Lintasan Proses-proses Kebijakan Reforma Agraria 2005-2012

  



Naskah yang disajikan pada acara Rapat Kerja Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria, Jakarta, 7 April 2013.  

File buku Noer Fauzi Rachman (2012) Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta bekerjasama dengan Konsortium Pembaruan Agraria, bisa diunduh seluruhnya secara bebas di https://www.pustakaagraria.or.id/2023/01/land-reform-dari-masa-ke-masa-by-noer.html, bisa juga di situs https://pppm.stpn.ac.id/wp-content/uploads/2017/08/Land-Reform-Dari-Masa-Ke-Masa.pdf 

Noer Fauzi Rachman**) 

Pengantar            

          Naskah ini membahas proses-proses kebijakan kebijakan land reform terutama di Badan Pertanahan Nasional sepanjang  2005-2012, dan secara khusus menjelaskan hubungan yang berubah dari waktu-ke-waktu antara berbagai kekuatan sosial termasuk Konsorsium Pembaruan Agraria. Akan ditunjukkan bagaimana kekuatan-kekuatan tersebut bekerja dalam ruang politik tertentu, dan berubah dari waktu ke waktu.

       Dua bagian pertama dari naskah ini bersumber dari buku Noer Fauzi Rachman, Land Reform dari Masa ke Masa (2012:101-119), sedangkan uraian selanjutnya mengenai proses kebijakan land reform 2009 – 2012 bersumber dari observasi, wawancara, percakapan yang penulis lakukan dikombinasi dengan berbagai studi dokumen.

Protes terhadap Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum

Setelah dilantik menjadi Presiden pada akhir tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengagetkan para aktivis masyarakat sipil yang mempromosikan land reform dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Alih-alih mengagendakan kebijakan land reform, Presiden justru membangkitkan rasa dan ingatan mereka akan otoritarianisme Orde Baru, khususnya melalui kebijakan dan praktek-praktek yang dikenali sebagai “perampasan tanah”. Hal ini menuai gelombang protes dari kalangan luas mulai dari aktivis gerakan sosial, komisioner HAM, tokoh organisasi kemasyarakatan seperti Nadhatul Ulama dan Muhamadiyah, aktivis mahasiswa, hingga akademisi perguruan tinggi. 

Joyo Winoto, yang diangkat menjadi Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 22 Juli 2005,menghadapi tekanan dari protes-protes ini. Di awal masa kepemimpinannya,  dia menghadapi berbagai protes tersebut dengan cara menjalin komunikasi dengan beberapa tokoh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang turut mengorganisir protes. Dia berusaha memahami tuntutan yang mereka kemukakan dan selanjutnya menghubungkannya dengan tim BPN yang kemudian merevisi Perpres itu. Selanjutnya, Winoto mendorong terbitnya Peraturan Presiden sebagai perubahan atas Perpres No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Perpres No 65/2006 yang terbit tanggal 5 Juni 2006). 

Babak Baru di Badan Pertanahan Nasional, tahun 2005 

Selain kemudian berhasil meredakan berbagai protes yang meluas itu, Joyo Winoto membawa BPN RI memasuki babak baru.[1] Sebagai Kepala BPN, Winoto melakukan berbagai usaha penting sebagai berikut (lihat Winoto 2005a,b, 2006, 2007a,b,c, 2008, 2009):  

(a)    Membuat dasar hukum baru untuk eksistensi serta tugas pokok dan fungsi Badan Pertanahan Nasional (Peraturan Presiden No. 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional). Dengan dasar hukum ini BPN memiliki fungsi yang sangat luas, mulai dari perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan, administrasi, hingga pengelolaan data pertanahan.[2]

(b)    Menjalankan pembaruan terhadap prinsip-prinsip kerja BPN[3], kelembagaan organisasi BPN, struktur organisasi BPN, dan deskripsi kerja masing-masing posisi dalam BPN; menyelenggarakan “fit and proper tests” untuk semua pejabat BPN (level 1, 2, dan 3) di BPN Pusat, Kanwil BPN, dan Kantor Pertanahan; dan pada tahun 2006 memindahkan 6.338 dari 22.684 pejabat BPN ke posisi baru, atau sekitar  28% dari seluruh pejabat BPN; 

(c)    Menghentikan upaya revisi UUPA 1960 dan mempergunakannya sebagai dasar untuk mengagendakan legislasi baru reforma agraria, termasuk rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria, dan rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; 

(d)    Mengurangi “allergic to land reform” atau “land reform phobia”  di kalangan pejabat pemerintahan dan lembaga negara (militer, polisi, birokrasi hukum dan kementerian) terhadap land reform, yang sebelumnya memiliki asosiasi politik yang negatif karena dipersepsi sebagai agenda komunis yang berbahaya, dengan cara menanamkan dan mengembangkan pemahaman bahwa “Reforma Agraria merupakan Mandat Konstitusi, Hukum dan Politik”; 

(e)    Mempopulerkan rumus “Reforma Agraria = Asset Reform Access Reform” yang maksudnya adalah redistribusi tanah disertai segala macam asistensi dan fasilitasi untuk meningkatkan akses penerima tanah redistribusi pada berbagai input pertanian, kredit, teknologi tata-guna tanah dan pertanian, pemasaran, serta berbagai asistensi teknis lain, sehingga tanah yang diredistribusikan menjadi produktif, menguntungkan, dan dapat dikelola secara berkelanjutan. 

Berbeda dengan program land reform yang dijalankan semasa tahun 1960-an yang menyasar tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah guntai (absentee), tanah swaparaja, dan tanah Negara lainnya, BPN pada masa Joyo Winoto, melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN),  mengagendakan redistribusi tanah pada tiga jenis objek, yakni:

(i)            1,1 juta hektar dari berbagai tipe “tanah negara” yang secara langsung berada di bawah jurisdiksi BPN;

(ii)          8,15 juta hektar tanah dalam kategori ”hutan konversi”, yang dimaksud adalah bagian yang dapat dikeluarkan dari kawasan hutan untuk tujuan non-kehutanan, yang berada di bawah jurisdiksi Departemen Kehutanan; dan 

(iii)         lebih dari 7 juta hektar “tanah-tanah terlantar” yang berada di bawah jurisdiksi BPN (Winoto 2008:52). 

Lebih jauh lagi, BPN telah pula menyiapkan berbagai skema redistribusi tanah berdasarkan sumber tanahnya, karakteristik penerima tanah (land reform beneficiaries), serta berbagai mekanisme yang mempertemukan antara sumber tanah dengan subjek penerimanya (secara administrasi BPN menyebutnya sebagai delivery mechanisms).  

