Noer Fauzi Rachman*)
Esai berikut dimuat sebagai Epilog Noer Fauzi Rachman dalam buku Amin Tohari (2013) Keluar dari Demokrasi Populer, Dinamika Demokrasi Lokal dan Distribusi Sumber Daya. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas (PAU) UGM.
Untuk akses penuh secara bebas atas buku tersebut dari https://polgov.fisipol.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1667/2022/02/keluar-dari-demokrasi-popular-cetak.pdf
Studi Amin Tohari ini jelas menyemarakkan studi-studi mengenai politik lokal yang lebih dari sepuluh tahun belakangan ini menjadi satu kecenderungan baru dalam penelitian sosial di Indonesia, seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang digulirkan oleh pemerintah Indonesia setelah tumbangnya kekuasaan rejim otoritarian sentralistik, pada awal tahun 1998. Kebijakan desentralisasi di Indonesia yang mulai diberlakukan pada tahun 2001 merupakan kasus yang diamati secara khusus oleh para peneliti, di antaranya karena kemanjurannya dengan cepat mengubah Indonesia dari negara unitaris dengan sistem paling sentralis menjadi negara dengan sistem paling desentralistis di dunia. Demikian klaim dua ahli dari Bank Dunia, Hofman dan Kaisser menyebutnya sebagai Big Bang Desentralisation karena karakteristik-karakteristik berikut:
a. Perundang-undangan baru tentang desentralisasi menyediakan otonomi luas untuk seluruh gugus tugas kecuali beberapa gugus tugas yang secara tegas ditetapkan oleh pusat – termasuk pertahanan, pengadilan, kepolisian dan perencanaan pembangunan.
b. Pada tahun 2002 andil pengeluaran pemerintah daerah meningkat 40 persen, meningkat tajam dibanding rata-rata 15 persen di tahun 90an
c. Selain pengeluaran, banyak apparatus pemerintah berada dibawah kendali daerah-daerah. Lebih dari 2,1 pegawai negeri sipil atau hampir 2/3 tenaga kerja pemerintahan pusat dialihkan pada wilayah-wilayah. Kini, sekitar 2,8 juta dari 3,9 juta pegawai negeri sipil dikategorikan sebagai pegawai negeri sipil wilayah. Dan,
d. 239 kantor-kantor perwakilan pemerintah pusat tingkat provinsi, 3,933 kantor-kantor tingkat lokal, lebih dari 16.000 fasilitas pelayanan seperti sekolah, rumah sakit, pusat pelayanan kesehatan, sepenuhnya dialihkan pada pemerintahan daerah di seluruh Indonesia (Hofman dan Kaiser 2002:1).
Bukan maksud penulis dalam naskah ini untuk menelusuri asal usul kebijakan desentralisasi itu atau menelusuri perubahan kebijakan-kebijakan yang terus menerus terjadi, ataupun mengevaluasi keberhasilan atau kegagalan implementasinya. Akan tetapi penulis akan menyajikan dengan sekelbat panorama studi-studi seputar basis dari kekuasaan politik lokal. Di bagian akhir dari naskah ini, penulis menunjukkan studi-studi yang merintis untuk bisa memperlihatkan hubungan antara proyek pembangunan dan cara bagaimana kapitalisme berkembang secara tidak sama antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Kritik terhadap Argumen Neo-Institusionalist
Penulis akan memulai dari argumen Bank Dunia yang mengkerangkakan desentralisasi dalam konteks Comprehensive Development Framework (Kerangka Pembangunan Komprehensif). Dimulai sejak awal abad 21, Bank Dunia telah banyak sekali mengubah pendekatan pembangunan dari Structural Adjustment(Penyesuaian Struktural) menjadi Comprehensive Development Framework. Meski diluncurkan di tahun 1999, CDF bukanlah hal baru. Yang baru adalah kombinasi seluruh komponen-komponen menjadi sebuah kerangka untuk mengarahkan bantuan pembangunan, yakni:
a) Hambatan-hambatan pembangunan itu bersifat sosial dan struktural, yang tidak bisa hanya diatasi semata-mata melalui stabilitas ekonomi dan kebijakan penyesuaian kebijakan belaka. Pembangunan membutuhkan visi kebutuhan dan solusi yang holistik dan berjangka panjang.
b) Reformasi kebijakan dan pelembagaan pembangunan tidak bisa diimpor atau dipaksakan; tanpa kepemilikan domestik, reformasi dan investasi tidak akan bertahan lama.
c) Keberhasilan pembangunan mensyaratkan kemitraan antara pemerintah, masyarakat lokal, sektor swasta, masyarakat sipil serta pelaku-pelaku pembangunan lainnya; dan
d) Aktivitas-aktivitas pembangunan harus diarahkan dan dinilai berdasarkan hasil yang telah dicapai sebelumnya.
