Land Reform Sebagai Variabel Sosial, Suatu Pengantar


Noer Fauzi Rachman (2022) "Land Reform Sebagai Variabel Sosial, Suatu Pengantar", adalah naskah yang membahas draft hasil penelitian Kerjasama LIPI dan kantor Wakil Presiden republik Indonesia 2011-2012, yang kemudian diterbitkan menjadi buku Lilis Mulyani,  Iwan Nurdin, Sentiela Ocktaviana, dań Tine Suartina (2014) Memahami Konflik Agraria dań Penanganannya di Indonesia. Jakarta: PT. Gading Inti Prima. 150 + x halaman.  
Keseluruhan file buku tersebut dapat diunduh secara bebas melalui https://drive.google.com/file/d/19yRFtSf8AWB4eQtydpNAts4C0imCqMUA/view   

Noer Fauzi Rachman*)

 

Debat tentang land reform di Negara berkembang tetaplah merupakan isu yang hidup dan sering kali merupakan “isu yang panas membara dalam kurun waktu dua puluan tahun setelah perang dingin berlalu di tahun 1990-an. Debat tentang land reform sekarang ini sungguh hidup dan baik. Demikian pula land reform itu sendiri. Dan memang seharusnya demikian”, demikan dikemukakan oleh Michael Lipton, satu dari lima puluh pemikir pembangunan terkemuka di dunia (Lipton 2009: 322).[1] Dalam  buku masterpiecenya Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong, Lipton mendefinisikan  land reform sebagai “legislasi yang diniatkan dan benar-benar diperuntukan meredistribusi kepemilikan, (mewujudkan) klaim-klaim, atau hak-hak atas tanah pertanian, dan dijalankan untuk memberi manfaat  pada kaum miskin dengan cara meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif mereka, berbanding dengan situasi tanpa legislasi tersebut”[2] (Lipton, 2009:328).

Di Indonesia sekarang ini, tak ada keraguan bahwa diagendakannya (kembali) reforma agraria (land reform/agrarian reform/pembaruan agraria) ke dalam proses kebijakan pemerintah nasional semenjak tahun 2005 oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di bawah kepemimpinan Joyo Winoto PhD, perlu dipelajari keberhasilannya sebagai upaya memenuhi “mandat konstitusi, politik dan hukum” untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial (Winoto 2007).

Seperti dikemuakkan oleh Lipton di atas, membicarakan land reform tidak mungkin tanpa membicarakan kewenangan khusus dari pemerintahan, termasuk membuat legislasi. Land reform tanpa partisipasi negara sungguh mustahil. Dalam rumusan Solon Baraclough (2001), land reform tanpa partisipasi negara sama dengan contradiction in termDalam rumusan penulis, land reform merupakan “suatu operasi untuk mengubah struktur penguasaan tanah dan kekayaan alam yang timpang melalui penggunaan kewenangan pemerintahan dalam membuat legislasi, dan kekuasaan membuat legislasi itu berjalan melalui suatu program pemerintah,  secara terencana untuk mewujudkan cita-cita konstitusional mewujudkan keadilan sosial bagi majoritas kaum miskin pedesaan” (Rachman 2012:1). Jadi, land reform bagaimana pun merupakan suatu operasi (Christodolou, 1990) yang di dalamnya membutuhkan kekuasaan negara yang sah untuk melakukan tindakan membatasi hak-hak istemewa para penguasa tanah luas, yang tanahnya hendak ditata penguasaan dan pemanfaatannya. 

Karenanya, seperti dikemukakan oleh Sediono M.P. Tjondronegoro, “Pelaksanaan reforma agraria, .. (sebaiknya) dilakukan secara sentral, integral dan serental (sic!). Unsur keserentakan ini sebenarnya mengandung unsur yang positif, karena pelaksanaan reforma agraria untuk golongan penguasa tanah dimanapun juga tidak menyenangkan dan merupakan pengorbanan. Oleh karena itu, reforma agraria sebaiknya dilakukan serentak dan dalam periode yang sesingkat mungkin. Semakin baik aparat perencana, pelaksana dan pengawas (termasuk pengadilan) “bersih”, semakin besar wibawa penguasa, dan kemungkinan akan dituruti oleh masyarakat luas.” (Tjondonegoro, 1982).

