Naskah yang asalnya didedikasikan untuk acara Simposium Alumni Institute Teknologi Bandung, Kampus Ganesha ITB 2012
Noer Fauzi Rachman*)
Sajogyo Institute
Jl. Malabar 22, Bogor 16151
Email: noer_fauzi@yahoo.com
Abstract
The problems of ecological crises, unequal distribution of land and natural resources, and agrarian conflicts in diverse localities in the Indonesian archipelago were defined by the Indonesian People’s Assembly Decree No. IX/2001 on Agrarian Reform and Natural Resource Management (TAP MPR IX) as the negative effects of the previous agrarian and natural resource management policies and practices. A legal standpoint and policy directions to address the problems was established by the TAP MPR IX . The TAP MPR IX creates the first step to solve contradictory and overlapped laws and regulations concerning agrarian reform and natural resource management by putting justice, democratic and sustainability principles as the basis for reform.
This paper provides an assessment of the status of land reform policy in relation to problems of ecological crises, the unequal distribution of land and natural resources and agrarian conflicts, and of how contradictory and overlapping laws and regulations concerning agrarian and natural resource management are being handled by Indonesian governments.
Indonesia Tanah Yang Suci Tanah Kita Yang Sakti
Disanalah Aku Berdiri Menjaga Ibu Sejati
Indonesia Tanah Berseri Tanah Yang Aku Sayangi
Marilah Kita Berjanji Indonesia Abadi
Slamatkan Rakyatnya Slamatkan Puteranya
Pulaunya Lautnya Semuanya
Majulah Negerinya Majulah Pandunya Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya Merdeka Merdeka
Tanahku Negeriku Yang kucinta
Indonesia Raya Merdeka Merdeka Hiduplah Indonesia Raya
(Wage Rudolf Soepratmen, Indoensia Raya, Stanza ke-3)[1]
I. Pendahuluan
Tiap-tiap perayaan Hari Tani 24 September, selalu diisi oleh mobilisasi petani-petani yang dilakukan kelompok-kelompok akar-rumput pedesaan, organisiasi-organisasi gerakan sosial, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, untuk mengartikulasikan protes dan tuntutan pelaksaaan land reform. Seperti pada 24 September 2012 kemaren lalu, lebih dari sepuluh ribu petani dan aktivis berdemonstrasi, termasuk di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN), Jakarta, menuntut BPN di bawah kepemimpinan Hendarman Supandji untuk tanggap terhadap masalah yang dihadapi oleh petani, khususnya yang hidup dalam konflik-konflik agraria. Lebih dari itu, para demonstran menuntut BPN menjalankan land reform sebagai jawaban atas struktur penguasaan tanah yang semakin hari semakin timpang saja, dan kerusakan lingkungan mereka yang semakin lama semakin menyulitkan hidup mereka.
Naskah ini bukan untuk membahas cara bagaimana mobilisasi itu berlangsung terus-menerus mengisi berbagai situs perjuangan dalam proses-proses kebijakan di badan-badan pemerintah. Pembuka itu hendak menunjukkan betapa pentingnya tema land reform bagi menata kembali hubungan Negara dengan warga-negara paska tumbangnya rejim otoritarian Suharto di tahun 1998, lima belas tahun lalu itu. Indonesia bukan hanya memerlukan “Reformasi” dimana pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik digantikan oleh suatu pemerintahan demokratis dan desentralistis, melainkan juga “penataulangan kewarganegaraan Indonesia” (restructuring Indonesian citizenship), sebagai bagian dari transformasi kelembagaan yang menyeluruh dari apa-apa yang diwarisi rejim Demokrasi Terpimpin dan rejim Orde Baru. Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru mewariskan cara bagaimana pemerintahan mengatur penduduk dengan menekankan kewajiban-kewajiban sosialnya dan bukan memenuhi hak-hak sipil, politik, dan ekosob warganya (Rajawali Foundation: 2010, 2011).
Naskah ini berangkat dari suatu asumsi bahwa land reform adalah satu kebijakan yang dapat mentransformasi status rakyat dari penduduk menjadi warga-negara, dimana hak-hak atas tanah untuk rakyat miskin pedesaan dipastikan secara hokum oleh badan-badan pemerintah, maka tuntutan pelaksanaan land reform akan terus-menerus menjadi hadir dalam proses pembentukan negara (state formation) sekalis berpasangan dengan pembentukan kewarganegaraan (citizenship formation). Bagian selanjutnya tulisan ini menyajikan andil penulis dalam mengurai land reform dari masa ke masa, lalu menyajikan masalah-masalah terbesar yang dihadapi rakyat dan tanah-air Indonesia dalam hubungannya dengan konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan pertambangan raksasa. Akhirnya, penulis mengusulkan “Konstitusionalisme Agraria” sebagai rujukan utama untuk perjuangan tanah-air Indonesia, “Slamatkan Rakyatnya Slamatlah Puteranya, Pulaunya Lautnya Semuanya”.
II. Land Reform Indonesia
Land reform adalah jalan terbaik bagi Negara berkembang untuk terbaik untuk mengangkat yang dapat meningkatkan status, kekuasaan, dan taraf kesejahteraan kaum miskin pedesaan secara relatif maupun absolut (Lipton 2009). Dalam buku barunya Land Reform in Developing Countries, Property Rights and Property Wrongs, Michael Lipton mendefinisikan land reform sebagai “legislasi yang diniatkan dan benar-benar diperuntukan meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa legislasi tersebut”[2] (Lipton, 2009:328). Penulis mempergunakan definisi itu dalam buku terbaru penulis, Land Reform dari Masa ke Masa, 1945-2009. Menerapkan untuk konteks Indonesia, penulis menuliskan land reform sebagai “suatu operasi untuk mengubah struktur penguasaan tanah dan kekayaan alam yang timpang melalui penggunaan kewenangan pemerintahan dalam membuat legislasi, dan kekuasaan membuat legislasi itu berjalan melalui suatu program pemerintah, secara terencana untuk mewujudkan cita-cita konstitusional mewujudkan keadilan sosial bagi majoritas kaum miskin pedesaan” (Rachman 2012:1).
