PERJALANAN YANG DISEBUT REFORMA AGRARIA: KONTEKS, RANCANG-BANGUN DAN HAMBATAN IMPLEMENTASINYA

 

 

Dikompilasi oleh Noer Fauzi Rachman hanya untuk diskusi tentang RPP Reforma Agraria, yang diselenggarakan oleh kantor Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP-PPP) bertempat di kantor UKP-KPPP pada Selasa, 11 September 2012 pukul 15.00-18.00 WIB

 

BAGIAN I. 

PENDAHULUAN 

 

SETELAH dilantik menjadi Presiden pada akhir tahun 2004, Susilo Bambang Yudhyono (SBY) mengagetkan para aktivis masyarakat sipil yang mempromosikan land reform, serta publik Indonesia secara umum, dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Alih-alih mengagendakan kebijakan land reform, Presiden jutsru membangkitkan rasa dan ingatan publik akan otoritarianisme Orde Baru, khususnya melalui kebijakan dan praktek-praktek yang dikenali sebagai “perampasan tanah”. Hal ini menuai gelombang protes dari kalangan yang luas mulai dari aktivis gerakan sosial, komisioner HAM, tokoh organisasi kemasyarakatan seperti Nadhatul Ulama dan Muhamadiyah, aktivis mahasiswa, hingga akademisi perguruan tinggi. 

Joyo Winoto, yang baru diangkat menjadi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada pada tanggal 22 Juli 2005 menghadapi tekanan dari protes-protes ini. Di awal masa kepemimpinannya ini, ia berusaha meredakan protes-protes tersebut dengan menjalin komunikasi dengan beberapa tokoh-tokoh di Konsorsium Pembaruan Agraria yang ikut mengorganisir protes itu untuk mengerti tuntutannya, dan kemudian menghubungkannya dengan tim BPN yang merevisi Prepres itu. Selanjutnya, Winoto mendorong terbitnya Peraturan Presiden Perubahan atas Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres No 65/2006 yang terbit tanggal 5 Juni 2006). 

Selain berhasil meredakan protes meluas itu, Joyo Winoto membuat BPN RI memasuki babak baru.[1] Sebagai Kepala BPN, Winoto melakukan berbagai usaha yang penting sebagai berikut (lihat Winoto 2005 a,b, 2006, 2007a,b,c, 2008, 2009):  

(a)  Membuat dasar hukum baru untuk eksistensi dan tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional (Peraturan Presiden No. 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional). Dengan dasar hukum ini BPN memiliki fungsi yang sangat luas mulai dari perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan, administrasi hingga pengelolaan data pertanahan.[2]

(b) menetapan prinsip-prinsip baru kerja BPN[3], pembaruan kelembagaan atas organisasi BPN, termasuk memperbarui struktur organisasi BPN baru dengan mengembangkan deskripsi kerja yang baru untuk tiap posisi; menyelenggarakan “fit and property tests” untuk semua pejabat BPN (level 1, 2 &3) di BPN Pusat, Kanwil BPN, dan Kantor Pertanahan; dan kemudian pda tahun 2006 memindahkan 6.338 dari 22.684 pejabat BPN ke posisi baru, atau sekitar  28 % seluruh pejabar BPN; 

(c)  Menyetop upaya revisi UUPA 1960, dan sebaliknya mempergunakan UUPA 1960 sebagai dasar untuk mengagendakan legislasi baru reforma agraria, termasuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria, dan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar

(d) mendesensitisasi kalangan pejabat pemerintahan dan lembaga negara (militer, polisi, birokrasi hukum dan kementrian) untuk membuat land reform tidak memperoleh asosiasi politik yang negatif, misalnya land reform dipersepsi sebagai agenda komunis yang berbahaya, dan sebaliknya menanam dan mengembangkan pemahaman bahwa “Reforma Agraria sebagai Mandat Konstutusi, Hukum dan Politik”; 

(e)  Mempopulerkan rumus “Reforma Agraria = Asset Reform + Access Reform”, yang berarti redistribusi tanah yang disertai dengan segala macam asistensi dan fasilitasi untuk meningkatkan akses penerima tanah redistribusi pada input-input pertanian, kredit, teknologi tata-guna tanah dan pertanian, pemasaran,  dan berbagai asistensi teknis lain, agar membuat tanah yang diredistribusikan menjadi produktif, menguntungkan, dan dapat dikelola secara berkelanjutan. 

Berbeda dengan program land reform yang dijalankan semasa tahun 1960-an yang mensasar tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah guntai (absentee), tanah swaparaja, dan tanah Negara lainnya, Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), mengagendakan redistribusi tanah pada tiga jenis objek, yakni:

(i)            1,1 juta hektar dari berbagai tipe “tanah negara” yang secara langsung berada di bawah jurisdiksi BPN;

(ii)          8,15 juta hektar tanah dalam kategori ”hutan konversi”, bagian dari kawasan hutan yang dapat dikeluarkan dari kawasan hutan untuk tujuan non-kehutanan, di bawah Jurisdiksi Departemen Kehutanan; dan 

(iii)         lebih dari 7 juta hektar “tanah-tanah terlantar” yang berada di bawah jurisdiksi BPN (Winoto 2008:52). 

BPN telah pula menyiapkan enam puluh empat skema redistribusi tanah itu berdasarkan sumber tanah itu, karakteristik penerima (land reform beneficiaries), dan mekanisme-mekanisme mempertemukan antara sumber tanah dengan subjek penerimanya (yang secara administrasi di BPN disebut sebagai delivery mechanisms).  

 

 

                                                                                                

 

BAGIAN II. 

RANCANG-BANGUN REFORMA AGRARIA

 

PROGRAM pemerintah melaksanakan reforma agraria memerlukan penyelenggaraan yang cermat untuk memastikan tercapainya tujuan-tujuannya. Secara garis besar mekanisme penyelenggaraan reforma agraria ini mencakup empat lingkup kegiatan utama sebagai berikut: [1] penetapan obyek, [2] penetapan subyek, [3] sistem mekanisme dan delivery system, dan [4] pengembangan access reform. Secara skematis, keempat lingkup kegiatan utamanya ini dapat digambarkan dalam gambar berikut.


Gambar 01: Bagan Alir Penetapan Obyek, Penetapan Subyek, Mekanisme dan Delivery System Aset Tanah, dan Penyediaan Akses

Sesuai dengan bagan pada Gambar 01, berturut-turut di bawah ini akan dijelaskan penetapan obyek reforma agraria, penetapan subyek penerima, sistem mekanisme dan delivery system, dan pengembangan access reform.

 

Tanah-tanah yang ditetapkan sebagai obyek reforma agraria adalah tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang-undangan dapat didistribusikan kepada masyarakat. Yang dimaksud tanah negara di sini adalah tanah negara bebas, yaitu bidang-bidang tanah yang tidak dimiliki perorangan atau badan hukum dengan hak tanah tertentu yang ditetapkan dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya, dan dengan demikian dikuasai langsung oleh negara. 

Meskipun demikian, dalam faktanya kekuasaan negara atas tanah-tanah yang belum dipunyai oleh seseorang atau badan hukum ini sedikit banyak dibatasi pula, misalnya oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, ataupun penguasaan fisik oleh para penggarap. Oleh karena itu, identifikasi dan validasi tanah negara yang dapat menjadi obyek reforma agraria ini merupakan tahapan yang sangat krusial. 

Apabila masih terdapat hak-hak yang melekat pada tanah yang menjadi calon lokasi reforma agraria, atau yang haknya masih disengketakan oleh berbagai pihak, maka sebelum ditetapkan sebagai obyek reforma agraria masalah-masalah ini harus diselesaikan terlebih dulu sesuai ketentuan yang berlaku dan melalui kesepakatan dari pihak-pihak yang terlibat. Apabila dalam faktanya tanah negara yang akan dijadikan lokasi reforma agraria telah dikuasai oleh petani penggarap, misalnya, maka mereka inilah yang harus menjadi prioritas sebagai penerima manfaat program reforma agraria ini.