Pelaksanaan dan hasil-hasil land reform di banyak negara tidak selalu sesuai dengan yang diharapkan. Tentu banyak faktor yang menyebabkannya. Dari penelitian komparatif mengenai pelaksanaan land reform di berbagai negara, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, Sein Lin (1974), mendaftar syarat-syarat pelaksanaan landreform yang berhasil, yakni, basis konstitusional yang mantap, perundang-undangan landreform yang tegas, organisasi pelaksana landreform yang mantap, proses administrasi pertanahan yang dapat dipercaya, perangkat mesin peradilan yang kuat, perencanaan, riset dan evaluasi yang jitu, pendidikan dan pelatihan yang tepat sasaran, biaya pelaksanaan landreform yang cukup, pemerintahan lokal yang aktif, dan organisasi petani yang pro-aktif. Meski penelitian Lin ini dilakukan pada saat tahun 1970-an, saat kebijakan land reform diletakkan dalam satu nafas dengan pembangunan pedesaan[3], namun identifikasinya mengenai syarat-syarat pelaksanaan landreform yang berhasil, tetap berguna. Semakin lengkap dan bermutunya syarat-syarat pelaksanaan land reform itu, maka tujuan land reformnya semakin mudah dicapai. Menurut saya, penelitian Lilis Mulyani dkk ini sejalan dengan pendekatan yang diajukan Sein Lin (1974) di atas, dan berhasil menjadi cermin mengenai kelengkapan dan mutu dari syarat-syarat pelaksanaan dari apa yang disebut sebagai Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) itu. Penelitian ini berhasil dengan baik menunjukkan konsekuensi dari ketidaklengkapan maupun mutu dari syarat-syarat itu, melalui suatu penelitian evaluasi atas pelaksanaan PPAN itu, baik pada tingkat rancangan hingga implementasi lapangan.  

Karya ini dapat memberi inspirasi bagi pembaca yang hendak  melengkapi dan meningkatkan mutu dari syarat-syarat pelaksanaan land reform yang berhasil itu. Lebih jauh dari itu, membaca dengan seksama keseluruhan naskah buku ini, memberi kesimpulan bahwa upaya memenuhi syarat cukup pelaksanaan land reform yang berhasil itu, atau membiarkan syarat-syarat cukup itu tak terpenuhi atau mediocre, tak lain dan tak bukan, bergantung pada komitmen politik tingkat tinggi dari pemerintahan nasional. Dengan demikian, land reform perlu dipandang sebagai variable sosial, yang bukan hanya keberhasilannya akan meningkatkan status, kekuasaan, dan pendapatan absolut maupun relatif kaum miskin pedesaan, melainkan keberhasilan pelaksanaannya ditentukan oleh komitmen politik dari Presiden dan para pejabat tinggi lainnya.

Selamat membaca.

 

Bandung, 23 Juni 2012

 

Daftar Pustaka

 

Baraclough, Solon (2001) “Land Reform in Developing Countries, The Role of The State and Other Actors”. In Krisna Ghimire (Ed). Land Reform & Peasant Livelihoods. The Social Dynamics of Rural. Poverty & Agrarian Reform in Developing Countries. Roma: United Nation Research Institute on Social Development (UNRISD).

Cristodolou, Dementrios (1990) The Unpromised Land, Agrarian Conflict and Reform, London and New Jersey, Zed Books.  

Food and Agriculture Organisation - United Nation (1981) Piagam Kaum Tani:  Deklarasi mengenai Prinsip-prinsip dan Program Aksi, Organisasi  Pangan dan Pertanian Perserikatan  Bangsa-bangsa, Konferensi Dunia mengenai Pembaharuan Agraria dan Pembangunan  Pedesaan. Roma, FAO.

Lipton, Michael (2009)  Land Reform in Developing Countries. Property Rights and Property Wrong. London, Routledge.

Rachman, Noer Fauzi (2012) Land Reform Dari Masa Ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta.

Tjondonegoro, Sediono M.P. (1982) “Peranan Beberapa Lembaga Dalam Hubungan Reforma Agraria”, dalam Land Reform di Indonesia, Jakarta, Departemen Dalam Negeri - Direktorat Agraria.

Simon, David, Ed. (2006) Fifty Key Thinkers on Development. London, Routledge. 

Sein Lin (1974) Land Reform Impelementation: A Comparative Perspective, Hartford, Connecticut, John C. Lincoln Institute.

Winoto, Joyo (2007). Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan RakyatJakarta, Badan Pertanahan Nasional RI.

 

 

 



*) Noer Fauzi Rachman memperoleh gelar PhD dari University of California, Berkeley, USA, pada tahun 2011 dalam bidang Environmental Science, Policy and Management (ESPM). Saat ini adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; dan mengajar “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.