Dalam buku Land Reform dari Masa ke Masa, 1945-2009, penulis menjelaskan cara bagaimana land reform itu keluar-masuk dan tampil dalam arena kebijakan nasional itu berubah-ubah dari waktu ke waktu, sejak masa kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 hingga 2009 (termasuk dalam periode setelah jatuhnya rejim otoriter Suharto tahun 1998). Untuk memahami masuk dan keluarnya land reform dalam arena kebijakan nasional Indonesia, penulis melihat apa saja kekuatan-kekuatan pembentuk kebijakan land reform dan anti-land reform, dan bagaimana dan dalam situasi apa berbagai kekuatan-kekuatan itu muncul, bekerja dan menghilang. Kekuatan-kekuatan itu berubah dari waktu-ke-waktu. Penulis menunjukkan perjalanan dari perubahan kebijakan land reform dan anti-land reform itu seiring dengan perubahan kekuatan-keuatan pembentuknya.
Babak paling mutakhir dari land reform Indonesia (2005-2012) diberi nama Reforma Agraria oleh Kepala Badan Pertanahan Indonesia, Joyo Winoto, telah berakhir seiring dengan diakhirinya posisi jabatannya oleh Presiden Republik Indonesia pada bulan Juni 2012 lalu. Apa yang disebut Reforma Agraria itu tidak cukup memperoleh dukungan yang memadai dari kementerian lembaga lainnya di pemerintahan pusat, dan terutama juga juga dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Reforma Agraria” yang dirancang oleh BPN terdahulu mensyaratkan kerjasama lintas kementerian lembaga pemerintahan pusat, setidaknya Kementrian Kehutanan dan Kementrian Pertanian. Namun, kerjasama ini tidak berjalan karena masing-masing badan pemerintahan memiliki dan terus memelihara “ego sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan pemerintah untuk hanya memenuhi kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri tanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Yang juga tidak terjadi adalah upaya Presiden SBY untuk mengkordinasikan dan mensinkronkan kepentingan yang berbeda-beda dari badan-badan pemerintah untuk menjalankan Reforma Agraria tersebut.
Agenda redistribusi tanah 8,15 juta hektar tanah-tanah negara yang berada dalam “kawasan hutan negara” yang tergolong hutan produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi – tak berjalan sama sekali. Menurut Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, didalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar, lebih dari 60 persen (Badan Pertanahan Nasional 2007:56). BPN memiliki detil data dan peta tanah seluas 8.15 juta hektar itu. Sayangnya, komunikasi dan koordinasi BPN dengan Kementerian Kehutanan mengenai agenda tersebut sama sekali tidak memadai. Kementerian Kehutanan tidak bersedia memenuhi agenda ini, dan tetap mempertahankan diri sebagai ‘tuan tanah negara’ terbesar, melalui penguasaan sekitar 70 persen wilayah Republik Indonesia dalam “Kawasan Hutan Negara”.
Kementerian Pertanian pun tidak mendukung program Reforma Agraria yang diinisiasi BPN tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya memberdayakan petani penerima tanah-tanah yang diredistribusi oleh BPN dengan segala fasilitas, asistensi, kredit, dan bentuk-bentuk “access reform” lainnya untuk membuat tanahnya produktif, efisien dan berkelanjutan, Kementerian Pertanian menjalankan skema-skema baru untuk menggenjot produksi pangan, terutama beras, dalam program food security, mengagendakan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang kemudian menjadi UU No. 41/2009, hingga memfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa untuk membuat perkebunan-perkebunan baru untuk produksi makanan dan energi, termasuk yang paling luas: Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE).
Selain dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya adalah tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agraria, suatu badan otorita khusus yang dirancang mengurus segala sesuatu berkenaan dengan upaya merencanakan hingga memberdayakan para penerima tanah objek land reform dan membuat tanah-tanah yang diredistribusikan itu produktif dan bisa dikelola secara berlanjutan. Namun, pembentukan Badan yang diancangkan berbentuk “Badan Layanan Umum” (BLU) ini, yakni suatu jenis badan usaha pemerintah yang tidak ditujukan untuk kepentingan profit, tidak berhasil memperoleh otorisasi dari Departemen Keuangan sehubungan dengan keharusan untuk menunjukkan bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana APBN, melainkan sanggup secara terus-menerus hidup dari perputaran uang yang bermula dari modal awal yang akan diberikan pemerintah. Walhasil, ide Lembaga Pengelola Reforma Agraria ini kemudian dihilangkan dari draft RPP Reforma Agraria, yang juga belum tuntas dijadi pertauran pemerintah hingga Joyo Winoto diganti oleh Hendarman Supandji.
Dengan keterbatasan ini, pada prakteknya apa yang disebut Reforma Agraria oleh Joyo Winoto adalah suatu skema legalisasi hak atas tanah melalui jalur “pemberian hak di atas tanah negara”, dimana diagendakan sekitar 1,1 juta hektar tanah Negara yang berada di bawah jurisdiksi BPN. Sumber lain untuk “redistribusi tanah” adalah “tanah-tanah terlantar”. “Tanah-tanah terlantar” adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN luasan “tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar” terdiri dari Hak Guna Usaha 1.925.326 ha, Hak Guna Bangunan 49.030 ha, Hak Pengelolaan 535.682 ha, dan tanah dengan ijin lokasi dan lainnya 4.475.172 ha (Sumber Data: Deputi Pengendalian Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, BPN 2009).