Skema-skema redistribusi atas tanah-tanah tersebut dirancang oleh BPN untuk diimplementasikan tidak hanya dengan mengandalkan kerja BPN, namun melibatkan peran berbagai badan pemerintah lain untuk meyukseskan PPAN ini. Misalnya saja, pemerintah daerah kabupaten perlu memberikan pertimbangan pada BPN mengenai objek tanah yang hendak diredistribusikan dan siapa saja yang diusulkan menjadi penerima tanah yang akan diredistribusikan itu; untuk pengadaan tanah seluas 8,15 juta hektar yang berasal dari kawasan hutan konversi, BPN memerlukan keputusan Menteri Kehutanan mengenai pelepasan tanah-tanah itu dari kawasan hutan negara; dalam hal asistensi teknis dan inovasi pertanian bagi para petani penerima objek land reform, Departemen Pertanian dirancang menjadi pihak yang memberi asistensi teknis, modal, dan teknologi produksi. 

Pada praktiknya, Joyo Winoto bekerja bukan hanya memimpin BPN dengan fungsi yang luas, namun juga mempengaruhi Presiden SBY dan anggota kabinetnya untuk mendukung “Program Reforma Agraria” BPN. Winoto berhasil meminta Presiden menyelenggarakan pertemuan khusus, antara Presiden SBY dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban, dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono, yang membicarakan usaha-usaha mengurangi pengangguran dan mengatasi kemiskinan melalui redistribusi tanah.[4]

Lebih dari itu, Winoto juga berhasil meyakinkan Presiden untuk mengumumkan “Program Reforma Agraria” itumelalui pidato tahunan yang disampaikan pada akhir Januari 2007. Kutipan pidato itu adalah sebagai berikut:

Program Reforma Agraria, untuk pendistribusian tanah untuk rakyat secara bertahap Insya Allah, akan dilaksanakan mulai tahun 2007 ini. Langkah itu dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin yang berasal dari hutan konversi, dan tanah lain yang menurut hukum pertanahan kita boleh diperuntukan bagi kepentingan rakyat. Inilah yang saya sebut sebagai prinsip “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Reformasi ini saya anggap mutlak untuk dilakukan, mengingat selama kurun waktu 43 tahun (sejak 1961 hingga 2004), tanah negara yang diberikan kepada rakyat baru berjumlah 1,15 juta hektar.” 

 

            Pidato Presiden SBY menyambungkan “Program Reforma Agraria” itu dengan program pemerintah “membantu rakyat menyertifikatkan tanah yang mereka miliki, agar memiliki status hukum yang jelas”. Beliau mengatakan bahwa:

“Pada tahun 2005 Pemerintah telah membebaskan biaya pengurusan sertifikat terhadap 410.361 bidang tanah. Tahun 2006, angka ini meningkat 44 persen, sehingga mencakup 591.000 bidang tanah. Pada tahun 2007 ini, kita targetkan pembebasan biaya itu agar dapat melayani 1.113.130 bidang tanah, yang berarti naik sebesar 89 persen. Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana gempa dan tsunami, Pemerintah telah melayani secara cuma-cuma pendaftaran kembali tanah-tanah rakyat, yang meliputi 200.000 bidang tanah. Di tahun 2007 ini, kita merencanakan untuk melayani pendaftaran kembali 110.000 bidang tanah di daerah itu.[5]

            Adalah andil Joyo Winoto pula yang membuat Presiden menyelenggarakan Rapat Kabinet Terbatas untuk secara khusus membahas “Reforma Agraria”, di mana Joyo Winoto mempresentasikan kerangka program “Reforma Agraria”, pada 23 Mei 2007.[6] Lebih dari itu, Winoto telah pula memasukkan konsepsi dan komponen reforma agraria sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 Bab IV.1.5 Mewujudkan Pembangunan yang Lebih Merata dan Berkeadilan: 

“... menerapkan sistem pengelolaan pertanahan yang efisien, efektif serta melaksanakan penegakan hukum terhadap hak atas tanah dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan demokrasi ..., perlu dilakukan penyempurnaan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah melalui ... land reform.”

 

Halang-rintang Reforma Agraria

Berjalannya “Reforma Agraria” yang mensyaratkan kerjasama lintas kementeriansetidaknya dengan Kementerian Kehutanan dan Kementerian Pertanian ternyata tidak berjalan sebagaimana dirancang oleh Joyo Winoto. Masing-masing badan pemerintahan terus mempertahankan sifat yang dikenal dimiliki oleh kalangan pejabat pemerintah Indonesia sebagai “ego sektoral” suatu kecenderungan badan pemerintah untuk hanya memenuhi kepentingan lembaga/sektornya masing-masing tanpa mempedulikan kepentingan lembaga/sektor lainnya. Hal lain yang juga tidak terjadi adalah upaya serius dan berhasil dalam mengordinasikan dan menyinkronkan perbedaan kepentingan masing-masing badan pemerintah untuk menjalankan Reforma Agraria tersebut. 

Agenda redistribusi 8,15 juta hektar tanah, yang berada dalam “kawasan hutan negara” yang tergolong Hutan Produksi Konversi (HPK) di 474 lokasi pada 17 provinsi, tak berjalan sama sekali. Menurut Laporan Persiapan Pelaksanaan PPAN BPN 2007, dari keseluruhan Hutan Produksi Konversi (HPK) yang berjumlah 22.140.199 hektar, lebih dari 60 persen di dalamnya telah dikuasai masyarakat lokal seluas 13.411.025 hektar (Badan Pertanahan Nasional 2007:56). Laporan tersebut berasal dari asesmen BPN tentang tanah-tanah yang secara potensial akan menjadi sasaran PPAN (lihat Winoto 2008:51-57). Dalam menanggapi permintaan yang dikemukakan oleh sekelompok aktivis LSM dan juga dalam ceramah yang disampaikan di Balai Senat Universitas Gajah Mada, pada 22 November 2007, Kepala BPN menyebutkan bahwa rincian data dan peta 8,15 juta hektar tanah hutan konversi itu tidak akan diedarkan untuk mencegah kontroversi. Dia meyakinkan para aktivis bahwa BPN memiliki data dan peta digital masing-masing lokasi (Keterangan Winoto dalam pertemuan dengan para aktivis LSM di Jakarta, 2/5/2008). Seorang pejabat BPN pernah memperlihatkan sebuah buku tebal sekitar 100 halaman pada penulis. Di dalamnya terkandung versi cetak dari data-data dan peta-peta termaksud (wawancara di bulan November 2007). Namun, Kementerian Kehutanan sebagai pihak yang berwenang atas kawasan itu menolak menyerahkan tanah tersebut. 

