Noer Fauzi Rachman**)
Dimwit dalam https://www.huma.or.id/uncategorized-id/meralat-negaraisasi-tanah-adat
Realisasi dari tekad Proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahwa “hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”, menempuh jalan panjang dan berliku, terutama bila menyangkut pada proses yang digambarkan oleh Clifford Geertz (1963) sebagai transformasi dari sentimen primordial dari “masyarakat-masyarakat tua” (old societies) dalam konteks keberadaan “negara baru” (new state). Negara baru mempunyai proyek besar untuk membangun integrasi nasional, termasuk melalui pengembangan kesadaran nasional dari penduduk secara keseluruhan. Seperti ditunjukkan oleh Wignjosoebroto (2002:500)
“… eksistensi suatu negara bangsa – sebagai negara yang dibangun dan dipertahankan oleh bangsanya – akan ditentukan tidak oleh ada tidaknya kelanjutan dan kehadiran identitas etnis identitas suatu etnisitas di situ, melainkan amat ditentukan oleh kehadiran manusia-manusia yang tetap ingin menyatu di situ dengan identitas kewargaan yang dipilihnya, tak soal asal muasal keturunannya.”
Pada kenyataannya, sebagaimana nyata terlihat pada pengalaman Indonesia di bawah rejim Orde Baru, cara pemerintahan mengatur bagaimana kesadaran nasional dimiliki oleh penduduk dengan identitas-identitas primordial itu dilakukan dengan paksaan dan rakayasa sosial, termasuk melalui proyek-proyek pembangunan dari pemerintah dan perusahaan-perusahaan raksasa yang bekerja dengan konsesi-konsesi tanah, pertambangan, perkebunan, kehutanan yang diperoleh dari pemerintah pusat. Yang terjadi, adalah proses transplantasi, bukan transformasi, keharusan-keharusan nasional yang dipaksakan pada sentimen primordial masyarakat lokal. Ironisnya, proses transplantasi menghasilkan problem kewarganegaraan yang kronis, berupa tidak ditemukannya rute yang nyaman bagi “masyarakat-masyarakat tua” itu untuk masuk berintegrasi dalam negara bangsa Indonesia.
Rejim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru mewariskan cara bagaimana pemerintahan mengatur penduduk dengan menekankan kewajiban-kewajiban sosialnya dan bukan memenuhi hak-hak sipil, politik, dan ekosob warganya (Rajawali Foundation: 2010, 2011)[1]. Kaum birokrat pemerintahan di masa Reformasi terus berlaku sebagai penguasa dan bertindak semaunya saja, semakin memperhebat masalah kewarganegaraan dari golongan penduduk pedesaan, termasuk yang dimaksudkan oleh Undang-undang Dasar 1945 sebagai “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat” (selanjutnya disebut masyarakat adat).
Masyarakat adat memiliki karakteristik khusus sebagai kelompok penduduk pedesaan-pedalaman yang hidup dalam suatu wilayah secara turun-temurun dan terus-menerus dengan suatu sistem kebudayaan dan aturan-aturan adat khas yang mengikat hubungan sosial di antara berbagai kelompok sosial di dalamnya. Selain bahwa masyarakat adat itu ditentukan oleh cara bagaimana masyarakat adat itu identifikasi diri (self identification), namun juga diikat oleh cara bagaimana pihak-pihak lain, terutama Negara dengan segenap perangkatnya, memperlakukan mereka.
