Land Reform dari Masa ke Masa


Noer Fauzi Rachman (2012) Land Reform dari Masa ke Masa.  Bogor: Tanah Air Beta bekerjasama dengan  Konsorsium Pembaruan Agraria. 
https://pppm.stpn.ac.id/sdm_downloads/land-reform-dari-masa-ke-masa


Bab I Pedahuluan

Buku kecil ini berangkat dari pengamatan Michael Lipton bahwa debat tentang land reform di negara-negara berkembang tetaplah merupakan isu yang hidup, dan sering kali merupakan isu yang panas membara dalam kurun waktu dua puluhan tahun setelah perang dingin berlalu di tahun 1990-an; “Debat tentang land reform sekarang itu sungguh hidup dan baik. Demikian pula land reform itu sendiri. Dan memang seharusnya demikian” (Lipton 2009: 322).[1] Dalam karya masterpiece terbaru itu, Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong, Lipton menteorisasi dan membuat taksonomi praktik land reform di seluruh negara yang sedang berkembang. Ia mendefinisikan  land reform sebagai “perundang-undangan (legislasi) yang diniatkan dan benar-benar diperuntukkan meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat  pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa perundang-undangan tersebut”[2]  (Lipton, 2009:328). 

Pengalaman berbagai Negara menunjukkan bahwa suatu program land reform bukan sekedar memerlukan political will yang diwujudkan oleh badan-badan pemerintah. Agar mampu mencapai tujuannya, program land reform sangat memerlukan kekuatan pemerintah yang sanggup memaksa (government compulsion) (Thai 1974:15). Penulis berpendapat bahwa land reform bukan hanya kebijakan pemberdayaan (empowerment) bagi para petani pekerja pedesaan, melainkan juga adalah kebijakan penidakberdayaan (disempowerement) para penguasa, pemilik, pengguna, dan pemanfaaat tanah, kekayaan alam dan wilayah, yang nyata jelas melanggar perundang-undangan (legislasi) land reform. Jadi pemerintah dipersyaratkan menggunakan kekuatan paksaan yang sah dari birokrasi pemerintahan dan hukum untuk menegakkan perundang-undangan land reform itu.

Dengan mendasarkan diri pada pengertian demikian itu, penulis memahami land reform sebagai suatu operasipemerintah yang dijalankan untuk mengubah struktur penguasaan tanah dan kekayaan alam yang timpang untuk mewujudkan cita-cita konstitusional mewujudkan keadilan sosial bagi mayoritas kaum miskin pedesaan. Pada sisi lain, land reform adalah  bagian dari pengakuan negara atas kedudukan kaum miskin pedesaan tersebut sebagai warga negara, dan sekaligus merupakan pemenuhan kewajiban negara melalui badan-badan pemerintah untuk memenuhi hak-hak warga negaranya.

Land reform di Indonesia telah berulang kali keluar-masuk dan tampil ke dalam arena kebijakan pertanahan nasional. Naskah ini memusatkan perhatian pada penjelasan bagaimana cara land reform keluar-masuk arena kebijakan nasional itu sungguh berubah-ubah dari waktu ke waktu, termasuk dalam periode setelah jatuhnya rezim otoriter Suharto pada tahun 1998. Meski kerangka umumnya adalah proses kebijakan pada skala nasional, namun penulis menggunakan ilustrasi bagaimana kebijakan itu bekerja di pulau Jawa.

Buku kecil ini sekedar menggambarkan rute perjalanan kebijakan land reform Indonesia pasca kolonial (1945-2009), yang tentunya melintasi berbagai konjungtur politik yang berbeda-beda. Untuk memahami masuk dan keluarnya land reform dalam arena kebijakan nasional Indonesia, penulis akan menunjukkan berbagai kekuatan sosial yang berhubungan dengan kebijakan land reform atau anti land reform. Akan dianalisis bagaimana kekuatan-kekuatan tersebut muncul atau tenggelam. Kekuatan-kekuatan itu, dan juga kondisi-kondisi yang memungkinkannya bekerja, tentu bukanlah sesuatu yang statis, melainkan bergerak dalam ruang politik tertentu, dan berubah dari waktu ke waktu.[3]

Buku kecil ini secara berurutan akan dimulai dengan babak dekolonisasi yang dimulai dengan proklamasikemerdekaan Republik Indonesia 1945 hingga disahkannya UUPA 1960. Pada mulanya program redistribusi tanah yang dimandatkan UUPA diinspirasikan oleh visi Presiden Sukarno untuk merombak struktur agraria feodal dankolonial secara radikal, dan menciptakan jalan menuju apa yang disebut oleh dokumen Manifesto Politik 1960 sebagai“masyarakat sosialis Indonesia.” Program redistribusi terutama ditargetkan pada tanah-tanah pertanian yangmelebihi batas maksimum, tanah guntai (absentee land), tanah swapraja, dan tanah negara lainnya.