Dalam suatu diskusi di Pusat Kajian Agraria-IPB, pada tanggal 19 Mei 2008, pejabat Badan Planologi Departemen Kehutanan mempersoalkan cara BPN dalam menghasilkan dan menggunakan data itu. Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh seorang pejabat tinggi BPN pun, dalam diskusi pada tanggal 19 Juni 2009, didapat konfirmasi bahwa belum ada perubahan yang berarti dalam hubungan komunikasi dan kordinasi dengan Departemen Kehutanan mengenai agenda tersebut. Departemen Kehutanan hingga saat ini tetap mempertahankan diri sebagai ‘tuan tanah negara’ terbesar melalui penguasaan sekitar 70% wilayah Republik Indonesia dalam “kawasan hutan”.

Di dalam Kementerian Kehutanan, masalah hak-hak rakyat atas tanah di wilayah, yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai “kawasan hutan negara”, merupakan masalah yang kronis. Hal itu disebabkan oleh dipergunakannya konsep “tanah negara” dan “hutan negara” berdasarkan UU No. 5/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang kemudian dilanjutkan dengan UU No. 41/1999 tentang Kehutanan. Dalam konsep “tanah negara” dan “hutan negara” ini hanya ada satu kepemilikan tunggal, yakni milik negara di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan. “Kawasan hutan hegara” ditentukan berdasarkan penunjukan dan/atau penetapan suatu wilayah sebagai “kawasan hutan” oleh Menteri Kehutanan untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat 3 UU no. 41/1999 tentang Kehutanan. Namun kemudian melalui Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011 kata “ditunjuk dan/atau” dalam pasal 1 ayat 3 UU no. 41/1999 yang berbunyi “kawasan hutan ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap” ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat

Putusan MK ini membuka kesempatan politik baru bagi organisasi non-pemerintah untuk advokasi kebijakan reformasi tenurial kehutanan. Kita mengetahui dari studi Arnoldo Contreras-Hermosilla dan Chip Fay (2005), Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform, bahwa tidak semua penunjukan itu telah ditetapkan oleh Menteri kehutanan sehingga absah secara hukum administrasi. Menurut studi itu, klaim Departemen Kehutanan dalam menguasai kawasan hutan seluruh Indonesia seluas 120,353,104 hektar didasarkan pada penunjukan oleh Menteri Kehutanan dan hingga awal tahun 2005 hanya 12 juta hektar atau 10 persen saja yang telah dikukuhkan melalui Berita Acara Tata Batas (Contreras-Hermosilla dan Chip Fay 2005:11).

Dengan mengemukakan agenda pengakuan kedaulatan masyarakat adat, berbagai organisasi gerakan sosial pedesaan, seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan ornop-ornop agraria dan lingkungan hidup, menantang klaim Departemen Kehutanan ini. Mereka menolak wilayah masyarakat adat dimasukkan dalam “kawasan hutan”, baik itu Hutan Produksi dan Produksi Terbatas, Hutan Lindung, maupun Hutan Konservasi. Baru-baru ini dilansir sebuah dokumen “Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial: Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia” oleh koalisi organisasi masyarakat sipil, yang di antaranya mengusulkan untuk menyelesaikan status hukum bagi lebih dari 30 ribu desa yang berada di dalam, atau tumpang tindih dengan, kawasan hutan Negara.[7]

Sebagaimana halnya Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian pun tidak mendukung program Reforma Agraria yang diinisiasi Joyo Winoto melalui BPN tersebut. Alih-alih menyokong segala upaya asistensi teknis pertanian dan kredit untuk para penerima tanah yang diredistribusi dalam program PPAN, Kementerian Pertanian menjalankan skema-skema baru untuk menggenjot produksi pangan, terutama beras, dalam program food security, mengagendakan RUU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang kemudian menjadi UU No. 41/2009, hingga memfasilitasi perusahaan-perusahaan raksasa untuk membuat berbagai perkebunan yang memproduksi makanan dan energi dengan cara mengembangkan food and energy estate di sejumlah tempat, termasuk yang paling luas di Kabupaten Merauke. Ijin lokasi diberikan oleh Bupati Merauke sepanjang tahun 2007-2011 untuk 44 perusahaan pada tanah seluas lebih dari 2,1 juta hektar (Data bersumber dari BKPMD Kabupaten Merauke 2011). 

Selain Kementerian Kehutanan dan Pertanian, hambatan utama lainnya adalah tidak disetujuinya usulan BPN untuk membentuk Lembaga Pengelola Reforma Agraria. Lembaga ini direncanakan berupa suatu badan otorita khusus yang mengurus segala upaya mulai dari merancang program hingga memberdayakan para penerima tanah objek land reform sekaligus memastikan tanah-tanah yang diredistribusikan itu produktif dan dikelola secara berkelanjutan. Namun, pembentukan lembaga yang diancangkan berbentuk “Badan Layanan Umum” (BLU) ini, yang kegiatannya tidak ditujukan untuk kepentingan memperoleh keuntungan, tidak berhasil memperoleh otorisasi dari Departemen Keuangan. Batu sandungannya adalah adanya keharusan untuk menunjukkan bahwa badan ini tidak akan terus-menerus bergantung pada dana APBN, artinya dalam jangka waktu yang ditentukan kemudian sanggup secara terus-menerus hidup dari perputaran uang yang bermula dari modal awal yang diberikan pemerintah. Sementara BPN, pada saat pengajuannya, masih belum sanggup menunjukkan proses terlepasnya badan ini dari dana APBN. Walhasil, ide Lembaga Pengelola Reforma Agraria ini kemudian dihilangkan dari draft RPP Reforma Agraria.

Dengan berbagai hambatan dan keterbatasan tersebut di atas, akhirnya pada praktiknya program yang disebut Reforma Agraria oleh Joyo Winoto sekadar menjadi legalisasi hak atas tanah seluas sekitar 1,1 juta hektar melalui skema “redistribusi tanah” dengan jalur “pemberian hak di atas tanah negara”.

Tiap tahun semenjak 2006, BPN meningkatkan permintaan anggarannya, termasuk menggunakan APBN untuk melakukan legalisasi atas tanah melalui skema “Pemberian Hak atas Tanah Negara”. Setiap sertifikat dianggarkan seharga Rp300.000,00 hingga Rp500.000,00 per persil, bergantung jauh-dekatnya, mudah-sulitnya, serta akses pelayanannya dari kantor pertanahan setempat. 

Sumber lain untuk “redistribusi tanah” adalah “tanah terlantar”, yaitu tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah lainnya yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Hasil identifikasi BPN menemukan luasan “tanah terlantar” tersebut mencapai 7.386.289 hektar” (lihat tabel di bawah). 

 

Tabel: Identifikasi tanah-tanah terlantar di semua provinsi 

 

Tipe hak tanah

Total (hektar)

a.

Hak Guna Usaha

1.925.326

b.

Hak Guna Bangunan                                                 

     49.030 

c.

Hak Pakai

401.079

d.