Masyarakat adat ini adalah salah satu golongan penduduk yang secara langsung menjadi korban dan menderita akibat pemberian konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan yang berlangsung semenjak rejim Orde Baru berkuasa tahun 1967. Pemberian konsesi-konsesi itu, yang di dalamnya dimasukan sebagian atau seluruh tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat, dirasakan masyarakat adat sebagai perampasan sebagian syarat-syarat keberlangsungan hidup mereka. Ketika masyarakat adat menolak perampasan itu, dan secara langsung maupun tidak langsung, terciptalah konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria ini dapat dimengerti sebagai pertentangan klaim mengenai satu bidang tanah, wilayah, dan sumber daya alam antara masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya, dengan badan-badan penguasa tanah luas, terutama yang bergerak dalam bidang usaha produksi, ekstraksi, dan konservasi, dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain. Sumber utama konflik agraria itu adalah keputusan pejabat publik yang memasukkan tanah, sumberdaya alam, dan wilayah kelola masyarakat ke dalam konsesi-konsesi perusahaan-perusahaan raksasa tersebut. Dalam konteks ini, masyarakat adat diperlukan sebagai penduduk yang dibebani kewajiban-kewajiban, diperlakukan sebagai objek, dan tidak diperlakukan sebagai warga negara dengan segenap hak yang dipenuhi oleh negara.
Tuntutan masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan eksistensi dan hak-hak tradisional yang melekat padanya, seperti diartikulasikan secara jelas oleh moto AMAN terdahulu “kalau Negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui Negara” maupun moto AMAN yang baru “Kalau Negara tidak bersama kami, kami tetap berdaulat atas tanah-air kami”[2], menurut penulis, perlu disimak dan diseriusi dengan mendalam. Tuntutan dan perjuangan AMAN agar Negara mengakui eksistensi masyarakat adat beserta pemastian hak-hak dasar bagi keberlanjutan eksistensi masyarakat adat itu adalah suatu panggilan untuk pejabat, dan badan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional: “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” demi tujuan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Tidak lah sulit untuk memahami perjuangan yang diusung AMAN adalah perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial. Argumen utama penulis, pertama, selain mengusung perjuangan untuk keadilan sosial, AMAN juga mengusung perjuangan hak-hak kewarganegaraan masyarakat adat dalam negara-bangsa Indonesia; Kedua, perjuangan keadilan sosial dan kewarganegaraan itu utamanya dibentuk oleh cara bagaimana badan-badan pemerintah pusat Republik Indonesia mengakui secara bersyarat atau menyangkal eksistensi masyarakat adat dan hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya. Penyangkalan ini nyata jelas pada proses yang penulis sebut sebagai negaraisasi tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola masyarakat adat, yakni bahwa tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelola masyarakat adat ditetapkan sebagai “tanah negara”, “hutan negara” dan sejenisnya, lalu atas dasar kewenangan, pejabat publik memasukannya ke dalam konsesi-konsesi yang diberikan badan-badan pemerintah pusat dan daerah untuk usaha-usaha ekstraksi dan produksi komoditas global berbasikan sumber daya alam (Lihat Fauzi 1999, 2000). Argumen ketiga dan terakhir, tantangan terbesar saat ini adalah meralat kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat sebagai warga negara yang memiliki “hak-hak asal-usul”.
Sebagai konsekuensi dari kesemua itu, pemerintah Republik Indonesia wajib mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya; dan menyelesaikan konflik-konflik agraria secara adekuat berkenaan dengan penolakan masyarakat adat melepaskan hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya yang dinegarakan itu. Menurut Ida Nurlela (2009:131),
“Upaya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya harus dimulai dengan penyelesaian sengketa/konflikyang terkait dengan masyarakat hukum adat dan/atau hak ulayat. Tanpa hal itu, maka implementasi prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi menjadi sia-siadan pengakuan dan penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat hanyalah sebuah retorika semata.”
Moto-moto itu adalah pantulan dari masalah yang struktural, kronis dan berdampak luas, yakni masyarakat adat masih diperlakukan sebagai penduduk yang diobjekkan belaka, dan belum mendapat perlakukan yang penuh sebagai warga negara. Masyarakat adat belum pula dapat berpartisipasi penuh dalam pembangunan dan proses sosial-politik sebagai subjek, termasuk untuk menikmati hasilnya, karena hak-hak dasar yang menjadi syarat dari keberlangsungan hidupnya belum lagi dipenuhi.