Bab selanjutnya akan menguraikan kebijakan anti land reform setelah kudeta atas Sukarno berhasilditunaikan.[4] Setelah kejatuhan Sukarno yang dramatis di tahun 1966, Jenderal Suharto yang baru naik sebagai Presiden, dengan bantuan para teknokrat didikan Barat yang terkenal dengan sebutan “Mafia Berkeley,” melucuti visisosialis Sukarno, termasuk agenda land reform. Sejak awal kekuasaan Suharto, para teknokrat itu berperan besarmengintegrasikan (kembali) ekonomi Indonesia ke dalam sistem kapitalis dunia (Simpson 2008, 2009), termasukdengan menjadikan Indonesia sebagai negara penghutang, kelompok sasaran dari badan-badan keuangan danpembangunan dunia, termasuk International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan negara-negara Barat pemberi hutang internasional. Pemerintah kemudian meluaskan konsesi-konsesi pertambangan, penguasaan negara atas tanah-tanah kehutanan, merevitalisasi perkebunan, dan kemudian mengembangkan proyek-proyek kawasan  industri dan permukiman real estate. Dengan dana hutang dan asistensi teknis internasional, Pemerintah pusat melancarkan program “revolusi hijau”, yang bertujuan untuk memacu produksi beras.

Bab selanjutnya adalah kebijakan “tanah untuk pembangunan”, yang berintikan pembebasan tanah yang disponsori pemerintah untuk melayani proyek- proyek milik pemerintah maupun swasta di sektor pertanian, agro-industri, industri, dan perumahan. Pemerintah pusat memanipulasi pengertian “fungsi sosial atas tanah” sebagai legitimasi mendukung kebijakan “tanah untuk pembangunan” ini. Setelah itu, di tengah tahun 1990-an Badan Pertanahan Nasional (BPN) menginisiasi program “mempercepat pembentukan pasar tanah” yang pertama kali diperkenalkan oleh Bank Dunia melalui “proyek administrasi pertanahan”. Selanjutnya, setelah rezim otoritarian Suharto jatuh di tahun 1998, kita menyaksikan bagaimana kebijakan land reform masuk (kembali)  ke dalam proses kebijakan nasional melalui andil dari kelompok-kelompok gerakan sosial, aktivis- aktivis LSM, akademisi yang kritis, dan pejabat pemerintah yang berniat reformis. Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengeolaan Sumber Daya Alam tak pelak lagi merupakan tonggak hasil dari kerja-kerja berbagai golongan ini.

Diangkutnya gagasan land reform ke dalam proses-proses kebijakan kelembagaan pemerintah secara sektoral bergantung pada bagaimana para promotornya memanfaatkan posisinya dalam konfigurasi kesempatan politik yang berubah.  Hal ini menjadi sangat jelas dalam 

cara bagaimana Joyo Winoto, Kepala BPN yang diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2005, memimpin BPN dan mencanangkan apa yang disebutnya sebagai “Reforma Agraria”, termasuk dengan meletakkannya sebagai “mandat politik, konstitusi dan hukum untuk mencapai cita-cita keadilan sosial” (Winoto, 2007b). Proses kebijakan “Reforma Agraria” itu berakhir di tengah tahun 2012 dimulai dengan penggantian Kepala BPN ke Hendarman Supanji.  

Buku ini ditutup dengan suatu bab Penutup meringkas dan merefleksikan bagaimana rute perjalanan land reform dalam panggung politik dan kebijakan nasional di Indonesia semenjak proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. 

 


[1] Kalimat aslinya adalah sebagai berikut:  In many developing countries, land reform  is a live, often burning, issue twenty yearsafter the end of the cold war. The debate about land reform is alive and well. So iland reform itself. And they should be  (Lipton,2009:322).

 

[2] Kalimat aslinya adalah sebagai berikut:  legislation intended and likely to directly redistribute ownership of, claims on, or rightsto farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and income, compared with likely situations without the legislation” (Lipton, 2009:328).

 

[3] Penulis menggunakan pendekatan konjungtural yang dipelopori oleh Antonio Gramsci, melalui panduan dari Stuart Hall (1996). Konsep konjungtur, merujuk pada uraian Stuart Hall, adalah “ranah yang kompleks, spesifik secara historis, atas sebuah krisis yang mempengaruhi —dengan cara-cara yang berbeda-beda— sebuah formasi sosio-nasional yang unik secara keseluruhan” (1988: 127). Jadi, istilah konjungtur (conjuncture) adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada konfigurasi dan interaksi yang dinamis antar-kekuatan pada masa kini,  dalam mana ragam taktik politik dilancarkan oleh masing-masing kekuatan yang bertarung. Sebagaimana dikemukakan oleh Grossberg, perlu digaris-bawahi arti penting dari analisa kapan, bagaimana dan dalam situasi bagaimana konjungtur tersebut bergerak atau mandeg dari satu babak ke babak berikutnya, dan mencapai “keseimbangan antara yanglama dengan yang baru” (2006:5).

[4] Peralihan kekuasaan dari Presiden Sukarno kepada Suharyo diiringi oleh gelombang kekerasan di seluruh penjuru negeri. Ratusan ribu orang telah dibantai, dan puluhanribu lainnya disiksa dalam penjara tanpa putusan pengadilan, di Sumatera, Jawa, Bali danNusatenggara. Jenderal Suharto kemudian merebut posisi Presiden untuk berkuasa selama 32 tahun sejak tahun 1967. Hal itu membentuk trauma yang mendalam dan melekat di ingatan penduduk di pedesaan Jawa selama puluhan tahun, dan berhasil mencegah munculnya aspirasi dan protes agraris (Cribb 1990, 2001, 2002).

 

No comments:

Post a Comment