Noer Fauzi Rachman
____________________________________________________________________________
Sejumlah warga Belanda berjasa secara langsung menunjukkan kesalahan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda dalam memperlakukan rakyat pribumi, khususnya berkenaan dengan hak-hak agraria penduduk pribumi. Karya-karya tulis mereka bukan hanya berpengaruh pada zamannya, tetapi juga melintasi umur hidup penulisnya. Yang akan dibahas di sini adalah Multatuli, Conrad Theodore van Deventer, dan Cornelis van Vollenhoven.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887)
Yang pertama, adalah Multatuli, yang sesungguhnya adalah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, pegawai pemerintah kolonial yang sangat kecewa setelah menyaksikan dengan mata-kepalanya sendiri penderitaan pribumi, khususnya Jawa. Pada saat dirinya menjabat Asisten Residen Lebak, kritik Douwes Dekker disampaikan kepada Residen Lebak, selaku atasannya langsung. Namun Residen Lebak menolak untuk mengakui apa yang disuarakannya, sebaliknya Douwes Dekker pun dijelek-jelekkan. Maka dia menulis langsung kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda (saat itu). Reaksinya tidak jauh berbeda. Sidang Dewan Hindia Belanda pada tanggal 3 Maret 1856 menyatakan, bahwa dirinya dianggap tidak cukup terdidik sebagai Binnenlandsch Bestuur, “serta tidak memiliki kematangan, kebijaksanaan, dan kewaspadaan maupun perasaan mengabdi, syarat yang diperlukan sebagai seorang amtenar ….”
DD keluar dari posisi pegawai pemerintah colonial, dan kemudian pada tahun 1859, ia menulis buku berjudul Max Havelaar, of de koffi-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappy atau dalam bahasa Indonesia: “Max Havelaar, Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda" dengan nama samaran selaku pengarang yaitu Multatuli. Reputasinya sebagai orang yang bermoral tinggi, sebagai pembela kaum tertindas,menjadi terlihat jelas dan diakui dengan publikasi buku tersebut, yang ternyata sangat berpengaruh pada kaum terdidik di Belanda, termasuk pejabat pemerintah yang sebagian dari padanya mengatur daerah jajahan. Buku ini merobohkan sendi-sendi legitimasi moral Belanda dalam mengkoloniasi wilayah jajahannya, yang diberi nama Hindia-Belanda.
Buku Max Havelaar ini adalah rangkaian berbagai cerita yang saling berhubungan satu sama lainnya. Dibuka dengan cerita tentang Batavus Droogstoppel, seorang borjuis kecil pedagang kopi yang kikir, dan mengabdi sepenuhnya pada kepentingan untuk memupuk kekayaan dari tanah Jawa di Hindia Belanda. Suatu hari, teman sekolah sekelasnya dulu, bernama Sjaalman menjenguknya, dan memintanya menerbitkan sebuah buku.
Cerita berikutnya mengalir. Semacam membuka lembar-lembar catatan harian Max Havelaar sebagai wakil pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk wilayah itu. Sesungguhnya, cerita ini adalah pengalaman penulisnya sendiri, Eduard Douwes Dekker. Asisten residen Havelaar menceritakan penderitaan kaum pribumi, orang-orang Jawa yang tertindas, dan dia membelanya. Namun, dia harus berhadapan dengan sesama pejabat pemerintah kolonial (termasuk atasannya sendiri), residen dan elite feodal lokal yang memilikikepentingan bisnis dengan Belanda, beramai-ramai menentangnya. Salah satunya episode Saidjah dan Adinda, yang memberi gambaran, bagaimana nasib pribumi yang hidup dalam sistem agraria Tanah Partikelir (particulier landerijen). Kisah cinta ini sangat mengharukan, dan sekaligus kritik yang sangat sangat tajam mengungkap eksploitasi dan kekejaman yang menjadikan rakyat pribumi Jawa sebagai korbannya.
Buku ini diakhiri dengan si penulis (Multatuli) menyampaikan permintaan kepada Raja William III, yang dalam posisinya sebagai kepala negara, untuk bertanggung jawab atas penindasan rakyat, penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan penguasa kolonial Hindia Belanda.
Kata “Multatuli” secara literer berasal dari bahasa latin “multa tuli” berarti “saya sudah terlalu banyak menderita”. Buku ini kemudian sangat terkenal, dan telah diterjemahkan lebih dari 40 bahasa, dan menjadi rujukan bersama untuk suatu perlawanan terhadap kolonialisme. Pada tahun 1999, novelis ternama Indonesia Pramoedya Ananta Toer menulis dalam Koran The New York Times 18 April 1999 menyebutnya sebagai The Book That Killed Colonialism, "Buku yang Telah Membunuh Kolonialisme". Di bulan Juni 2002 Maatschappij der Nederlandse Letterkunde (Masyarakat Sastra Belanda) menetapkan Multatuli sebagai penulis Belanda yang paling penting sepanjang jaman.