Perubahan ini dapat dipahami sebagai respon Bank Dunia terhadap pengalaman negatif kegagalan resep kebijakan mereka, terlihat nyata setelah krisis keuangan Asia-Timur (Pender 2001). Juga sebagai suatu konsekuensi dari “paradigma baru pembangunan” yang meletakan“ pembangunan sosial” sepenting “ pembangunan ekonomi” (Stiglitz 2002).[1]
Argumen utama para ahli Bank Dunia memperlakukan pemerintah lokal bersifat fungsional terhadap ruang ekonomi lokal dengan cara mengefisienkan ”pelayanan pada masyarakat”. Mereka menetapkan bahwa desentralisasi diperlukan berjalan baik agar bisa memfasilitasi efisiensi ekonomi-ekonomi lokal ini. Mereka sangat menyadari bahwa kebijakan-kebijakan desentralisasi tidak selalu mencapai tujuan untuk menjadikan pemerintah lokal lebih resposif dan bertanggungjawab, terutama karena lemahnya rancangan pelaksanaan, korupsi, dan pembajakan oleh elit (elite capture). Berdasarkan studi empiris komparatif, mereka berteori bahwa mendekatkan pemerintah pada warga negara serta memberikan kesempatan partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan niscaya akan menciptakan kondisi di mana desentralisasi akan mampu memenuhi janji-janjinya (Crook and Manor 2000; Manor 1999; World-Bank 2001).
Vedi Hadiz menempatkan pandangan ahli-ahli Bank Dunia itu sebagai bagian dari pandangan neo-institusionalist (Hadiz 2004:698). Mengkritik pandangan kaum Neo-institusionalist itu, [2] Hadiz menegaskan bahwa pengalaman kebijakan desentralisasi di Indonesia hanya sedikit mampu mencapai apa yang diyakini para pembaru tata pemerintahan. Yang nyatanya, desentralisasi itu telah berfungsi melayani perkembangan dari apa yang diistilahkannya dengan “newly decentralized, predatory networks of patronage” (Hadiz 2004:699). Dalam bahasa sehari-hari, mungkin maksud dari julukan ini adalah seperti yang diungkap dalam keluhan umum bahwa “bila dahulu kita berhadapan dengan satu Soeharto dengan kroninya, di masa desentralisasi ini Soeharto-nya dan kroni-kroninya ada di mana-mana.”
Dalam karyanya bersama dengan Richard Robison, Hadiz juga dengan lugas mengkritik argumentasi Crok dan Manor (1998) dan Manor (2002), dengan menunjukkan bahwa institusi-institusi demokrasi telah dipakai oleh banyak unsur rejim yang terdahulu, yang tamak dan otoriter (Hadiz dan Robison 2005). Hadiz dan Robison menjabarkan bahwa anggota rejim otoriter dan oligarki sebelumnya telah berhasil membentuk kembali diri mereka layaknya aktor demokratik melalui partai-partai politik dan parlemen yang mereka pimpin. “Karena proses demokratisasi Indonesia telah dibajak oleh kepentingan mereka … hasil-hasil dari desentralisasi tidak seperti yang diduga literatur-literatur neo-institutionalist” (Hadiz 2004:699). “Kaum Neo-institutionalist mengabaikan fakta bahwa demokratisasi, partisipasi publik, akuntabilitas serta hak-hak ekonomi dan sosial benar-benar terikat secara historis dengan hasil perjuangan kepentingan-kepentingan dan kekuatan-kekuatan sosial ... hasil perubahan sosial yang berlangsung selama berabad-abad, seringkali diwarnai oleh konfrontasi kekerasan dan berdarah-darah, tidak kecuali pertarungan antara kelas-kelas sosial.” (Hadiz 2004:702).
Berdasarkan penelitian lapangan di Sumatera Utara, Hadiz menyimpulkan bahwa ketimbang menghasilkan semacam technocratic ‘good’ governance seperti yang diidealkan oleh kaum neo-institutionalist, yang terjadi “justru meningkatkan bandit-bandit dan preman politik dalam kepemimpinan partai-partai, parlemen-parlemen dan lembaga-lembaga eksekutif yang mengendalikan agenda desentralisasi”. Hadiz menyebut mereka sebagai “predator desentralisasi“. Sementara kaum neo-institutionalist cenderung menekankan aspek-aspek teknis desentralisasi, studi kasusnya itu menunjukan bahwa pertarungan kekuasaan lebih berpengaruh pada bagaimana desentralisasi berkiprah dari pada niat dan isi kebijakannya itu sendiri. Lebih dari itu, berbeda dengan kecenderungan para neo-institutionalist yang menghubungkan proses-proses seperti desentralisasi, demokrasi, partisipasi, akuntabilitas dan peran masyarakat sipil/modal sosial, dalam kasus Indonesia jelas terlihat bahwa desentralisasi jelas-jelas direbut dan dikuasai oleh ‘uncivil’ groups(Hadiz 2004:716). Dan akhirnya, “sementara kaum neo-institutionalist memimpikan, meskipun tidak diakuinya, desentralisasi sebagai bagian dari politik yang lebih luas di mana keahlian dan ‘rasionalitas’ teknokratik jalan menurut kehendaknya sendiri, dinamika politik yang nyata menunjukkan ‘para ahli’ teknokratik dan sekutu-sekutu mereka telah dilecehkan karena program-program mereka direbut oleh mereka yang lebih kukuh, terorganisir lebih baik dan tentu lebih berkuasa” (Hadiz 2004:717).