Hak Pengelolaan

535.682 

e.

Tanah dengan ijin lokasi, dan ijin-ijin lainnya 

4.475.172 

 

                    Total                                                                               

7.386.289

 

Sumber: Badan Pertanahan Nasional, Deputi Pengendalian Tanah dan Pemberdayaan Masyarakat, 2009.  

 

Untuk melakukan pengambilalihan seluruh “tanah terlantar” ini, BPN membuat PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Kemudian untuk melengkapinya, BPN memprakarsai RPP tentang Reforma Agraria yang memuat ketentuan kategori asal tanah yang akan diredistribusikan, yang disebut sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), kriteria penerima TORA, dan mekanisme distribusinya, hingga pemberdayaan subjek yang menerima TORA. Namun, berbeda dengan RPP tentang tanah terlantar yang berhasil diproduksi menjadi PP No 41/2009, RPP RA tidak pernah berhasil menjadi PP. Setelah lebih dari lima tahun diproses, pada pertengahan tahun 2012 Presiden SBY mengakhiri proses RPP Reforma Agraria. 

Penulis kerap bertanya pada Kepala BPN dan Staff Khusus Kepala BPN mengenai status RPP RA ini. Setelah melalui pengamatan dan diskusi serta wawancara sekian lama, penulis mendapat kesimpulan bahwa dukungan politik atas Reforma Agraria kurang memadai dan sekadar menggantungkan prosesnya pada hubungan antara Joyo Winoto dengan Presiden. Pada satu percakapan bersama penulis di akhir tahun 2012, Joyo Winoto mengatakan bahwa beliau sempat ditanya oleh Presiden SBY mengenai perkembangan RPP Reforma Agraria. Saat itu Joyo Winoto melaporkan pada Presiden bahwa draft terakhir RPP tersebut semenjak tahun 2011 telah selesai melewati rapat antar departemen dan menanti diangkat ke rapat kabinet. Menurut Winoto, Presiden meminta draft terakhir itu untuk disampaikan ke meja beliau secara langsung agar bisa diagendakan. Saat itu Winoto masih menunjukkan optimismenya bahwa hubungan khususnya dengan Presiden dapat diandalkan untuk membuat RPP Reforma Agraria itu dimasukkan ke dalam agenda rapat kabinet agar dapat didiskusikan hingga memperoleh persetujuan untuk dijadikan PP.

Namun, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kenyataan berkata lain. Kepala BPN menceritakan pada penulis bahwa pada suatu waktu di awal tahun 2012, beliau pernah diminta datang untuk menghadiri rapat kabinet yang akan membahas RPP Reforma Agraria. Namun, setelah tiba di Istana, beliau kemudian menyadari bahwa pembahasan RPP Reforma Agraria itu tidak termasuk dalam agenda rapat kabinet. Ia pun kembali ke kantor BPN setelah memberi keterangan pers pada wartawan bahwa rapat kabinet tentang Reforma Agraria ditunda karena Presiden memprioritaskan agenda lainnya. Seraya menghibur, Winoto menyatakan, “sudah merupakan bawaan lahirnya sebagai agenda perjuangan bahwa Jalan Reforma Agraria ditentang di sana-sini. Bukan Reforma Agraria namanya bila jalannya lancar” (Percakapan pribadi, 15 Februari 2012)

Kritik dan Dukungan dari Konsorsium Pembaruan Agraria terhadap Reforma Agraria

            

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) adalah organisasi non-pemerintah yang dapat dikatakan paling aktif melakukan kampanye untuk pembaruan agraria. Paska tumbangnya rejim otoritarian Suharto, melalui peran KPA istilah-istilah baru seperti reklaiming, okupasi tanah, gerakan petani, land reform, pembaruan agraria, reforma agraria, menjadi populer di kalangan aktivis organisasi non pemerintah dan pemimpin gerakan agraria.

Kampanye dan advokasi kebijakan pembaruan agraria di tingkat nasional, berkulminasi pada pembentukan Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Melalui ketetapan tersebut, Presiden Indonesia dan DPR diberi mandat untuk melaksanakan seperangkat arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.[8] Di segenap pedesaan Jawa, Sumatera, Sulawesi misalnya, sangat semarak aksi okupasi atas tanah yang sebelumnya berada di bawah kendali berbagai perusahaan perkebunan dan kehutanan milik pemerintah dan swasta.[9] Para aktivis masyarakat sipil pun memanfaatkan kesempatan politik yang berubah sepanjang periode transisi politik ini untuk mendirikan organisasi-organisasi petani lokal, yang dilanjutkan dengan pengembangan jaringan serta berbagai federasi dari organisasi-organisasi petani lokal dan organisasi-organisasi non-pemerintah (LSM). 

Sosok “Reforma Agraria” yang dipraktekkan BPN 2005-2009 tampil di hadapan kalangan pimpinan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sebagai suatu bentuk legalisasi aset tanah berupa pemberian hak di atas tanah yang berstatus “tanah negara”. Total luas “tanah negara” yang disasar oleh legalisasi aset tanah melalui skema “redistribusi” ini adalah 1,1 juta hektar. Menurut data BPN di tahun 2009, jumlah sertifikat tanah yang dihasikan melalui skema “redistribusi tanah” ini sepanjang tahun 2005, 2006, 2007, dan 2008 secara berturut-turut adalah 5.000, 4.700, 74.900, dan 332.935 sertifikat. 

Dengan legalisasi aset tanah, BPN, di bawah kepemimpinan Joyo Winoto telah menunjukkan prestasinya yang mengagumkan. Jumlah pemberian sertifikat bidang tanah yang dilayani melalui berbagai jenis skema, termasuk “redistribusi tanah”, meningkat sangat tajam. Pada masa sebelum kepemimpinannya di tahun 2004, jumlah seluruh bidang tanah yang dilegalisasi hanyalah 269.902 bidang. Kemudian di tahun 2008 jumlahnya mencapai 2.172.507. Capaiannya lebih dari 800 persen dibanding tahun 2004. Bila ditambah dengan bidang yang dibiayai sendiri oleh perorangan, kelompok maupun badan usaha maka jumlahnya mencapai 4.627.039 bidang. 