Dengan memperhatikan perbedaan karakteristik sebaran dan kepadatan penduduk, penyediaan tanah yang dialokasikan sebagai obyek reforma agraria dapat dibedakan antara wilayah yang memiliki penduduk padat dan yang kurang padat. Mengingat makna strategis reforma agraria adalah restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria, maka diperlukan penyediaan tanah yang memadai baik dari segi luasannya maupun kualitasnya guna menjamin terselenggaranya restrukturisasi tersebut. 

Untuk itu, penyediaan tanah dalam jumlah luas pada wilayah yang berpenduduk kurang padat menjadi penting. Di sisi yang lain, pemilihan obyek reforma agraria di wilayah berpenduduk padat juga dipandang amat strategis untuk menjawab persoalan kemiskinan dan penguasaan tanah yang sempit, selain diharapkan bisa menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan yang umumnya terkonsentrasi di wilayah-wilayah yang padat penduduk.

Untuk obyek reforma agraria di wilayah yang berpenduduk kurang padat akan dialokasikan tanah seluas 8,15 juta ha di luar Jawa yang berasal dari kawasan hutan produksi konversi yang akan dilepaskan statusnya sebagai kawasan hutan untuk tujuan pelaksanaan reforma ini. Sedangkan untuk wilayah berpenduduk padat, BPN telah melakukan identifikasi tanah negara seluas 1,1 juta ha dari berbagai sumber yang dapat dialokasikan sebagai obyek reforma agraria. Dengan demikian, luasan keseluruhan tanah obyek reforma agraria ini adalah 9,25 juta ha. Masih tersedia lagi “tanah terlantar” yang saat ini sedang diteliti Badan Pertanahan nasional untuk dapat dimasukkan ke dalam kategori tanah obyek reforma agraria, jumlahnya seluas 7 juta ha. “Tanah terlantar” ini asalnya berupa tanah yang dilekati hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai yang statusnya telah menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara karena dihentikan atau dicabut haknya karena ditelantarkan dan hendak dipakai untuk kepentingan umum.

Adapun dari segi sumber perolehannya, tanah-tanah yang dapat ditetapkan untuk program Reforma Agraria ini berasal dari tiga belas kategori sebagai berikut:

1.     Tanah bekas hak atas tanah; meliputi hak guna usaha, hak guna bangunan, atau hak pakai yang statusnya telah menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara baik karena hak atas tanahnya telah habis jangka waktunya, atau hapus karena dibatalkan, dihentikan atau dicabut untuk kepentingan umum.

2.     Tanah yang terkena ketentuan konversi; meliputi tanah hak bekas Barat yang setelah berlakunya UUPA statusnya menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

3.     Tanah yang diserahkan atau dilepaskan secara sukarela oleh pemilik atau pemegangnya; meliputi tanah yang belum ada hak atas tanahnya atau yang sudah ada hak atas tanahnya yang kemudian diserahkan secara sukarela oleh pemegang haknya kepada negara untuk pelaksanaan reforma agraria.

4.     Tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan perundang-undangan; meliputi tanah yang sudah ada hak atas tanahnya tetapi diterlantarkan oleh pemiliknya. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tanah terlantar, hak atas tanahnya dinyatakan hapus dan statusnya menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

5.     Tanah obyek land reform; meliputi tanah bekas partikelir, tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah swapraja dan tanah bekas swapraja, tanah bekas hak erfpacht dan tanah bekas gogolan.

6.     Tanah bekas obyek land reform; meliputi tanah-tanah yang pernah dikeluarkan dari tanah obyek land reform dan belum diterbitkan hak atas tanahnya, maka status tanahnya tetap sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

7.     Tanah timbul; meliputi tanah yang timbul dan menjadi daratan di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau dan bekas sungai yang terjadi secara alamiah. Tanah semacam ini statusnya adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

8.     Tanah bekas kawasan pertambangan; meliputi tanah yang semula dieksplorasi dan/atau dieksploitasi untuk kepentingan pertambangan, dan tidak ada lagi hak atas tanahnya, maka statusnya kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

9.     Tanah yang dihibahkan oleh pemerintah; meliputi tanah yang terdaftar sebagai aset negara baik yang sudah maupun belum ada hak atas tanahnya, yang kemudian dihibahkan untuk pelaksanaan Program Reforma Agraria karena di atasnya (a) diduduki masyarakat secara terus menerus dan turun temurun; (b) bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; atau (c) tidak digunakan lagi secara aktif oleh pemerintah.

10. Perolehan tanah yang berasal dari tukar-menukar; meliputi tanah-tanah yang berasal dari hasil tukar-menukar antara pemerintah dengan pihak ketiga yang dilaksanakan dalam rangka pelaksanaan reforma agraria ini.

11. Tanah yang dibeli oleh pemerintah; meliputi tanah-tanah yang dibeli oleh pemerintah untuk tujuan pelaksanaan reforma agraria.

12. Tanah kawasan hutan produksi konversi; meliputi + 8,15 (delapan koma lima belas) jutar hektar yang menurut Peraturan Pemerintah mengenai reforma agraria dapat dilepaskan dari Kawasan Hutan Produksi Konversi menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk dialokasikan sebagai obyek reforma agraria.

13. Tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan; meliputi tanah negara yang berasal dari pelepasan kawasan hutan, yang tidak dipergunakan atau dimanfaatkan sebagaimana dimaksud dalam Surat Keputusan Pelepasannya, dan status tanahnya dinyatakan tetap sebagai tanah negara.

Ketiga belas kategori tanah ini adalah tanah negara bebas yang setelah melalui proses penelitian Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dapat ditetapkan sebagai tanah obyek reforma agraria Keterkaitan antara penyediaan tanah dari berbagai sumber ini dengan pencapaian makna dan tujuan strategis dari Program Reforma Agraria dapat dijelaskan dalam matriks di bawah ini:


Tabel 01. Hubungan Antara Obyek dan Tujuan Reforma Agraria


1.   Menata ulang ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang lebih adil

2.   Mengurangi kemiskinan

3.   Menciptakan lapangan kerja

4.   Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah

5.  Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan

6.  Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup

7.  Meningkatkan ketahanan pangan dan energi rumah tangga

Adapun metode yang digunakan untuk melakukan identifikasi atau penilaian potensi ketersediaan tanah obyek reforma agraria, dengan ilustrasi tanah yang berasal dari kawasan Hutan Produksi Konversi (HPKv), dapat dijelaskan melalui bagan di bawah ini.



Gambar 02: Metode Analisa Potensi Ketersediaan Tanah Obyek Program Reforma Agraria

Hasil analisa dengan menggunakan metode ini dapat dijelaskan sebagai berikut: luas kawasan HPKv adalah 22.140.199 ha yang tersebar di 17 provinsi. Hasil identifikasi lapang menunjukkan gambaran umum penguasaan tanah pada calon obyek reforma agraria ini sebagai berikut: (a) telah dilekati hak atas tanah berdasarkan UUPA 1960 dan/atau sedang dalam proses permohonan hak seluas 1.647.742 ha; (b) telah ditetapkan untuk rencana kegiatan tertentu oleh pemerintah seluas 5.384.834 ha; (c) telah diterbitkan perizinan lokasi dan/atau dalam proses penerbitan izin lokasi seluas 891.326 ha; (d) telah dikuasai masyarakat (dalam bentuk klaim masyarakat adat maupun hak adat yang belum terdaftar) seluas 13.411.025 ha, dan belum ada penguasaan seluas 805.272 ha.

Dengan demikian, ditinjau dari aspek yuridis maka potensi obyek reforma agraria yang berasal dari kawasan HPKv adalah seluas 14.216.297 ha, terdiri dari tanah-tanah yang belum ada penguasaan seluas 805.272 ha dan yang telah ada penguasaan masyarakat seluas 13.411.025 ha, tersebar di 17 provinsi. Dari jumlah ini yang direncanakan akan dilepaskan dari status kawasan hutan untuk dijadikan sebagai obyek Program Reforma Agraria adalah seluas 8.150.000 ha. Gambaran umum potensi ketersediaan tanah obyek reforma agraria ini dan kondisi penguasaannya dapat dilihat pada tabel berikut ini.



