Noer Fauzi Rachman, PhD., Eko Cahyono, MSi., dan Swanvri, S.Kom*)
Naskah yang disampaikan oleh Noer Fauzi Rachman, PhD
sebagai Keterangan Ahli dalam
Perkara Pidana Nomor : 250/ Pid.B/2013/PN PLG
Atas Nama :
Anwar Sadat, ST. Bin Satim dan Dedek Chaniago Bin Edi
Di Pengadilan Negeri Palembang pada
29 April 2013
Ringkasan
Konflik agraria 'cinta manis' adalah ilustrasi dari suatu konflik agraria struktural yang bersifat kronis dan berdampak luas. Secara langsung, konflik ini disebabkan keputusan pejabat-pejabat publik yang membiarkan wilayah kelola rakyat masuk ke dalam konsesi yang dimiliki oleh PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis. Hilangnya akses rakyat terhadap tanah, dan beragam kesulitan hidup yang mereka alami sebagai akibat dari padanya, niscaya sampai pada merosotnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Kesemua itu harus dilihat sebagai gejala yang berhubungan secara struktural satu sama lainnya. Cara pandang struktural dalam membaca konflik agraria 'Cinta Manis' ini sangat penting untuk mendiagnosa masalah, dan kemudian bisa menemukan cara terbaik dalam mengatasi sebab-sebab konflik dan tidak terjebak pada tindakan-tindakan polisionil mengkriminalisasi para pejuang agraria yang telah berjasa membuat sebab utama dari konflik agraria “Cinta Manis” ini bisa terlihat oleh pembuat kebijakan publik.
Kata kunci: konflik agraria, kriminalisasi, Sumatera Selatan
Pendahuluan
Konflik agraria yang meletus di sana-sini di seluruh Indonesia perlu dipahami dengan cara pandang yang tepat. Tanpa diagnosis yang akurat, suatu konflik agraria tidak akan bisa ditangani dengan adekuat, dan sebaliknya tindakan siapapun, apalagi pemerintah, yang dilakukan berdasarkan diagnosa yang keliru, justru akan melestarikan konflik dengan akibat yang tak terduga. Satu hal yang sering menjadi tindakan yang melestarikan konflik agraria adalah tindakan polisionil terhadap aksi protes terhadap konflik. Aksi protes oleh petani atau oleh petani bersama organisasi-organisasi masyarakat sipil tidak bisa dipisahkan dan dilokalisir sedemikian rupa sebagai masalah perbuatan hukum yang terpisah dari masalah konflik agraria. Sesungguhnya, tindakan kriminalisasi terhadap para pejuang-pejuang agraria adalah bagian dari hal-hal yang melestarikan konflik itu sendiri.
Konflik agraria yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pertentangan klaim antara masyarakat 7 kecamatan 22 desa (sebagian besar tergabung dalam GPPB; Gerakan Petani Penesak Bersatu)[1] di kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan atas tanah seluas 21.000 ha dengan pihak PT. PN VII Unit Usaha Cinta Manis yang dijadikan oleh yang terakhir sebagai perkebuanan tebu. Dari keseluruhan tanah tersebut hanya 6.500 ha yang memiliki HGU bernomor No. 1/1995, tanah ini berada di Desa Burai Kecamatan Rantau Alai. Mereka yang tergabung dalam GPPB ini berasal dari Kecamatan Tanjung Batu 8 desa, Kecamatan Payaraman 1 desa, Kecamatan Lubuk Keliat 5 desa, Kecamatan Tanjung Raja 1 desa, Kecamatan Indralaya Selatan 5 desa, Kecamatan Indralaya Induk 2 desa dan Kecamatan Rambang Kuang 1 desa. Secara keseluruhan 22 desa ini berpenduduk sekitar 6611 kk.
Naskah ini menguraikan konflik agraria tersebut di atas (selanjutnya kami sebut konflik agraria Cinta Manis) dengan sebuah kerangka penjelasan yang lebih memadai menjelaskan kedudukan tindakan polisionil yang mengkriminalisasi para pejuang agraria, baik dari para tokoh petani maupun para pembela mereka, sebagai faktor yang membuat konflik agraria itu semakin kronis dan berdampak meluas.
1. Kerangka Penjelas Konflik Agraria
Sebagaimana terjadi di banyak negara bekas jajahan, problem agraria di Indonesia berakar pada tidak adanya kepastian penguasaan dan akses atas tanah, SDA dan wilayah kelola rakyat pedesaan, termasuk masyarakat petani (Lihat Fauzi 1999, Rachman 2013). Dualisme hukum negara dan hukum adat yang terjadi sejak zaman kolonial tidak mendapat koreksi mendasar sebagaimana yang dijanjikan oleh UU tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA 1960), dan berbagai perundang-undangan lainnya. Pada jaman Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Suharto, UUPA yang tadinya ditempatkan sebagai UU payung, pada prakteknya disempitkan hanya mengurus wilayah non-hutan (sekitar 30% dari wilayah RI), dan prinsip “tanah berfungsi sosial” diabaikan oleh pemerintah Indonesia. Peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan, kehutanan, sumber daya alam lainnya dibuat tumpah tindih dan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini dilatar belakangi oleh ekspansi badan-badan usaha raksasa dalam industri ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan, serta konservasi dalam penguasaan tanah skala luas dengan mengabaikan eksistensi dari masyarakat petani dan hubungannya dengan tanah dan hutan, yang kebanyakan diatur oleh hukum-hukum adat yang sudah lama berlaku di kalangan rakyat.
