Naskah ini adalah tangapan atas Arianto Sangaji “Masyarakat Adat, Kelas, dan Kuasa Eksklusi” (Kompas 21/6/ 2012), yang menanggapi artikel penulis “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya” (Kompas 11/6/2012). Dikirimkan ke Kompas, namun Redaksi Opini Kompas tidak memuatnya.
Noer Fauzi Rachman*)
Indonesia bukan hanya memerlukan Reformasi dimana pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik digantikan oleh suatu pemerintahan demokratis dan desentralistis, melainkan juga transformasi kelembagaan yang menyeluruh dari apa-apa yang diwarisi rejim Demokrasi Terpimpin dan rejim Orde Baru. Rejim Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru mewariskan cara bagaimana pemerintahan mengatur penduduk dengan menekankan kewajiban-kewajiban sosialnya dan bukan memenuhi hak-hak sipil, politik, dan ekosob warganya. Masalah kewarganegaraan ini menjadi semakin kronis karena kaum birokrat pemerintahan di masa Reformasi terus berlaku sebagai penguasa dan bertindak semaunya saja. Demikianlah salah satu masalah pokok dari studi yang diprakarsai Rajawali Foundation dalam laporan yang berjudul Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan (2010).
Tulisan ini hendak menujukkan relevansi dari argumen itu, dan perlunya agenda pokok “penataulangan kewarganegaraan Indonesia”, dalam hal ini untuk golongan rakyat Indonesia yang hidup dalam wilayah-wilayah yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 B sebagai “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat”. Semenjak dahulu, banyak rakyat yang hidup dalam “kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat” ini menjadi korban dan menderita akibat sebagian atau seluruh wilayahnya itu dimasukkan oleh pejabat-pejabat publik pemerintah pusat (Menteri Kehutanan, Menteri Pertambangan dan Energi, Kepala Badan Pertanahan Nasional), maupun pemerintah daerah (Gubernur dan Bupati) ke dalam konsesi-konsesi kehutanan, pertambangan, atau perkebunan-perkebunan, dari perusahaan-perusahaan raksasa, baik milik asing maupun domestik. Perusahaan-perusahaan ini bekerja dengan prinsip mencari laba sebesar-besarnya untuk akumulasi kekayaan perusahaan, termasuk pemilik perusahaan dan manajer eksekutifnya.
Tanah-Air Masyarakat Adat
Artikel penulis “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya” (Kompas 11/6/2012) mendapat tangapan dari Arianto Sangaji “Masyarakat Adat, Kelas, dan Kuasa Eksklusi” (Kompas 21/6/ 2012). Ia mengkritik penggunaan definisi “masyarakat adat” berdasar pada identitas, dan membatasi pada wilayah geografis pedesaan-pedalaman. Kritik itu benar adanya. Lebih jauh, Sangaji mengusulkan pendekatan ekonomi politik dalam memahami masyarakat adat dan proses pembentukan kelas-kelas agraris yang meliputinya. Analisis mengenai proses pembentukan kelas itu, yang merupakan salah satu inti dari studi-studi agraria (Bernstein 2011), sangat handal dalam memperjelas siapa yang dimaksudkan dengan “masyarakat adat” dan klaim-klaimnya itu. Sehubungan dengan yang dipromosikan oleh Sangaji ini, saya merasa perlu untuk menunjukkan argumen E.P. Thompson (1993) dalam karyanya Custom in Common (1993) bahwa yang disebut “adat” merupakan alasan pembenar, suatu retorika legitimasi dari perjuangan kelas tertentu. Dalam konteks ini, menjadi penting untuk menyembutkan bahwa para penduduk pedesaan miskin yang tanah, sumber daya alam, dan wilayahnya dirampas untuk perusahaan-perusahaan konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan, telah menggunakan “adat” sebagai cara mereka melawan kuasa dan proses ekslusi yang mengorbankan mereka. Saya berpendapat bahwa masyarakat adat, tepatnya masyarakat-hukum adat, memiliki perbedaan dengan masyarakat petani umumnya karena sifat hubungannya (histories, nya yang khusus dengan tanah, sumber daya alam, dan wilayah hidupnya. Namun, perlu dipertimbangkan juga bahwa “adat” bukanlah sepenuhnya merupakan alat dari kaum tertindas, tidak sepenuhna ada juga adalah arena dimana berbagai kepentingan