Sekelumit Panorama Studi-studi Politik Lokal Indonesia
Studi lain tentang menguatnya elit lokal adalah studi Dwipayana (2004) yang mengungkapkan bahwa demokrasi loka telah mendorong kelompok bangsawan di dua kota yaitu Surakarta dan Bali dapat memanfaatkan momentum politik untuk kembali berkuasa. Khusus di Bali Ari Dwipayana (2001) mencatat bahwa perubahan ekonomi politik Bali perlahan-lahan mulai menggeser pemilahan sosial berdsarkan kasta ke arah pemilahan berdasarkan kelas sosial. Perubahan strukturk kesempatan ekonomi dan politik di Bali memunculkan kekuatan baru yang disebut kelas menengah. Kehadiran kelas baru yang diakibatkan oleh semakin pentingnya tata produksi perdagangan dan industri telah menjadi kekuatan nyata dalam masyarakat Bali yang menggeser kekuatan kasta.
Studi Armuji (2004) mengungkap tentang kembalinya ulama, jawara, dan pengusaha di kota Cilegon adalah fenomena yang menyertai perubahan politik ekonomi Indonesia di masa transisi khususnya di level lokal. Armuji berargumen bahwa di masa Orde Baru ulama, jawara, dan pengusaha lokal tidak menjadi kekuatan yang menentukan. Namun ketika kontrol negara (pusat) melemah semenjak krisis dan runtuhnya Orde Baru, ulama menggantikanya sebagai aktor penting legitimasi kultural bagi negara di level lokal, kaum jawara menggantikan kekuatan koersif negara yang melemah, dan pengusahan menjadi aktor terpenting dalam upaya mengembalikan kondisi ekonomi yang berantakan selama krisis. Studi di atas menegaskan temuan studi yang dilakukan Syarif
Studi Hidayat (2004) di Banten yang menunjukkan semakin kuatnya elemen-elemen kekuasaan lokal yang pada masa Orde Baru ikut membentuk oligarkhi. Runtuhnya Orde Baru menjadikan Banten hanya dikuasai oleh segelintir keluarga kaya dan berpengaruh yang sebelumnya menjadi bagian integral dari kekuasaan Orde Baru. Keluarga ini, bahkan, dapat mengendalikan politik ekonomi lokal dan membagi-bagi jabatan publik untuk keluarga-keluaranya.
Studi Demos (2007) juga menunjukkan situasi yang tidak jauh berbeda dengan studi-studi di atas. Priyono dan Subono (2007) menunjukkan bagaimana instrumen-instrumen demokrasi lokal yang diterapkan justru hanya dikolonisasi oleh kelompok elite dominan yang dengan sumberdaya politik dan ekonomi yang mereka miliki mampu mengatur dan menentukan arah politik dan kebijakan. Studi McCarthy, Erman, dan Foucher (2007) menunjukkan keterkaitan yang erat antara pengelolaan dan penguasaan timah, hutan, jalur tranfortasi, dan kegiatan-kegiatan ekonomi ilegal dengan praktik politik lokal yang dimainkan oleh elit politik lokal.
Contoh Studi yang Menghubungkan Proyek Pembangunan (Neo-Liberal) dengan Pembangunan Kapitalisme
Studi-studi tentang basis dari kekuasaan politik lokal belum cukup banyak yang secara eksplisit mengaitkan perubahan struktur agraria dengan dinamika politik lokal, sebagaimana yang dilakukan oleh Amin Tohari dalam buku ini. Dua pertanyaan kunci penelitian Amin Tohari adalah: (i) bagaimana struktur penguasaan agraria yang menjadi basis pembentukan kekuasaan politik di tingkat lokal?, dan (ii) bagaimana dinamika dan artikulasi politik kelas-kelas sosial yang dibentuk oleh struktur agraria itu memanfaatkan peluang politik di tingkat lokal?
Penulis menganjurkan, studi ini dilanjutkan dengan menempatkan perubahan-perubahan struktur kelas agraria bukan hanya dihubungkan dengan artikulasi politik mereka, seperti ditunjukkan dalam studi Amin Tohari ini. Lebih dari itu, perlu ditempatkan dalam dalam konteks memahami hubungan antara Proyek-proyek Pembangunan (Development Projects) dan pembangunan kapitalis capitalist development.