Perusahaan-perusahaan raksasa dengan kepentingan mereka akumulasi modal dan kekayaan, melalui ekstraksi kayu, barang tambang dan produksi barang bahan mentah industri, maupun makanan dan enerji. Kepentingan akumulasi modal perusahaan-perusaaan ini sampai berbenturan dengan kepentingan keberlanjutan kehidupan dan kesejahteraan rakyat petani, ketika tanah yang diperlukan digarap petani dimasukkan ke dalam konsesi-konsesi perusahaan tersebut. Dapat dijelaskan bahwa, baik melalui mekanisme pasar maupun dengan fasilitasi oleh badan-badan pemerintah, perusahaan-perusahaan raksasa akan selalu melakukan perluasan produksi sampai ke batas-batas di mana masih ada wilayah frontier, yang tanah dan sumber daya alamnya masih belum terjamah oleh sistem pasar. Pemisahan petani dengan tanah yang digarapnya merupakan akibat untuk menyediakan tenaga kerja dan sarana produksi, karena petani yang sudah terusir dari tanah pada gilirannya akan bertransformasi menjadi buruh upahan, sedang tanah mereka secara drastis berubah menjadi sarana produksi bagi perusahaan yang bekerja dengan prinsip pelipatgandaaan keuntungan sebesar-besarnya. Proses itu adalah bagian dari gerakan pasar yang lebih luas, dan gerakan pasar ini pada gilirannya akan membangkirkan perlawanan masyarakat untuk melindungi diri (Polanyi, 1967).
Pada praktiknya, konflik agraria, secara langsung disebabkan oleh dan terjadi sebagai akibat pemberian izin/hak oleh pengurus publik (Menteri Kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur, Bupati) tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan rakyat ke dalam ijin/hak/lisensi badan-badan usaha raksasa. Pengadaan tanah skala besar untuk kepentingan proyek-proyek pembangunan tersebut seringkali menggunakan kekerasan, manipulasi, dan penipuan. Hal ini kemudian diikuti dengan pembatasan akses[2] rakyat terhadap wilayah konsesi dan akhirnya melahirkan perlawanan langsung dari rakyat. Di sinilah konflik itu terjadi, yaitu pertentangan klaim yang berkepanjangan antara suatu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa/pengelola tanah yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya; dan pihak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak, baik secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain (Rachman, 2013).
Penghilangan akses rakyat terhadap tanah mengakibatkan hilangnya hak ekonomi, sosial budaya, dan hak sipil dan politik yang secara langsung berupa hilangnya wilayah hidup, mata pencaharian, harta benda bahkan berujung pada menyempitnya ruang hidup petani. Tercerabutnya rakyat petani dari faktor produksi kebutuhan hidupnya membuat mereka berubah dari petani menjadi tenaga kerja upahan. Tidak hanya di situ, konflik agraria yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial-ekologi yang kronis, yang pada akhirnya akan mendorong penduduk bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan lahan pertanian atau pergi ke kota menjadi golongan miskin perkotaan. Konflik yang berkepanjangan juga melahirkan jenis-jenis konflik-konflik baru seperti konflik-konflik antar kelompok etnis, konflik-konflik antar kampung/desa, konflik-konflik antar penduduk asli dan pendatang, hingga konflik-konflik antara rakyat dengan apartus pemerintah seperti yang kita saksikan di kasus Cinta Manis ini.
Konflik agraria yang berlarut-larut pada gilirannya akan menggerus kepercayaan rakyat/petani terhadap pemerintah karena hubungan rakyat/petani dengan pemerintah pada dasarnya adalah hubungan saling mengakui satu sama lain (mutual recognition) (Lund dan Sikor, 2009). Dengan demikian, jika petani tidak mendapatkan pengakuan akan haknya untuk mempunyai hak atas tanah dari pemerintah maka otoritas pemerintah atas rakyat/petani akan memudar bahkan hilang sama sekali. Ketika itulah rakyat/petani akan pergi mencari tempat atau institusi yang mengakui hak mereka untuk mempunyai hak atas tanah. Pengakuan itu didapat dari organisasi-organisasi masyarakat sipil, seperti Wahana Lingkungan hidup Indonesia (Walhi), maupun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Organisasi-organisasi masyarakat sipil ini, karena diakui/diberikan kepercayaan oleh rakyat/petani, kemudian memberikan pengakuan akan hak-hak petani untuk mempunyai hak atas tanah dengan cara memperjuangkan hak-hak rakyat/petani tersebut untuk mendapatkan pengakuan dari otoritas pertanahan tertinggi di tingkat negara. Perlu dipahami disini bahwa otoritas pertanahan di negara Indonesia tidaklah tunggal.
Konflik yang semakin hari semakin kronis dengan akibat yang menjalar kemana-mana karena sebab-sebabnya tidak dihilangkan. Artinya, tidak adanya koreksi atas putusan-putusan pejabat publik yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam konsesi badan usaha atau badan pemerintah raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus-menerus proses pemberian izin/hak pada badan-badan raksasa tersebut. Badan-badan usaha atau badan-badan pemerintah tersebut kemudian bersikap defensif apabila rakyat mengartikulasikan protes berkenaan pada hilang atau berkurangnya akses rakyat atas tanah, sumber daya alam, dan wilayahnya, sebagai akibat dari hak/ijin/ lisensi yang mereka dapatkan itu. Lebih lanjut, protes rakyat itu disikapi dengan kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi. Ketiadaan kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, lintas sektor kelembagaan pemerintahan, dan adekuat dalam menangani konflik agraria juga menjadi faktor yang melestarikan koflik agraria terjadi yang setiap waktu meledak di sana sini[3].