Sepanjang lima tahun belakangan, BPN telah melakukan penataan kelembagaan, perampingan prosedur, peningkatan alokasi APBN hingga lebih dari 500 persen, dan memperbanyak bidang tanah yang disertifikatkan melalui berbagai skema yang secara administrasi diberi nama PRONA (Proyek Nasional Agraria), redistribusi tanah, dan P4T (Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah). Selain itu, BPN juga membuat terobosan baru yang diberi nama Larasita (Layanan Rakyat untuk Sertifikasi Tanah) berupa perluasan daya jangkau pelayanan kantor pertanahan melalui kantor bergerak (mobile land service), dengan mobil, sepeda motor maupun perahu, disertai teknologi informatika dan komunikasi. Hingga tahun 2009, BPN mengklaim sudah sekitar 60 persen wilayah Indonesia telah dapat dijangkau oleh kantor bergerak ini. Berbagai perubahan itu berujung pada percepatan layanan pemerintah sedemikian rupa sehingga diperkirakan hanya diperlukan waktu delapan belas tahun saja untuk melegalisasi seluruh bidang tanah di Indonesia, yang tanpa adanya seluruh program baru itu akan diperlukan waktu seratus sepuluh tahun!

Pimpinan KPA segera bereaksi atas klaim-klaim keberhasilan spektakuler itu yang ditampilkan di antaranya melalui iklan satu halaman “Pertanahan untuk Rakyat. Bukan Omong Kosong” dari Tim Sukses pasangan Calon Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) di Koran Media Indonesia tanggal 24 Juni 2009, dan sajian Kepala BPN dalam acara Save Our Nation di MetroTV pada Rabu, 15 Juli 2009, pukul 22.00 – 23.00 WIB dan disiarkan ulang pada Senin, 20 Juli 2009, pukul 16.00 – 17.00 WIB.

Dalam siaran persnya pada tanggal 3 Juli 2009, Sekretaris Jenderal KPA yang baru terpilih, Idham Arsyad, menilai “adalah keliru jika Pemerintahan SBY menganggap dirinya telah menjalankan program pertanahan untuk rakyat, apalagi menjalankan Reforma Agraria (Pembaruan Agraria)”. “Reforma Agraria” versi BPN ini dinilainya jauh dari aspirasi dan konsepsi yang dikembangkan oleh KPA sejak semula. 

Menurut KPA, Reforma Agraria sedang dijalankan oleh BPN ini semestinya diletakkan sebagai program darurat berjangka waktu dan bukan merupakan program yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Dalam program ini KPA mengidamkan komitmen penuh dari pemerintahan melalui program redistribusi tanah yang menyeluruh atas penguasaan tanah yang terkosentrasi, terutama pada badan-badan usaha swasta dan negara secara besar-besaran. Menurut KPA, Reforma Agraria adalah satu landasan sosial dan ekonomi baru yang perlu dibangun secara cepat dan kuat untuk menegaskan dan memperbaiki posisi sebagian besar masyarakat sipil yang hidupnya bergantung pada sumber-sumber agraria, terutama tanah. 

Legalisasi aset tanah yang dipromosikan oleh BPN, dinilai Arsyad, sesuai dengan reformasi kebijakan, manajemen, dan administrasi pertanahan yang dilancarkan oleh Bank Dunia dalam rangka mempercepat pembentukan pasar tanah, yang telah dipromosikan sejak 1995 melalui Land Administration Project. Pergeseran land reform dari agenda redistributif menjadi agenda legalisasi aset tanah ini lah yang membuat mereka menjuluki bahwa yang dijalankan oleh BPN itu adalah suatu bentuk “Reforma Agraria Palsu” (Konsorsium Pembaruan Agraria 2009;  Bachriadi 2007).

KPA juga menyatakan kewajiban penting lain yang diabaikan oleh BPN dalam menjalankan program Reforma Agrarianya, yaitu melibatkan organisasi rakyat dan masyarakat sipil di tingkat nasional hingga wilayah lokal. Dalam RPP Reforma Agraria yang diajukan BPN, dinyatakan bahwa dalam kelembagaan pelaksanaan Reforma Agraria yang dibentuk pemerintah, yang dinamakan Dewan Reforma Agraria, tidak akan melibatkan langsung masyarakat terutama organisasi-organisasi petani. Hal ini menambah catatan negatif untuk pelaksanaan Reforma Agraria BPN. (Nurdin, Iwan 2008)

Dua program yang dilaksanakan BPN sebagai bagian dari agenda Reforma Agrarianya, yaitu PPAN dan Larasita, mendapat tanggapan negatif yang cukup keras dari aktivis pembaruan agraria nasional. Ada tujuh alasan yang dikemukakan KPA berkaitan dengan penolakan terhadap PPAN, yaitu: 1) PPAN bertumpu pada revitalisasi investasi pertanian yang sudah ada, terutama perkebunan, padahal yang dibutuhkan adalah pembentukan modal pedesaan yang kuat; 2) praktiknya sejalan dengan proyek administrasi pertanahan yang justru mendorong integrasi usaha petani kecil ke dalam pertanian/perkebunan skala besar; 3) objek land reformnya adalah tanah-tanah negara yang dapat dibagikan tanpa perlu merombak struktur agraria; 4) prosesnya tidak sepenuhnya mengakomodasi penyelesaian konflik agraria; 5) BPN merupakan institusi yang lemah posisinya untuk bisa berhasil mencapai tujuan PPAN khususnya dan program Reforma Agraria umumnya; 6) KPA mengindikasi kemungkinan program ini di bawah bimbingan Bank Dunia yang mendorong liberalisasi pertanahan; 7) KPA memandang program ini dilaksanakan pemerintah sebagai dagangan politik jangka pendek. Program Larasita yang dipandang pemerintah sebagai satu program pemercepat legalisasi tanah sebagai bagian dari agenda Reforma Agraria BPN untuk masyarakat justru malah melicinkan jalan menuju pasar tanah liberal yang selama ini ditentang oleh para aktivis dan organisasi masyarakat sipil untuk pembaruan agraria. Bagi KPA, program Larasita ini merupakan program anti Reforma Agraria. 

 Satu hal yang menarik diperhatikan adalah bahwa Joyo Winoto kemudian mengangkat Usep Setiawan, yang juga adalah Ketua Dewan Nasional KPA, sebagai salah satu Staff Khusus Kepala BPN. Dengan posisi barunya ini, Usep Setiawan yang sebelumnya memang rajin menulis di surat kabar nasional untuk mempromosikan agenda-agenda KPA,[10] berada di bawah otoritas Joyo Winoto untuk mengembangkan basis dukungan organisasi masyarakat sipil dan gerakan agraria bagi “Reforma Agraria” yang dikembangkan BPN. Posisi barunya ini memberi kesempatan politik yang lebih luas baginya untuk secara langsung mendorong legalisasi akses tanah yang telah dikuasai oleh petani melalui aksi-aksi okupasi yang, sebagaimana diketahui, berlangsung marak semenjak jatuhnya rejim otoritarian Suharto pada bulan Mei 1998.[11]

 

Berakhirnya Reforma Agraria ?