Untuk melakukan pengambilalihan keseluruhan “tanah terlantar” ini, BPN membuat PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Sebagai pasangannya BPN memprakarsai RPP tentang Reforma Agraria yang memuat ketentuan kategori asal tanah yang akan diredistrribusikan, yang disebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kriteria penerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga pemberdayaan subjek yang menerima TORA. Namun, berbeda dengan RPP tentang Tanah Terlantar yang berhasil selesai menjadi PP No. 11/2010 itu, RPP RA tidak berhasil menjadi PP. Nasib “Tanah terlantar” sebagai salah satu sumber tanah yang akan diredistribusi untuk orang miskin pedesaan menjadi tidak menentu.
III. MP3EI dan Pasar Kapitalis sebagai Paksaan
Sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, tanah-air Indonesia menghadapi tiga yang kronis, yakni: (i) kerusakan lingkungan, (ii) distribusi penguasaan tanah dan sumber daya alam yang sangat timpang, dan (iii) konflik-konflik agraria yang telah meletus dimana-mana. Tiga masalah ini semakin hari semakin meluas dan mendalam, sebagian besar karena model pembangunan ekonomi yang dipilih pemerintah. Penulis menyaksikan Presiden SBY dan elite pemerintahan Indonesia masa kini lebih tertarik pada rayuan teori menggenjot pertumbuhan ekonomi Indonesia melalui peningkatan investasi asing dan domestik dalam konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan tersebut, seperti ditunjukkannya dalam Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI ini pada hakekatnya adalah upaya mempersatuan wilayah-wilayah penghasil komoditas global ke pasar bebas melalui pembangunan infrastruktur yang sebagian besar dibiayai oleh dana publik. MP3EI akan membesarkan kedigjayaan korporasi berbasiskan sumber daya alam, dan melancarkan akumulasi modal mereka pada skala dunia. Penulis kuatir dan mengantisipasi masalah-masalah yang ditimbukan konsesi-konsesi tanah dan SDA untuk produksi komoditas global, akan semakin kronis dan komplikasinya akan semakin berdampak meluas. Inovasi, kreatifitas, dan partisipasi korporasi raksasa dalam proyek-proyek lingkungan hidup, mulai dari bentuk-bentuk Greenwashes yang sekedar memperbaiki citra saja melalui jurus-jurus periklanan dan hubungan masyarakat, hingga proyek-proyek yang disebut “tanggungjawab sosial perusahaan”, tidak banyak akan menolong menyelesaikan masalah-masalah struktural itu.
Tiga masalah ini bersifat structural dan kronis, serta berdampak meluas. Di wilayah pedesaan Indonesia, tiga masalah ini merupakan konsekuensi dari konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan yang dipegang oleh korporasi-korporasi dalam dan luar negeri. Seperti kita mahfum, kebijakan pejabat publik dalam memberikan pemberian konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas-komoditas global menjadi andalan pemerintah untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perolehan rente ekonomi bagi pemerintah pusat maupun daerah. Lebih jauh dari itu, seperti ditunjukkannya dalam Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, tiap koridor ekonomi dirancang untuk menghasilkan andalan-andalan komoditas global tertentu (lihat tabel 1 di bawah ini).
Table 1. Pembagian Kerja 6 (enam) Koridor Ekonomi Indonesia
Koridor Ekonomi | Produksi Komoditas Global yang Diandalkan |
|
|
Sumatera – Banten Utara | sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapa sawit/CPO, Karet, dan Batubara |
Jawa | pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektor pada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut |
Kalimantan | pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada migas, minyak kelapa sawit, dan batubara |
Sulawesi – Maluku Utara | pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional dengan fokus sektor pada tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel |
Bali – Nusa Tenggara | pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional dengan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian dan peternakan |
Papua – Maluku | pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera dengan fokus sektor pada pertambangan serta pertanian dan perkebunan |
Di bagian bawah ini akan dijelaskan bahwa upaya mengatasi tiga pasang masalah di atas sama sekali tidak bisa hidup damai bersamaan dengan komitmen memperbesar kuasa pasar kapitalis melalui konsesi-konsesi tanah dan SDA yang dipegang oleh korporasi-korporasi raksasa. Secara diagnosis, bida kita katakan bahwa ketiga masalah itu adalah masalah struktural, kronis, dan berdampak luas, yang tidak bisa diselesaikan secara kuratif, tapi memerlukan overhaul paradigmatik atas model pembangunan ekonomi.
Pasar-sebagai-paksaaan
Kita membutuhkan pandangan teoritik untuk memahami bagaimana pasar kapitalime meluas. Pengertian dasar yang harus terlebih dahulu dikemukakan bahwa cara bagaimana ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekali berbeda dengan ekonomi pasar sederhana, dimana terjadi tukar-menukar barang melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang. Perbedaan itu dijelaskan dengan sangat baik oleh Karl Polanyi dalam The Great Transformation (1944/1957), bab 5: “Evolusi Sistem Pasar”. Dalam kalimat yang lugas, untuk memahami bagaimana sistem ekonomi pasar kapitalis bekerja, dia membalikkan prinsip resiprositas dari ekonomi pasar sederhana. Dalam ekonomi pasar kapitalis, “bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hubungan-hubungan sosial, melainkan hubungan-hubungan sosial lah yang melekat ke dalam sistem ekonomi kapitalis itu” (Polanyi 1944/1957:57). Pasar kapitalis memiliki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negara lah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis demikian itu bisa bekerja. Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodifikasi menjadi barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengkomodifikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri.
Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi mengistilahkannya: fictitious commodity (barang dagangan yang dibayangkan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah.
Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja pengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan. Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara fisik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri” (Polanyi 1944:3).
Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis “selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (countermovement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang berbeda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu) itu tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri” (Polanyi 1944:130). Protes-protes itu adalah perlawanan balik yang sesaat atau bisa juga berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bahkan melawan proses komodifikasi yang dilancarkan oleh pasar kapitalis itu (Fauzi 1999).