Kerangka penjelas yang menghubungkan akar masalah, sebab, akibat dan akibat lanjutan serta hal-hal yang melestarikan konflik agraria ini bisa dibagankan sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Penjelas Konflik Agraria (Rachman, 2013)
Sebelum masuknya Cinta Manis pada tahun 1982 masyarakat yang sekarang sebagian besar tergabung dalam GPPB secara turun temurun telah menggarap tanah mereka dengan cara tebas, tebang, bakar dan tanam. Tanah ini utamanya digarap sebagai kebun karet yang sementara karet masih kecil ditumpang-sarikan dengan padi atau nanas. Padi yang ditanam adalah padi talang[4]. Masyarakat di sini tidak mempunyai bukti kepemilikan atas tanah sebagaimana dikenal dalam hukum positif seperti sertifikat dan lain-lain. Setiap orang mengetahui di mana dan mana batas-batas tanah untuk setiap orang lainnya. Batas antara seorang petani dengan petani lainnya biasanya ditandai dengan rumpun bambu[5]di empat sisi. Sisi-sisi ini disebut dengan laut untuk arah ke sungai/payau, darat arah yang berlawanan dengan arah sungai/payau, ulu untuk menyebut arah ke hulu sungai/payau, dan ilir untuk menyebut arah yang menuju bagian hilir aliran sungai/payau. Sungai/payau, atau mereka menyebutnya dengan payo, ini juga yang menjadi penanda wilayah di mana sehamparan tanah berada. Payo-payo yang memiliki nama-namanya sendiri ini sangat banyak dan membentuk pola bagaikan urat di tengah hamparan tanah yang sekarang menjadi perkebunan tebu milik PG. Cinta Manis. Untuk ukuran luas masyarakat di sini tidak menggunakan satuan metrik, mereka menggunakan ukuran depa, itupun terkadang hanya kira-kira dengan pandangan mata. Dalam keseharian ketika membicarakan luas umo[6] mereka terkadang mengukurnya dengan berapa banyaknya benih padi yang ditanam dalam hitungan kaleng.[7] Biasanya sekali beumo mereka mampu mengolah tanah seluas 3-5 kaleng benih padi yang dalam satuan metrik bisa melebihi satu hektar. Setelah karet mulai besar, di tahun ke 3, mereka pindah ke tempat lain yang tidak terlalu jauh atau malah berbatasan langsung dengan tanah yang diolah pada tahun pertama. Begitulah secara terus menerus dilakukan.
Bagi yang tidak memiliki tanah yang diwarisi dari orang tua, bisa mengerjakan tanah orang lain. Menanam karet tumpangsari dengan padi dan/atau nanas, hanya saja dalam kasus ini karet menjadi milik pemilik tanah, sedangkan tanaman lainnya menjadi milik yang mengolah. Penanaman karet yang dilakukan tidak seperti yang kita lihat pada perkebunan-perkebunan zaman sekarang; berjajar rapi dan tidak ada tumbuhan lain selain karet. Di sela-sela karet mereka juga menanam tumbuhan lain seperti jengkol, petai, dll.
Tidak jarang jika musim kemarau panjang, kebun yang sudah mulai ditinggalkan, karena karet yang sudah mulai tumbuh besar, terbakar dan akhirnya hanya ditumbuhi ilalang atau sisa-sisa rumpun bambu yang menjadi penanda batas tanah.
Masing-masing desa yang sekarang tergabung dalam GPPB mempunyai sistem kepemilikan tanah yang hampir sama dengan beberapa kekhasan untuk beberapa desa. Misalnya di Desa Rengas dan Tanjung Atap[8], dua desa ini selain memiliki tanah untuk masing-masing keluarga, mereka juga memiliki hutan yang disebut dengan hutan peramunan seluas lebih-kurang 25 ha. Hutan ramuan adalah hutan yang berada dalam kepemilikan komunal dan boleh dimanfaatkan oleh siapapun dari penduduk desa untuk meramu bahan membangun rumah. Tanah peramuan ini berada di bawah kontrol desa.
Di sebagian desa ada tanah yang disebut dengan 'pancung alas'. Tanah ini adalah tanah milik Marga yang bisa diusahakan oleh siapapun dengan syarat membayar sejumlah uang yang disebut dengan biaya pancung alas.
3. Perjalanan Konflik Agraria antara Rakyat dengan PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis
Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan Nusantara VII adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor perkebunan Indonesia. Perseroan berkantor pusat di Bandar Lampung, provinsi Lampung, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1996 tanggal 14 Februari 1996 dan Akte Notaris tanggal 11 Maret 1996. PT. PN VII (Persero) merupakan penggabungan dari PT Perkebunan X (Persero), PT Perkebunan XXXI (Persero), Proyek Pengembangan PT Perkebunan XI (Persero) di Kabupaten Lahat dan Proyek Pengembangan PT Perkebunan XXIII (Persero) di Propinsi Bengkulu.[9]
Pada tahun 1981 PT. Perkebunan XXI-XXII, mendapatkan pencadangan tanah melalui SK Gubernur KDH Tingkat I Sumatera Selatan No. 379/KPTS/I/1981 untuk proyek pabrik gula. Pencadangan tanah ini terletak di 3 (tiga) lokasi, yaitu Lokasi 1 (7.289 Ha), Lokasi 2 (9.500 Ha) dan lokasi 3 (3.500 Ha) dengan total luas 20.289 Ha.[10]Berdasarkan surat tugas Bupati KDH. Tingkat II OKI No: AG.210-243/1981 tanggal 10 April 1981 untuk mengadakan inventarisasi tanah, tanam tumbuh, dan bangunan rakyat terhadap lokasi yang akan dibebaskan oleh PTP XXI-XXII (Persero) di Marga Tanjung Batu, Meranjat, Lubuk Keliat, dan Marga Rambang IV Suku di Kecamatan Tanjung Batu dan Muara Kuang. Dari hasil inventarisasi itu, tanah rakyat di Rayon III, di Ketiau seluas 374 ha yang ganti ruginya diberikan kepada 133 warga; di Sribandung, Sritanjung, dan Tanjungatap seluas 1.479 ha, dan ganti ruginya diberikan kepada 894 warga. Jadi jumlah luas tanah yang digantirugi adalah 1.853 ha dengan jumlah pemilik sebanyak 1.027 orang.