Conrad Theodore van Deventer (1857-1915)
Yang kedua adalah Conrad Theodore van Deventer, yang terkenal sebagai ahli hukum Belanda dan tokoh yang memperkenalkan apa yang disebut sebagai Politik Etis (politik balas budi), yang dimulai dengan pidato Ratu Belanda Wilhelmina tanggal 17 September 1901 di gedung Parlemen Belanda. Lahirnya politik etis ini harus ditempatkan sebagai buah dari pikiran karya Mulatatuli juga. Peringatan Multatuli bahwa “Javaan niet mishandeld” (rakyat Jawa telah dianiaya) telah merasuki pikiran para sarjana terdidik hingga pejabat kolonial. 40-an tahun setelah Max Havelaar diterbitkan, buahnya pun dipetik.
Tulisannya van Deventer yang berpengaruh ada di majalah De Gids (Panduan), 1989, berjudul Een Eereschuld (Utang Budi). Tulisan itu berisi angka-angka konkret yang menjelaskan pada publik Belanda bagaimana mereka menjadi negara yang makmur dan aman (adanya kereta api, bendungan-bendungan, dan seterusnya) adalah hasil kolonialisasi yang datang dari daerah jajahan di Hindia Belanda, sementara Hindia Belanda sendiri tinggal miskin dan terbelakang. Jadi sudah sepantasnya jika kekayaan tersebut dikembalikan. Inilah, "utang yang demi kehormatan harus dibayar, walaupun tidak dapat di tuntut di muka hakim." Bukan sekedar harus, tapi van Deventer juga meyakini bahwa utang itu bisa dibayar!
Berikut adalah keterangan yang ditulis oleh Simbolon (1995) Menjadi Indonesia, Buku I: Akar-akar Kebangsaaan Indonesia halaman 171-172:
“Dalam bentuk uang, berapa “utang budi” itu? Van Deventer menghitung. Dengan mengabaikan masa silam sampai dengan 1866, ketika UU Anggaran mulai berlaku, antara 1867 sampai 1900, jumlahnya mencapai 187 juta gulden. Sebanyak 151 juta gulden dari jumlah itu disumbangkan oleh Hindia-Belanda kepada Nederland sampai dengan 1877, ketika timbul defisit anggaran. Sebanyak 36 juta gulden semenjak 1877 adalah berupa bunga dan cicilan pinjaman. Dikurangi hutang Hindia-Belanda yang betul kepada Nederland sebanyak 120 juta gulden, maka masih sisa 67 juta gulden. Jumlah inilah yang harus dikembalikan kepada rakyat Nusantara, dan digunakan untuk meningkatkan pendidikan dan perekonomian rakyat.
Dalam bentuk budi, seperti apakah “utang” itu? Uraian Van Deventer kurang lebih sebagai berikut. Sejak 1849 sampai 1899, hutang rakyat Nederland telah terbayar sebesar 141 juta gulden, berkat hasil keringat rakyat Hindia Belanda. Sebanyak 400 juta gulden dari hasil keringat itu telah diserap dalam pembangunan Nederland, terutama pembangunan jaringan kereta-apinya.
Sebaliknya dengan Hindia-Belanda. Setelah berakhir Tanam Paksa, masih tersisa sumber keuntungan Nederland di Nusantara berupa pajak tanah, monopoli candu dan rumah gadai, serta besa impor-ekspor. Modal swasta yang meneruskan perekonomian tidak membayar pajak di Hindia-Belanda. Semua sumber itu mestinya dapat dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat di Nusantara. Nyatanya tidak demikian. Mengapa?
Menurut Van Deventer, yang dijuluki “Si Sahabat Hindia”, banyak sebabnya, tapi yang utama disebabkan administrasi pemerintahan yang tidak memadai. Tidak memadainya administrasi pemerintahan itu, menurut Van Deventer, sepenuhnya merupakan tanggungjawab pemerintah jajahan. Administrasi yang tak memadai itu pulalah yang menyebabkan modal swasta asing tidak memberi sumbangan bagi kemakmuran rakyat, tapi malah menghisapnya. Sumber-sumber itulah yang mesti dengan segera digunakan sebagai pembayar utang budi, lewat program yang disebutnya “pendidikan, pengairan dan transmigrasi “ (educatie, irrigatie, emigratie).”
