Noer Fauzi Rachman
Saya memikirkan lebih serius topik riset disertasi saya di University of California, Berkeley, pada semester ketiga, ketika saya memulai ambil mata kuliah Social Science Research Methods, yang diajar oleh Prof. Isya Ray, dan Research Methods for Planners yang diajar oleh Prof. Ananya Roy. Dua mata kuliah itu memberi saya pengertian baik mengenai berbagai pilihan metoda riset. Para mahasiswa yang mengikuti kedua mata kuliah itu, banyak yang memahami metoda riset itu bagaikan alat penangkap ikan yang bisa dipilih-pilih sesuai dengan keperluan si nelayan. Metafora itu selalu dianut para pemula, dan terus menerus diwariskan dari generasi-ke-generasi berikutnya oleh para dosen, terutama dosen metoda penelitian. Pandangan ini tidak lah keliru. Saya mengerti hal ini sebagai pandangan para pemula. Dari tiga pembimbing saya di UC Berkeley, yakni Prof. Nancy Peluso, Prof. Gillian Hart, dan Prof. Michael Watts, saya peroleh bimbingan yang membawa saya pada suatu pengalaman bahwa (i) posisi si peneliti, (ii) permasalahan atau teka-teki penelitian yang dihadapi peneliti, (iii) teori yang dipakai peneliti untuk memahami realitas, termasuk argumen untuk menjawab teka-teki itu, (iv) strategi dan metoda yang dikerahkan untuk mendapatkan informasi, dan (v) praktek sosial si peneliti, adalah tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Lebih dari itu, kelima hal tersebut, saling membentuk satu sama lainnya.
Saya awalnya diprovokasi oleh pembimbing utama saya, yakni Prof. Nancy Lee Peluso, untuk meneliti sesuatu topik yang tidak ada hubungannya dengan aktivisme saya sebelumnya. Sebagaimana diketahui, sebagai scholar-activists sepanjang 15 tahunan, semenjak menyelesaikan kesarjanaan saya pada tahun 1989 di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung, saya bekerja membangun gerakan agraria Indonesia, dengan pengorganisasian petani yang ada dalam konflik-konflik agraria, kampanye dan advokasi kebijakan land reform, pendidikan untuk para aktivis, pengembangan jaringan organisasi-organisasi masyarakat sipil, meneliti dan menulis ragam topik dari sejarah politik agraria, masalah pengelolaan sumber daya alam, dan pedoman-pedoman pelatihan untuk aktivis ornop, hingga advokasi kebijakan ke badan-badan pemerintahan.
Meski saya menyadari sepenuhnya aspek positif dari usulannya, namun saya memutuskan untuk tidak mengikutinya, dan meyakinkan pembimbing saya itu untuk meneliti topik “hubungan antara kebijakan land reform dan gerakan-gerakan agraria”. Saya putuskan untuk menyelesaikan misi, dari aktivis lapangan dalam gerakan agraria, menjadi scholar activists otodidak, pemimpin Konsorsium Pembaruan Agraria di tingkat nasional, hingga pada gilirannya lulus mendapat reputasi akademik tertinggi dalam pendidikan doktoral di universitas berkelas dunia. I insist to make a full circle, begitu keteguhan hati saya. Maksudnya, saya mau tunjukkan terutama pada diri sendiri, para aktivis gerakan agraria, dan para ahli agraria Indonesia bahwa saya menunaikan “tugas” untuk membuat basis pengetahuan yang memadai untuk gerakan agraria dan kebijakan land reform Indonesia.
Pilihan ini tentu diselimuti penuhi oleh segala perasaan kuatir, misalnya, dapatkah saya mengatasi komplikasi posisi sebagai peneliti atas aktivisme gerakan agraria dan proses kebijakan land reform yang begitu lekat dengan sejarah posisi saya; bagaimana cara mengatur berbagai tarikan untuk kembali jadi beraktivitas sebagai aktivis dalam gerakan, yang dapat mengancam penyelesaian penelitian? Apakah saya nanti dapat diperlakukan sebagai peneliti oleh para narasumber saya yang sebelumnya telah mengetahui saya sebagai aktivis? Dan sebagainya.
Kecakapan saya melihat dan menunjukkan bagaimana kelimanya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya dilatih oleh setiap kuliah-kuliah seminar yang diasuh ketiga pembimbing saya itu, seperti juga juga dalam sejumlah mata kuliah lain untuk mahasiswa doktoral, para mahasiswanya senantiasa dianjurkan membuat proposal penelitian disertasi. Selain karena kewajiban menuliskan proposal penelitian disertasi pada berbagai macam perkuliahan, kecakapan membuat proposal penelitian ditempa oleh seringnya, setidaknya setiap tahun dua buah, saya mengajukan/aplikasi fellowship, yang mempersyaratkan proposal penelitian dalam format yang penyedia fellowship tentukan, baik penyedia fellowshipnya berasal dari lembaga-lembaga dari dalam maupun dari luar University of California. Secara khusus, saya dilatih dalam beberapa lokakarya pembuatan proposal penelitian, termasuk yang diselenggarakan oleh The Institute of International Studies (IIS), University of California, Berkeley, pada tahun 2007, dengan mempergunakan rujukan utama dari karya Michael Watts "The Holy Grail: In Pursuit of the Dissertation Proposal", https://iis.berkeley.edu/process-parameters.