Pada tahun 1982 PT. Perkebunan XXI-XXII melakukan pembebasan lahan untuk tanah seluas 19.526,3721 ha. Pembebasan lahan ini berlangsung sampai tahun 1985. Kemudian pada tahun 1991 PT. Perkebunan XXI-XXII Unit Usaha Cinta Manis mengajukan HGU atas tanah yang berada di lokasi I, II dan III yang kemudian berdasarkan keputusan Panitia “B” tertanggal 15 April 1993 bahwa untuk lokasi I seluas 6.512,423 dapat dipertimbangkan untuk diberikan HGU. Untuk lokasi I inilah pada tahun 1995 terbitlah HGU dengan No 1/1995 di Desa Burai kecamatan Rantau Alai.
Gambar 2. Citra satelit perkebunan tebu PG. Cinta Manis
Dalam proses pengukuran terjadi perbedaan cara mengukur luas tanah antara petani dan perusahaan yang berakibat pada perbedaan perhitungan luas tanah yang digantirugi. Hamparan tanah yang luas itu dipenuhi oleh aliran sungai kecil yang disebut dengan payo atau benca. Pihak perkebunan tidak memasukkan bagian penggir payo selebar 25 meter di masing-masing sisi payo yang dengan demikian terjadi pengurangan 50 m dikalikan dengan panjang payo. Bagian ini tidak dihitung karena tidak cocok untuk ditanam tebu padahal tetap masuk ke dalam areal perkebunan dan tidak bisa diakses oleh petani. Namun demikian akhir-akhir ini bagian sisi payo yang tidak dihitung ini pun ditanami dengan sawit. Perbedaan ini juga bagian yang sering didengung-dengunkan oleh petani karena perbedaan cara menghitung ini berimplikasi pada cara menghitung luasan lahan yang dikuasai Cinta Manis yang menurut sebagian petani mendekati angka 30.000 ha.
Berdasarkan dokumen milik GPPB baru sekitar 20% lahan yang diganti rugi, maka sebagian warga, waktu itu, yang merasa tidak puas dan merasa memiliki hak atas tanah, menempuh jalur hukum sampai ke tingkat kasasi di MA. Usaha hukum yang dilakukan ini ada yang berhasil yaitu tanah seluas 40 ha lebih di Desa Rengas atas nama AN. Jakfar. Namun sampai sekarang pihak PT. PN VII masih menggarap tanah tersebut karena merasa sudah membayar ganti rugi sesuai dengan keputusan kasasi MA dan uang ganti rugi tersebut dititipkan di pengadilan.
Ketika pembersihan lahan terjadi, yang dimulai sejak tahun 1982, hamparan tanah yang sangat luas ini, di antara pohon-pohon karet yang masih kecil, sedang dipenuhi oleh padi yang sedang menguning dan siap dituai. Ada juga yang sedang ditanami nanas yang mulai menghitam. Proses negosiasi para petani dengan pihak perusahaan (perusahaan pembersih bukan Cinta Manis) tidak bisa menyelamatkan padi dan nanas yang menjadi tumpuan penghidupan mereka. Alat-alat berat menggusur habis apapun yang ditemukan dengan dikawal oleh seorang Pesirah.[11] Pembersihan itu terkadang dilakukan di malam hari untuk menghindari usaha-usaha menghalangi yang dilakukan petani di siang harinya. Ada juga yang tidak ada tanam-tumbuhnya, seperti di Desa Tanjung Batu. Di desa ini kebanyakan tanah hanya ditumbuhi ilalang. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah, tanah yang tidak ada tanam-tumbuhnya tidak mendapat ganti rugi.
Seorang mantan anggota tim 9 yang melakukan pengukuran tanah waktu menggambarkan:
Pada tahun 1980 [sic], pado waktu itu, Kerio (Kerio Waidi) umumkan di mesjid, siapo yang meraso ado tanah d daerah Cinta Manis itu, bilang dianyo, kito berduyun-duyun ke sano untuk mematoki tanah. Itu hari jumat, dia mengumumkannyo di Mesjid. Siapo yang meraso ado tanah, patok! Kito nak betanam tebu. Baduyun-duyun pada waktu itu masyarakat turun ke lapangan matok tanah. Setelah dipatok tanah, baru ngadokan tim pengukuran, setelah diukur oleh tim 9, aku terus ngikuti itu, ado pulo pengumuman kalu yang yang dak katek tanam-tumbuh tak dapat ganti rugi[12].
Penjelasan bebas:
waktu itu, hari jumat, kerio[13] (sekarang kepala desa) mengumumkan di mesjid barang siapa yang punya tanah di area yang bakal dijadikan perkebuanan tebu cinta manis agar segera menandai tanahnya. Kemudian dilikukanlah pengukuran oleh tim 9. tak berapa lama kemudian ada pengumuman baru bahwa tanah siapa saja yang tidak ada tanam-tumbuh di atasnya tidak akan mendapatkan ganti rugi.
Ganti rugi bukanlah ganti rugi atas tanah, tetapi ganti rugi atas tanam-tumbuh yang ada di atasnya. Tanam-tumbuh yang ada dihitung dan masing-masing dihargai sesuai dengan jenis tumbuhannya. Beberapa sumber lain mengatakan ganti rugi atas tanah diberikan sebesar Rp. 15/meter dan proses pemberian ganti rugi itu penuh dengan masalah di sepanjang tahun 1982 sampai tahun 2000-an.