Bagi kebanyakan kita yang hidup di perkotaan dan dunia modern, mungkin sulit untuk memahami apa yang dimaksud dengan istilah kesatuan-kesatuan masyarakat-hukum adat ini. Penjelasan UUD 1945 pasal 18 butir II, versi sebelum diamademen menuliskan bahwa “Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.” Selanjutnya, dalam UUD 1945 yang diamandemen, pasal 18B, rumusan tersebut menjadi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat adat serta hal-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto (2012), istilah “kesatuan masyarakat hukum adat” harus dibaca sebagai kesatuan masyarakat-hukum adat yang bersifat territorial/kewilayahan. Agar menjadi jelas, asal-usul dari kata “masyarakat-hukum” ini adalah rechtgemeenschap yakni satuan-satuan badan hukum (atau persekutuan hukum) tersendiri, sebagai rechtsperson/legal person/legal entity, yang berbeda dengan desa-desa administratif yang sepenuhnya merupakan unit administrasi pemerintahan negara Hindia-Belanda. Apa yang disebut oleh UUD 45 sebagai “hak-hak asal-usul” atau “hak-hak tradisional” akan dapat dipahami dengan merujuk pada apa yang van Vollenhoven (1919) sebut sebagai beschikkingsrecht, untuk menunjuk pada penguasaan wilayah seperti pertuanan di ambon, atau tanah ulayat di Minangkabau, atau wewengkon di Jawa Tengah, atau berbagai istilah lain dalam bahasa setempat di wilayah berbeda. Dalam hal ini, van Vollenhoven (1919) sungguh berjasa dalam membuat hak-hak masyarakat-hukum adat ini dapat dilihat oleh pejabat-pejabat kolonial, melalui tipe ideal beschikkingsrecht yang diperkenalkannya. Konsep ini lah yang kemudian diterjemahkan dalam UUPA 1960 menjadi “hak ulayat”.
Menurut Vollenhoven (1919) beschikkingsrecht hanya dapat dimiliki oleh suatu masyarakat-hukum, dan bersifat abadi. Para anggota masyarakat-hukum adat bisa mendapatkan hak individual atas tanah, tapi tidak dapat sepenuhnya lepas dari penguasaan masyarakat hukum itu. Kekuasaan masyarakat-hukum berbading terbalik dengan kekuasaan individual. Orang asing dapat mempergunakan tanah dalam kuasa masyarakat-hukum itu bila memberikan suatu bentuk pengakuan (recognitie), dan bila terjadi segala sesuatu padanya, masyarakat-hukum itu ikut bertanggungjawab.
Undang-undang No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa menghancurleburkan kesatuan-kesatuan masyarakat-hukum adat ini, karena suatu penyeragaman bentuk, susunan, dan hubungan dengan pemerintah. Dalam konteks ini, rakyat yang hidup dalam masyarakat-hukum adat diperlakukan sebagai penduduk yang dibebani kewajiban-kewajiban, diperlakukan sebagai objek, dan tidak diperlakukan sebagai warga negara dengan segenap hak yang dipenuhi oleh negara. Pemerintah daerah kabupaten memecah wilayah masyarakat-hukum adat ini menjadi satuan-satuan yang kecil melalui skema pemekaran desa karena alasan-alasan untuk memperoleh uang Inpres desa dan berbagai skema pendanaan desa lain; lembaga-lembaga adatpun, termasuk peradilan adat, terus dilemahkan. Konsepsi tanah adat adalah tanah negara, telah membuat badan-badan pemerintah pusat dapat memberikan kontrak karya/kuasa pertambangan, hak penguasaan hutan atau hak penguasaan hutan tanaman industri, dan hak guna usaha pada perusahaan-perusahaan asing dan nasional, dengan memasukan sebagian atau seluruh wilayah masyarakat-hukum adat itu ke dalam konsesi-konsesi itu. Sumber daya alam di wilayah-wilayah masyarakat-hukum adat pun dikuras. Abieh tandeh, begitu istilah yang dipergunakan oleh R. Yando Zakaria (2000). Persepsi bahwa negara dan perusahaan merampas tanah adat berasal dari konsepsi yang saya istilahkan negaraisasi tanah, sumber daya alam dan wilayah masyarakat adat, yakni bahwa tanah, sumber daya alam, dan wilayah masyarakat adat ditetapkan sebagai “tanah negara”, “hutan negara” dan sejenisnya, lalu atas dasar kewenangan, pejabat publik memasukannya ke dalam konsesi-konsesi yang diberikan badan-badan pemerintah pusat dan daerah untuk usaha-usaha ekstraksi dan produksi komoditas global berbasikan sumber daya alam (Fauzi 1999, 2000).