Gerakan pasar dapat dibedakan sebagai penyedia kesempatan dan juga dapat menjadi kekuatan pemaksa -- sebagaimana dirumuskan ulang oleh Ellen M. Wood (1994) sebagai market-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan), dan market-as-imperative (pasar-sebagai-paksaan). Pasar sebagai kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalisme sanggup membentuk bagaimana cara sector ekonomi dikelola oleh badan-badan pemerintahan hingga ke pemikiran cara bagaimana cara ekonomi pasar itu diagung-agungkan.
Sementara itu, pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan sofistikasi teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan efisiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. Kesemuanya mengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidak kompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yang tidak lagi dapat dipakai. Dalam karya klasiknya Capitalism, Socialism and Democracy (1944) bab “Can Capitalism Survive”, Joseph A. Schumpeter menulis sebagai berikut:
Kapitalisme, dengan demikian, hakekatnya adalah suatu bentuk atau metoda perubahan ekonomi, dan bukan hanya tidak pernah statis tapi tidak pernah biasa statis. Dan karakter evolusioner dari proses kapitalis bukan hanya dikarenakan fakta bahwa kehidupan ekonomi berlangsung dalam suatu lingkungan sosial dan alam yang berubah dan perubahan ini mengubah data dari perilaku ekonomi; Hal ini memang penting dan perubahan-perubahan ini (perang, revolusi dan sebagainya) sering membentuk perubahan industrial, akan tetapi kesemua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pula terutama dikarenakan peningkatan yang rada-otomatis dalam hal ilmu dan jumlah modal, atau pada perilaku aneh dari sistem-sistem moneter, yang kesemuanya memang benar berpengaruh. Dorongan pokok yang menyusun dan menjaga mesin kapitalis bergerak adalah berasal dari barang-barang konsumsi yang baru, metoda-metoda produksi atau transportasi yang baru, pasar-pasar baru, bentuk-bentuk baru dari organisasi industrial yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan kapitalis (Schumpeter 1976:82-83).
Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancurleburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses penghancuran yang kreatif).
Sejarah penguasaan agraria di Indonesia hampir mirip dengan sejarah yang terjadi di negara-negara paskakolonial di Asia, Amerika Latin hingga Afrika. Pemberlakuan hukum agraria yang baru, termasuk di dalamnya hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negara-negara penjajah di Eropa maupun Amerika dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka definisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu.
Di Indonesia paska kolonial, kran liberalisasi sumberdaya alam tersebut sangat jelas ketika Orde Baru pimpinan Soeharto mulai berkuasa, tahun 1967. Liberalisasi pertengahan dekade 1960an ini telah merampas kedaulatan rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah kolonial melakukan cara serupa semasa penjajahan sebelumnya. Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai mengkapling-kapling untuk konsesi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan mengeluarkan penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Hubungan dan cara penduduk menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara fisik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu, akibatnya sangat nyata, yakni mereka dapat dikriminalisasi, dikenai sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang dapat saja dibenarkan secara hukum.
Pengkaplingan dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu. Tanah dan kekayaan alam itu kemudian masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik. Jadi, perubahan dari alam menjadi sumberdaya alam ini berakibat sangat pahit bagi rakyat petani yang harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan.
Proses demikian dipahami oleh Adam Smith – pemikir ekonomi terkenal yang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak kelihatan (invisible hands)” yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasar bekerja—dalam karya terkenalnya The Weath of Nations bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja” (1776, I.3:277). Belajar dari kenyataan dan keniscayaan ini, Karl Marx mengembangkan teori “the so-called primitive accumulation”,[3] yang mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas (Marx, Das Capital, 1867).[4] Ini adalah proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada tanah dan alam. Orang-orang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota juga dilahirkan oleh proses yang ini (Davis 2006).
Penyebab perubahan agraria terbesar sekarang ini adalah korporasi raksasa yang terus-menerus mengambil barang milik rakyat dengan sokongan langsung dari lembaga-lembaga negara. Dalam konteks melancarkan bekerjanya pasar kapitalisme di zaman globalisasi sekarang ini,[5] negara Indonesia secara terus-menerus dibentuk oleh perusahaan-perusahaan transnasional, badan-badan pembangunan internasional, dan negara-negara kapitalis maju agar menjadi negara neoliberal. Maka, perampasan tanah dan kekayaan alam yang dialami penduduk pedesaan di negara-negara belahan Selatan sejak dahulu, dan protes-protes agraris atas politik agraria yang melancarkan perampasan itu, perlu dipahami dengan kerangka pasar-sebagai-keharusan.
David Harvey (2003, 2005) mengemukakan istilah accumulation by dispossession (akumulasi dengan cara perampasan) yang dibedakan dengan accumulation by exploitation, yakni akumulasi modal secara meluas melalui eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang dagangan.[6] Dalam proses akumulasi dengan cara perampasan, dia menekankan pentingnya
”produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumberdaya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja” (Harvey 2003:116).
Reorganisasi dan rekonstruksi geografis untuk pembukaan ruang-ruang baru bagi sistem produksi kapitalis ini dimulai dengan menghancur-lebur hubungan kepemilikan rakyat pedesaan dengan tanah, kekayaan alam, dan wilayahnya, dan segala hal-ihwal kebudayaannya yang hidup di atasnya dan melekat secara sosial pada tempat-tempat itu.