Pembersihan lahan ini mendapat perlawanan dari petani. Awalnya mereka melawan dengan pendekatan hukum di seputar masalah ganti rugi. Sejak tahun 1998 masyarakat yang berkonflik dengan PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis ini mulai meninggalkan perjuangan untuk mendapatkan akses terhadap tanah melalui jalur hukum, artinya mereka mulai membangun gerakan. Yang paling massif mereka yang berasal dari Desa Rengas. Perjuangan mereka meledak menjadi konflik terbuka pada 14 Desember 2009. Peristiwa ini berawal dari reklaim lahan seluas 15.000 ha oleh petani Desa Rengas. Ketika itu pihak kepolisian mengawal pihak perusahaan menghancurkan pondok-pondok yang di bangun petani di atas tanah yang direklaim. Konflik pecah, terjadi benturan fisik dan penembakan yang mengakibatkan seorang pemuda Rengas patah jari telunjuk. Peristiwa ini dikenal denan peristiwa 14 Desember yang selalu di peringati oleh petani Rengas setiap tahun sebagai hari bersejarah dalam kehidupan petani Rengas. Gerakan petani Rengas ini membuahkan hasil, mereka mendapatkan 15.000 ha lahan yang kemudian dibagi kepada semua petani masing-masing 2 ha. Tanah tersebut ditanami karet yang sekarang sudah berumur lebih dari 3 tahun. Perkebunan Tebu dan Penderitaan Petani
Pengambilalihan lahan rakyat oleh PT. PN VII pada tahun 1982 sebagaimana sudah disinggung di bagian atas berakibat pada tertutupnya akses petani terhadap tanah objek konflik. Bukan sekedar tertutup bahkan, pengambil-alihan tersebut sebenarnya adalah pencerabutan/pengusiran karena sebagian besar tanah tersebut sedang ditanami karet, padi dan nanas oleh petani. Bahkan, ketika itu padi sedang menguning, siap dituai. Begitu juga dengan nanas, pun siap dipanen. Sebagian petani, yang mempunyai cukup keberanian[14], meminta penundaan penggusuran yang dilakukan dengan alat berat, namun proses itu tetap saja berlanjut bahkan ada yang digusur di malam hari. Dengan didampingi oleh seorang pesirah yang menjabat waktu itu, Pesirah Raden Mustofa, alat berat menggusur tanaman petani tanpa memberikan waktu kepada petani untuk memanen padi atau nanas tumpuan hidup mereka.
Perlawanan terjadi, warga Rengas menolak, kerio yang menjabat waktu itu sempat ditangkap dan dipanggil ke kantor Kodim Ogan Komering Ilir (kabupaten sebelum pemekaran) padahal waktu ia sedang demam.[15] Perlawanan petani Desa Rengas tidak membuat surut proses pengambilalihan lahan, petani Desa Rengas tetap kehilangan tanah sumber penghidupan.
Tanah sudah tidak punya, tapi hidup harus tetap dilanjutkan. Petani Rengas mencari penghidupan dengan cara nganun. Nganun atau ngandun, kata ini biasanya digunakan untuk menyebut sebuah kegiatan pergi meninggalkan kampung halaman dalam beberapa waktu, tetapi belum bisa dimasukkan ke dalam katagori merantau. Inilah yang dilakukan oleh masyarakat Rengas ketika mereka tidak punya tanah pertanian setelah masuknya pabrik gula Cinta Manis pada tahun 1982. Penduduk Desa Rengas ketika itu nganun untuk baumo di kabupaten lain, sebagian besar di Batu Raja kabupaten Musi Banyu Asin. Di sana mereka menggarap tanah milik orang dengan skema karet yang ditanam menjadi milik pemilik tanah sedangkan padi atau nanas menjadi milik penggarap. Dalam setiap 1 sampai 3 bulan mereka baru bisa pulang ke kampung halaman untuk menjenguk keluarga. Kegiatan ini terjadi paling tidak sampai pada tahun 2009.
Aku bae, sampai Muaro Kuang, sampai ke dusun baru, beumo. Sepi dusun ini, merantau seluruhnya. Kareno dak punyo lahan kecuali yang hidupnyo dak bergantung dengan tanah.[16]
Nganun juga harus dilakukan oleh petani Tanjung Atap. Petani Tanjung Atap ini juga adalah tukang pembuat rumah dari kayu.[17] Ketika tanah pertanian mereka diambil alih oleh PT. PN VII mereka nganun menjadi tukang pembuat rumah dari kayu sampai ke daeran Pagar Alam, tidak jarang perjalan ke sana ditempuh dengan jalan kaki. Di Desa Tanjung Batu lain lagi, Tanjung Batu adalah desa yang berbatasan langsung dengan Desa Limbang Jaya tempat kejadian tertembaknya Angga (13) pada tanggal 27 Juli 2012. Penduduk desa ini selain bertani juga punya mata pencaharian lain, yaitu menenun songket bagi perempuan dan pandai besi bagi laki-laki. Pandai besi membuat alat-alat pertanian seperti sabit, parang, cangkul dan lain-lain. Hilangnya akses terhadap tanah dan hilangnya kegiatan pertanian dari kawasan itu membuat berkurangnya pasar dari hasil kerajinan besi yang mereka tekuni. Pasar hasil produksi kerajinan besi mereka semakin menyusut ketika perkebunan tebu menerapkan teknik pembakaran sebelum panen tebu dilakukan, karena itu berarti tidak lagi menggunakan sabit atau parang untuk membersihkan batang tebu yang mau di panen.
Selain problem penghidupan, problem sosial pun muncul, terutama sangat ketara akhir-akhir ini, ketika perjuangan mendapatkan kembali akses terhadap tanah semakim masif; terjadi konflik antar masyarakat dalam satu desa. Konflik antara masyarakat dalam satu desa di Desa Sribandung mungkin bisa menjadi ilustrasi bagaimana konflik agraria ini berkembang ke mana-mana. Diketahui tidak semua penduduk Sribandung mendukung perebutan kembali tanah yang digunakan oleh PT. PN VII untuk perkebunan tebu. Biasanya, ketika mau berangkat menunaikan ibadah haji, menurut kebiasaan masyarakat Sribandung, diadakanlah kegiatan yasinan dan keberangkatan diiringi dengan rebana. Namun, pada suatu ketika tidak seorangpun yang menghadiri serangkaian kegiatan untuk seorang anggota masyarakat hanya karena dia tidak mendukung sebagian besar masyarakat yang sedang berjuang mendapatkan haknya kembali.