Dalam hal ini, penulis merujuk pada apa yang dikembangkan oleh Gillian Hart (2001), khususnya mengenai pembedaan antara Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development, sebagai “suatu proyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negara-negara ‘dunia ketiga’ yang berkembang dalam konteks dekolonisasi dan perang dingin (cold war), dengan pembangunan (dengan “p” kecil) yang merupakan pembangunan kapitalis, capitalist development, sebagai suatu rangkai proses pembentukan cara berproduksi khusus, yakni kapitalisme, yang pada kenyataannya dipenuhi dengan beragam kontradiksi dan secara geografis perkembangannya tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya (Hart 2001:650 yang merujuk di antaranya pada karya Cowen and Stanton 1996; lihat juga Hart 2002, 2004, 2006).[3]
Satu contoh yang menghubungkan keduanya adalah studi-studi yang dilakukan oleh Tania Li (2006, 2007, 2009). Ia menggunakan konsep government through community, “memerintah melalui komunitas”, untuk menunjukan betapa di tengah gilang-gemilang program pemberdayaan (empowerment) dan partisipasi, Program Pengembangan Kecamatan (PPK) telah berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat mengatur ulang aspirasi, keyakinan, perilaku, tindakan, dan hal-hal mental lainnya. Singkatnya, Li bahwa kesemua itu “sedemikian rupa dibuat sehingga rakyat hanya mengikuti apa yang mereka yakini sebagai kepentingan mereka sendiri, dan akan melakukan apa yang mereka sendiri haruskan “(Li 2006:3. Lihat juga Li 2007:230-269).
Cara kerja PPK memungkinkan Li (2006, 2007, 2009) untuk melihat bahwa aturan-aturan keproyekkan – yang diistilahkannya law of the project, telah dipergunakan sebagai “taktik-taktik untuk mengubah tingkah laku para pelaku yang tetap memelihara kebebasannya untuk memilih. … (K)ebebasan bukanlah lawannya pemerintah, (tapi) itu adalah peralatan kerjanya. … Ketika para ahli di Bank Dunia merancang intervensinya, mereka telah menetapkan tujuan pasti dalam pemikirannya: mereka akan menempa pemerintahan kabupaten dan provinsi (yang memiliki kewenangan-kewenangan besar akibat) desentralisasi itu menjadi akuntabel dan ‘pro-poor’; mereka akan mengentaskan kemiskinan; mereka akan memulihkan kapasitas-kapasitas alamiah dan modal sosial penduduk desa, dan mereka akan menggunakan pengalaman penduduk desa yang telah menikmati proses perencanaan yang efisien dan transparan untuk mereformasi apparatus negara dengan tekanan dari bawah” (2009:253-254). Jadi, lebih dari sekedar mencoba memahami rasionalitas politik yang mampu menjadikan PPK itu sebagai suatu bentuk baru proyek Pembangunan neoliberal, seperti dieksplisitkannya dalam karya terbarunya, ia mengungkap cara bagaimana “suatu rangkaian khusus dari kekuasaan dipergunakan oleh para ahli yang merancang mentransformasikan masyarakat dengan terencana, by design.” (Li 2009:254).
Sejalan dengan karya Li itu adalah karya Frederich Rawski (2005). Rawski mengakui bahwa CDD di Indonesia dan juga di Timor Timur membentuk apa yang ia sebut the community-based administrative regime (rejim administratif berbasis masyarakat) dan pengaruhnya dirasakan bukan hanya memberlakukan syarat-syarat prosedural, tapi juga melalui pembentukan dan penyebaran kerangka normatif yang menentukan ruang lingkup interaksi-interaksi masyarakat. Penerapan CDD itu telah memungkinkan Rawski untuk melihat rejim administrasi berbasis masyarakat itu merupakan kondisi bagi datangnya dana-dana pembangunan internasional, dan sekaligus dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan mengatur diri sendiri berdasarkan kebebasan memilih. Rawski menyimpulkan bahwa proyek-proyek CDD “ bukan hanya bertujuan memaksimalkan efisiensi penyaluran dana internasional maupun menyokong lembaga-lembaga pemerintahan lokal, melainkan juga mempengaruhi cara orang-orang berfikir mengenai hubungan sosial dalam komunitas mereka dan antar komunitas, negara maupun lembaga-lembaga internasional” (Rawski 2006:920). Dalam artikel tersebut, ia menunjukkan bagaimana struktur administratif PPK yang membuka persaingan antara kelompok-kelompok individu dalam proses penyampaian proposal proyek untuk perolehan dana “mencerminkan penekanan neoliberal terhadap kewirausahaan, inovasi individual, dan kompetisi pasar bebas. … Norma-nilai demikian itu menyertakan prinsip-prinsip, seperti akuntabilitas (dilaksanakan melalui aturan-aturan maupun prosedur yang mensyaratkan transparansi dalam pengambilan keputusan), dan hak partisipasi individu (yang dilaksanakan melalui aturan maupun prosedur seperti voting, sistem kuota, dan kewajiban konsultasi)” (Rawski 2006:942).