Tabel 02: Pohon Identifikasi Obyek Reforma Agraria

 

Prosedur metode yang sama sebagaimana disajikan dalam Tabel 02 di atas juga diterapkan untuk melakukan analisa potensi ketersediaan tanah obyek Program Reforma Agraria pada sumber-sumber perolehan tanah lainnya. 

 

Keberhasilan program reforma agraria selain ditentukan oleh ketersediaan tanah yang menjadi obyeknya, juga amat tergantung pada ketepatan penentuan penerima manfaatnya (subyek reforma agraria). Pada prinsipnya, tanah yang dialokasikan untuk reforma agraria adalah untuk rakyat miskin. Kriteria miskin ini disusun secara hati-hati dan mendalam, dengan mempertimbangkan berbagai standar kemiskinan. Penyusunan penerima manfaat didasarkan pada pendekatan hak-hak dasar rakyat (basic rights approach) yang merupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi. 

Dari sini diperoleh tiga kelompok variabel dalam menentukan kriteria penetapan subyek, yaitu kependudukan, sosial-ekonomi, dan penguasaan tanah. Variabel kependudukan mencakup: kewarganegaraan, tempat tinggal yang dicatatkan dalam dokumen formal, domisili aktual saat ini, usia, jenis kelamin, status dalam keluarga, daftar tanggungan keluarga, dan mata pencaharian saat ini. Variabel sosial-ekonomi mencakup: kondisi kemiskinan, kemauan dan kemampuan mendayagunakan tanah secara berkelanjutan, dan jenis bantuan/fasilitas yang pernah diterima dari pemerintah atau pihak lain. Sedangkan variabel penguasaan tanah mencakup: memiliki tanah yang tidak dapat menunjang kebutuhan dasar keluarga dan tidak memiliki tanah sama sekali. Dari sinilah ditetapkan kriteria umum, kriteria khusus dan urutan prioritas untuk penetapan penerima manfaat, sebagaimana dijelaskan dalam bagan berikut ini.

Gambar 03. Alur Seleksi Calon Penerima Manfaat

Tahapan penentuan rakyat miskin ini mestilah dimulai dari mereka yang tinggal di dalam atau terdekat dengan lokasi, baru selanjutnya dibuka kemungkinan melibatkan kaum miskin dari daerah lain (termasuk dari daerah perkotaan), sejauh punya kemauan tinggi untuk mendayagunakan tanah. Urutan kelompok-kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima ini dapat digambarkan dalam pola yang disajikan dalam berikut.


 Gambar 04: Urutan Kelompok-kelompok Prioritas dalam Penentuan Subyek Penerima

 

Setelah obyek dan subyek reforma agraria ditetapkan, maka tahapan selanjutnya adalah bagaimana mekanisme dan delivery system Program Reforma Agraria sehingga obyek reforma agraria dapat diperoleh dan disampaikan secara tepat kepada subyek penerimanya. Persoalan ini akan mengemuka ketika terdapat kondisi di mana calon penerima manfaat ternyata tidak berada di satu lokasi dengan tanah yang tersedia. Kondisi keterpisahan obyek dengan subyek ini mungkin sekali terjadi karena kebanyakan kantong kemiskinan terkonsentrasi di Pulau Jawa, menyusul di Provinsi Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Padahal sebagian besar potensi tanah yang tersedia maupun alokasi tanah yang disiapkan untuk reforma agraria ini justru berada di luar daerah-daerah tersebut.

Untuk itulah perlu dikembangkan model-model alternatif untuk mekanisme penyatuan subyek-obyek berdasarkan pada variasi letak/posisi obyek dan subyek reforma agraria. Secara garis besar ada tiga model dasar penyatuan ini sebagai berikut:

Model I: mendekatkan obyek ke tempat subyek. 

Dalam model ini, tanah dari daerah surplus tanah atau tidak padat penduduk didekatkan ke daerah minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat. 

 

Model II: mendekatkan subyek ke tempat letak obyek. 

Dalam model ini calon penerima manfaat (subyek) berpindah secara sukarela (voluntary) ke lokasi tanah yang tersedia. 

 

Model III: subyek dan obyek di satu lokasi yang sama. 

Model ini berlaku untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang sama.

Ketiga model dasar tersebut memiliki tujuh mekanisme penyatuan subyek dan obyek (lihat gambar 05 di bawah) yang saling berkaitan erat dan merupakan siklus tertutup, sekaligus mempunyai manfaat yang sesuai dengan tujuan reforma agraria dan prinsip-prinsip pengelolaan pertanahan, yaitu antara lain:

1.     Menyerap calon penerima manfaat sekaligus tenaga kerja yang mau berpindah ke lokasi tanah yang tersedia, untuk bekerja dan menerima tanah, dengan membangun kegiatan usaha yang sesuai.

2.     Menyediakan tanah bagi calon penerima manfaat yang tidak ingin pindah ke tempat lain yang jauh.

3.     Menyelesaikan konflik-konflik pertanahan yang sebagian besar berada di daerah-daerah yang berpenduduk padat dan ketersediaan tanahnya sangat terbatas.

Setelah tanah yang tersedia sebagai obyek PPAN berada dalam lokasi yang sama dengan subyek, maka tanah tersebut selanjutnya dapat didistribusi kepada subyek penerima manfaat untuk diusahakan oleh yang bersangkutan. Dalam kaitan ini, ada tiga kemungkinan dasar delivery system ini, yaitu: (1) penerima manfaat menerima tanah secara langsung, (2) penerima manfaat menerima tanah dalam perusahaan patungan, (3) penerima manfaat menerima tanah melalui perusahaan patungan. Sedangkan bentuk penguatan hak atas tanah dan pengusahaan tanah pada dasarnya dilaksanakan melalui tiga alternatif sub model yaitu: (1) penguatan hak atas tanah secara perseorangan, (2) penguatan hak atas tanah bersama, dan (3) penguatan hak atas tanah badan usaha atau koperasi.

Secara simulasi, kombinasi tiga model dasar ini dengan tujuh mekanisme penyatuan obyek dan subyek beserta ketiga bentuk delivery system dengan tiga alternatif penguatan hak atas tanah menghasilkan 64 kemungkinan varian mekanisme dalam penyelenggaraan PPAN. Gambaran umum mengenai hal ini disajikan dalam bagan sebagai berikut.




Gambar 05: Mekanisme dan Delivery System Reforma Agraria

Setelah tanah dibagikan, kepastian keberlanjutan manfaat yang diterima oleh subyek reforma agraria memerlukan pengembangan access reform dalam arti luas secara tepat. Memang tujuan dari access reform ini dilakukan adalah untuk mengoptimalkan pengusahaan obyek reforma agraria oleh penerima manfaat (subyek reforma agraria). Namun ia tidak dapat disederhanakan hanya sekedar sebagai penyediaan berbagai fasilitas meliputi: (a) infrastruktur dan sarana produksi, (b) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, (c) dukungan permodalan, (d) dukungan distribusi pemasaran, serta dukungan lainnya. Sesungguhnya, tugas yang berat dari access reform terletak pada cara bagaimana reform dalam access reform itu dilakukan. Proses reform ini berat, sebab menghadapi berbagai kekuatan anti-reform yang selama ini menikmati hak-hak istimewa (privilege) dan keuntungan yang melimpah dari monopoli/monopsoni akses-akses tersebut selama ini. 

Pengelolaan access reform dapat dikembangkan dalam berbagai alternatif model, namun struktur dasarnya kurang lebih mengikuti model sebagai berikut.

Gambar 06: Model Access Reform

Dalam rangka pengembangan access reform ini penerima manfaat dapat memilih alternatif untuk mengelola tanah secara perorangan atau membentuk usaha bersama ataupun kelompok tani. Apabila membentuk kelompok tani maka perlu dilakukan penggabungan tanah untuk kegiatan usaha bersama tertentu. Selanjutnya kelompok tani tersebut, bersama dengan Pemerintah Daerah/BUMD dan badan usaha lain/penanam modal, dapat membentuk badan usaha patungan misalnya di bidang perkebunan. Untuk mendukung usaha patungan ini, Bank atau lembaga keuangan lainnya diharapkan dapat memberikan dukungan permodalan. 