Selain problem sosial, penggunaan bahan kimia oleh perkebuanan tebu menyebabkan air yang mengalir di payo-payo tidak lagi bisa digunakan sebagaimana dulu. Seorang nara sumber mengungkapkan:
kalu dulu, balik sekolah lansung ka umo, kareno jauh, haus, langsung minum dari banyu payo, pakai tangan, airnyo bening, nyampakkan jarum ke bawah, kejingoan, kejingoan sepat. Mak ini? Mano?.
Artinya:
dulu, sepulang sekolah kami langsung ke kebun, karena kebunnya jauh, dan kami kehausan, maka kami langsung saja minum air payo dengan menggunakan tangan. Airnya jernih, jarum jatuh pun akan kelihatan, kelihatan ikan sepat. Tapi sekarang? Tidak mungkin.
Masalah air ini juga berhubungan dengan sumber protein; ikan. Tidak seperti dulu lagi, kini penduduk di sekitar perkebunan tebu sulit untuk mendapatkan ikan. Dulu, di payo, masyarakat bisa mendapatkan berbagai jenis ikan air tawar dengan mudah, misalnya lampam, baung, dan lain-lain. Kini mereka harus membeli ikan hasil budi-daya yang bagi masyarakat di sini itu adalah hal baru.
Akibat lanjutan berikutnya adalah terkikisnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Lunturnya kepercayaan rakyat/petani kepada pemerintah akibat konflik yang berlarut-larut ini bisa dilihat dari kemana mereka pergi dan apa yang mereka lakukan untuk mendapatkan pengakuan akan hak mereka untuk mempunyai hak atas tanah. Rakyat/petani yang berkonflik dengan PT. PN VII unit usaha PG. Cinta Manis mengadukan nasib mereka kemana-mana. Dari pemerintah tingkat kabupaten sampai tingkat nasional. Lembagai perwakilan rakyat pun melakukan mediasi-mediasi antara petani dan pihak PT. PN VII. Semua belum tanpak hasilnya (hal ini akan diceritakan pada bagian VI). Ketika semua usaha tidak menghasilkan apa-apa rakyat/petani melakukan aksi-aksi para-legal dengan didampingi oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil. Tercatat bahwa Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan dan LBH terlibat sejak awal dalam mendampingi petani untuk mendapatkan pengakuan pemerintah akan hak mereka untuk mempunyai hak atas tanah.
Keterlibatan organisasi-organisasi masyarakat sipil dalam aksi-aksi protes petani adalah bukti dari mulai lunturnya kepercayaan petani kepada pemerintah. Kedatangan rakyat/petani yang berkonflik dengan PT. PN VII di Ogan Ilir ke organisasi-organisasi masyarakat sipil yang kami sebutkan tadi karena hanya merekalah yang, sampai saat ini, mengakui hak-hak mereka untuk mempunyai hak atas tanah yang sedang disengketakan.
4. Usaha Koreksi dan Hal-hal yang Melestarikan Konflik Agraria
Pemerintah sebagai pengurus publik, dari tingkat kabupaten Ogan Ilir sampai tingkat nasional merespon konflik agraria ini dengan 'keperihatinan' yang sama, terutama setelah konflik ini meledak dan memakan korban jiwa, tapi tampaknya tidak melahirkan kebijakan-kebijakan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang menyebabkan konflik ini terjadi.
Sebagai kementerian yang mengurus semua Badan Usaha Milik Negara, kementerian BUMN juga ditunggu-tunggu sikapnya oleh masyarakat, terutama masyarakat yang sedang berkonflik. Dahlan Iskan, menteri BUMN, beberapa kali memberikan statemen di media yang menunjukkan tidak akan ada koreksi mendasar terhadap kebijakan-kebijakan yang telah melahirkan konflik. Semua masalah diserahkan kepada pihak direksi dengan penekanan khusus bahwa BUMN harus mempertahankan semua asetnya, apapun caranya.[18]
Selain itu, Hatta Rajasa[19], ketua umum PAN yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian mengambil peran untuk meyelesaikan konflik ini. Memang di Desa Sribandung ada satu orang anggota DPR RI dan satu orang lagi anggota DPRD sumatera selatan dari fraksi partai Amanat Nasional, yang keduanya adalah bapak dan anak. Kedua orang ini cukup berpengaruh dalam mengintervensi gerakan GPPB, terutama agar petani menyerahkan semua proses penyelesaian kepada ketua umum PAN yang menjabat menteri sekaligus adalah besan presiden SBY. Awal Okotber 2012 sejumlah pengurus GPPB melakukan pertemuan dengan Hatta Rajasa di Jakarta. Ketika itu Hatta Rajasa menjanjikan 'hak guna usaha seumur hidup' bagi petani. Hak guna usaha seumur hidup ini kemudian difahami sebagai contract farming dalam bentuk inti-plasma. Waktu itu Hatta Rajasa juga memberikan 'titipan' untuk masjid di 19 desa yang tergabung dalam GPPB, masing-masing uang sebesar USD 100. Di beberapa kesempatan pun Hatta Rajasa menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan konflik ini mengingat ia sendiri berasal dari Sumatera Selatan. Di media beberapa kali Hatta Rajasa menegaskan,
“Sebagai putra daerah, konflik di PTPN VII menjadi perhatian besar saya. Satu-satunya cara penyelesaiannya, dengan memberikan akses atas kepemilikan lahan kepada warga,” …...“Saya ini, orang dusun yang hidup dan dibesarkan dengan kepemilikan lahan. Jika tanah masyarakat terserabut dan mereka menjadi kuli-kuli di kota-kota maka tidak mungkin akan sejahtera. Ini yang saya perjuangkan habis-habisan,” …..“Saya hanya minta masyarakat tidak perlu ribut, tenang. Itu pasti akan diperjuangkan.” [20]
Perkembangan terakhir tentang tindakan lebih lanjut dari Hatta Rajasa tidak terdengar lagi. Petani yang tergabung dalam GPPB mulai mengambil keputusan untuk tidak menunggu janji itu lagi.