Lebih jauh, studi yang menghubungkan antara proyek pembangunan (neoliberal) dengan pembangunan kapitalisme itu pada analisa paradigmatic model pembangunan adalah penelitian Toby Carroll yang juga membahas Program Pengembangan Kecamatan (PPK).[4] Carroll merangkum dasar teoritis yang disebut sebagai the Post-Washington Consensus’ Socio-Institutional Neoliberalism (PWC-SIN) dan menunjukan bahwa “gagasan-gagasan teoritis di dalamnya sungguh mempengaruhi bentuk tampilan programnya” (2005:2). Ia dengan cerdik membuka simpul teoritik mereka dan mengurai unsur demi unsur untuk kemudian secara kritis membongkar hubungan-hubungan betapa dekatnya Post-Washington Concensus (PWC) pada ekonomi neo-klasik, dan pada neoliberalisme bila dilihatnya sebagai suatu proses politik yang bertumbuh. “(D)asar teoritis dari socio-institutional neoliberalism sesungguhnya melayani neoliberalisme dengan ‘suatu kehidupan baru’ dan kesempatan baru untuk kembali terlibat (di bawah panduan-panduan teknokratis tentunya) dalam wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak dapat mereka jangkau, misalnya tata pemerintahan dan kelembagaan sosial” (2005:3).
Selanjutnya, Carrol menggunakan karya Paul Cammack (Cammack 2001b; Cammack 2002; Cammack 2003; Cammack 2004) untuk menunjukkan pentingnya memahami meluasnya “proletarisasi di dunianya orang miskin” (Carroll 2005:2). Memang, karya Cammack telah menawarkan analisis terhadap Bank Dunia dari perspektif Marxist, yang ingin ia sebut sebagai new materialist, dan mulai dengan penegasan bahwa Bank Dunia terus menerus terlibat dalam ”sebuah program sistematis untuk membentuk dan mengkonsolidasikan kapitalisme pada tataran global” (Cammack 2002:127). Karya-karya Paul Cammack (2001a; 2002; 2003; 2004) menegaskan keharusan memahami peran kontemporer Bank Dunia yang telah dan terus terlibat dalam ”serangkaian program-program sistematis dalam pembentukan dan konsolidasi kapitalisme di tingkat global” (Cammack 2002:127). Penegasannya yang lebih spesifik adalah ”Bank Dunia telah menjalankan misi baru untuk dirinya selama beberapa dekade terakhir... untuk menyelesaikan proses akumulasi primitif di tingkat global” (Cammack 2001b:198).
Apa yang disebut ”akumulasi primitif” ini adalah untuk pertama kalinya dipopulerkan oleh Karl Marx (1976/1898) dalam Capital vol 1, Bagian VIII. Menurut Ellen Meiksins Wood (2002:36) dalam bab itu Marx mengunakan istilah “the so-called” sebagai upayanya untuk dimengerti hal itu bukan sekedar sebagai suatu bentuk akumulasi kekayaan atau keuntungan seperti yang dipakai Adam Smith. Memang betul bahwa akumulasi kekayaan dan keuntungan itu merupakan syarat perlu untuk tumbuhnya kapitalisme. Tapi, itu sama sekali tidak cukup dan menentukan. Yang menentukan bagaimana kekayaan diakumulasikan adalah suatu transformasi hubungan-hubungan sosial dalam proses produksi, terutama hubungan kepemilikan (property relations). Dalam konteks inilah untuk pertama kalinya tanah-tanah dan kekayaan alam diputuskan dari hubungan sosial pra-kapitalis, dan dijadikan bagian modal sirkuit cara berproduksi kapitalis. Di lain pihak, mereka yang tadinya punya hubungan erat dengan tanah dan kekayaan alam itu dilepaskan secara brutal, dan kemudian dibebaskan menjadi tenaga kerja bebas.[5]
Menurut Cammack, secara umum Bank Dunia membutuhkan terciptanya pasar tenaga kerja, penyelenggaran hak kekayaan intelektual, mengatur kelembagaan agar pasar dapat tempat semestinya, layanan infrastruktur, pendidikan dan kesehatan yang diperlukan agar ekonomi pasar bekerja dan sebagainya. Semua ini mengambarkan sebuah proyek perluasan dan konsolidasi kapitalisme di negara berkembang. Yang lebih spesifik, ”sumber daya Bank Dunia dipakai untuk memperdalam kebijakan-kebijakan pemerintah yang melancarkan proletarisasi, memudahkan eksploitasi dan meningkatkan ketergantungan pasar” (Cammack 2001b: 198). Cammack menegaskan bahwa alasan mendasar strategi ini adalah kebutuhan untuk menciptakan apa yang disebut sebagai ”cadangan tenaga kerja” (reserved army of labour) dalam skala global:
”Kapitalisme yang matang itu membutuhkan dan terus membentuk ’penduduk yang menganggur’ yang tanpanya proses pendisiplinan kapitalisme tidak akan bekerja; kehadiran ’cadangan tenaga kerja industrial’ itu akan mempertahankan upah yang rendah, dan cenderung membuat tenaga kerja hanya hidup sekedar hidup; dan mereka yang menganggur berada dalam kondisi miskin absolut. Singkatnya, untuk menghapuskan kemiskinan harus menghapuskan sistem kapitalisme itu sendiri” (Cammack 2001b : 195).