Selain model di atas, petani penerima manfaat juga dapat memilih opsi lain yaitu membentuk sebuah badan usaha milik petani (BUMP) yang pembentukannya difasilitasi oleh Pemerintah/Pemerin
tah Daerah guna mengoptimalkan pengusahaan tanahnya. BUMP ini dapat juga terlibat dalam proses produksi turunan dari kegiatan produksi badan usaha patungan. BUMP ini merupakan salah satu model dari access reform yang sedang dikembangkan oleh berbagai pegiat pembangunan pedesaan. 

Dalam model BUMP ini, kontribusi petani penerima manfaat dapat dikelompokkan ke dalam tiga kemungkinan pilihan, yaitu: (1) sebagai penyedia tenaga kerja terutama apabila tidak memiliki tanah, (2) sebagai pemilik saham apabila mereka berkeinginan menjadikan tanahnya sebagai aset modal dalam proses produksi kegiatan BUMP, dan (3) sebagai pemilik tanah jika mereka lebih memilih mengelola tanahnya sendiri di dalam BUMP. Selanjutnya terhadap tanah-tanah tersebut dapat dikembangkan usaha-usaha produktif yang dapat menunjang dan meningkatkan perekonomian petani, di samping fasilitas pengelolaan usaha dalam aneka bentuknya.


 

BAGIAN III. 

HALANG-RINTANG MEWUJUDKAN REFORMA AGRARIA

 

SKEMA-SKEMA redistribusi tanah-tanah dirancang oleh BPN tidak hanya dengan mengandalkan kerja dari BPN saja. Dibayangkan adanya peran berbagai badan pemerintah lain dalam membuat PPAN ini bisa sukses. Misalnya saja, pemerintah daerah kabupaten perlu memberikan pertimbangan pada BPN mengenai objek tanah yang hendak diredistribusikan dan siapa-siapa yang diusulkan menjadi penerima tanah yang akan diredistribusikan itu; Untuk pengadaan tanah seluas 8,15 juta hektar yang berasal dari kawasan hutan konversi itu, BPN memerlukan keputusan Menteri Kehutanan mengenai pelepasan bagian tanah-tanah itu dari kawasan hutan Negara; Dalam hal asistensi teknis dan inovasi pertanian bagi para petani penerima objek land reform, Departemen Pertanian dirancang menjadi pihak yang memberi asistensi teknis, modal, dan teknologi produksi. 

Bukan hanya memimpin BPN dengan fungsi yang luas, Joyo Winoto bekerja untuk mempengaruhi Presiden SBY dan anggota kabinet untuk mendukung apa yang kemudian disebut “Program Reforma Agraria”. Winoto berhasil meminta Presiden menyelenggarakan pertemuan khusus antara Presiden SBY dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban, dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, mengenai  usaha-usaha mengurangi pengangguran dan mengatasi kemiskinan melalui redistribusi tanah.[4]

Lebih dari itu, Winoto juga telah berhasil meyakinkan Presiden untuk mengumukan Program Reforma Agraria itu,melalui pidato tahunan yang disampaikan pada akhir Januari 2007. Kutipan pidato itu adalah sebagai berikut:

Program Reforma Agraria, untuk pendistribusian tanah untuk rakyat secara bertahap Insya Allah, akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi, dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukkan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Reformasi ini saya anggap mutlak untuk dilakukan, mengingat selama kurun waktu 43 tahun (sejak 1961 hingga 2004), tanah negara yang diberikan kepada rakyat baru berjumlah 1,15 juta hektar.” 

Pidato Presiden SBY menyambungkan “Program Reforma Agraria” itu dengan program pemerintah “membantu rakyat dalam mensertifikatkan tanah-tanah yang mereka miliki, agar memiliki status hukum yang jelas”. Disebutnya bahwa,

“Pada tahun 2005 Pemerintah telah membebaskan biaya pengurusan sertifikat terhadap 410.361 bidang tanah. Tahun 2006, angka ini meningkat 44 persen, sehingga mencakup 591.000 bidang tanah. Pada tahun 2007 ini, kita targetkan pembebasan biaya itu agar dapat melayani 1.113.130 bidang tanah, yang berarti naik sebesar 89 persen. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana gempa dan tsunami, Pemerintah telah melayani secara cuma-cuma pendaftaran kembali tanah-tanah rakyat, yang meliputi 200.000 bidang tanah. Di tahun 2007 ini, kita merencanakan untuk melayani pendaftaran kembali 110.000 bidang tanah di daerah itu.[5]

Adalah andil Winoto pula yang membuat Presiden menyelenggarakan Rapat Kabinet Terbatas, khusus membahas “reforma agraria”, dimana Joyo Winoto mempresentasikan kerangka program “reforma agraria” itu pada 23 Mei 2007.[6]Lebih dari itu, Winoto  telah pula memasukkan konsepsi dan komponen reforma agraria sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025; BAB IV.1.5 Mewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berkeadilan: 

“... menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi ..., perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui ... land reform.”

Program “Refomma Agraria” yang mensyaratklan kerjasama lintas kementerian, setidaknya Kementrian Kehutanan dan Kementrian Pertanian, ternyata tidak berjalan sebagaimana dirancang oleh Joyo Winoto. Masing-masing badan pemerintahan memiliki dan terus memelihara apa yang dikenal di kalangan pejabat pemerintah Indonesia sebagai “ego sektoral”, suatu kecenderungan dari suatu badan pemerintah untuk hanya memenuhi kepentingan lembaga/sektornya sendiri-sendiri tanpa perduli dengan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Yang juga tidak terjadi adalah upaya yang serius dan berhasil dalam mengkordinasikan dan mensinkronkan kepentingan yang berbeda-beda dari badan-badan pemerintah untuk menjalankan Reforma Agraria tersebut. 

Agenda redistribusi tanah 8,15 juta hektar tanah-tanah negara yang berada dalam “kawasan hutan negara” yang tergolong hutan produksi Konversi (HPK) yang terletak di 474 lokasi di 17 provinsi – tak berjalan sama sekali. Menurut Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 ha, didalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar, lebih dari 60 persen (Badan Pertanahan Nasional 2007:56). BPN membuat asesment tentang tanah-tanah yang secara potensial akan menjadi sasaran PPAN (see Winoto 2008:51-57). Dalam menanggapi permintaan yang dikemukakan oleh sekelompok aktivis LSM, dan juga dalam ceramah yang disampaikan di Balai Senat Universitas, Universitas Gajah Mada, pada 22/11/2007, Kepala BPN menyebutkan  bahwa detil data dan peta 8.15 juta hektar tanah hutan konversi itu tidak akan diedarkan untuk mencegah kontroversi. Winoto meyakinkan para aktivis bahwa BPN memiliki data dan peta digital masing-masing lokasi (Keterangan Winoto dalam pertemuan dengan para aktivis LSM di Jakarta, 2/5/2008). Pada penulis, seorang pejabat BPN pernah memperlihatkan, sebuah buku tebal, sekitar 100 halaman, di dalamnya terkandung versi cetak dari data dan peta-peta termaksud (wawancara di bulan November 2007). Namun, Kementerian Kehutanan sebagai pihak yang berwenang menguasai kawasan itu menolak. 

Dalam suatu diskusi di Pusat Kajian Agraria - IPB, pada tanggal 19 Mei 2008, pejabat Badan Planologi Departemen Kehutanan mempersoalkan cara bagaimana BPN menghasilkan dan menggunakan data itu. Keterangan yang diberikan oleh seorang pejabat tinggi BPN pun, dalam diskusi pada 19 Juni 2009 mengkonfirmasi bahwa belum ada perubahan yang berarti dalam hubungan komunikasi dan kordinasi dengan Departemen Kehutanan mengenai agenda tersebut. Kehutanan tetap mempertahankan diri sebagai ‘tuan tanah negara’ terbesar, melalui penguasaan sekitar 70 wilayah Republik Indonesia dalam “Kawasan Hutan.