[1] David Simon (2006), penulis buku Fifty Key Thinkers on Development (2006) memasukkan Michael Lipton dalam daftar limapuluh Pemikir Pembangunan terkemuka di dunia. 

[2] Kalimat aslinya adalah sebagai berikut: legislation intended and likely to directly redistribute ownership of, claims on, or rights to farmland, and thus to benefit the poor by raising their absolute and relative status, power, and income, compared with likely situations without the legislation” (Lipton, 2009:328).

 

[3] ingat World Conference on Agrarian Reform and Rural Development (WCARD) di Roma tahun 1979 (FAO 1991), yang menghasilan apa yang dijuduli Peasant Charter atau Piagam Petani (FAO 1981). Tiga puluh tahun kemudian, Food and Agriculture Organization (FAO) beekrjasama dengan pemerintah Brazil, menyelenggarakan Internasional Conference Agrarian Reform and Rural Development (ICARRD), yang meneguhkan kembali keniscayaan agrarian reformuntuk pembangunan pedesaan yang berhasil untuk mengatasi kemiskinan pedesaan.   

Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya

Noer Fauzi Rachman

Dimuat sebagai "Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya", Kompas - 11/06/2012, 
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya", Klik untuk baca: https://nasional.kompas.com/read/2012/06/11/03572833/masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya?page=all

         Beberapa waktu lalu, di Tobelo, Halmahera Utara, berlangsung Kongres Masyarakat Adat Nusantara IV. Masyarakat adat dari berbagai penjuru Nusantara yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara berkumpul, berdiskusi, bersidang membahas berbagai permasalahan yang dihadapi. Mereka menuntut negara mengakui eksistensi masyarakat adat dan memastikan hak-hak dasar keberlanjutannya, satu hal yang telah dijamin konstitusi. 

         Masyarakat adat punya karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk pedesaan-pedalaman. Mereka hidup dalam suatu wilayah secara turun-temurun dan terus-menerus, dengan sistem kebudayaan dan aturan-aturan adat khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai kelompok sosial di dalamnya. Selain ditentukan oleh cara masyarakat adat itu mengidentifikasi diri, mereka juga diikat melalui cara pihak-pihak lain, terutama negara dan perangkatnya. 

Berjuang untuk pengakuan

Sejak pembentukannya pada 1999, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah mengakhiri perjuangan diam-diam dari masyarakat adat dan tampil secara terbuka dengan cara bergerak yang high profile. Perjuangan itu dijiwai moto: ”Kalau negara tak mengakui kami, kami pun tak akan mengakui negara”. 

Tuntutan AMAN untuk diakui perlahan mewujud dalam gerak perjuangannya. AMAN berhasil mengangkat wacana adat, hukum adat, dan masyarakat adat. 

Hal ini terlihat ketika, misalnya, para pejabat di Kementerian Kehutanan menyadari upaya AMAN mengadvokasi kedudukan dan hubungan masyarakat adat dengan kawasan hutannya sepanjang berlakunya UU No 41/1999 tentang Kehutanan. Termasuk advokasi melalui pembuatan draf Peraturan Menteri Kehutanan tentang Hutan Adat. Tuntutan AMAN juga menuai hasil ketika Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan Permenag No 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. 

Komunitas dan organisasi adat anggota AMAN juga berjuang di desa. Mereka melakukan klaim, baik melalui pendudukan kembali dan aksi-aksi konfrontasi langsung lainnya maupun negosiasi untuk mengambil kembali tanah dan kekayaan alam di wilayah yang dipersengketakan dengan badan-badan usaha produksi maupun konservasi. Ketika pemerintah mengimplementasikan kebijakan desentralisasi, di sejumlah kabupaten mulai dari Aceh, Tapanuli Utara, Solok, Liwa, Kutai, Sanggau, Solok, Paser, Donggala, Toraja, Lombok Utara, hingga ke Papua, kita saksikan perjuangan pengakuan eksistensi lembaga adat dan wilayah adat. Di antaranya lewat pembentukan peraturan-peraturan daerah. 

Perjuangan itu bukan hanya dilakukan oleh dan untuk kepentingan komunitas, juga oleh dan untuk kepentingan elite-elite penguasa-tradisional kesultanan. Pada periode ini, menjadi jelas bahwa legitimasi adat memang dapat diandalkan dan memperoleh ruang yang luas untuk dijadikan dasar klaim dalam memperoleh kekuasaan, terutama tanah dan kedudukan politik. 