Upaya melancarkan proses proletarisasi dilakukan oleh Bank Dunia dengan bekerja pada ”cadangan tenaga kerja” tersebut melalui upaya-upaya memelihara disiplin pasar, membatasi meningkatnya upah mereka dalam pasar, dan memelihara tingkat keuntungan yang diinginkannya. ”Kapitalisme membutuhkan orang-orang yang dipersiapkan untuk menjadi para pekerja potensial, di wilayah-wilayah di mana pendisiplinan tersebut belum berlangsung ... Dalam masa di akhir abad dua puluh dan awal abad duapuluh satu, Bank Dunia memikul tanggungjawab untuk mengkerangkakan dan menguatkan kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk sedemikian rupa membuat disiplin-disiplin itu terwujud” (Cammack 2001b:195).
Penutup
Dalam Epilog ini penulis menawarkan suatu pendekatan yang dapat dijadikan pegangan untuk produksi ruang-ruang perundingan dan pertarungan baru di tingkat lokal, yang terbentuk dari proses akumulasi primitif dan cara bagaimana proyek Pembangunan, dalam hal ini adalah proyek-proyek pembangunan menempa karakter pemerintahan daerah dan kelompok-kelompok komunitas lokal agar bisa cocok dengan apa yang dibutuhkan untuk pembangunan kapitalis yang perkembangannya tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Visibilitas dari hal ini bergantung pada posisi dan cara pandang yang melekat pada posisi masing-masing itu. Dalam konteks ini perlu ditegaskan terlebih dahulu bahwa cara pandang kita benar-benar akan dipengaruhi oleh koordinat tempat di mana kita berangkat dan ke mana kita akan pergi. Pentingnya posisi dan kesadaran akan posisi ini akan mempengaruhi isi dan cara pengetahuan dihasilkan dan disajikan. Sesungguhnya, semua pengetahuan akademik, juga pengetahuan lainnya, senantiasa bergantung situasi (are always situated), dan selalu dihasilkan oleh pelaku yang berposisi tertentu (are always produced by positioned actors), yang bekerja di dalam berbagai hubungan sosial dan di antara berbagai posisi lain yang dihadapinya. Semua inilah yang membuat satu pengetahuan yang satu berbeda dengan pengetahuan lainnya, sebagai akibat dari proses pembuatannya (dilakukan oleh siapa, bagaimana dan juga untuk siapa bentuk akhir pengetahuan itu mau disajikan) (Cook et al 2005:16).
Penulis yakin bahwa justru dengan kesadaran dan pengakuan bahwa pengetahuan yang dihasilkan senantiasa bersifat situasional dan relasional inilah yang akan dinilai lebih jujur, meyakinkan dan memberdayakan para pembaca untuk melihat hubungan-hubungan baru yang sering tidak terduga, termasuk yang memberi kemungkinan untuk menginspirasikan praktek sosial yang baru pula.
Daftar Pustaka
Armuji. Oji. 2004. Konfigurasi Kekuasan Elit Lokal; Dinamika Ulama, Jawara, dan Pengusaha Di Kota Cilegon Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Pasca 2000. Tesis Master Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM. Naskah tidak diterbitkan.
Cammack, P. 2001a. "Making Poverty Work." in Socialist register 2002: A World of Contradictions, edited by L. Panitch and C. Leys. London: Merlin Press.
—. 2001b. "Making the Poor Work for Globalization." New Political Economy 6:397-408.
—. 2002. "Attacking The Poor." New Left Review 13:125-134.
—. 2003. "The Governance of Global Capitalism: A New Materialist Perspective." Historical Materialism 11:37-59.
—. 2004. "What the World Bank Means by Poverty Reduction, and Why It Matters." New Political Economy 9:189-211.
Carroll, T. 2005. "Efficiency of What and for Whom? The Theoretical Underpinnings of the Post-Washington Concensus' Socio-Institutional Neoliberalism." in Working Paper No. 122. Perth: Murdoch University.
—. 2006. "The World Bank’s Socio-institutional Neoliberalism: A Case Study from Indonesia." in The Workshop on the World Bank, Lee Kwan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Singapore.