Di dalam Kementerian Kehutanan, masalah hak-hak rakyat atas tanah di wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai “kawasan hutan negara”, menjadi masalah yang kronis. Hal itu disebabkan oleh dipergunakannya konsep “tanah negara” dan “hutan negara” dengan mendasarkan pada UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang kemudian dilanjutkan dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam konsep “tanah Negara” dan “hutan Negara” ini hanya ada satu kepemilikan tunggal, yakni milik Negara, di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan. “Kawasan hutan hegara” ditentukan berdasarkan penunjukan dan atau penetapan suatu wilayah sebagai “kawasan hutan” oleh Menteri Kehutanan untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3  UU no. 41/1999 tentang Kehutanan. Melalui Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 telah dihapuskan kata “ditunjuk” dalam , pasal 1 ayat 3  UU no. 41/1999 ini, dan kemudian yang berlaku menjadi “kawasan hutan ditunjuk ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”

Putusan MK ini membuka kesempatan politik baru bagi organisasi non-pemerintah untuk advokasi kebijakan reformasi tenurial kehutanan. Kita mengetahui dari studi Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay (2005), Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform, tidak semua penunjukan itu telah ditetapkan oleh Menteri kehutanan sehingga absah secara hukum administrasi. Menurut studi itu, klaim Departmen Kehutanan dalam menguasai kawasan hutan seluruh Indonesia seluas 120,353,104 hektar didasarkan pada penunjukan oleh Menteri Kehutanan, dan hingga awal tahun 2005 hanya 12 juta hektar atau 10 persen saja yang telah dikukuhkan dengan memiliki Berita Acara Tata Batas (Contreras-Hermosilla dan Chip Fay 2005:11).

Dengan mengemukakan agenda pengakuan kedaulatan masyarakat adat, berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan ornop-ornop agraria dan lingkungan hidup menantang klaim Departemen Kehutanan ini. Mereka menolak wilayah masyarakat adat dimasukkan dalam “Kawasan Hutan”, baik itu Hutan Produksi dan Produksi Terbatas, Hutan Lindung, maupun Hutan Konservasi. Baru-baru ini dilansir oleh  koalisi organisasi masyarakat sipil, sebuah dokumen  “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial, Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia”, yang di antaranya mengusulkan untuk menyelesaikan status hukum lebih dari 30 ribu Desa yang berada di dalam, atau tumpang tindih dengan, kawasan hutan Negara.[7]

Kementerian Pertanian pun tidak mendukung program Reforma Agraria yang diinisiasi Joyo Winoto dan BPN tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya asistensi teknis pertanian dan kredit untuk para penerima tanah-tanah yang diredistribusi dalam program PPAN, Kementerian Pertanian menjalankan skema-skema baru untuk menggenjot produksi pangan, terutama beras, dalam program food security,  mengagendakan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang kemudian menjadi UU No. 41/2009, hingga memfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa untuk membuat perkebunan-perkebunan untuk produksi makanan dan energi dengan mengembangkan food and energy estate di sejumlah tempat, termasuk yang paling luas di kabupaten Merauke (pada mulanya diberikan Ijin lokasi seluas lebih dari 2,1 juta hektar oleh Bupati Merauke sepanjang 2007-2011 (Data bersumber dari BKPMD Kabupaten Merauke 2011). 

Selain dari Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya adalah tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agraria, suatu badan otorita khusus yang dirancang mengurus segala sesuatu berkenaan dengan upaya merencanakan hingga memberdayakan para penerima tanah objek land reform dan membuat tanah-tanah yang diredistribusikan itu produktif dan bisa dikelola secara berlanjutan. Namun, pembentukan Badan yang diancangkan berbentuk “Badan Layanan Umum” (BLU) ini, yakni suatu jenis badan usaha pemerintah yang tidak ditujukan untuk kepentingan profit, tidak berhasil memperoleh otorisasi dari Departemen Keuangan sehubungan dengan keharusan untuk menunjukkan bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana APBN, melainkan sanggup secara terus-menerus hidup  dari perputaran uang yang bermula dari modal awal yang akan diberikan pemerintah. Walhasil, ide Lembaga Pengelola Reforma Agraria ini kemudian dihilangkan dari draft RPP Reforma Agraria.

Dengan keterbatasan ini, pada prakteknya apa yang disebut Reforma Agraria oleh Joyo Winoto adalah suatu skema  legalisasi hak atas tanah melalui jalur “pemberian hak di atas tanah negara”, dimana diagendakan sekitar 1,1 juta hektar tanah Negara akan dilegalisasi melalui skema “redistribusi tanah”.  

Tiap tahun semenjak 2006, BPN meningkatkan permintaan budgetnya, termasuk untuk menggunakan budget APBN untuk melakukan legalisasi atas tanah-tanah melalui skema “Pemberian Hak atas Tanah Negara ini”. Setiap sertifikat dibudgetkan seharga 300.000 rupiah hingga 500.000 rupiah per persilnya, bergantung jauh dekatnya, mudah sulinya, akses dan pelayanan dari kantor pertanahan setempat. 

Sumber lain untuk “redistribusi tanah” adalah “tanah-tanah terlantar”. “Tanah-tanah terlantar” adalah  tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN luasan “tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar” (lihat table di bawah). 


 

Tabel: Identifikasi tanah-tanah terlantar di semua provinsi 

 

Tipe hak tanah

 

Total (hektar)

 

a.

Hak Guna Usaha

1.925.326

b.

Hak Guna Bangunan                                                 

     49.030 

c.

Hak Pakai

401.079

d.

Hak Pengelolaan

535.682 

e.

Tanah dengan ijin lokasi, dan ijin-ijin lainnya 

4.475.172 

 

Total                                                                               

7.386.289

Sumber: 

Badan Pertanahan Nasional, Deputi Pengendalian Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, 2009.  

 

Untuk melakukan pengambilalihan keseluruhan “tanah terlantar” ini, BPN membuat PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayaguaan Tanah Terlantar. Sebagai pasangannya BPN memprakarsai RPP tentang Reforma Agraria yang memuat ketentuan kategori asal tanah yang akan diredistrribusikan, yang disebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kriterian penerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga pemberdayaan subjek yang menerima TORA. Namun, berbeda dengan RPP tentang Tanah terlantar yang berhasil selesai menjadi PP No 41/2009, RPP RA tidak berhasil menjadi PP. Setelah lebih dari lima tahun diproses, pada tengah tahun 2012 ini, Presiden SBY mengakhiri proses RPP Reforma Agraria. Berbagai kelompok di elite parlemen dan pemerintahan tidak menyetujui RPP Reforma Agraria.  Penulis kerap bertanya pada Kepala BPN dan Staff Khusus Kepala BPN bagaimana status RPP RA ini. Dari waktu ke waktu saya mendapatkan kesimpulan bahwa dukungan politik atas Reforma Agraria kurang memadai, dan menggantungkan pada hubungan antara Joyo Winoto dengan Presiden. Pada satu percakapan dengan penulis di akhir tahun 2012, Joyo Winoto ditanya oleh Presiden SBY mengenai perkembangan RPP Reforma Agraria. Joyo Winoto melaporkan pada Presiden bahwa draft terakhir RPP tersebut semenjak tahun 2011 telah selesai melewati rapat antar departemen dan menanti untuk diangkat ke rapat kabinet. Menurut Winoto, Presiden meminta draft terakhir itu untuk disampaikan ke meja beliau secara langsung agar bisa diagendakan. Saat itu Winoto masih menunjukkan optimismenya bahwa hubungan khususnya dengan Presiden dapat diandalkan untuk membuat RPP Reforma Agraria itu dapat disetujui rapat dijadikan agenda rapat kabinet untuk kemudian disetujuinya. Namun tidak demikian kenyataannya. 

Penulis diceritakan bahwa pada suatu waktu di awal tahun 2012,  beliau diminta datang untuk menghadiri rapat kabinet membahas RPP Reforma Agraria. Namun, setelah tiba di Istana, ia mempelajari bahwa pembahasan RPP Reforma Agraria itu tidak ada dalam agenda rapat kabinet. Ia pun kembali ke kantor BPN setelah memberi keterangan pers pada wartawan bahwa rapat kabinet tentang Reforma Agraria ditunda karena Presiden memprioritaskan agenda lainnya. Seraya menghibur, Winoto menyampaikan bahwa “sudah merupakan nature-nya sebagai agenda perjuangan. Jalan Reforma Agraria ditentang disana-sini. Bukan Reforma Agraria bila jalannya lancar” (Percakapan pribadi, 15 Februari 2012).