            Pada pertengahan bulan Juli 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengganti Joyo Winoto dengan Hendarman Supanji sebagai Kepala BPN. Ragam spekulasi di surat kabar maupun televisi menghubungkan penggantian Joyo Winoto itu dengan kasus korupsi Hambalang yang sedang diselidiki KPK. Secara khusus penulis diberitahu Staff Khusus Kepala BPN, Suryo Adiwibowo, perihal konfirmasi Joyo Winoto atas merebaknya fitnah terhadap dirinya dan kesimpangsiuran kebenaran berita yang ter(di)sebar luas bahwa Joyo Winoto telah melakukan korupsi dengan menyalahgunakan kewenangannya dengan mengeluarkan sertifikat tanah untuk Wisma Atlet Hambalang. Ia menyangkal semuanya. Uraian klarifikasi yang lebih rinci perihal penggantian dirinya juga diperoleh dari pertemuan sejumlah kerabat dekat yang dia undang khusus pada tanggal 13 Juni 2012. Pada saat itu sejumlah dosen IPB, pejabat BPN, dan aktivis ornop hadir untuk mendengar penjelasan langsung perihal penggantian dirinya dan berbagai peristiwa terdahulu. 

            Winoto menjelaskan secara tegas bahwa Presiden SBY telah memanggil dan bertemu dengannya di istana pada tanggal 16 Mei 2012. Pada pertemuan yang disaksikan oleh Mensegneg Sudi Silalahi tersebut, Presiden menyampaikan bahwa ia akan melakukan penyegaran kepemimpinan BPN dan membuatnya lebih terfokus pada kerja penyelesaian sengketa dan redistribusi tanah. Menurut Winoto, dalam pertemuan itu Presiden bertanya pula mengenai apa yang ia usulkan untuk perbaikan BPN di bawah kepemimpinan baru. Winoto menyampaikan bahwa ia mengusulkan dua hal, (i) membuat suatu deputi khusus di BPN untuk mengurus “pengadaan tanah bagi kepentingan umum”; dan (ii) menjadikan Kepala BPN sebagai anggota kabinet, sebab selama ini Kepala BPN hadir hanya bila diundang dan berperan hanya bila diminta. Melalui sumber informasi lain, penulis diberitahu bahwa pada pertemuan tanggal 16 Mei di Istana Merdeka itu Presiden SBY menyampaikan pula kepada Joyo Winoto bahwa ia tidak berkenan Reforma Agraria itu dilanjutkan (Percakapan Pribadi dengan salah seorang yang secara kelembagaan dan pribadi sangat dekat dengan Winoto 14 Juni 2012)

Pada kesempatan pertemuan Winoto dengan kerabat dekatnya, penulis menanyakan kebenaran informasi yang beredar di media massa (surat kabar, majalah dan televisi) yang menuduh keterlibatan Winoto sebagai koruptor dalam kasus Wisma Atlit Hambalang. Winoto menyampaikan bahwa selama ini ia tidak menanggapi permintaan penjelasan mengenai hal itu. Namun, pada saat itu, kepada kerabat dekatnya, ia menegaskan bahwa tidak ada uang sogokan yang dia terima. Proses pensertifikatan Wisma Atlet Hambalang di kabupaten Bogor itu bersih dan telah melalui seluruh prosedur yang dipersyaratkan. Lebih jauh lagi disampaikannya bahwa informasi yang beredar itu adalah fitnah dan sama sekali jauh dari kebenaran. Semuanya ditujukan untuk menekan dan menghancurkan citra baik dirinya di mata publik. Winoto memutuskan untuk tidak tampil dalam perdebatan di koran, majalah, dan TV karena ia menganggap begitu kuatnya gelombang untuk membuat dirinya jadi korban dengan memelintir apapun informasi yang akan berasal darinya dan bukan untuk mengungkap kebenaran. Hanya kepada lembaga resmi seperti KPK, kepolisian, kejaksaan atau pengadilan dengan situasi formal, dia akan menyampaikan informasi mengenai bagaimana dia menggunakan kewenangannya sebagai Kepala BPN dalam kasus hambalang. Dalam pertemuan itu juga, Winoto menyampaikan bahwa dalam segi substansial perkara pertanahan, yang menurutnya merupakan perkara bukanlah kasus sertifikasi tanah untuk wisma atlet Hambalang, melainkan transaksi tanah puluhan hektar tanah di sekitar itu, di mana sejumlah nama politisi terkenal – yang tidak ia sebut namanya – ikut bermain untuk memiliki persil-persil  tanah itu. 

Digantinya Joyo Winoto ini, seperti penulis kemukakan pada pertemuan tanggal 13 Juni 2012 itu, tidak bisa semata diterima sebagai penggantian Kepala BPN oleh Presiden yang mengaktualisasi hak prerogatif presiden. Penggantian kepemimpinan BPN itu perlu dipandang sebagai suatu bentuk resistensi atas reforma agraria. Reforma agraria telah dibuat menjadi “Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)” oleh Joyo Winoto, dan setelah lebih dari delapan tahun dipromosikan ke arena-arena formal pemerintahan, segala perlawanan atas “reforma agraria” itu bermuara pada pencopotan satu promotor utamanya yang ada di pemerintahan, yakni Kepala BPN.  

Sudah sejak pertengahan tahun 2011 penulis mengetahui bahwa Komisi II DPR RI menolak melakukan rapat kerja dengan Joyo Winoto. Sejumlah anggota dan pimpinan Komisi II DPR RI pun rajin mengemukakan pendapat di media massa bahwa performa Joyo Winoto sangat buruk. Lebih dari itu, Komisi II pun merekomendasikan penurunan budget APBN untuk BPN, bahkan meminta agar Joyo Winoto mengundurkan diri atau Presiden SBY mengganti Joyo Winoto.[12] Ketika penulis bertanya pada Winoto perihal penyebab ketiadaan dukungan Komisi II itu, ia menanggapi bahwa perilaku mereka yang keras menjelek-jelekkan kepemimpinannya dan menuntut pengunduran dirinya atau meminta presiden mengganti dirinya, dimotivasi oleh kekecewaan karena dirinya tidak melayani politik transaksional. Mereka ingin kasus tanah yang mereka urus dimenangkan oleh BPN. Dalam suatu percakapan, ia menyampaikan, “saya tidak akan mengurus kasus tanah yang sudah mereka tentukan siapa pemenangnya.” 

             “Reforma Agraria” telah berakhir dengan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengganti Joyo Winoto dengan Hendarman Supanji sebagai Kepala BPN pada pertengahan bulan Juli. Bagaimana dengan nasib agenda-agenda reforma agraria yang diusung oleh organisasi masyarakat sipil dengan berubahnya kesempatan politik dan kelembagaan di BPN di bawah kepemimpinan Hendarman Supanji? Bagaimanapun, masih terlalu dini untuk mengetahui jawabannya.