Last but not least, yang diperlukan saat ini, menurut penulis, adalah kesediaan para pengemban kekuasaan untuk meralat dasar-dasar penyangkalan aksistensi masyarakat adat beserta hal-hak asal usulnya, yang adalah hak konstitusional mereka sebagai warga negara. Seperti disampaikan oleh Wignyosoebroto (1998) bahwa
“Pengakuan oleh negara atas hak-hak atas tanah masyarakat adat pada hakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom, dan kemudian daripada itu juga untuk mengakui hak-hak masyarakat adat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada di atas dan/atau di dalamnya — yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat tersebut.”
Catatan:
Berikut ini penulis lampirkan sejumlah naskah karya penulis (juga ada yang ditulis bersama kolega) yang pernah terbit sebelumnya. Lampiran ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari makalah ini.
Daftar Pustaka yang dikutip
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarya: Insist Press bekerjasama dengan Konsorsium pembaruan Agraria.
_____. 2000. “Konflik Tenurial: Yang Diciptakan Tapi tak hendak Diselesaikan”. Berebut tanah: Beberapa Kajian Berperspektif Kampus dan Kampung. Anu Lounela dan R. Yando Zakaria (Eds). Yogyakarta: Insist Press, Jurnal Antropologi, dan KARSA.
Geertz, Clifford. 1963. “The Integrative Revolution: Primordial Sentiments and Politics in the New States”, in: Clifford Geertz (ed.): Old Societies and New States: The Quest for Modernity in Asia and Africa. New-York: The Free Press of Glencoe, pp. 105-157.
Nurlindah, Ida. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta: Rajawali Press.
Rajawali Foundation. 2010. Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
_____. 2011. From Reformasi to Institutional Transformation: A strategic Assessment of Indonesia’s Prospects for Growth, Equity and Democratic Governance. Harvard Kennedy School Indonesia Program, Harvard, USA.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1998. “Kebijakan Negara untuk Mengakui dan Tak Mengakui Eksistensi Masyarakat Adat Berikut Hak atas Tanahnya”, dalam Jurnal Masyarakat Adat, No. 01 Tahun 1998, Bandung: Konsorsium pembaruan Agraria.
_____. 2002. Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya. Ifdhal kasim, Winarno Yudho, Sandra Moniaga, Noer fauzi, Ricardo Simarmata, dan Eddie Sius RL. (eds). Jakarta: Elsam dan Huma.
*) Makalah untuk disampaikan sebagai Keterangan Ahli kepada Mahkamah Konstitusi dalam sidang pertama gugatan Judicial Review yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atas Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan, tanggal 5 Juni 2012.
**) Noer Fauzi Rachman memperoleh gelar PhD dari University of California, Berkeley, USA, pada tahun 2011 dalam bidang Environmental Science, Policy and Management (ESPM). Saat ini adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; dan mengajar “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
[1] Buku berjudul Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan yang dibuat oleh Anthony Saich dkk (Rajawali Foundation: 2010, 2011),[1] menunjukkan bahwa Indonesia bukan hanya memerlukan Reformasi dimana pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik digantikan oleh suatu pemerintahan demokratis dan desentralistis, melainkan juga transformasi kelembagaan yang menyeluruh dari apa-apa yang diwarisi rejim Demokrasi Terpimpin dan rejim Orde Baru. Salah satu agenda pokok yang diusulkan adalah “penataulangan kewarganegaraan Indonesia” (restructuring Indonesian citizenship).
[2] Moto ini dihasilkan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara I di Jakarta, tahun 1999. Di Kongres Masyarakat Adat Nusantara IV, di Tobelo, Maluku Utara, 19-25 April 2012, moto ini diubah menjadi “Kalau Negara tidak bersama kami, kami tetap berdaulat atas tanah-air kami”.
No comments:
Post a Comment