Ratu Wilhemnina terkenal karena pidato yang menegaskan bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menegaskan bahwa pemerintah Belanda akan melaksanakan apa yang diistilahkan sebagai Trias Van Deventer, yakni Irigasi (membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian rakyat), Emigrasi (memindahkan penduduk Jawa ke Sumater “Pulau Harapan” yang tidak padat), dan Edukasi (menyediakan sekolah untuk pengajaran dan pendidikan kaum pribumi). Bagaimana hutang budi itu diwujudkan? Pada gilirannya, hutang musti dikonversi dalam bentuk uang. Tahun 1905, uang pemerintah Hindia Belanda sebesar 40 juta gulden dinyatakan sebagai hutang kerajaan dengan ketentuan dalam tahun-tahun berikutnya, uang itu akan dibayarkan dalam bentuk usaha-usaha untuk memakmuran rakyat pribumi.
Sebuah tulisan van Deventer lain yang tak kalah terkenalnya adalah yang dimuat oleh De Gids juga (1908) ialah sebuah uraian tentang masa depan Insulinde, yang menjabarkan prinsip-prinsip etis bagi beleidpemerintah terhadap tanah jajahannya. Ia memberi dukungan luar biasa atas kebangkitan kesadaran kritis elite terdidik pribumi, termasuk yang bergabung dalam organisasi Budi Utomo.
Cornelis Vollenhoven (1874 – 1933)
Yang ketiga, adalah Cornelis Vollenhoven, seorang sarjana terdidik yang berprestasi tinggi secara akademik. Ia peroleh judicium cum laude untuk kelulusanya dari pendidikan doktoral dalam bidang ilmu hukum dan politik di tahun 1898. Setelah bertugas sebagai sekretaris pribadi seorang anggota parlemen dan pemilik perkebunan J.Th. Cremer, yang kemudian hari menjadi Menteri Urusan Wilayah Jajahan selama 4 tahun (1897-1901), ia diangkat sebagai profesor di Leiden University hingga akhir hayatnya. Sepanjang masa sebagai guru besar itulah Van Vollenhoven bekerja sebagai “penemu hukum adat”, dan berjuang agar pemerintah Belanda mengakui eksistensi dan hak-hak agraria rakyat pribumi khususnya yang dikonsepkan dalam beschikkingsrecht, dan melawan segala usaha elite penguasa kolonial untuk mengabaikan eksistensi hukum-hukum adat.
Pertarungan yang paling fenomenal adalah saat melawan para sarjana hukum dari Utrecht University yang mempromosikan unifikasi hukum tanah untuk pembangunan ekonomi kolonial pasca Undang-Undang Agraria (Agrarische Wet) 1870. Inti pandangan sarjana-sarjana dari kubu Utrecht seperti GJ Nolst Trenité, Izak A. Nederburgh, dan Eduard H. s'Jacob, bahwa adalah “tak terelakkan” bahwa negara menjadi pemilik tanah dan seluruh sumber daya alam dalam wilayah jajahan. Sebuah beschikkingsrecht, menurut mereka, harusnya menjadi hak publik dari pemerintah yang seharusnya diserap oleh kedaulatan negara. Setiap hak publik yang dilakukan oleh pemerintah desa atas wilayah desa, untuk tetap tunduk pada kedaulatan negara.
Sebaliknya, Van Vollenhoven dan para pengikutnya berpendapat bahwa interpretasi tersebut didasarkan pada kesalahpahaman mendasar sifat beschikkingsrecht, yang memiliki baik sebagai hak publikmaupun hak private, dan karenanya harus tidak termasuk di bawah klausul Domein Verklaring. Klausul itu berbunyi “landsdomein is alle grond, waarop niet door anderen recht van eigendomwordt bewezen”, artinya “domein negara adalah semua tanah yang mana di atasnya tidak dapat dibuktikan”. Tanah milik negara dibedakan dalam dua jenis yaitu ‘tanah negara bebas’ (vrj lands/staatsdomein) dan ‘tanah negara tidak bebas’ (onvrj sands/staatsdomenin).
