Noer Fauzi Rachman (2022) "Land Reform Sebagai Variabel Sosial, Suatu Pengantar", adalah naskah yang membahas draft hasil penelitian Kerjasama LIPI dan kantor Wakil Presiden republik Indonesia 2011-2012, yang kemudian diterbitkan menjadi buku Lilis Mulyani, Iwan Nurdin, Sentiela Ocktaviana, dań Tine Suartina (2014) Memahami Konflik Agraria dań Penanganannya di Indonesia. Jakarta: PT. Gading Inti Prima. 150 + x halaman. Keseluruhan file buku tersebut dapat diunduh secara bebas melalui https://drive.google.com/file/d/19yRFtSf8AWB4eQtydpNAts4C0imCqMUA/view
Noer Fauzi Rachman*)
Debat tentang land reform di Negara berkembang tetaplah merupakan isu yang hidup dan sering kali merupakan “isu yang panas membara dalam kurun waktu dua puluan tahun setelah perang dingin berlalu di tahun 1990-an. Debat tentang land reform sekarang ini sungguh hidup dan baik. Demikian pula land reform itu sendiri. Dan memang seharusnya demikian”, demikan dikemukakan oleh Michael Lipton, satu dari lima puluh pemikir pembangunan terkemuka di dunia (Lipton 2009: 322).[1] Dalam buku masterpiecenya Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong, Lipton mendefinisikan land reform sebagai “legislasi yang diniatkan dan benar-benar diperuntukan meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa legislasi tersebut”[2] (Lipton, 2009:328).
Di Indonesia sekarang ini, tak ada keraguan bahwa diagendakannya (kembali) reforma agraria (land reform/agrarian reform/pembaruan agraria) ke dalam proses kebijakan pemerintah nasional semenjak tahun 2005 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di bawah kepemimpinan Joyo Winoto PhD, perlu dipelajari keberhasilannya sebagai upaya memenuhi “mandat konstitusi, politik dan hukum” untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial (Winoto 2007).
Seperti dikemuakkan oleh Lipton di atas, membicarakan land reform tidak mungkin tanpa membicarakan kewenangan khusus dari pemerintahan, termasuk membuat legislasi. Land reform tanpa partisipasi negara sungguh mustahil. Dalam rumusan Solon Baraclough (2001), land reform tanpa partisipasi negara sama dengan contradiction in term. Dalam rumusan penulis, land reform merupakan “suatu operasi untuk mengubah struktur penguasaan tanah dan kekayaan alam yang timpang melalui penggunaan kewenangan pemerintahan dalam membuat legislasi, dan kekuasaan membuat legislasi itu berjalan melalui suatu program pemerintah, secara terencana untuk mewujudkan cita-cita konstitusional mewujudkan keadilan sosial bagi majoritas kaum miskin pedesaan” (Rachman 2012:1). Jadi, land reform bagaimana pun merupakan suatu operasi (Christodolou, 1990) yang di dalamnya membutuhkan kekuasaan negara yang sah untuk melakukan tindakan membatasi hak-hak istemewa para penguasa tanah luas, yang tanahnya hendak ditata penguasaan dan pemanfaatannya.
Karenanya, seperti dikemukakan oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, “Pelaksanaan reforma agraria, .. (sebaiknya) dilakukan secara sentral, integral dan serental (sic!). Unsur keserentakan ini sebenarnya mengandung unsur yang positif, karena pelaksanaan reforma agraria untuk golongan penguasa tanah dimanapun juga tidak menyenangkan dan merupakan pengorbanan. Oleh karena itu, reforma agraria sebaiknya dilakukan serentak dan dalam periode yang sesingkat mungkin. Semakin baik aparat perencana, pelaksana dan pengawas (termasuk pengadilan) “bersih”, semakin besar wibawa penguasa, dan kemungkinan akan dituruti oleh masyarakat luas.” (Tjondonegoro, 1982).
