesai, gerak cepat izin lokasi yang dikeluarkan Bupati Merauke pada 2008 telah menghasilkan pengalokasian tanah seluas 300.000 hektar kepada PT Medco yang juga dilegitimasi secara adat. Pada 2009, salah satu anak perusahaan PT Medco berhasil mendapatkan izin Hutan Tanaman Industri (HTI) berdasarkan Surat Keputusan Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Nomor 18/Menhut-II/2009 dengan total luas 169.400 hektar. Di lokasi yang berbeda dengan anak perusahaan yang lain, PT Medco juga memperoleh izin pengembangan industri kayu serpih seluas 2.800 hektar. Pada 2010, melalui anak perusahaan yang berbeda lagi, PT Medco sudah mendapatkan izin lokasi untuk HTI seluas 74.219 hektar. Kayu serpih ini diekspor ke Korea dan China, bukan untuk bahan baku kertas, melainkan sebagai bahan bakar pengganti batubara. Bisnis kayu serpih sebagai bahan bakar terbarukan menjustifikasi operasi HTI PT Medco dalam rubrik “Energy Estate”. Dua anak perusahaan PT Medco yang disebut terdahulu pada saat ini sudah beroperasi dan melakukan pembayaran untuk pelepasan tanah adat, termasuk pembayaran penggantian kayu yang mereka panen dari hutan orang Marind. Lebih jauh lagi, bisnis kayu serpih ini juga sudah berhasil menarik investasi dari Korea Selatan melalui LG International.
Gambar 1. Peta Ijin Lokasi 2008-2010 (Sumber: BKPMD Kabupaten Merauke, 2010)
Selanjutnya pada 2010, PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman dikeluarkan untuk mengatur luasan pengusahaan budidaya tanaman dengan memperbolehkan penguasaan tanah di Papua dua kali lipat dari batas maksimum untuk daerah lain di Indonesia, yaitu mencapai 20.000 hektar. Namun, pada 2009, Grup Rajawali telah lebih dulu mengantongi izin lokasi untuk perkebunan tebu di Merauke melalui dua anak perusahaannya dengan luasan mencapai 35.000 hektar. Pada saat itu, juga sudah ada sepuluhperusahaan pemegang izin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit dengan total luas 377.387,90 hektar, dengan rata-rata luas ijin yang dikeluarkan sebesar 35.000 hektar.
Bagan 1. Proses Perampasan Tanah di MIFEE (sumber: Savitri et al, akan terbit)
Selanjutnya, perkembangan luasan konsesi yang diberikan melalui penggunaan kewenangan Bupati Merauke dalam memberikan Ijin Lokasi, dari waktu ke waktu semakin bertambah secara fantastis, dari Januari 2007 hingga di Agustus 2010, untuk 48 perusahaan mencapai luas 2.319.094 hektar!!! (Data dari BKPMD kabupaten Merauke 2011).
Pada prakteknya, luasan konsesinya tidak akan sebesar ini. Saat ini sedang terus berlangsung proses “perampasan tanah” yang berlangsung melalui Jalur perundang-undangan dan jalur adat (lihat bagan 1. Bagan Proses Perampasan Tanah, sumber: Savitri et al, akan terbit).
Dari pengalaman penelitian di MIFEE[5] saya mendapatkan afirmasi atas apa yang dianalisis oleh geografer ternama, David Harvey[6], bahwa
”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumber daya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja. Namun, ekspansi re-organisasi dan rekonstruksi geografis sering adalah perusak nilai-nilai yang telah menancap dalam pada tempat-tempat itu (terikat secara sosial pada tanah), dan juga bagi nilai-nilai yang belum melembaga (Harvey 2003;116).
Alat analitik akumulasi primitif ini masih handal dan terus menerus perlu dipelajari dan dipekerjakan menghadapi masalah-masalah agraria Indonesia, dan lebih lanjut, kemudian studi-studi termaksud sanggup membuat sumbangan bagi literature akademik studi agraria Indonesia.
Kredo Agraria
Pidato saya kali ini akan saya tutup dengan mengemukakan lagi satu konsep lagi yang saya dapatkan dengan meniti beliau sebagai jembatan, yakni Kredo Agraria, agrarian creed. Sebagaimana diuraikan oleh Erich H. Jacoby dalam buku berjudul Man and Land: The Essential Revolution (1971),
Kredo Agraria bukanlah suatu doktrin tertentu, tetapi ia mencerminkan harapan-harapan dan aspirasi-aspirasi bergenerasi-generasi petani, agar suatu ketika tanah dapat dinikmati dengan bebas sebebas udara, dan tidak dimiliki siapapun, dan oleh karenanya diperuntukkan bagi semua yang menggarapnya. Bahwa para petani berjuang untuk memiliki tanah dan mendapatkan jaminan atas kepunyaannya, sama sekali tidak bertentangan dengan Kredo Agraria. Itu hanyakan suatu cara menyesuaikan diri dengan sistem-sistem ekonomi dan masyarakat yang bekerja berdasarkan sistem-sistem kepemilikan yang sudah mapan.…Meski sering dikaburkan oleh mitos-mitos dan legenda-legenda lokal, Kredo Agraria itu adalah universal. Ia tidak terikat pada suatu saat waktu atau suatu rangkai isi ajaran tertentu, sesungguhnya ia kuat sekali tertancap di hati para penggarap yang kemudian diungkapkan dengan sadar, dan mendorong kaum lemah melawan para penindasnya” (Jacoby 1971:88).[7] …
Lanjutnya:
Kredo Agraria itu, yang telah sering digunakan dan disalahgunakan dalam berbagai propaganda politik, sesungguhnya berakar kuat di hati rakyat dan menjadi ukuran mereka untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pemerintahan nasional. … Tugas yang sangat berat adalah menemukan cara yang paling singkat dan efektif untuk membuka katup energi-energi yang dibutuhkan untuk pembangunan, dan disinilah usaha tak kenal henti untuk mewujudkan Kredo Agraria sungguh begitu berharga”. (Jacoby, 1971:88, 90, 92).[8]
Sekian.