_. 2007. "Politics of The World Bank's Socio-Institutional Neoliberalism". Dissertation Thesis. Murdoch University.
Cook, I. 2005, “Positionality/Situated Knowledge”, dalam D. Atkinson et.al. (eds.), Cultural Geography: A Critical Dictionary of Key Concepts halaman 16-26, London: I.B. Tauris.
Cowen, M.P. and Shenton, R.W. 1996: Doctrines of Development. London: Routledge
Craigh, David and Doug Porter. 2006. Development Beyond Neoliberalism? Governance, Poverty Reduction and Political Economy. London: Routledge.
Crook, R. and J. Manor. 2000. Democratic Decentralization. OECD Working Paper Series. Washington, DC.: The World Bank.
De Angelis, M. 2000. " Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation." in Working Paper No. 29. Departement of Economics. University of EastAnglia London. Available at http://homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMMACCA.htm.
—. 2001. " Marx and Primitive Accumulation: The Continuous Character of Capital’s ‘Enclosures’." The Commoner 2 (September) (available at www.thecommoner.org).
—. 2004. "Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures." Historical Materialism 12:57-87.
—. 2007. The Begining of History. Vaule Struggles and Global Capital. London: Pluto PressEngel, Susan. 2006. "Where to Neoliberalism? The World Bank and the Post-National Washington Consensus in Indonesia and Vietnem." in the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia. Wollongong, 26 - 29 June 2006.
Dwipayana, AA GN Ari. 2001. Kelas Dan Kasta: Pergulatan Kelas Menengah di Bali. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
—. 2004. Bangsawan dan Kuasa: Kembalinya Para Ningrat Di Dua Kota. Yogyakarta: IRE Press.
Erman, Erwiza. 2007. “Deregulasi Tata Niaga Timah dan Pembuatan Negara Bayangan Lokal: Studi Kasus Bangka” dalam Nordholt, Henk Schulte & van Klinken, G (eds). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta : KITLV-Yayasan Obor.
Foucher, Carole. “Menggugat Batas-batas di Kepulauan Riau” dalam Nordholt, Henk Schulte & van Klinken, G (eds). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta : KITLV-Yayasan Obor.
Hadiz. V.R. 2004a. "Decentralisation and Democracy in Indonesia: A Critique of Neo-Institutionalist Perpectives." Development and Change 35:697-718.
—. 2007. The Localization of Power in Southeast Asia. Democratization, 14:5, 873—892.
Hadiz, R. V. and R. Robison. 2005. "Neo-liberal Reforms and Illiberal Consolidations: The Indonesia Paradox." The Journal of Development Studies 41:220-241.
Hart, G. 2001. Development Debates in the 1990s: Culs de sac and Promising Paths. Progress in Human Geography 25, 605–14.
—. 2002. Disabling Globalization: Places of Power in Post-apartheid South Africa.. Berkeley: University of California Press
—. 2004. Geography and Development: Critical Ethnography. Progress in Human Geography 28:91–100
—. 2006. "Denaturalizing Dispossession: Critical Ethnography in the Age of Resurgent Imperialism." Antipode 38:977-1004.
Harvey, D.. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
—. 2004. "The 'New' Imperialism: Accumulation by Disposession." in Socialist Register 2004, edited by L. Panitch and C. Leys. New York: Monthly Review Press.
—. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.
—. 2006b. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. London: Verso.
Hidayat, Syarif. 2oo7. “Shadow State? Bisnis dan Politik di Provinsi Baten”, dalam Nordholt, Henk Schulte & van Klinken, G (eds). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor.
Hofman, B. and K. Kaiser. 2002. "The Making of the Big Bang and its Aftermath, A Political Economy Perspective." Paper presented at the conference "Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?" The International Studies Program, Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta. http://www1.worldbank.org/publicsector/LearningProgram/Decentralization/Hofman2.pdf Last accesed on 07/08/2009.
Li, Tania. 2006. "Neoliberal Strategies of Government Through Community: The Social Development Program of the World Bank in Indonesia." in International Law and Justice Working Papers. New York: Institute for International Law and Justice, New York University School of Law.
_. 2007. The Will to Improve: Governmentality, development and the Practice of Politics. Duke: Duke University Press.
_.2009. "The Law of the Project: Government and 'Good Governance' at the World Bank in Indonesia", Rule of Law and Laws of Ruling. On Governance of Law. Edited by Frans von Benda-Beckman, Keebet von benda-Beckman, and Juliet Eckert. Burlington, Ashgate Publishing Company. Pp.237-256.
Manor, J. 1999. The Political Economy of Democratic Decentralization. Washington, DC.: The World Bank.
McCarthy, John F. 2007. “Dijual Ke Hilir: Merundingkan Kembali Kekuasaan Publik Atas Alam” dalam Nordholt, Henk Schulte & van Klinken, G (eds). 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor.