 

BAGIAN IV. 

JALAN BARU?

DARI tinjauan perjalanan kebijakan, reforma agraria sesungguhnya  adalah agenda bangsa yang aspirasinya terus hidup di hati rakyat. Ia adalah cermin rasa keadilan kolektif rakyat, yang lahir bukan dari konsepsi abstrak dan nir-sejarah, melainkan dari pengalamaan penderitaan yang panjang dan berliku. Dewasa ini, agenda ini juga dihidupkan oleh cita-cita keadilan sosial yang daya panggilnya menjadi kian mendesak ketika bangsa ini mengalami berbagai persoalan struktural yang kronis seperti: pengangguran, kemiskinan, ketimpangan penguasaan tanah, konflik dan sengketa pertanahan, pembatasan akses masyarakat terhadap tanah dan sumber daya produktif lainnya, degradasi lingkungan, dan kerawanan pangan dan energi nasional. 

Ketika reforma agraria diajukan sebagai jawaban, maka sesungguhnya masalah-masalah struktural itulah yang menjadi pertanyaan utamanya. Oleh karena itu, selain konsepsi yang disebut Reforma Agraria musti terus menerus diperbaharui sehubungan dengan kesempatan politik yang tersedia, arena uji dalam menilai watak dan kesahihan pelaksanaan reforma agraria terletak pada sejauh mana jawaban yang diberikan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

Sebagai permulaan, pemerintah pada tahun 2007 dan 2008 telah melaksanakan beberapa pilot project pelaksanaan reforma agraria, yang dulunya diberi judul Proyek Pembaruan Agraria Nasional (PPAN), di sejumlah lokasi di tanah air. Terdapat 8 provinsi yang melaksanakan pilot project PPAN pada tahun 2007, yaitu: Provinsi Sumatra Utara (di Kabupaten Langkat dan Asahan), Sumatra Selatan (di Kab. Ogan Komering Ilir), Lampung (di Kab. Lampung Tengah dan Lampung Selatan), Banten (di Kab. Lebak dan Pandeglang), Jawa Barat (di Kab. Bogor, Ciamis dan Garut), Jawa Timur (di Kab. Blitar), Bali (di Kab. Karangasem), dan Provinsi Sulawesi Tenggara (di Kab. Kolaka). Pada tahun 2008 ini pelaksanaan pilot project PPAN akan berlanjut di 31 (tiga puluh satu) provinsi di tanah air. 

Pelaksanaan sejumlah pilot project PPAN ini diarahkan untuk menguji coba model-model delivery system reforma agraria yang kontekstual dengan kondisi setempat, sekaligus menyumbang pada pemahaman tentang batas-batas kemampuan birokrasi dalam menerapkannya. Alokasi penyediaan tanah yang dijadikan sebagai obyek reforma agraria berasal dari tanah-tanah negara yang berada di bawah yurisdiksi BPN RI langsung, dan sejauh ini belum ada yang berasal dari kawasan hutan produksi konversi. 

Dari sejumlah pilot project itu, sampai sejauh ini, terdapat dua tipe utama pelaksanaan PPAN. Tipe pertama berbentuk penyelesaian konflik agraria, dan tipe kedua, yang lebih umum, adalah bentuk pendaftaran tanah melalui redistribusi atas tanah-tanah yang sebelumnya memang telah ditetapkan sebagai Tanah Obyek Landreform (TOL). Tipe pertama terdapat pada pelaksanaan PPAN di kawasan perkebunan yang menghadapi klaim rakyat sekitar atas sebagian areal Hak Guna Usaha-nya. Melalui mekanisme penyelesaian perundingan dengan pihak perkebunan, klaim penduduk atas sebagian areal perkebunan ini diakui dan disahkan. Caranya adalah dengan mengeluarkan areal yang sudah dikuasai oleh penduduk itu dari areal HGU (yang kebetulan sedang dalam proses permohonan ijin perpanjangan), untuk selanjutnya tanah itu ditetapkan sebagai obyek reforma agraria dan kemudian diredistribusikan kepada para petani yang mengklaimnya. Tipe pertama ini misalnya terdapat pada pelaksanaan PPAN tahun 2007 di Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatra Utara, serta di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. 

Tipe kedua merupakan bentuk yang paling banyak dijumpai pada berbagai pilot project PPAN yang sudah dan sedang berlangsung saat ini. Tipe ini adalah pelaksanaan PPAN di atas tanah yang sebelumnya memang telah ditetapkan oleh BPN sebagai Tanah Obyek Landreform (TOL). Secara faktual, tanah ini juga sudah dikuasai oleh masyarakat (yakni obyek dan subyeknya sudah berada di lokasi yang sama), dan apa yang dilakukan dalam pelaksanaan PPAN ini adalah menguatkan hak atas tanah tersebut menurut kondisi penguasaan yang telah ada. Dengan demikian, bentuk kedua ini, berbeda dari yang pertama, sebenarnya sama sekali tidak mengubah ketimpangan penguasaan tanah mikro yang sudah ada sebelumnya.

PPAN dilaksanakan memang mustinya bukan sebatas redistribusi tanah semata. Seperti telah disebut di depan, PPAN merupakan serangkaian aktivitas yang menyatukan antara asset reform dan access reformAsset reform berarti land reform untuk menata ulang struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah. Sedangkan access reform adalah rangkaian program pendukung yang saling terkait dan berkesinambungan, meliputi antara lain: (a) penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, (b) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, (c) dukungan permodalan, (d) dukungan organisasi dan manajemen, (e) dukungan distribusi pemasaran, dan dukungan-dukungan lainnya. 

Dua tipe utama PPAN itu memiliki signifikansi dan batas-batasnya. Apa yang sekarang sudah berjalan dalam pilot project PPAN itu perlu untuk dilihat dan dinilai kualitas proses dan dampak outputnya. Misalnya, dari segi dampakoutput, sebatas manakah pemberian asset reform dan access reform dalam program ini mampu menjamin tercapainya kesejahteraan rakyat, produktivitas pertanian, dan keberlanjutan daya dukung alam? Sedangkan dari segi proses, sejauh mana partisipasi masyarakat dapat diintegrasikan dalam keseluruhan tahapan program, bukan hanya secara individual tetapi juga sosial. 

Kerangka untuk melakukan penilaian sejauh mana keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan reforma agraria dalam mencapai tujuan-tujuan yang  dicanangkan adalah  sama pentingnya dengan kejujuran untuk melihat batas-batas pengaruh dari program yang dirumuskan dan dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Karena itu, kerangka mengevaluasi reforma agraria musti diluaskan dari hanya melihat pada situs tempat pelaksanaan proyek ke skala wilayah, dan dari upaya menghadapi kondisi kemiskinan agraria setempat ke upaya menanggulangi sebab-sebab dari kemiskinan agraria. Kedua hal ini dapat berhasil apabila kita mengubah cara kerja proyek ke cara kerja yang mengkombinasi kekuatan-kekuatan pro-reforma agraria di berbagai sektor negara dan masyarakat. Inilah tantangan besar kita, komponen bangsa yang pro-reforma agraria.