Terima kasih
Daftar Pustaka
De Angelis, Massimo. 2004. "Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures." Historical Materialism 12:57-87.
Fauzi, Noer (1999) Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria)
Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.
_____. 2006. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. London: Verso.
Ito, Takeshi, Noer Fauzi Rachman, dan Laksmi Savitri. 2011. “Naturalizing Land Disposession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate.” A paper presented at the International Conference on Global Land Grabbing. Sussex University.
Jacoby, Erich H. 1971. Man and Land, the Essential Revolution. New York, Random House.
Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth, Penguin Books
Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.
Rachman, Noer Fauzi. 2011. Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia. Dissertation at University of California, Berkeley.
_____. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air beta, bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Rachman, Noer Fauzi dan Laksmi Savitri. 2011. “Kapitalisme, Perampasan tanah Global, dan Agenda Studi Gerakan-gerakan Agraria”, Jurnal Dignitas. Vol VII no. 2/2011.
Savitri, Laksmi , Zuhdi S. Sang, Muntaza dan Yosep Renyut (Akan Terbit). Ina Anem, Makan Anem: Hidup Malind dalam Gelombang Pertanian Industrial di Tanah Merauke. Tp.Tt.
Wiradi, Gunawan. 1993. “Mengulas Kembali Teori Chayanov” makalah yang disampaikan pada acara diskusi Ikatan Sosiologi Cabang Bogor, 12/6/1993
_____. 2001. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. Noer Fauzi (Penyunting) Yogyakarta: Insist Press and Pustaka Pelajar.
_____. 2008. Metodologi Studi Agraria. Karya Terpilih Gunawan Wiradi. Moh. Shohibuddin (Penyunting). Bogor: Sajogyo Institute, bekerjasama dengan Departemen Sains, Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekonologi Manusia, IPB, dan Pusat Kajian Agraria (PKA) IPB.
Wood, Ellen Meiksins. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.
*) Noer Fauzi Rachman adalah Direktur dan peneliti Sajogyo Institute. Saat menulis ini juga dosen luar biasa di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
[1] Topik ini adalah bab dalam makalah Wiradi, Gunawan. 1986. “Kepenguasaan Tanah dalam Perspektif Transformasi Struktural”, makalah yang disajikan untuk Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) IV, LIPI, September 1986. Jakarta.
[2] Wiradi 1993 “Mengulas Kembali Teori Chayanov” adalah naskah yang pada mulanya makalah yang disampaikan pada acara diskusi Ikatan Sosiologi Cabang Bogor, 12/6/1993.
[3] Apa yang disebut sebagai akumulasi primitif (primitive accumulation) untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Karl Marx (1976/1898) dalam Capital vol 1, Bagian VIII. Dalam bab itu, analisis Marx utamanya membahas fenomena historis di Inggris selama periode awal pembentukan cara berproduksi kapitalis, sesuatu yang Marx anggap sebagai bentuk yang klasik dari akumulasi primitif.
[4] Bagian mengenai MIFEE ini berasal dari Rachman dan Savitri (2012:19-21).
[5] Penelitian tentang MIFEE ini dijalankan oleh Sajogyo Institute, bekerjasama dengan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian – Keuskupan Merauke (SKP-KAME), dan Komunitas Perfilman Intertekstual (KOPI) 2012. Publikasi awal bisa dilihat Ito et al (2009), Savitri et al (akan terbit).
[6] Apa yang dikemukakan Harvey ini merupakan ekspresi dari upayanya yang bersungguh-sungguh mengelaborasi konsep ruang (space) dalam ekonomi politik, ilmu sosial dan humaniora (Harvey 1995, 2003, 2005, 2006). Usaha ini pada mulanya dirintis oleh Henry Lefebrve, seorang filsuf Marxian dari Perancis, yang dalam karya klasiknya The Production of Space (1974/1991).
[7] “The Agrarian Creed is not a definable doctrine but reflects the hopes and aspirations of countless peasant generations for a time when land will be as free as air and will belong to nobody, and therefore to anybody who is tilling it. That the peasant has to ask for the right to own the land and to be assured of its possession is not a contradiction of the Agrarian Creed but only a compromise with economic systems and societies based on established property rights. ... Though often obscured by local myths and legends, the Agrarian Creed is universal. It is not tied to a particular moment of time or a specific content bit is so strongly entrenched in the hearts of the tillers that it has become the recognized expression and has encourage the weak to fight their oppressors. (Jacoby 1971:88)
[8] “The fundamental importance of the Agrarian Creed is reflected throughout recorded history. … The Agrarian Creed, used and abused in political propaganda, is so strongly rooted in the minds of the people that it has become their yardstick for the success or failure of the new national government… The immense task remains of finding the shortest and most effective way to release the energies needed for development and it is here that the continued pressure for a realization of the Agrarian Creed may prove a most valuable instrument.” (Jacoby, 1971:88, 90, 92)
No comments:
Post a Comment