Ketika masyarakat adat menolak dan menantang perampasan tanah dan pengurasan sumber daya alamnya itu, terciptalah konflik agraria. Dalam hal ini, konflik agraria ini dapat dimengerti sebagai pertentangan klaim mengenai satu bidang tanah, wilayah, dan sumber daya alam antara rakyat yang hidup di kesatuan-kesatuan masyarakat-hukum adat dengan badan-badan penguasa tanah luas, terutama yang bergerak dalam bidang usaha produksi, ekstraksi, dan konservasi, dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain. Jadi, sebab utama konflik agraria itu adalah keputusan pejabat publik (Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Kehutanan, Kepala Badan Petanahan Nasional) yang memasukkan tanah, sumberdaya alam, dan wilayah kelola masyarakat ke dalam konsesi-konsesi perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.
Tuntutan gerakan masyarakat adat untuk memperoleh pengakuan eksistensi dan hak-hak asal-usul yang melekat padanya, diartikulasikan secara lugas dan menggetarkan oleh moto AMAN terdahulu “kalau Negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui Negara” (yang dihasilkan dari Kongres Masyarakat Adat Nusantara I di Jakarta, tahun 1999), maupun moto AMAN yang baru “Kalau Negara tidak bersama kami, kami tetap berdaulat atas tanah-air kami” (yang dihasilkan di Kongres Masyarakat Adat Nusantara IV, di Tobelo, Maluku Utara, 19-25 April 2012). Menurut penulis, tuntutan itu perlu disimak dan ditanggapi secara sungguh-sungguh dan diperlakukan sebagai suatu panggilan untuk pejabat, dan badan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional pemerintah untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” demi tujuan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Perjuangan Keadilan Sosial dan Hak Kewarganegaraan
Tentu tidak lah sulit untuk memahami perjuangan tanah-air masyarakat adat adalah perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial. Penulis berpendapat bahwa, pertama, selain mengusung perjuangan untuk keadilan sosial, hal ini juga perjuangan hak-hak kewarganegaraan masyarakat adat dalam negara-bangsa Indonesia; Kedua, perjuangan keadilan sosial dan kewarganegaraan itu utamanya dibentuk oleh cara bagaimana badan-badan pemerintah pusat Republik Indonesia menyangkal eksistensi masyarakat adat, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayahnya. Argumen ketiga dan terakhir yang hendak penulis kemukakan bahwa tantangan terbesar saat ini adalah meralat kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat sebagai warga negara khusus yang memiliki “hak-hak asal-usul”. Kesediaan para pengemban kekuasaan untuk meralat dasar-dasar penyangkalan aksistensi masyarakat-hukum adat beserta hal-hak asal-usulnya adalah upaya pemenuhan hak konstitusional mereka sebagai warga negara.
Sebagai konsekuensi dari kesemua itu, pemerintah Republik Indonesia wajib mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, terutama hak-hak atas wilayah yang di dalamnya terkandung sumber daya alam yang kaya raya, dan menyelesaikan konflik-konflik agraria secara adekuat berkenaan dengan penolakan masyarakat adat melepaskan hak-hak atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelolanya yang dinegarakan itu.
Tulisan ini berjudul “Ubi Yus, Ibi Remedium”, artinya secara bebas dapat dimengerti sebagai barang siapa menghaki sesuatu, maka berhak pula untuk memperjuangkan pemulihan akibat hak-haknya dilanggar. Menurut Ida Nurlinda (2009:131), “Upaya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya harus dimulai dengan penyelesaian sengketa/konflik yang terkait dengan masyarakat hukum adat dan/atau hak ulayat. Tanpa hal itu, maka implementasi prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi menjadi sia-sia, dan pengakuan dan penghormatan, dan perlindungan masyarakat hukum adat hanyalah sebuah retorika semata.”
*) Noer Fauzi Rachman memperoleh gelar PhD dari University of California, Berkeley, USA, pada tahun 2011 dalam bidang Environmental Science, Policy and Management (ESPM). Saat ini adalah Direktur Eksekutif Sajogyo Institute, Bogor; dan mengajar “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor.
No comments:
Post a Comment