Mari kita memperluas model pro-poor land reform yang awalnya dikonsepkan oleh Borras and McKinley (2006) sebagai alternatif dari state-led land reform, market-led land reform, dan peasant-led land reform. Menurut evaluasi mereka, state-led land reform banyak dilaksanakan dalam rangka memulihkan/menguatkan legitimasi politik penguasa pemerintahan, meskipun juga mementingkan agenda-agenda pembangunan lainnya; memerlukan komitmen politik yang sangat kuat; mobilisasi petani sangat dibutuhkan untuk mewujudkan agenda land reform, dan hubungan para petani dengan pasar sangat lah terbatas. Sedangkan market-led land reform, pertimbangan utama pelaksanaannya adalah dalam rangka pencapaian efisiensi/produktivitas secara ekonomis; mengurangi peran negara dalam transaksi atas tanah maupun transaksi ekonomi lainnya; para petani sesungguhnya berada di bawah perintah pelaku-pelaku pasar; dan pada kenyataannya apa yang diistilahkan ‘dipimpin pasar’ artinya dikendalikan oleh para pemilik tanah luas/pedagang hingga perusahaan-perusahaan raksasa. Berbeda dengan kedua model di atas, peasant-led land reform beranggapan bahwa ‘negara telah dibelenggu oleh kepentingan elit (elite capture), sementara kekuatan pasar berarti juga melayani kepentingan elit; dengan demikian, satu-satunya cara untuk mencapai reforma agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria. 

Dengan memperluas konsepsi pro-poor land reform ini menjadi pro-poor agrarian reform yang dapat dimengerti sebagai suatu upaya bersama pemerintah dan kekuatan-kekuatan  sosial masyarakat untuk menata kembali distribusi penguasaan tanah yang timpang. Pertama-tama dengan meredistribusi aset tanah pada orang miskin, yang langsung disertai dengan penyediaan berbagai fasilitas dan akses kredit, perbaikan tata guna tanah, teknologi, pasar dan sebagainya, yang mampu mewujudkan inovasi-inovasi baru dan perubahan sosial yang lebih baik bagi kaum miskin. Jalan ini sungguh tepat untuk mempercepat pencapaian apa yang telah ditetapkan secara global dalam tujuan no. 1 dari Millenium Development Goals (MDGs), yakni mengurangi jumlah orang miskin menjadi setengahnya di tahun 2015 dibanding di awal tahun 2000.

Pro-poor agrarian reform ini bertumpu pada empat kaki, dimana masing-masing kaki dapat dilihat sebagai suatu proses yang bertumbuh maupun sebagai kondisi. Model ini tidak lah meromantisasi petani dan organisasi mereka. Juga tidak meromantisasi sifat budiman negara. Juga tidak meyakini bahwa pasar dapat mengurangi kemiskinan. Melainkan, saya percaya adanya keterkaitan masalah keadilan sosial, produktivitas ekonomi dan kerusakan lingkungan hidup. Diperlukan suatu pemahaman yang komprehensif mengenai keberkaitan antara ketiganya. Saya anjurkan untuk tidak memahami negara, gerakan-gerakan petani dan kekuatan pasar bukan sebagai kelompok-kelompok yang terpisah-pisah, namun sebagai pelaku-pelaku yang terhubung satu sama lain; dan berpusat pada petani dan didorong oleh negara dalam rangka perwujudan keadilan sosial, penatagunaan tanah untuk pemulihan lingkungan, dan meningkatkan produktivitas secara ekonomis. 


Gambar 07. Empat Kaki Reforma Agraria (Borras and McKinley 2006)

Seperti ditunjukkan oleh bagan pada Gambar 07, reforma agraria akan dapat berhasil diwujudkan bila disokong penuh oleh empat kaki utamanya, yaitu adanya organisasi-organisasi rakyat miskin pedesaan yang otonom; digalangnya koalisi politik yang luas dan pro-reforma agraria; disalurkannya investasi publik, kredit pemerintah, asistensi teknis yang besar; dan dijalankannya strategi pembangunan pro-poor yang berorientasi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity). 

Dua kaki pertama (organisasi-organisasi rakyat miskin pedesaan yang otonom dan koalisi politik yang luas pro-reforma agraria) sangatlah penting untuk memastikan agar keseluruhan proses reforma agraria dapat berjalan baik dan benar-benar sesuai dengan aspirasi rakyat. Keduanya juga penting untuk memastikan agar pelaksanaan reforma agraria ini memperoleh kekuatan bukan hanya dari mereka yang akan menjadi penerima tanah objek reforma agraria, melainkan juga memperoleh dukungan yang luas dari berbagai kalangan pro reforma agraria di tubuh negara maupun masyarakat, sehingga sinergi kekuatan ini dapat mengatasi berbagai bentuk resistensi dan pembelotan yang berlangsung sepanjang tahapan implementasinya. 

Hal inilah yang paling sulit, karena memerlukan cara baru dalam memahami bagaimana akumulasi dan konsentrasi tanah dan kekayaan lainnya dipertahankan, dan reforma agraria merupakan proses yang menentang kecenderungan akumulasi dan konsentrasi tanah dan kekayaan itu. Sedangkan dua kaki terakhir (investasi publik yang besar dan strategi pro-poor growth) adalah penting untuk menjamin bahwa reforma agraria bukanlah sekedar suatu proyek sekali jadi, tapi sebagai basis dari pembangunan secara keseluruhan, yang mencakup: 1) penatagunaan tanah untuk pemulihan lingkungan, 2) peningkatan produktivitas, 3) perubahan pola konsumsi, 4) perbaikan tatanan kelembagaan sosial, 5) inovasi teknologi, dan sebagainya.

 Hal ini dengan sendirinya menegaskan bahwa konsep reforma agraria tidak boleh disalahpahami sebagai suatu proyek pendaftaran tanah semata. Untuk memastikan hal itu, maka pelaksanaan reforma agraria haruslah bersifat komprehensif dan tidak tersekat dalam rubrik-rubrik portofolio sektor dan kelembagaan. Para pelaksana reforma agraria di lapangan harus menyadari bahwa agenda reforma agraria menuntut untuk bekerja dalam ruang kolaborasi yang lebih luas, dan secara kreatif menggunakan pemahaman pro-poor agrarian reform ini sebagai pegangan untuk bekerja.

Dengan PPAN 2007, dan 2008, Badan Pertanahan Nasional (BPN) telah memulai menemukan kembali jalan menuju reforma agraria sebagai dasar dari pembangunan. Sesungguhnya, keterbatasan pengaruh dari yang diterapkan di tahun 2007-2008 itu berasal dari tiga sumber: (a) pendekatan pada situs (site approach) dan bukan pendekatan wilayah (teritorial approach); (b) pendekatan superficial daripada pendekatan struktural, (c) pendekatan proyek (project approach) dan bukan pendekatan sinergi berbagai kekuatan sosial.

Dengan melepaskan tanah objek land reform dari keseluruhan konteks wilayahnya, pendekatan situs membuat pejabat dan pegawai BPN terfiksasi (terpaku) pada proses pemberian hak atas tanahnya yang dijadikan objek land reformpada subjek penerimanya. Cenderung diabaikan bagaimana kedudukan situs itu dalam keseluruhan wilayah, dan bagaimana wilayah itu memberi fungsi khusus atas situs yang diurus tadi. Dengan mengurus apa yang tampak di permukaan saja (surface), pendekatan superficial menggiring pembuat kebijakan dan pelaksana reforma agraria terfiksasi (terpaku) pada pernak-pernik mengurus “akibat-akibat” dari pada menangani “sebab-sebab” dari masalah kemiskinan agraria. Cenderung diabaikan bagaimana cara menghadapi sebab-sebab dari masalah kemiskinan agraria yang terdapat pada wilayah itu. Dengan berdasar pada siklus anggaran negara, pendekatan proyek membuat pejabat dan pegawai pemerintah bekerja semata berdasarkan pada siklus anggaran. Cenderung diabaikan bagaimana membangun suatu sinergi antar berbagai komponen bangsa yang berpengaruh di wilayah kerjanya.

Penerapan reforma agraria memerlukan peralihan dari pendekatan kasus, pendekatan superficial, pendekatan proyek, ke pendekatan wilayah, pendekatan struktural, dan pendekatan sinergi kekuatan sosial. Semua ini memerlukan kompetensi, imajinasi, sumber daya dan lebih dari segalanya adalah komitmen untuk belajar secara tekun dan kreatif. Hanya dengan demikian maka ketiga pendekatan tersebut dapat diintegrasikan dan diwujudkan untk mengatasi masalah-masalah agraria rakyat miskin.