McMichael, P. 2008 Development and Social Change: A Global Perspective. Forth Edition. Thousand Oaks, CA: Pine Forge Press/Sage Publications.
Pender, J. 2001. "From 'Structural Adjustment' to 'Comprehensive Development Framework': Conditionality Transformed?" Third World Quarterly 22:397-411.
Perelman, M. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.
Priyono, AE., I. Subono, Imam, dan N. Attiah. 2007. “Demokrasi Oligarkis: Kolonisasi Instrumen Demokrasi oleh Elit Dominan”, dalam AE. Priyono et al. Menjadikan Demokrasi Bermakna. Jakarta: Demos.
Rawski, F. 2005. "World Bank Community-Driven Development Programming in Indonesia and East Timor: Implications for the Study of Administrative Law." New York University Journal of International Law and Politics 37:919-951.
Stiglitz, J. E. 2002. "Participation and Development: Perspective from Comprehensive Development Paradigm." Review of Development Economics 6:163-182.
Torquist, Olle et al. 2007. Menjadikan Demokrasi Bermakna: Masalah dan Pilihan di Indonesia. Jakarta: Demos.
World-Bank. 2001. "Promoting Good Governance with Social Funds and Decentralization." PREM Notes Public Sector 51.
*) Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; dan pengajar mata kuliah “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).
[1] Sudah menjadi pegangan dalam pengajaran Studi Pembangunan bahwa Pembangunan (dengan P besar) adalah suatu proyek internasional merupakan suatu bentuk intervensi yang khusus yang dijalankan secara masif setelah Perang Dunia Kedua di negara-negara yang baru merdeka. Perang Dingin maupun hubungan internasional setelah itu sangat kuat memberi pegaruh pada bentuk-bentuk dari proyek Pembangunan (Lihat misalnya Craigh and Porter 2006, McMichael 2008).
[2] Mohan dan Stokke (2000) menjuluki pandangan-pandangan neo-institutionalist ini sebagai revisionist neo-liberalism, yang pada pokoknya berposisi menganjurkan suatu strategi badan pembangungan internasional, pemerintah dan non-pemerintah untuk mengusahakan kelembagaan-kelembagaan kepemerintahan yang ada lebih efisien dan mengikutkan kelompok-kelompok komunitas tertentu dalam proses-proses kebijakan pembangunan. Konseptualisasi partisipasi dan pemberdayaan model demikian ini didasarkan pada model tatanan kekuasaan yang seimbang. Kekuasaan melekat di dalam anggota-anggota individual suatu komunitas dan dapat meningkat seiring dengan keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan individual dan kolektif. Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan dari kaum yang tak berdaya dapat dicapai melalui tatanan sosial yang ada tanpa akibat negatif apapun terhadap kekuasaan pihak yang berkuasa (hal. 249).
[3] Sudah menjadi pegangan dalam pengajaran Studi Pembangunan bahwa Pembangunan adalah suatu proyek internasional merupakan suatu bentuk intervensi yang khusus yang dijalankan secara masif setelah Perang Dunia Kedua di negara-negara yang baru merdeka. Perang Dingin maupun hubungan internasional setelah itu sangat kuat memberi pegaruh pada bentuk-bentuk dari proyek Pembangunan (Lihat misalnya Craigh and Porter 2006, McMichael 2008).
[4]. Pandangan Carroll terhadap PPK ini memiliki kesamaan dengan yang dibuat oleh Engels (2006) yang sepenuhnya menempatkan PPK sebagai sebuah contoh neoliberal versi baru dari Bank Dunia. Disini penulis tidak mengkaji analisanya, karena topik bahasannya terhadap PPK ini sangat tipis.
[5] Kebangkitan penggunaan kembali konsep analitik “akumulasi primitif” bisa dipahami melalui tiga inisiatif terkemuka: (1) Sumbangsih pemikiran Michael Perelman, terutama dalam buku hebat, The Invention of Capitalism, Classical Political Economy and Secret History of Primitive Accumulation (Perelman 2000), (ii) sumbangsih pemikiran Massimo de Angelis (de Angelis 2000, 2001, 2007) serta debat pada Jurnal The Commoner di mana ia menjadi editor utama, (iii) sumbangsih pemikiran David Harvey (Harvey 2003, 2004 2005; 2006c). Tiga pemikiran ini berangkat dari semacam kesepakatan bahwa yang disebut “akumulasi primitif” bukanlah fenomena sejarah yang hanya terjadi sekali saja, melainkan transformasi itu adalah proses yang berjalan terus menerus (on-going processes). Keberadaannya selalu menjadi ada dan penting dalam perkembangan kapitalisme. Maka, ada soal besar dalam mengapa banyak sarjana cenderung menafsirkan akumulasi primitif hanya sebagai peristiwa sejarah, dan bukan sebagai fenomena yang berlangsung terus-menerus.
No comments:
Post a Comment