         Dalam pertemuan dengan Hendarman Supanji, Kepala BPN yang baru diangkat, pada tanggal 4 Juli 2012, penulis menjadi tim perumus dan bagian dari suatu delegasi yang dibentuk KPA untuk bertemu dan menyampaikan rekomendasi sebagai berikut:

Rekomendasi 1:

Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengusulkan pada Presiden Republik Indonesia untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) kaji-ulang perundang-undangan agraria dan pengelolaaan sumber daya alam sebagai tindak lanjut Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaaan Sumber Daya Alam.

Rekomendasi 2:

Kepala Badan Pertanahan Nasional membuat kebijakan redistribusi tanah untuk empat kasus yang dapat dengan segera diwujudkan dan memiliki dampak politik yang berarti melalui sinergi antara Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Kabupaten, dan organisasi gerakan sosial.

Rekomendasi 3:

Kepala Badan Pertanahan Nasional membentuk Badan Layanan Umum (BLU) untuk memfasilitasi dan menjembatani akses kepada sumber daya yang dapat dipergunakan untuk pemberdayaan penerima manfaat redistribusi tanah objek reforma agraria (TORA).  

 Rekomendasi 4:

Kepala Badan Pertanahan Nasional membentuk Tim ad hoc yang bekerja untuk menangani dan menyelesaikan konflik-konflik agraria. Tim ad hoc ini mencakup unsur-unsur dari Badan Pertanahan Nasional, pakar agraria dan pegiat gerakan reforma agraria.

Rekomendasi 5:

Melanjutkan implementasi Nota Kesepahaman (MoU) Badan Pertanahan Nasional dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk “Peningkatan peran Masyarakat Adat dalam Upaya Penciptaan Keadilan dan Kepastian Hukum bagi Masyarakat Adat” yang ditandatangani pada tanggal 18 September 2011 di Luwu Utara, Provinsi Sulawesi Selatan.

Dalam pertemuan tanggal 4 Juli 2012 itu, Hendarman Supanji menyampaikan apresiasi terhadap rekomendasi-rekomendasi itu. Beliau juga menyampaikan pesan Presiden SBY bahwa kepemimpinannya di BPN ditujukan untuk membuat kerja BPN terfokus pada dua isu, yakni redistribusi tanah serta penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan. Meski kemudian ia menyatakan bahwa ia membuka diri untuk kerjasama konstruktif selanjutnya, pertemuan ini tidak berakhir dengan rasa optimisme di kalangan anggota delegasi Konsorsium pembaruan Agraria itu, namun sebaliknya malah timbul rasa was-was yang tak menentu.  

Hendarman Supanji kemudian mengundang untuk melakukan pertemuan lanjutan agar dia mendapatkan pengertian lebih lanjut mengenai kemelut perundang-udangan pertanahan dan alternatif upaya penataannya. Dalam pertemuan lanjutan yang berlangsung seminggu kemudian, yakni tanggal 11 Juli, penulis diberitahu Hendarman bahwa ia berniat membentuk tim kajian dan penataan perundang-undangan di BPN dan menjajaki keterlibatan penulis sebagai wakil dari masyarakat sipil. Penulis menyampaikan pendapat bahwa tumpang-tindih perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam tidak bisa diatasi dengan kewenangan BPN dalam mengkaji perundang-undangan itu. Penulis bersikukuh bahwa yang diperlukan adalah tindak lanjut dari Ketetapan MPR RI No. IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang telah memberikan mandat dan arahan kebijakan pada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Ketetapan inilah yang menjadi dasar untuk mengkaji-ulang perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling bertentangan satu sama lainnya. Kekacauan yang hingga saat ini mengakibatkan kerusakan lingkungan yang meluas, ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam yang semakin menajam, serta konflik agraria yang meletup di mana-mana. 

Penulis mendiskusikan bahwa setelah lebih dari satu dekade, TAP MPR RI No. IX/2001 ini belum mendapatkan perhatian dan komitmen politik tingkat tinggi dari Presiden maupun DPR RI untuk mewujudkannya. Penulis menunjukkan bahwa pada tingkat legislasi nasional, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah bekerja dan menunjukkan salah kaprahnya sejumlah pasal dalam perundang-undangan sektoral. Misalnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi perihal pasal-pasal tertentu pada Undang-undang No. 25/2005 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang No. 18/2004 tentang Perkebunan, Undang-undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Saat ini, sedang diproses Mahkamah Konstitusi gugatan atas pasal 1 angka 6, pasal 4, pasal 5, pasal 67 dari Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, dan pasal 9 ayat 1, pasal 10 huruf a dan b, pasal 36, pasal 41 ayat 2, UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Penulis menyampaikan kembali rekomendasi perlunya Presiden membentuk satuan tugas yang bertujuan untuk menghasilkan dokumen otoritatif yang menjadi pegangan bagi reformasi dan harmonisasi perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam kesempatan tersebut, penulis menyampaikan pula perlunya Kepala BPN melanjutkan komitmen Kepala BPN lama untuk bekerja sama dengan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang mempromosikan Road Map Forest Tenure Reform sebagaimana yang pernah mereka presentasikan kepada Kepala BPN dan seluruh pejabat eselon 1 dan 2 kantor BPN pusat pada tanggal 14 Desember 2011.  

 

Penutup 

            Penggantian Joyo Winoto oleh Hendarman Supanji sebagai Kepala BPN mengakhiri babak “Reforma Agraria”. Penulis mendapat kesan kuat bahwa Hendarman Supanji pada dalam menjalankan tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) BPN secara formalistik, dan sama sekali tidak menjalin kerjasama dengan berbagai kekuatan sosial pengusung dan promotor Reforma Agraria, termasuk para akademisi perguruan tinggi, organisasi non-pemerintah, hingga organisasi-organisasi gerakan sosial pedesaan dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan Reforma Agraria. Pendekatan semacam  ini tentu saja tidak cocok dengan aspirasi, pendekatan, dan strategi yang selama ini dikembangkan termasuk oleh para akademisi agraria yang kritis, organisasi masyarakat sipil, dan gerakan-gerakan rakyat pedesaan yang berada dalam Konsorsium pembaruan Agraria (KPA). 

            Ketika konfigurasi kesempatan politik berubah, jalan tempuh apakah yang akan dipilih oleh KPA?  Quo Vadis?

Sekian.


Daftar Pustaka yang Dikutip

Bachriadi, Dianto. 2007. “Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY”. Makalah yang disajikan pada suatu lokakarya organisasi-organisasi gerakan agraria 6-7 Juni 2007 di Magelang, Jawa Tengah. http://agrarianrc.multiply.com/journal/item/19/Reforma_Agraria_untuk_Indonesia [last accessed on 04/11/2011]. 