Perwujudan reforma agraria yang akan datang diharapkan berdasar 4 (empat) hal (Borras and McKinley 2006):

Pertama adalah keharusan adanya rakyat pedesaan yang terorganisir. Penggerak tetap reforma agraria adalah rakyat pedesaan itu sendiri, yang mengorganisir diri secara mandiri. Mereka selama ini hidup terkungkung di dalam sistem-sistem agraria yang menurunkan mutu hidupnya bahkan mengancam keberlangsungan hidup generasi selanjutnya. Setiap sistem agraria itu mempunyai hubungan khusus dengan lingkungan alam dan sosialnya. Sistem agraria perkebunan kapitalis akan senantiasa bersifat eksploitatif-ekstraktif baik terhadap alam maupun rakyat yang bekerja untuknya. Sistem agraria pertanian keluarga berupa agroforest akan sangat ramah dengan alam, dan mampu fleksibel menghadapi pertumbuhan jumlah anggota keluarga. Sistem agraria pertambangan raksasa akan membuka lapisan tanah bila dipergunakan teknologi open-pit mining, mengeruk barang tambang di lapisan bawah dan menghasilkan sampah tailing yang merusak dan sulit dipulihkan. Sistem agraria pembalakan hutan akan mengasilkan deforestasi hutan alam yang tak terkendali, serta membatasi akses masyarakat adat atas hutan nenek-moyang mereka. Dan seterusnya. Dari satu babak ke babak selanjutnya sejarah perjalanan Republik Indonesia, sistem-sistem agraria tertentu yang mendominasi berbeda-beda bentuknya. Ada yang hilang karena dijadikan objek reforma agraria, dan berhasil dilenyapkan. Tetapi, ada juga yang terus bertahan hidup bahkan meluas kembali menjadi sistem agraria yang mendominasi pada babak selanjutnya. Upaya untuk mengubah sistem-sistem agraria yang eksploitatif-ekstraktif ini amat bergantung pada kemampuan rakyat pedesaan sendiri untuk menjadikan dirinya sebagai gerakan sosial yang terorganisir dan mandiri.

Kedua adalah koalisi politik yang luas pro-reforma agraria. Pasang-surut komitmen badan-badan pemerintah menjalankan Reforma Agraria seiring-sejalan dengan koalisi politik yang menjadi tempat pimpinan pemerintahan menyandarkan diri. Sinergi komponen bangsa yang luas untuk menjalankan reforma agraria merupakan syarat keberlangsungan dari program reforma agraria pemerintah pada masa itu. Politik agraria apapun yang dijalankan oleh suatu pemerintahan, termasuk reforma agraria, akan mengubah susunan kekuasaan di pedesaan. Perubahan susunan kekuasaan inilah yang bisa mengguncangkan, dan karena itulah reforma agraria didukung atau justru dihambat bahkan ditentang. Untuk itulah dibutuhkan suatu koalisi pendukung reforma agraria yang luas, melintasi batas-batas kelembagaan pemerintahan, organisasi sosial-politik,  akademisi dan para penggerak serta pemimpin rakyat pedesaan. Hal yang terpenting bagi birokrasi pemerintah sebagai salah satu komponen utama negara Republik Indonesia adalah menjalankan reforma agraria sebagai suatu wujud pengakuan atas hak-hak kewarganegaraan rakyat petani di pedesaan. Bagi petani, hak asasi yang utama adalah hak untuk mendapatkan akses yang aman atas sumber daya  produktifnya: tanah, kekayaan alam, serta berbagai teknologi untuk produksi dan memelihara lingkungan alamnya. Pemenuhan hak asasi manusia adalah kewajiban negara, dan menjalankan kewajiban negara adalah memuliakan penduduk menjadi warga negara.

Ketiga, keharusan adanya suatu mobilisasi dana publik terutama  anggaran negara, asistensi teknik, fasilitasi dan pendidikan bagi penduduk pedesaan yang miskin untuk mampu memulihkan kondisi hidupnya, memperbaiki tata guna tanah dan lingkungan alamnya, dan meningkatkan produksinya. Hubungan antara reforma agraria dengan kemiskinan adalah berbanding terbalik. Semakin besar komitmen politik dan investasi publik diberikan untuk reforma agraria, jumlah orang miskin berkurang dengan drastis. Berbeda dengan program-program penanggulangan kemiskinan yang lain, Reforma Agraria mampu mengenai dan mengangkat orang-orang miskin pedesaan yang terperangkap dalam kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Kemiskinan yang kronis itu adalah situasi yang terus-menerus diderita oleh kelompok masyarakat pedesaan di kelas terendah. Kelompok ini terbentuk dan terpelihara kondisi penderitaannya bukan hanya akibat social exclusion, tapi terutama karena adverse incorporation berupa perangkap sistem agraria yang menghisap kerja rakyat, memiskinkan dan mengekang hak-hak asasi mereka, dengan terisolasinya mereka dari jangkauan program pembangunan yang mampu membebaskan mereka (social exclusion). Kombinasi dua proses inilah melanggengkan perangkap kemiskinan yang kronis itu (Hickey dan Du Toit 2007). 

Keempat adalah dibutuhkannya suatu kebijakan sosial-ekonomi yang mampu memelihara dan menguatkan hasil-hasil positif dari reforma agararia. Kuncinya adalah mengubah strategi pembangunan pertumbuhan tanpa pemerataan (growth without equity) menjadi strategi pembangunan baru yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang menguntungkan kaum miskin (pro-poor growth). Strategi pembangunan demikian itu akan menghilangkan struktur-struktur yang merintangi terpenuhinya hak-hak rakyat (entitlement) di satu pihak, dan juga mengembangkan kemampuan-kemampuan (capabilities) untuk berpartisipasi dalam berbagai upaya perbaikan kualitas hidup (well being). Dengan dasar inilah Amartya Sen (1981, 1999) menyebut pembangunan model ini sebagai pembebasan (development as freedom). 

Kegagalan menjalankan Reforma Agraria, lebih-lebih merintangi berjalannya reforma agraria, seperti yang kita saksikan akhir-akhir ini,  merupakan bahaya yang mengancam masa depan bangsa. Karena itu perwujudannya merupakan jalan mencegah rakyat miskin tidak tertolong dan tetap terperangkap dalam kemiskinan yang kronis. Bila hal ini terus berlanjut, mereka akan mudah disulut dan cenderung melepaskan diri dari agenda bangsa yang lebih besar lainnya, kecuali hanya sibuk memenuhi kepentingan praktis hidup dari hari ke hari. 

 


 




[1] Untuk pembabakan semenjak proklamasi tahun 1945, lihat Rachman 2012.

[2] Fungsi-fungsi tersebut mencakup

a.      perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;

b.      perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;

c.      koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;

d.      pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;

e.      penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;

f.       pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;

g.      pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;

h.      pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;

i.       penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai danlatau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;

j.       pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; Ic. lcerja sama dengan lembaga-lembaga lain;

k.      penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;

l.       pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

m.     pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;

n.      pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;

o.      penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

q.      pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;

r.       pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;

s.      pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;

t.       pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

u.      fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang­undangan yang berlaku.

[3] Apa yang dahulu disebut “catur tertib pertanahan” diganti menjadi empat prinsip baru yakni: bahwa Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk: 1) meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2) tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah; 3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah; dan 4) menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

[4] “SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN. Akan Dikembangkan, Program Reforma Agraria”. 28 September 2006. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.html (Diunduh terakhir pada tanggal 28 Agustus 2012)

[5] Pidato Presiden RI pada Awal Tahun 2007. 31 Januari 2007. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/01/31/582.html (Diunduh terakhir pada tanggal 28 Agustus 2012)

[6] “Rapat Terbatas Bahas Reforma Agraria.” 23 Mei 2007. Website Resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=402&Itemid=55 (Diunduh terakhir pada tanggal 28 Agustus 2012).

[7] Tepatnya  31.957 desa. Menurut sumber BPS dan Departemen Kehutanan (2007), 71,06% dari desadesa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan (hal 6-7). 31.957 desa dari 72.816 desa seluruh Indonesia sama dengan 43,88%. Dari jumlah ini, ada 19.410 di antaranya atau 26,656 % dari seluruh desa di Indonesia. Sumber datanya adalah Departement Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (2007, 2009).