Kasus ekspansi perkebunan kelapa sawit
MP3EI tak lain dan tak bukan adalah reorganisasi dari reorganisasi dan rekonstruksi geografis yang dimaksud di atas. Satu dari 22 sektor ekonomi andalannya adalah produksi Crude Palm Oil (CPO) yang secara nasional terus tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia. Pemantauan dari Indonesian Commercial News Letter (Juli 2011) produksi CPO meningkat menjadi 21,0 juta pada 2010 dari tahun sebelumnya 19,4 juta ton. Pada 2011 produksi diperkirakan akan naik 4,7% menjadi sekitar 22,0 juta ton. Sementara itu, total ekspor juga meningkat, pada 2010 tercatat sekitar 15,65 juta ton, kemudian diperkirakan akan melonjak menjadi 18,0 juta ton pada 2011. Dari total produksi tersebut diperkirakan hanya sekitar 25% sekitar 5,45 juta ton yang dikonsumsi oleh pasar domestik. Produksi CPO sebanyak itu ditopang oleh total luas konsesi perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,9 juta hektar pada 2011 dari 7,5 juta hektar pada 2010.
Data Dirjenbun menunjukkan bahwa luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 8,1 juta (Dirjenbun 2012). Luas perkebunan ini, menurut Sawit Watch (2012) lebih kecil dari yang sesungguhnya, yang diperkirakan telah mencapai 11,5 juta hektar. Perkebunan-perkebunan kelapa sawit sering lebih luas dari konsesi legalnya. Dari luasan ini berapa persen partisipasi petani-petani yang bertanam kelapa sawit di tanahnya sendiri. Menurut Dirjen Perkebunan (2012), Departemen Pertanian, luasan kebun sawit milik petani adalah diatas 40 % (Dirjenbun, 2012), Sementara menurut Sawit Watch (2012), jumlahnya adalah kurang dari 30 %. Dengan percepatan luasan 400.000 ha per tahun, luasan kebun sawit Indonesia digenjot pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, dan petani-petani sawit, luasan kebun Sawit di Indonesia dicanangkan mencapai 20 juta hektar pada tahun 2025. Pertanyaannya adalah dari mana asal-muasal tanahnya untuk perluasan kebun kelapa sawit itu?
Menarik sekali untuk memperhatikan data dari Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan pada Kementerian Pertanian, Herdradjat Natawidjaja (2012), yang menyampaikan data dalam satu rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal 25 Januari 2012. Ia menyebutkan bahwa sekitar 59 persen dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada sekitar 591 konflik, dengan urutan pertama banyaknya konflik ditempati Kalimantan Tengah dengan 250 kasus, disusul Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus.
Akibat lanjutan dari konflik agraria adalah meluasnya konflik itu sendiri, dari sekedar konflik klaim atas tanah, sumberdaya alam dan wilayah menjadi konflik-konflik lain yang pada gilirannya membangunkan gerakan-gerakan perlawanan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan hidup yang lebih parah.
IV. Back to Basic: Konstitusionalisme Agraria
Tiga pasangan masalah yang dibahas artikel ini, yakni kerusakan lingkungan, ketimpangan penguasaan tanah, dan konflik-konflik agraria, dan kemelut tumpang-tindih dan pertentangan antar perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam – sebagaimana dinyatakan dalam TAP MPRRI No. IX/2001 – sudah menjadi persoalan yang kronis, dan berdampak meluas. Dalam naskah ini, saya berargumen bahwa tiga masalah ini tidak bisa diatasi tanpa konstitusionalisme. Konstitusionalisme disini, secara generik, dapat dimengerti sebagai suatu cara pandang yang berdasar pada konstitusi suatu negara, yang pada pokoknya “mengatur dua hubungan yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu: Pertama, hubungan antara pemerintah dengan warga negara; dan kedua, hubungan antar lembaga pemerintahan yang satu dengan lembaga pemerintahan lainnya” (Asshiddiqie 2009:27). Disini saya hendak mendiskusikan gagasan “Konstitusionalisme Agraria” ini, yang penulis mulai dalam buku Land Reform dari Masa ke Masa (Rachman 2012, khususnya halaman 121-140).
Konstitusi Republik Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bukan sekedar perlu disosialisasikan, melainkan dipergunakan sebagai sumber hukum dan pengetahuan bagi Pemerintahan Republik Indonesia untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” (bagian Pembukaan UUD 1945). Dengan kata lain, pandangan formalistis perlu diisi oleh pandangan substansial, dimana prinsip-prinsip dalam UUD 1945 itu dihadapkan pada masalah-masalah utama tanah-air Indonesia, yakni krisis ekologis, distribusi penguasaan tanah dan sumber daya alam yang timpang, dan konflik-konflik agraria.[7]
Dari perspektif sejarah, konstitusionalisme agraria ini telah dikembangkan oleh panitia-panitia pembentuk undang-undang agraria nasional (selanjutnya disebut Panitia Agraria). Yang pertama dibentuk adalah pada tahun 1948 oleh Presiden Republik Indonesia, Sukarno, dan berakhir dengan diberlakukannya UU No. 5/1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Suatu legal-politico concept baru yang diperkenalkan UUPA adalah konsepsi Hak Menguasai dari Negara (HMN). Pada pokoknya, HMN memberi kewenangan pemerintah pusat untuk (i) mengatur, mengelola dan mengalokasikan tanah dan sumber daya alam, (ii) menentukan hubungan kepemilikan, dan (iii) menentukan mana yang legal dan ilegal dalam tindakan hukum mengenai tanah dan kekayaan alam. Kewenangan ini ditabali keharusan etis pengembannya untuk selalu bekerja demi mewujudkan tujuan “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. HMN ini dihadapkan dengan prinsip Domein Verklaring dari Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) 1870.
UUPA memandang Domein Verklaring sebagai sumber kemiskinan dan kesengasaraan rakyat agraris. Panitia-panitia Agraria ini akrab dengan gagasan “satu abad ketidakadilan” dari Cornellis van Vollenhoven (Van Vollenhoven 1931, 1975). Gagasan ini berulang kali diangkat oleh para penyusun UUPA untuk menunjukkan kritik yang tajam atas prinsip domain negara yang ditetapkan dalam undang-undang agraria kolonial tahun 1870 (Lihat Notonagoro 1972:70-107; Rachman 2012:7-20).