Pelaksanaan dan hasil-hasil land reform di banyak negara tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Tentu banyak faktor yang menyebabkannya. Dari penelitian komparatif mengenai pelaksanaan land reform di berbagai negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, Sein Lin (1974), mendaftar syarat-syarat pelaksanaan landreform yang berhasil, yakni, basis konstitusional yang mantap, perundang-undangan landreform yang tegas, organisasi pelaksana landreform yang mantap, proses administrasi pertanahan yang dapat dipercaya, perangkat mesin peradilan yang kuat, perencanaan, riset dan evaluasi yang jitu, pendidikan dan pelatihan yang tepat sasaran, biaya pelaksanaan landreform yang cukup, pemerintahan lokal yang aktif, dan organisasi petani yang pro-aktif. Meski penelitian Lin ini dilakukan pada saat tahun 1970-an, saat kebijakan land reform diletakkan dalam satu nafas dengan pembangunan pedesaan[3], namun identifikasinya mengenai syarat-syarat pelaksanaan landreform yang berhasil, tetap berguna. Semakin lengkap dan bermutunya syarat-syarat pelaksanaan land reform itu, maka tujuan land reformnya semakin mudah dicapai. Menurut saya, penelitian Lilis Mulyani dkk ini sejalan dengan pendekatan yang diajukan Sein Lin (1974) di atas, dan berhasil menjadi cermin mengenai kelengkapan dan mutu dari syarat-syarat pelaksanaan dari apa yang disebut sebagai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) itu. Penelitian ini berhasil dengan baik menunjukkan konsekuensi dari ketidaklengkapan maupun mutu dari syarat-syarat itu, melalui suatu penelitian evaluasi atas pelaksanaan PPAN itu, baik pada tingkat rancangan hingga implementasi lapangan.
Karya ini dapat memberi inspirasi bagi pembaca yang hendak melengkapi dan meningkatkan mutu dari syarat-syarat pelaksanaan land reform yang berhasil itu. Lebih jauh dari itu, membaca dengan seksama keseluruhan naskah buku ini, memberi kesimpulan bahwa upaya memenuhi syarat cukup pelaksanaan land reform yang berhasil itu, atau membiarkan syarat-syarat cukup itu tak terpenuhi atau mediocre, tak lain dan tak bukan, bergantung pada komitmen politik tingkat tinggi dari pemerintahan nasional. Dengan demikian, land reform perlu dipandang sebagai variable sosial, yang bukan hanya keberhasilannya akan meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif kaum miskin pedesaan, melainkan keberhasilan pelaksanaannya ditentukan oleh komitmen politik dari Presiden dan para pejabat tinggi lainnya.
Selamat membaca.
Bandung, 23 Juni 2012
Daftar Pustaka
Baraclough, Solon (2001) “Land Reform in Developing Countries, The Role of The State and Other Actors”. In Krisna Ghimire (Ed). Land Reform & Peasant Livelihoods. The Social Dynamics of Rural. Poverty & Agrarian Reform in Developing Countries. Roma: United Nation Research Institute on Social Development (UNRISD).
Cristodolou, Dementrios (1990) The Unpromised Land, Agrarian Conflict and Reform, London and New Jersey, Zed Books.
Food and Agriculture Organisation - United Nation (1981) Piagam Kaum Tani: Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip dan Program Aksi, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa, Konferensi Dunia mengenai Pembaharuan Agraria dan Pembangunan Pedesaan. Roma, FAO.
Lipton, Michael (2009) Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong. London, Routledge.
Rachman, Noer Fauzi (2012) Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta.
Tjondonegoro, Sediono M.P. (1982) “Peranan Beberapa Lembaga Dalam Hubungan Reforma Agraria”, dalam Land Reform di Indonesia, Jakarta, Departemen Dalam Negeri - Direktorat Agraria.
Simon, David, Ed. (2006) Fifty Key Thinkers on Development. London, Routledge.
Sein Lin (1974) Land Reform Impelementation: A Comparative Perspective, Hartford, Connecticut, John C. Lincoln Institute.
Winoto, Joyo (2007). Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat. Jakarta, Badan Pertanahan Nasional RI.
*) Noer Fauzi Rachman memperoleh gelar PhD dari University of California, Berkeley, USA, pada tahun 2011 dalam bidang Environmental Science, Policy and Management (ESPM). Saat ini adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; dan mengajar “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
[1] David Simon (2006), penulis buku Fifty Key Thinkers on Development (2006) memasukkan Michael Lipton dalam daftar limapuluh Pemikir Pembangunan terkemuka di dunia.
[2] Kalimat aslinya adalah sebagai berikut: legislation intended and likely to directly redistribute ownership of, claims on, or rights to farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and income, compared with likely situations without the legislation” (Lipton, 2009:328).
[3] ingat World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARD) di Roma tahun 1979 (FAO 1991), yang menghasilan apa yang dijuduli Peasant Charter atau Piagam Petani (FAO 1981). Tiga puluh tahun kemudian, Food and Agriculture Organization (FAO) beekrjasama dengan pemerintah Brazil, menyelenggarakan Internasional Conference Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD), yang meneguhkan kembali keniscayaan agrarian reformuntuk pembangunan pedesaan yang berhasil untuk mengatasi kemiskinan pedesaan.