Selain itu, GPPB juga telah melakukan pertemuan dengan BPN RI pada tgl 2 Juli 2011 di Jakarta. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan bahwa BPN RI akan menyurati menteri BUMN untuk menyampaikan tuntutan GPPB dan BPN RI merencanakan pengecekan ulang terhadap sejumlah laporan petani dengan mengkaitkan bukti administrasi yang dimiliki PT. PN VII saat ini dalam rangka penyelesaian masalah, dan akan dilakukan paling lambat sampai November 2012.[21]
Usaha-usaha koreksi ini tampaknya dimulai sejak awal terutama setelah reformasi 1998. Namun karena usaha-usaha koreksi ini selalu berputar-putar pada ganti rugi perorang dengan pendekatan hukum, maka koreksi mendasar terhadap kebijakan yang melahirkan konflik masih hanya sekedar harapan. Hal ini ditandai dengan masih berlangsungnya konflik sampai terbangun gerakan petani yang cukup terorganisir di akhir tahun 2000an. Tercatat pada 1 September 1999 Gubernur Sumatera Selatan, yang waktu itu dijabat oleh Rosihan Arsyad, mengirimkan surat kepada Bupati Kepala Daerah TK. II Ogan Komering Ilir[22] di Kayu Agung dan Direksi PTP Nusantara VII (Persero) di Bandar Lampung perihal penyelesaian ganti rugi perkebunan tebu dan Pabrik Gula Cinta Manis. Surat ini merujuk pada surat sebelumnya yang dikirimkan pada 30 April 1999 kepada Menteri Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara di Jakarta dengan perihal yang sama.
Konflik tetap saja tidak berakhir sampai akhirnya meledak menjadi konflik terbuka dan tindakan 'kekerasan' yang kemudian disambut dengan kriminalisasi oleh aparat keamanan. Setelah koflik ini meledak sebagai konflik terbuka dan memakan korban usaha-usah koreksi kembali dilakukan. Pada tanggal 29 Juni 2012, dua hari setelah tertembaknya seorang anak berumur 13 tahun di Desa Limbang Jaya, Sekretaris Daerah Ogan Ilir, atas nama Bupati Ogan Ilir melayangkan surat No. 590/258/I/2012 dengan perihal menyampaikan tuntutan masyarakat terhadap lahan PT. PN VII. Surat inilah yang direspon oleh BPN RI sebagaimana telah dijelaskan di atas.[23]
Pada tanggal 7 Juni 2012 diadakan rapat lanjutan ketiga penyelesaian masalah lahan PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis yang dipimpin oleh ketua DPRD, DRS. H. Iklim Cahya, M.M. Rapat yang dihadiri hampir semua instansi terkait ini menyimpulkan bahwa, 1) lahan PT. PN VII Unit Usaha PG Cinta Manis, yang belum ada HGU, dimintakan secara prosedural pemerintahan kepada presiden melalui kementerian BUMN, untuk ke depan dapat dikembalikan/dimanfaatkan oleh masyarakat, 2) lahan PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis yang ada HGU supaya dievaluasi kembali, 3) PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis tetap bisa beraktifitas seperti biasa, tanpa ada gangguan dari masyarakat, dan 4) masyarakat diperbolehkan menandai (mengamankan) batas wilayah desa masing-masing (tapi bukan berarti memiliki), dengan tidak melanggar hukum.[24]
Pada tanggal 13 Juni 2012 juga terjadi dialog antara DPRD Sumatera Selatan dengan masyarakat Kecamatan Tanjung Batu, Kecamatan Lubuk Keliat, kecamatan Payaraman dan Kecamatan Indralaya Selatan. Pertemuan ini menghasilkan kesimpulan, 1) DPRD Sumatera Selatan mendukung sepenuhnya kesepakatan yang telah disepakati antara pihak PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis dengan warga di empat kecamatan tadi, pada hari Rabu, 23 Mei 2012, 2) DRPD Sumatera Selatan merekomendasikan kepada kepada pihak PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis agar pro aktif dan kooperatif membangun kerjasama dengan masyarakat sekitar untuk mencapai kemaslahatan dan kesejahteraan hidup masyarakat di sekitarnya, dan 3) DPRD Sumatera Selatan meminta kepada masyarakat untuk tetap menjaga suasana, situasi dan kondisi yang kondusif agar kesepakatan yang telah terjadi dapat dilaksanakan.[25]
5. Penutup
Secara umum, tidak ada koreksi mendasar terhadap putusan-putusan yang menjadi penyebab konflik agraria 'Cinta Manis'. Pejabat terkait baru sebatas menampung, menghimbau, merencanakan penyelesaian, tanpa ada tindakan nyata, tegas dan segera. Ketidakadaan koreksi mendasar inilah yang melestarikan konflik agraria berkepanjangan. Tindakan kriminalisasi oleh aparat keamanan terhadap gerakan petani juga ikut melestarikan konflik. Paling tidak, sejak reformasi perlawanan terbuka dalam bentuk gerakan petani mulai dilancarkan oleh petani yang berkonflik dengan PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis. Yang paling menggetarkan hati adalah peristiwa tertembaknya seorang anak yang tidak mengerti apa-apa di Desa Limbang Jaya pada 27 Juli 2012. Sebelumnya terjadi penangkapan 9 petani dalam aksi pada tanggal 19 Juni. Kesembilan petani dikenakan pasal senjata tajam. Pengenaan pasal senjata tajam ini dipenuhi dengan cerita rekayasa tentang bagaimana mereka dipaksa difoto dengan memegang senjata tajam masing-masing. Kesembilan petani ini kemudian divonis empat bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan.
