Adat sebagai Siasat Perjuangan

Restu Achmaliadi dan Noer Fauzi Rachman

 

Pengantar buku Claudia Francesca D’Andrea (2013) Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah. Bogor: Tanah Air Beta, Sajogyo Institute, Yayasan Tanah Merdeka.

 

 

            Perjuangan orang Katu untuk mendapatkan kembali hak-haknya atas tanah pasca reformasi 1998 sangatlah terkenal di kalangan para aktivis gerakan agraria, lingkungan hidup, dan peneliti.  Perjuangan orang Katu untuk bisa tetap tinggal dan hidup di tanah adatnya menjadi inspirasi berbagai pihak yang memperjuangkan hak-hak agraria rakyat dan gerakan lingkungan hidup yang menghargai tata cara tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Surat Pernyataan Kepala Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL) No. 35/VI-BTNLL.1/1999 pada garis besarnya mengakui hak adat Orang Katu. Taman Nasional membolehkan Orang Katu tinggal pada areal seluas 1.178 hektar dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan kawasan konservasi seluas 229.000 hektar itu.

            Buku “Kopi, Adat, dan Modal: Teritorialisasi dan Identitas Adat di Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah” berasal dari disertasi doktoral dari  Claudia Francesca D’Andrea, sarjana ekologi politik dari University of California, Berkeley (USA). [1] 

            Buku ini secara umum menceritakan tentang dinamika pengakuan keberadaan Orang Katu dalam BTNLL, serta hubungannya dengan berbagai wacana nasional-internasional tentang identitas adat, konservasi modern, dan teritorialisasi. Secara umum buku ini sangat menarik, khususnya untuk para aktivis agraria Indonesia; lebih-lebih yang bekerja di Sulawesi Tengah perlu membacanya dengan seksama. Dalam resensi buku ini kami hanya menyoroti dan memberikan penekanan pada butir-butir tertentu dalam buku ini yang kami anggap sangat menarik, termasuk di dalamnya memberi makna yang lebih luas terhadap butir-butir itu.

Pengantar untuk Membaca Karya Cornelis van Vollenhoven (1919) Orang Indonesia dan Tanahnya


Upik Djalins dan Noer Fauzi Rachman


Dimuat sebagai Esai Pengantar dalam Cornelis van Vollenhoven (2013) Orang Indonesia dan Tanahnya. Yogyakarta:  Sajogyo Institute, Perkumpulan HuMa, STPN Press, Tanah Air Beta. Halaman xi - xxx
Free access: Orang Indonesia dan Tanahnya (pdf)     


Pengakuan oleh negara atas hak-hak atas tanah masyarakat adat  padahakekatnya adalah suatu refleksi kesediaan para pengemban kekuasaan negara untuk mengakui eksistensi masyarakat adat yang otonom, dan kemudian daripada itu juga untuk mengakui hak-hak masyarakat adat itu atas tanah dan segenap sumber daya alam yang ada di atas dan/atau di dalamnya -- yang bernilai vital untuk menjamin kelestarian fisik dan nonfisik masyarakat tersebut. 
(Soetandjo Wignyosoebroto, 1998)
 

Buku Cornelis van Vollenhoven (1919) De Indonesiër en Zijn Grond, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Orang Indonesia dan Tanahnya, pada mulanya adalah suatu pamflet akademik untuk menjegal usulan amandemen pasal 62 Regeringsreglement 1854 (Konstitusi Hindia Belanda 1854), yang akan berakibat pada  dihapuskannya perlindungan atas hak-hak atas tanah masyarakat pribumi, khususnya di luar Jawa dan Madura. Prestasi van Vollenhoven dalam arena perjuangan hukum ini bukan yang pertama. Prestasi pendahulunya adalah di tahun 1914 ketika pemerintah Belanda menerbitkan (lagi) sebuah rancangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk seluruh golongan penduduk di Hindia Belanda tanpa terkecuali. Van Volenhoven dengan lantang mengkritik usaha unifikasi hukum itu, dengan menuliskan pendapat-pendapatnya yang membela dan memperjuangkan pengakuan atas hukum adat. Pada gilirannya, rancangan undang-undang tahun 1914 yang mendasarkan diri pada cita-cita unifikasi hukum di tanah jajahan itu pun batal dan tak pernah diajukan ke parlemen (Wignjosoebroto 1984:112).