Di arena internasional, AMAN bersama organisasi sejenis dari negara lain memperjuangkan eksistensi dan hak-hak indigenous peoples, termasuk di forum KTT Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan dan proses perumusan deklarasi PBB mengenai indigenous peoples. AMAN jadi organisasi yang aktif menggunakan momentum ini untuk mengubah kebijakan-kebijakan internasional dan menggunakan kebijakan lembaga-lembaga internasional untuk menguatkan agenda perubahan kebijakan nasional. 


Hak kewarganegaraan  

Tidaklah sulit memahami perjuangan AMAN adalah perjuangan mewujudkan keadilan sosial. AMAN juga mengusung perjuangan hak kewarganegaraan masyarakat adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kombinasi perjuangan keadilan sosial dan kewarganegaraan itu terutama dibentuk oleh cara bagaimana NKRI menyangkal eksistensi masyarakat adat dan merampas hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat. 

Penyangkalan ini nyata pada fakta yang disebut sebagai ”perampasan tanah”; tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat dimasukkan ke dalam konsesi-konsesi perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan lainnya. 

Tantangan terbesar saat ini adalah meralat kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat, dengan memastikan bahwa masyarakat adat adalah subyek hukum yang sah. Sebagai konsekuensinya, pemerintah perlu menyusun prosedur untuk mengadministrasikannya sebagai badan hukum, dan mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah. Terakhir, pemerintah perlu menyusun mekanisme untuk restitusi hak atas tanah sebagai basis penyelesaian konflik agraria yang struktural, kronis dan berdampak luas, berkenaan dengan penolakan masyarakat adat melepaskan hak atas tanah yang mereka miliki. 

 

*) Noer Fauzi Rachman Kepala Studio Studi Agraria, Sajogyo Institute, Bogor

_____________________

Baca pula tanggapan Arianto Sangaji "Masyarakat Adat, Kelas, dan Kuasa Eksklusi", https://nasional.kompas.com/read/2012/06/21/02264146/masyarakat.adat.kelas.dan?page=all

Memperbaiki Rute Transformasi Kewarganegaraan Masyarakat Adat dan Mengukuhkan kembali Eksistensi Negara Bangsa


Noer Fauzi Rachman**)

Dimwit dalam https://www.huma.or.id/uncategorized-id/meralat-negaraisasi-tanah-adat 

Tonton video Keterangan Ahli kepada Mahkamah Konstitusi dalam sidang pertama gugatan Judicial Review yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan, tanggal 5 Juni 2012 bisa diklik di link sebagai berikut: Meralat Negaraisasi Tanah Adat 
 

Realisasi dari tekad Proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahwa “hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”, menempuh jalan panjang dan berliku, terutama bila menyangkut pada proses yang digambarkan oleh Clifford Geertz (1963) sebagai transformasi dari sentimen primordial dari “masyarakat-masyarakat tua” (old societies) dalam konteks keberadaan “negara baru” (new state). Negara baru mempunyai proyek besar untuk membangun integrasi nasional, termasuk melalui pengembangan kesadaran nasional dari penduduk secara keseluruhan. Seperti ditunjukkan oleh Wignjosoebroto (2002:500)

“… eksistensi suatu negara bangsa – sebagai negara yang dibangun dan dipertahankan oleh bangsanya – akan ditentukan tidak oleh ada tidaknya kelanjutan dan kehadiran identitas etnis identitas suatu etnisitas di situ, melainkan amat ditentukan oleh kehadiran manusia-manusia yang tetap ingin menyatu di situ dengan identitas kewargaan yang dipilihnya, tak soal asal muasal keturunannya.”

Pada kenyataannya, sebagaimana nyata terlihat pada pengalaman Indonesia di bawah rejim Orde Baru, cara pemerintahan mengatur bagaimana kesadaran nasional dimiliki oleh penduduk dengan identitas-identitas primordial itu dilakukan dengan paksaan dan rakayasa sosial, termasuk melalui proyek-proyek pembangunan dari pemerintah dan perusahaan-perusahaan raksasa yang bekerja dengan konsesi-konsesi tanah, pertambangan, perkebunan, kehutanan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Yang terjadi, adalah proses transplantasi, bukan transformasi, keharusan-keharusan nasional yang dipaksakan pada sentimen primordial masyarakat lokal. Ironisnya, proses transplantasi menghasilkan problem kewarganegaraan yang kronis, berupa tidak ditemukannya rute yang nyaman bagi “masyarakat-masyarakat tua” itu untuk masuk berintegrasi dalam negara bangsa Indonesia.