Bachriadi, Dianto, dan Anton Lucas. 2001. Merampas Tanah Rakyat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Contreras-Hermosilla, Arnoldo, dan Chip Fay. 2005. Strengthening Forest Management in Indonesia through Land Tenure Reform: Issues and Framework for Action. Washington: Forest Trends and World Agroforestry Centre.

Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik 2007 Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik.

Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik 2009 Identifikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan 2009. Jakarta: Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik.

Konsorsium Pembaruan Agraria. 2009. 2009.  “Keliru Jika SBY Dianggap Telah Melakukan Pembaruan Agraria” Siaran Pers KPA 3 Juli 2009. 

Nurdin, Iwan. 2008. PPAN: Layu Sebelum Berkembang. Jakarta, Konsorsium Pembaruan Agraria bekerja sama dengan Frères des Hommes.

Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. Yogyakarta, Tanah Air Beta bekerjasama dengan Konsorsium Pembaruan Agraria.

Rosser, Andrew, Kurnya Roesad, dan Donni Edwin. 2005. “Indonesia: The Politics of Inclusion”. Journal of Contemporary Asia, 35(1), pp. 53–77.

Setiawan,  Usep. 2010. Kembali ke Agraria. Yogyakarta, Sekolah Tinggi Pertanahan. 

Winoto, Joyo. 2005a. “Kebijakan Pertanahan Nasional”, pengantar pada pertemuan konsultasi BPN dengan Komisi II DPR RI, 1 September 2005.  

 _____. 2005b. “Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Upacara Bendera dalam rangka Bulan Bhakti Agraria ke 45, 24 September 2005.” Jakarta, September 24, 2005. In Sambutan Kepala Badan Pertanahan Nasional dan BPN dalam Sorotan Media. Jakarta, Badan Pertanahan Nasional. Pp. 3-6.

_____. 2006. “De Soto and Ekonomi Politik Kita” Tempo. Info Tempo edisi 10 September 2006. Pp 79-80.

_____. 2007a. “Reforma Agraria dan Keadilan Sosial”. Orasi 1 September 2007. Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Bogor: Institute Pertanian Bogor.

_____. 2007b. “Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam rangka Mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Kuliah Umum Balai Senat Universitas Gajah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta, 22 November 2007.

_____. 2007c. “Pengarahan dan Pembekalan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada Pejabat Eselon I, Eselon II Pusat dan Daerah, Jakarta, 21 Juni, 2007.” In Himpunan Pidato 2007 Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Pusat Hukum dan Hubungan Masyarakat, BPN RI. Pp.292-334. 

_____. 2008. Tanah untuk RakyatRisalah Reforma Agraria sebagai Agenda Bangsa. Unpublished manuscript.

_____  2009. “Taking Land Policy and Administration in Indonesia to the Next Stage and National Land Agencie’s Strategic Plan”, Conference on “Land Governance in Support of the Millenium Development Goals: Responding to New Challenges.” A paper in FIG-World Bank Conference, Washington D.C. USA 9-10 March 2009.

_____ 2010a. “Laporan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI pada Acara Peresmian Program-program Strategis Pertanahan untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Jakarta,  Maruya, January 15, 2010.

_____ 2010b. “Pengarahan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada Acara Rapat Kerja Nasional BPN RI tahun 2010”. Jakarta, February 21, 2009.




**) Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); dan pengajar mata kuliah “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB).

[1] Untuk pembabakan yang lebih luas semenjak proklamasi tahun 1945, lihat Rachman (2012).

[2] Fungsi-fungsi tersebut mencakup:
                  perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;

a.     perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;

b.     kordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;

c.      pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;

d.     penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;

e.     pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;

f.      pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;

g.     pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;

h.     penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;

i.      pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; 

j.      kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;

k.     penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;

l.      pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;

m.    pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;

n.     pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;

o.     penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;

p.     pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;

q.     pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;

r.      pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;

s.      pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

t.      fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.

[3]Apa yang dahulu disebut “catur tertib pertanahan” diganti menjadi empat prinsip baru yakni: bahwa Badan Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk: 1) meningkatkan kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2) tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah; 3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya untuk generasi yang akan datang pada sumber-sumber ekonomi masyarakat-tanah; dan 4) menciptakan tatanan kehidupan bersama secara harmonis dengan mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

[4] “SBY Terima Mentan, Menhut dan Kepala BPN. Akan Dikembangkan, Program Reforma Agraria”. 28 September 2006. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono http://www.presidensby.info/index.php/fokus/2006/09/28/1077.html (Diunduh terakhir pada tanggal 28 Agustus 2012)

[5] “Pidato Presiden RI di awal tahun 2007.” 31 Januari 2007. Website resmi Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono. http://www.presidensby.info/index.php/pidato/2007/01/31/582.html (Diunduh terakhir pada tanggal 28 Agustus 2012)

[6] “Rapat Terbatas Bahas Reforma Agraria.” 23 Mei 2007. Website Resmi Sekretariat Negara Republik Indonesia. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=402&Itemid=55 (Diunduh terakhir pada tanggal 28 Agustus 2012).

[7] Tepatnya  31.957 desa dari 72.816 desa seluruh Indonesia, yang artinya sama dengan 43,88%. Menurut sumber BPS dan Departemen Kehutanan (2007), 71,06% dari desadesa tersebut menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan (hal 6-7). Dari 31.957 desa ini, 19.410 di antaranya atau 26,656% dari seluruh desa di Indonesia berada di wilayah hutan. Sumber datanya adalah Departemen Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (2007, 2009).

[8] Dua perangkat  arah kebijakan ini mencerminkan ketegangan tak terselesaikan antara para promotor "pembaruan agraria" dan "pengelolaan sumber daya alam", tidak hanya dalam hal isi, tetapi juga kekuatan-kekuatan sosial dalam negara dan di antara kelompok masyarakat sipil yang mempromosikan setiap perangkat arah kebijakan. Meski demikian, TAP MPR RI tersebut adalah salah satu contoh yang fenomenal hasil kerja kekuatan-kekuatan reformis di alam demokrasi dalam mengubah perundang-undangan nasional (Rosser et al 2005).

[9] Kasus Tapos di kabupaten Bogor, Jawa Barat, merupakan contoh emblematik dari kasus pendudukan tanah di mana sekitar 300 keluarga mengambil alih bagian dari 751 hektar dari lahan perkebunan yang dikuasai oleh PT. Rejosari Bumi yang dimiliki keluarga Suharto. Aktivitas organisasi untuk melancarkan pendudukan tanah dimulai langsung setelah Suharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi presiden (Bachriadi dan Lucas 2001).

[10] Kumpulan tulisan itu dimuat dalam Setiawan, Usep, “Bersaksi demi Pembaruan Agraria” (2010).

[11] Wijardjo dan Perdana (2001) mengistilahkannya “reklaiming”.

No comments:

Post a Comment