Selain HMN, penyusun UUPA juga memperkenalkan prinsip baru bahwa “tanah berfungsi sosial”, yang pada prakteknya menginspirasikan program landreform yang pada mulanya dirancang untuk “menghilangkan sisa-sisa kolonialisme dan sisa-sisa feodalisme”. Elite pemerintahan nasional baru yang lahir dari perjuangan revolusi nasional, percaya bahwa – menggunakan kalimat dari Eric Jacoby, seorang sarjana ternama yang mempelajari akar-akar keresahan agraris dari kemerdekaan nasional di Asia Tenggara – “ … the solution of the land problem is a pre-requisite for the full realization of the national aspirations … and that, to a large extent, is the key to economic development and a sound re-organization of society” (Jacoby 1961:253). Namun, pada prakteknya di perjalanan Indonesia sepanjang lebih setengah abad setelah revolusi kemerdekaan, rezim politik yang berbeda memberi tempat pada kebijakan land reform, dan kebijakan anti-land reform, secara berbeda-beda walau semua rejim politik nasional berada di bawah naungan Undang-undang Dasar 1945 dan UUPA 1960 yang sama. Perundang-udangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam secara strategis dibentuk, disiasati, dan dimanfaatkan oleh para penguasa politik yang berbeda-beda untuk memenuhi kepentingan dan visi ideologis yang berbeda pula.
Yang disebut rejim "Orde Baru", berkuasa semenjak penggulingan Sukarno tahun 1966, telah secara luas menetapkan dan menggunakan kewenangan pemerintah untuk memberikan konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan; dan untuk pengadaan tanah bagi proyek-proyek pembangunan kawasan industri, infrastruktur, dan lainnya. Pemerintah membentuk Departemen Kehutanan pada tahun 1978, dan melalui kebijakan yang sentralistik, Menteri Kehutanan menunjuk lebih dari 120 juta hektar “kawasan hutan”, 62 persen dari wilayah daratan Republik Indonesia. Selanjutnya, terbentuklah sistem ganda penguasaan dan pengelolaan pertanahan, yakni, pertama, apa yang disebut “kawasan hutan negara” berada dibawah yurisdiksi Departemen Kehutanan berdasarkan Undang-undang Kehutanan no 5/1967 yang kemudian direvisi menjadi UU no 41/1999; dan kedua, yang disebut tanah-tanah non-hutan yang berada dibawah jurisdiksi UUPA 1960 dikelola oleh Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri, yang selanjutnya pada tahun 1988 berubah menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Di wilayah tanah-tanah non-hutan, pemerintahan Orde Baru menerapkan kebijakan “tanah untuk pembangunan” dengan mengandalkan yang secara populer disebut “pembebasan tanah”. Pada mulanya, BPN dibentuk untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam melayani kepentingan pengadaan tanah untuk proyek-proyek pembangunan itu. Protes rakyat secara sporadis meletup di sana-sini. Sejak 1980-an para aktivis bantuan hukum dan hak asasi manusia mulai membela korban-korban perampasan tanah, mengritik kebijakan agraria pemberian konsesi perkebunan/kehutanan/pertambangan. DI tahu 1995, organisasi-organisasi gerakan social dan sejumlah critical scholars yang bergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyuarakan keharusan pemerintah menjalankan land reform, sementara itu organisasi-organisasi gerakan lingkungan mempromosikan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.
Semenjak jatuhnya rejim otoritarian Suharto di tahun 1998, dan mulainya jaman Reformasi, maraklah okupasi-okupasi tanah – yang juga terkenal dengan istilah aksi-aksi reclaiming – hingga pembentukan organisasi-organisasi gerakan agraria yang bersifat lokal hingga nasional; aksi-aksi protes lokal hingga kampanye nasional; diskusi-diskusi kecil hingga konferensi nasional; tulisan-tulisan di koran hingga buku-buku serius; dan sebagainya. Pada suatu ketika kesemuanya berhasil beresonansi mendorong lahirnya komitmen baru Negara Kesatuan Republik Indonesia, berbentuk TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP ini telah memberikan mandat dan arahan kebijakan pada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, termasuk untuk mengkaji-ulang perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lainnya, dan menjalankan kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan sebagaimana diuraikan pada pasal 6 ketetapan MPR RI tersebut.
Setelah lebih dari satu dekade, TAP MPR RI No. IX/2001 belum mendapatkan perhatian dan komitmen politik tingkat tinggi dari Presiden maupun DPR RI untuk mewujudkannya. Alih-alih mandat TAP MPR itu dijalankan, kenyataannya, yang terjadi adalah semakin meluasnya kerusakan lingkungan, semakin menajamnya ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam, dan meletupnya konflik agraria dimana-mana. Disadari oleh sebagian besar promotor Ketetapan MPR RI ini bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) pada prakteknya diatur dan dijalankan tidak secara terkordinasi, melainkan secara sektoral yang diatur oleh perundangan-undangan, kebijakan, kelembagaan, dan wilayah jurisdiksi masing-masing pengurusan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.