Rejim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru mewariskan cara bagaimana pemerintahan mengatur penduduk dengan menekankan kewajiban-kewajiban sosialnya dan bukan memenuhi hak-hak sipil, politik, dan ekosob warganya (Rajawali Foundation: 2010, 2011)[1]. Kaum birokrat pemerintahan di masa Reformasi terus berlaku sebagai penguasa dan bertindak semaunya saja, semakin memperhebat masalah kewarganegaraan dari golongan penduduk pedesaan, termasuk yang dimaksudkan oleh Undang-undang Dasar 1945 sebagai “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat” (selanjutnya disebut masyarakat adat).

Masyarakat adat memiliki karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk pedesaan-pedalaman yang hidup dalam suatu wilayah secara turun-temurun dan terus-menerus dengan suatu sistem kebudayaan dan aturan-aturan adat khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai kelompok sosial di dalamnya. Selain bahwa  masyarakat adat itu ditentukan oleh cara bagaimana masyarakat adat itu  identifikasi diri (self identification), namun juga diikat oleh cara bagaimana pihak-pihak lain, terutama Negara dengan segenap perangkatnya, memperlakukan mereka.

Masyarakat adat ini adalah salah satu golongan penduduk yang secara langsung menjadi korban dan menderita akibat pemberian konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan yang berlangsung semenjak rejim Orde Baru berkuasa tahun 1967. Pemberian konsesi-konsesi itu, yang di dalamnya dimasukan sebagian atau seluruh tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat, dirasakan masyarakat adat  sebagai perampasan sebagian syarat-syarat keberlangsungan hidup mereka.  Ketika masyarakat adat menolak perampasan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung,  terciptalah konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria ini dapat dimengerti sebagai pertentangan klaim mengenai satu bidang tanah, wilayah, dan sumber daya alam antara masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya, dengan badan-badan penguasa tanah luas, terutama yang bergerak dalam bidang usaha produksi, ekstraksi, dan konservasi, dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain. Sumber utama konflik agraria itu adalah keputusan pejabat publik yang memasukkan tanah, sumberdaya alam, dan wilayah kelola masyarakat ke dalam konsesi-konsesi perusahaan-perusahaan raksasa tersebut. Dalam konteks ini, masyarakat adat diperlukan sebagai penduduk yang dibebani kewajiban-kewajiban, diperlakukan sebagai objek, dan tidak diperlakukan sebagai warga negara dengan segenap hak yang dipenuhi oleh negara.

Tuntutan masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan eksistensi dan hak-hak tradisional yang melekat padanya, seperti diartikulasikan secara jelas oleh moto AMAN terdahulu “kalau Negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui Negara” maupun moto AMAN yang baru “Kalau Negara tidak bersama kami, kami tetap berdaulat atas tanah-air kami”[2], menurut penulis, perlu disimak dan diseriusi dengan mendalam. Tuntutan dan perjuangan AMAN agar Negara mengakui eksistensi masyarakat adat beserta pemastian hak-hak dasar bagi keberlanjutan eksistensi masyarakat adat itu adalah suatu panggilan untuk pejabat,  dan badan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” demi tujuan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Tidak lah sulit untuk memahami perjuangan yang diusung AMAN adalah perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial. Argumen utama penulis, pertama, selain mengusung perjuangan untuk keadilan sosial, AMAN juga mengusung perjuangan hak-hak kewarganegaraan masyarakat adat dalam negara-bangsa  Indonesia; Kedua, perjuangan keadilan sosial dan kewarganegaraan itu utamanya dibentuk oleh cara bagaimana badan-badan pemerintah pusat Republik Indonesia mengakui secara bersyarat atau menyangkal eksistensi masyarakat adat dan hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya. Penyangkalan ini nyata jelas pada proses yang penulis sebut sebagai negaraisasi tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola masyarakat adat, yakni bahwa tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat ditetapkan sebagai “tanah negara”, “hutan negara” dan sejenisnya, lalu atas dasar kewenangan, pejabat publik memasukannya ke dalam konsesi-konsesi yang diberikan badan-badan pemerintah pusat dan daerah untuk usaha-usaha ekstraksi dan produksi komoditas global berbasikan sumber daya  alam (Lihat Fauzi 1999, 2000).  Argumen ketiga dan terakhir, tantangan terbesar saat ini adalah meralat kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat sebagai warga negara yang memiliki “hak-hak asal-usul”.