Saya secara akademik dilatih membuat proposal penelitian disertasi, di dalam mana saya menyempurnakan dari waktu ke waktu topik penelitian hubungan antara gerakan-gerakan agraria dan kebijakan land reform, di dalam mana etnografi kritis senantiasa menjadi andalan metoda penelitian. Saya belajar dan kemudian mempergunakan etnografi kritis: ibaratnya, belajar memasak dari pengalaman juru masak, mulai dari cara mendapatkan bahan-bahan dan bumbu-bumbu serta peralatan memasaknya, proses masaknya di dapur, hingga bagaimana masakan itu disajikan dan dinikmati konsumen. Saya percaya hal ini merupakan satu cara belajar etnografi yang jitu.
Saya sadari setidaknya ada dua orientasi cara belajar etnografi lain, yakni, Pertama, mengikuti bab-bab buku teks, misalnya ikuti buku Emerson et al (1995) Writing Ethnographic Fieldnotes; dan, kedua, yang ini semakin banyak dipakai oleh para dosen di universitas-universitas ternama di Amerika, doing ethnography, yakni membuat para mahasiswa melakukan etnografi secara langsung dan dibimbing oleh sang dosen.[1] Contoh terbaik adalah kelasnya Prof. Michael Burawoy, di Departement of Sociology, University of California, Berkeley, yang bersama para mahasiswanya telah menghasilkan dua buku ciamik, yakni Ethnography Unbound: Power and Resistance in the Modern Metropolis (Burawoy et al 1991), dan Global Ethnography: Forces, Connections, and Imaginations in a Postmodern World (Burawoy et al 2000).[2] Berbeda dengan kedua cara belajar itu, dengan belajar melalui pengalaman etnografer, saya berharap hubungan saling membentuk dari lima hal tersebut di atas, yakni (i) posisi, (ii) problematika; (iii) teori dan argumen; (iv) metoda; dan (v) praktek sosial, dapat lebih mudah dilihat melalui pengalaman pelakunya. Jadi, pertama-tama, saya dapat mempelajari bagaimana etnografer bekerja.
Lebih lanjut, ethnografi dapat bekerja memberi andil yang hebat bagi para aktivis gerakan sosial yang hendak meneliti topik atau bidang yang digelutinya. Saya memberi istilah Give Ethnography a Chance. Istilah ini diinspirasikan oleh judul lagu yang ditulis oleh (alm) John Lennon, Give Peace a Chance. Lagu ini ditampilkan secara publik pada tahun 1969, dalam album solo pertamanya John Lennon. Lagu ini segera menjadi “lagu kebangsaan” gerakan anti perang Amerika sepanjang 1970-an. Lagu ini ditulis ketika John Lenon (bersama Yoko Ono) membuat aksi protes bed-in for peace selama 2 minggu di Amsterdam dan Montreal. Ide bed-in ini diinspirasikan oleh suatu jenis aksi protes yang terkenal diberi nama protes sit-in, dimana sekelompok pemrotes duduk terus di muka penguasa hingga mereka digusur, atau ditahan, atau tuntutan-tuntutannya dipenuhi. Kalimat Lennon: All we are saying is give peace a chance, keluar secara spontan saja, ketika Lenon ditanya jurnalis mengapa ia bertahan di tempat tidur. Sekedar rujukan, lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Give_Peace_a_Chance (unduh terakhir 18 februari 2013).
Etnografi yang saya maksud dalam Give Ethnography a Chance adalah etnografi kritis (critical ethnography). Etnografi kritis, sebagai yang saya pelajari dan pergunakan, ternyata ampuh untuk membuat saya meneliti dan kemudian mengerti lebih baik, kerja-kerja gerakan sosial berhubungan timbal-balik dengan pembentukan kebijakan badan-badan pemerintah, sebagaimana secara aktual tampil dalam bentuk yang berbagai macam dalam berbagai situs perjuangan, pertarungan dan perundingan.
[1] Pengalaman Mia Siscawati, PhD, belajar ethnography secara akademik dalam program doktoral program antropologi di University of Washington, melintasi empat tahapan. setelah menyelesaikan tiga kelas wajib tentang “Theory of Socio-cultural Anthropology”. “Empat tahapan dalam proses belajar etnografi itu adalah sebagai berikut. Kelas pertama adalah Reading Ethnography di mana mahasiswa membaca berbagai jenis etnografi, mulai dari classical ethnography, critical ethnography, feminist ethnography, dsb. Kelas kedua adalah “Field Techniques in Ethnography”. Buku Writing Ethnographic Fieldnotes adalah satu dari beragam bahan bacaan utk kelas ini. Kelas ketiga “Research Design”. Dan, kelas keempat adalah “Practicum in Ethnographic Research”. Di kelas keempat ini, mahasiswa akan melakukan latihan/praktek etnografi untuk sebuah topik yg dipilihnya sendiri.” (Percakapan pribadi dengan Mia Sisca, 18/2/2013).
[2] Juga lihat Burawoy Michael Burawoy (2009) The Extended Case Method. Berkeley: University of California Press.
No comments:
Post a Comment