Gerakan protes rakyat tidak bisa disempitkan hanya pada masalah perbuatan hukum semata, karena konflik agraria ini adalah konflik agraria struktural. Menanggapi protes rakyat yang mempertahankan ruang hidup mereka, dan aksi-aksi petani yang dibela oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dengan pendekatan polisionil yang berujung pada kriminalisasi para pejuang agraria malah akan membuat konflik agraria itu semakin kronis dan berdampak meluas.
Daftar Pustaka yang Dikutip
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, bekerjasama dengan Inist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria.
Polanyi, Karl. [1944] 1967. The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
PT. PN VII. 2011. Laporan Tahunan 2011. Dokumen tidak diterbitkan.
Ribot, Jesse dan Nancy Lee Peluso. 2003. “A Theory of Access”. Rural Sociology 68(2):153-81.
Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta, Tanah Air Beta bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.
_____. 2013. Mengapa Konflik-konflik Agraria Terus-menerus Meletus Disana-sini? Sajogyo Institute, Working paper No.1 2013.
Sikor, Thomas and Lund, Thomas. 2009. Access and Property: A Question of Power and Authority. Development and Change 40(1): 1–22.
*) Peneliti di Sajogyo Institute, Pusat Dokumentasi dan Studi-studi Agraria. Jl. Malabar 22, Bogor 16151. Perancangan penelitian hingga pengumpulan dokumen primer dan sekunder dilakukan di sepanjang tahun 2012-2013. Kunjungan lapangan untuk observasi dan wawancara dilakukan oleh Eko Cahyono, dan Swanvri pada tanggal 19 – 24 November 2012.
[1] Tidak seluruh desa yang berkonflik dengan PT. PN VII Unit Usaha PG. Cinta Manis tergabung dalam GPPB, contohnya Desa Rengas yang sejak tahun 2009 telah berhasil melakukan reklaiming atas 1.500 ha tanah dan sekarang tanah ini ditanami karet tumpangsari dengan padi atau nanas.
[2] Akses adalah the ability to derive benefits from things (Ribot dan Peluso, 2003)
[3] Kerangka penjelas ini dikembakan lebih detil di Rachman (2013).
[4] Padi talang adalah sebutan asli untuk padi yang ditanam di tanah talang. Padi ini tumbuh dan memiliki tinggi yang hampir menyamai rata-rata tinggi orang dewasa. Mereka memanennya dengan cara dituai dengan ani-ani dan sebagian dilurut, yaitu dirontokkan dengan menggunakan tangan tanpa memotong tangkai padi dari batangnya.
[5] Bambu dipilih karena daya tahannya terhadap api, bambu akan tumbuh kembali dari rumpunya yang sudah terbakar.
[6] Petani Ogan Ilir, bahkan di Sumatera Selatan, menggunakan kata umo untuk menyebut kebun. Kata kerjnya beumo.
[7] Kaleng yang dimaksud adalah kaleng minyak goreng yang biasa ditemukan di Sumatera Selatan.
[8] Berdasarkan data sementara yang bisa didapat, mungkin di desa-desa lain juga ada namun tidak untuk semua desa yang tergabung dalam GPPB.
[9] PT. PN VII, Laporan Tahunan 2011.
[10] Komnas HAM Republik Indonesia (2012). Laporan Pemantauan & Penyelidikan Peristiwa Kekerasan Di Ogan Ilir, Sumatera Selatan . Jakarta.
[11] Pesirah adalah kepala Marga, Marga adalah satuan pemerintahan di bawah kecamatan yang membawahi sekitar 3 desa.
[12] Kutipan wawancara dengan seorang mantan aggota tim 9 yang melakukan pengukuran tanah (Wawancara pada tahun 2012).
[13] Sekarang kepala desa.
[14] Tidak semua orang berani, karena situasi pemerintahan orde baru, yang berkuasa waktu itu yang sangat represif.
[15] Wawancara pak GPR anak dari kerio tersebut.
[16] Catatan wawancara dengan pak GPR, Rengas.
[17] Rangkap pekerjaan on-farm dan off-farm biasa terjadi di daerah ini. Pekerjaan on-farm biasanya dilakukan perempuan, terutama setelah pekerjaan-pekerjaan berat di awal pembukaan umo telah selesai.
[18] http://www.tempo.co/read/news/2012/07/31/090420381/Dahlan-Serahkan-Konflik-Cinta-Manis-ke-Direksi diakses terakhir tgl 7 Maret 2012.
[19] Diketahui juga bahwa Hatta Rajasa beraal dari Desa Jejawi kabupaten Ogan Ilir.
[20] http://www.trijayafmplg.net/berita/2012/08/hatta-sengketa-lahan-ptpn-vii-jadi-perhatian-pemerintah/. Diakses terakhir 7 Maret 2012. Penekanan dari penulis.
[21] Berita acara pertemuan antara GPPB dengan BPN RI, Jakarta, 2 Juli 2012.
[22] Sebelum pemekaran areal perkebuanan tebu PT. PN VII termasuk ke wilayak Ogan Komerng Ilir dengan ibukota di Kayu Agung.
[23] Dokumen proposal GPPB.
[24] Risalah rapat tanggal 7 Juni 2012.
[25] Dokumen kesimpulan dialog DPRD Sumsel dengan warga dari empat kecamatan yang ditanda-tangani oleh wakil ketua DPRD Provinsi Sumatera Selatan.
No comments:
Post a Comment