Berbagai perundang-undangan menampilkan tafsir atas HMN yang berbeda, yang juga pada gilirannya menghasilkan rumusan dan ruang lingkup kewenangan pemerintah yang berbeda-beda pula. Ditunjukkan oleh karya Yance Arizona (2012) pula bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah bekerja dan menunjukkan salah kaprahnya sejumlah pasal penting dalam perundang-undangan sektoral, misalnya putusan Hakim MK perihal sebagian pasal pada Undang-undang No. 25/2005 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Saat naskah ini ditulis, sedang diperkarakan di Mahkamah Konstitusi berbagai pasal dalam Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Tiga masalah utama di atas, yakni krisis ekologis, distribusi penguasaan tanah dan sumber daya alam yang timpang, dan konflik-konflik agraria, terus menerus diproduksi dan diperparah dengan terus berlanjutnya kebijakan negara dalam pemberian konsesi–konsesi pada perusahaan-perusahaan raksasa di bidang pertanahan, kehutanan, perkebunan, pertambakan, pertambangan, kelautan, dan lainnya. Pemberian konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas-komoditas global semakin menjadi andalan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perolehan rente pemerintahan pusat maupun daerah. Konflik-konflik agraria meletup-letup dimana-mana akibat keputusan pejabat publik yang memasukkan tanah, sumberdaya alam, dan wilayah kelola rakyat setempat ke dalam konsesi-konsensi tersebut. Akibat lanjutannya bukan sekedar hilangnya akses masyarakat desa atas tanah, sumberdaya alam, maupun wilayah kelola, tapi juga termasuk ketegangan dan pertentangan kelas, etnis, dan antara golongan pendatang dan pribumi. Kombinasi kesemua ini bahkan sampai menimbulkan hilangnya kepercayaan pada pemerintah, yang pada gilirannya dapat membelokan rute perjalanan kewarganegaraan rakyat banyak dari kesadaran primordial berbasiskan tempat teritorial dan genealogis menjadi warga negara-bangsa Republik Indonesia.
Insiden-insiden dari kerusakan lingkungan, konsentrasi penguasaan tanah, dan konflik-konflik agraria, telah coba diurus oleh berbagai badan negara, seperti Komnas HAM, badan-badan di parlemen pusat dan daerah, disamping secara langsung oleh badan-badan eksekutif pemerintahan, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), badan-badan di Kementerian Kehutanan, dan juga pemerintahan daerah. Namun besar dan luasnya sebaran, dan frekuensi dan intensitas dari insiden-insiden tersebut secara menyeluruh telah melebihi portofolio, kapasitas, dan kewenangan kelembagaan mereka masing-masing.
V. Penutup
Baru-baru ini diperkenalkan gagasan “Ekonomi Hijau” oleh UNEP (United Nations Envinronmental Program).[8]“Ekonomi hijau” menjadi jargon baru yang beredar di kalangan elite pembuat kebijakan, baik kalangan pemerintah, badan-badan pembangunan internasional, ahli-ahli strategi pembangunan, hingga para jurnalis media massa nasional. Yang disebut “ekonomi hijau” pada mulanya diperkenalkan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), United Nations Environment Program (UNEP). Dalam bahasa yang sederhana dan praktis, menurut UNEP, suatu ekonomi hijau dapat dimengerti sebagai segala upaya untuk meningkatkan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja melalui investasi pemerintah dan swasta, yang “dengan sungguh-sungguh berusaha mengurangi emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi energi dan sumber daya, dan mencegah hilangnya keanekaragaman hayati dan layanan-layanan ekosistem yang tersedia”.[9]
Komitmen internasional untuk menjalankan “Ekonomi Hijau” ditegaskan oleh para pemimpin Negara-negara di dunia dalam dokumen baru The Future We Want (2012) yang dihasilkan oleh konferensi internasional pembangunan berkelanjutan Rio+20, di Rio de Janeiro, Brazil. Menjelang, sepanjang, dan setelah forum ini, Presiden Indonesia tampil dengan pidato-pidato yang diusahakan memukau. Ia menunjukkan prestasi Indonesia dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan sekaligus memeratakan jangkauan pembangunan, sustainable growth with equity. Di sana-sini, Presiden SBY mengumumkan angka-angka spektakuler, termasuk dalam hal penanaman pohon (3,2 milyar pohon ditanam selama 2 tahun terakhir, termasuk yang dilakukan oleh perkebunan kayu tanaman industri) dan penurunan angka deforestasi (dari 3,5 juta ha deforestasi di tahun 2000, hingga 0,5 juta ha/tahun setelah diberlakukannya moratorium konsesi baru untuk hutan primer dan lahan gambut, Mei 2011).
Adalah di luar dari pokok makalah ini untuk membahas apakah dengan gagasan “Ekonomi Hijau” itu, Pemerintah Indonesia bisa menyelesaikan tiga pasang masalah kerusakan lingkungan, mendalam, yakni kerusakan lingkungan, distribusi penguasaan tanah dan sumber daya alam yang timpang, dan konflik-konflik agraria yang meledak dimana-mana? Tema “Ekonomi hijau” ini diangkat di bagian penutup ini untuk sekedar menunjukkan bahwa masalah Indonesia adalah juga masalah berdiri di tengah ikatan-ikatan internasional, termasuk international environmental regimes, yang ikut membentuk cara bagaimana elite Pemerintah Indonesia mengurus tanah-air Indonesia.
Quo vadis para pejuang tanah-air Indonesia?
Bandung, 15 Januari 2013
Daftar Pustaka
Arizona, Yance. 2012. Konsepsi Konstitusional Penguasaan Negara atas Agraria dan Pelaksanaannya. Tesis master tidak diterbitkan. Program Magister Hukum Kenegaraan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
Asshiddiqie, Jimly. 2009. Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta: BIP-Gramedia.
Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.
Harvey, David 1990. The Condition of Postmodernity: An Inqiury into the Origins of Cultural Change. Oxford, Oxford University Press.
_____. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.
Jacoby, Erich. 1949. Agrarian Unrest in Southeast Asia. New York, Columbia University Press.
_____ 1961. Agrarian Unrest in Southeast Asia, 2nd ed. London: Asia Publishing House.
Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.
Notonagoro. 1972. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Jakarta, Pantjuran Tudjuh.
Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
_____. 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
Peluso, Nancy Lee, Suraya Afiff, and Noer Fauzi Rachman. 2008. “Claiming the Grounds for Reform: Agrarian and Environmental Movements in Indonesia.” Journal of Agrarian Change 8:2-3:377-408.