Sebagai konsekuensi dari kesemua  itu, pemerintah Republik Indonesia wajib mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya; dan menyelesaikan konflik-konflik agraria secara adekuat berkenaan dengan penolakan masyarakat adat melepaskan hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya yang dinegarakan itu. Menurut Ida Nurlela (2009:131),

“Upaya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya harus dimulai dengan penyelesaian sengketa/konflikyang terkait dengan masyarakat hukum adat dan/atau hak ulayat. Tanpa hal itu, maka implementasi prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi menjadi sia-siadan pengakuan dan penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat hanyalah sebuah retorika semata.”

Moto-moto itu adalah pantulan dari masalah yang struktural, kronis dan berdampak luas, yakni masyarakat adat masih diperlakukan sebagai penduduk yang diobjekkan belaka, dan belum mendapat perlakukan yang penuh sebagai warga negara. Masyarakat adat belum pula dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan dan proses sosial-politik sebagai subjek, termasuk untuk menikmati hasilnya, karena hak-hak dasar yang menjadi syarat dari keberlangsungan hidupnya belum lagi dipenuhi.

 Last but not least, yang diperlukan saat ini, menurut penulis, adalah kesediaan para pengemban kekuasaan untuk meralat dasar-dasar penyangkalan aksistensi masyarakat adat beserta hal-hak asal usulnya, yang adalah hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Seperti disampaikan oleh Wignyosoebroto (1998)  bahwa

“Pengakuan oleh negara atas hak-hak atas tanah masyarakat adat pada hakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom, dan kemudian daripada itu juga untuk mengakui hak-hak masyarakat adat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada di atas dan/atau di dalamnya — yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat tersebut.”

Catatan:

Berikut ini penulis lampirkan sejumlah naskah karya penulis (juga ada yang ditulis  bersama kolega) yang pernah terbit sebelumnya. Lampiran ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari makalah ini.

Daftar Pustaka yang dikutip

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarya: Insist Press bekerjasama dengan Konsorsium pembaruan Agraria.

_____. 2000. “Konflik Tenurial: Yang Diciptakan Tapi tak hendak Diselesaikan”. Berebut tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (Eds). Yogyakarta: Insist Press, Jurnal Antropologi, dan KARSA.

Geertz, Clifford. 1963. “The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Politics in the New States”, in: Clifford Geertz (ed.): Old Societies and New States: The Quest for Modernity in Asia and Africa. New-York: The Free Press of Glencoe, pp. 105-157.

Nurlindah, Ida. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta: Rajawali Press.

Rajawali Foundation. 2010. Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

_____. 2011. From Reformasi to Institutional Transformation: A strategic Assessment of Indonesia’s Prospects for Growth, Equity and Democratic Governance. Harvard Kennedy School Indonesia Program, Harvard, USA.

Wignjosoebroto, Soetandyo. 1998. “Kebijakan Negara untuk Mengakui dan Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat Berikut Hak atas Tanahnya”, dalam Jurnal Masyarakat Adat, No. 01 Tahun 1998, Bandung: Konsorsium pembaruan Agraria.

_____. 2002. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Ifdhal kasim, Winarno Yudho, Sandra Moniaga, Noer fauzi, Ricardo Simarmata, dan Eddie Sius RL. (eds). Jakarta: Elsam dan Huma.


*) Makalah untuk disampaikan sebagai Keterangan Ahli kepada Mahkamah Konstitusi dalam sidang pertama gugatan Judicial Review yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan, tanggal 5 Juni 2012.

**) Noer Fauzi Rachman memperoleh gelar PhD dari University of California, Berkeley, USA, pada tahun 2011 dalam bidang Environmental Science, Policy and Management (ESPM). Saat ini adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; dan mengajar “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.

[1] Buku berjudul Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan yang dibuat oleh Anthony Saich dkk (Rajawali Foundation: 2010, 2011),[1] menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya memerlukan Reformasi dimana pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik digantikan oleh suatu pemerintahan demokratis dan desentralistis, melainkan juga transformasi kelembagaan yang menyeluruh dari apa-apa yang diwarisi rejim Demokrasi Terpimpin dan rejim Orde Baru. Salah satu agenda pokok yang diusulkan adalah “penataulangan kewarganegaraan Indonesia” (restructuring Indonesian citizenship).

[2] Moto ini dihasilkan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I di Jakarta, tahun 1999. Di Kongres Masyarakat Adat Nusantara IV, di Tobelo, Maluku Utara, 19-25 April 2012, moto ini diubah menjadi “Kalau Negara tidak bersama kami, kami tetap berdaulat atas tanah-air kami”.