Rachman, Noer Fauzi. 2011. The Resurgence of Land Reform Policy and Agrarian Movements in Indonesia. Disertasi tidak diterbitkan. Berkeley: University of California, Berkeley.
_____. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta, Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Rajawali Foundation. 2010. Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
_____. 2011. From Reformasi to Institutional Transformation: A strategic Assessment of Indonesia’s Prospects for Growth, Equity and Democratic Governance. Harvard Kennedy School Indonesia Program, Harvard, USA.
Rosser, Andrew, Kurnya Roesad, dan Donni Edwin. 2005. “Indonesia: The Politics of Inclusion”. Journal of Contemporary Asia, 35(1), pp. 53–77.
Vollenhoven, C. van. 1932. De Indonesiër en zijn Grond. Leiden, Boekandel en Drukkerij v/h E.J.Brill.
_____. 1975. Orang Indonesia dan Tanahnya.Translated by: R. Soewargono. Jakarta: Pusat Pendidikan Departemen Dalam negeri, 1975.
Wiradi, Gunawan. 2004. “Panduan Ringkas: Lagu kebangsaan dan Nasionalisme”, Naskah Tidak diterbitkan. Tersedia di http://pustaka-agraria.org/media/download_gallery/GWR-2003-%20Renungan%20Ringkas%20Lagu%20Indonesia%20raya.pdf (unduh terakhir 15/11/2012)
Wood, Ellen Meiksins. 1994. “From Opportunity to Imperative: The History of the Market”. Monthly Review 46(3).
____. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.
*) Noer Fauzi Rachman mendapat PhD dalam bidang Environmental Science, Policy and Management (ESPM), University of California, Berkeley. Saat ini adalah Direktur Sajogyo Institute, anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, Advisor untuk Reforma Agraria di Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan, Jakarta; dan pengajar mata kuliah “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).
[1] Inspirasi ini berasal dari Wiradi (2004), yang membahas arti dan pentingnya teks lagu Indoensia Raya, stanza 1, 2 dan 3.
[2] Kalimat aslinya adalah sebagai berikut: legislation intended and likely to directly redistribute ownership of, claims on, or rights to farmland, and thus to benefit the poor by raising the absolute and relative status, power, and income, compared with likely situations without legislation (Lipton, 2009:329).
[3] Michael Perelman memecahkan misteri penggunaan kata ”primitive” dalam ”primitive accumulation”. Seperti yang secara tegas tercantum dalam tulisan Marx, kata primitif dari istilahnya Adam Smith previous accumulation. Dalam karyanya, Perelman menunjukkan kalimat lengkap dimana Marx mengambil dari Adam Smith, yakni ”the accumulation of stock must, in the nature of things, be previous to the division of labour”. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata ’previous’ dari karya Adam Smith menjadi ”ursprunglich”, dimana penerjemah bahasa Inggris Marx kemudian menerjemahkannya menjadi ”primitive” (Perelman 2000:25).
[4] Uraian menarik mengenai konsep “original accumulation” dari Adam Smith dan “primitive accumulation” dari Karl Marx, dan relevansinya untuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalam Perelman (2000) dan De Angelis (2007).
[5] Mengikuti David Harvey (1990), penulis membedakan globalisasi sebagai proses saling berhubungannya berbagai bagian dunia yang utamanya ditandai oleh “semakin mengkerutnya ruang dan waktu” (time-space compressions) akibat perkembangan kekuatan produktif (modal, teknologi, komunikasi, dll); dan neoliberalisme sebagai suatu proyek ideologi dan politik yang menomor satukan prinsip-prinsip kebebasan, kepemilikan pribadi yang mutlak, pasar bebas, dan akumulasi modal skala dunia.
[6] Accumulation by dispossession merupakan reformulasi Harvey atas ”akumulasi primitif” setelah ia mengolah teori underconsumption dari Rosa Luxemberg dalam karyanya The Accumulation of Capital (1968). Menurutnya, banyak teori-teori Marxist mengenai akumulasi ”mengabaikan proses akumulasi yang terbentuk melalui berbagai macam tindakan perampasan, penipuan, dan kekerasan yang diperlakukan atas berbagai hal di ”keadaan awal” yang dianggap tidak lagi relevan atau – di sini ia kemudian merujuk pada Rosa Luxemberg – yang diperlakukan terhadap yang berada ”di luar dari” kapitalisme yang berlaku bagaikan suatu sistem tertutup. Selanjutnya, ”mengevaluasi kembali peran yang menetap dan terus berkelanjutan dari praktek-praktek buas dari ”akumulasi primitif” atau ”akumulasi awal-mula” dalam sebuah geografi sejarah akumulasi modal, sungguh merupakan tugas yang mendesak sebagaimana akhir-akhir ini disampaikan oleh para komentator”. Harvey merujuk pada Parelman (2000), de Angelis (2000) dan perdebatan besar-besaran dalam The Commoner. Harvey memutuskan untuk meluaskan dan menamakannya accumulation by disposession (akumulasi dengan cara perampasan kepemilikan), karena ia merasa ”adalah janggal untuk menyebut suatu proses yang berkelanjutan dari ”akumulasi primitif” atau ”akumulasi awal-mula”” (Harvey 2003:144).
[7] Masalah utama tanah-air Indonesia ini dirumuskan oleh bagian menimbang butir c TAP MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai berikut:
“pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.”
Lebih lanjut dinyatakan pada butir D bagian Menimbang bahwa:
“peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan.”
[8] Lihat http://www.unep.org/greeneconomy/ (unduh terakhir 18 Novermber 2012)
[9] Lebih lanjut lihat situs UNEP (United Nation Environmental Program) http://www.unep.org/greeneconomy/ (unduh terakhir 18 novermber 2012)
No comments:
Post a Comment