Dalam pandangan mereka, rakyat bumiputra adalah mereka yang menduduki, menguasai dan memanfaatkan tanah milik negara berdasar hukum-hukum adat setempat. Mereka tidak diakui hak kepemilikan tanahnya dan tidak berhak menjadi pemilik tanah dengan konsep hak eigendom. Mereka hanyalah bewerkers alias penggarap. ‘Tanah negara tidak bebas’, adalah tanah-tanah yang sudah dan sedang dikuasai, diduduki, digunakan dan dimanfaatkan secara nyata oleh rakyat berdasarkan hukum-hukum adatnya. Sedangkan ‘tanah negara bebas’ adalah tanah-tanah yang tidak dikuasai, diduduki dan dimanfaatkan rakyat ini, dan secara umum oleh pemerintah kolonial Belanda, dinyatakan sebagai tanah ‘di luar’ wilayah/kawasan desa (buiten dorps gebied), sesuai dengan ketentuan pasal 3 Agrarische Wet 1870. Tanah-tanah Negeri/Negara tidak bebas yang berada ‘di luar’ wilayah atau kawasan desa itu, yang dikategorikan sebagai daerah atau wilayah tanah hutan belukar (woeste grond).
Van Vollenhoven adalah guru besar Indologi di Leiden yang menetang pandangan di atas. Beliau dansarjana hukum Belanda dari Leiden lainnya, banyak mempengaruhi para sarjana hukum, pemikir, pendiri dan perumus dasar-dasar kebangsaan, termasuk mengenalkan mengenai Indonesia dan sistem-sistem hukum adat yang berada di luar dan kemudian berinteraksi dengan penguasa kolonial. Melalui kuliah-kuliah dan buku-buku, ajaran-ajaran Indologi di Leiden itu, termasuk kritik-kritik yang tajam pada politik dan hukum agraria kolonial, membantu melengkapi aspirasi dan penalaran bagaimana kemerdekaan Indonesia perlu dan harus diisi.
Satu karya tulis Van Vollenhoven yang paling penting karena pengaruhnya adalah De Indonesiër en zijn grond (Rakyat Indonesia dan Tanahnya), yang dibuat pada tahun 1919. Karya ini adalah pamflet akademik yang menantang rancangan perubahan ketentuan pasal 62 RR (Regerings Reglement) yang diajukan bulan Mei 1918 dan diprakarsai oleh GJ Nolst Trenite. Paragraf tiga yang berisikan klausul jaminan perlindungan terhadap hak-hak agraria rakyat adat dihapuskan. Secara keseluruhan, ide Trenite diabdikan untuk mengunifikasi hukum di Hindia Belanda menggunakan hukum Barat. Dalam De Indonesiër en zijn grond, Van Volenhoven mengemukakan apa yang disebutnya sebagai 'satu abad ketidakadilan', yang intinya adalah pembatasan secara sistematis dari hak-hak adat atas tanah rakyat yang hidup dalam hukum adat (Van Vollenhoven, 1919:72). Hal ini menciptakan ketidakpastian hukum yang cukup besar dan membangkitkan banyak kebencian rakyat. Perampasan tanah dimana-mana dan besar-besaran itu dibenarkan oleh salah tafsir mengenai beschikkingsrecht oleh administrator kolonial.
Tiga pembela rakyat terjajah yang ditampilkan di atas, yakni Multatuli, van Deventer dan van Volenhoven, dan tentunya masih perlu ditambah lagi dengan tokoh-tokoh Belanda lainnya lagi, telah dicatat olej sejarah sebagai penyumbang pemikiran dan penalaran kritis atas politik dan hukum kolonial, terutama dalam soal pengaturan hak-hak agraria rakyat pribumi.
Tokoh-tokoh Kemerdekaan
Para tokoh pergerakan nasional melihat kemerdekaan nasional sebagai keharusan untuk meletakan dasar-dasar baru pengaturan agraria yang baru pula berdasarkan kritik terhadap politik agaria kolonial. Sukarno dalam pidato di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1 Juni 1945 menyebut Kemerdekaan Indonesia sebagai “jembatan emas”. “Indonesia merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu jembatan! ... Di seberang jembatan, jembatan emas inilah, baru kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”.
Soekarno dengan fasih mengkritik bagaimana kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi (dan imperialisme negara-negara Eropa yang membentuk dan memelihara kapitalisme) menyengsarakan rakyat Indonesia, dan menjadi musuh dari segenap usaha perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam pidato di BPUPKI itu, ia dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimana Negara Republik Indonesia musti difungsikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warganegaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”
Soekarno adalah pembaca karya-karya tulis para sarjana Eropa yang kritis atas politik kolonial. Bukan hanya Soekarno. Mohammad Hatta, Tan Malaka, Soepomo, Iwa Kusumasumatri, hingga S.M. Kartosoewirdjo pun pembaca yang baik, termasuk karya-karya Multatuli, Van Deventer, hingga Van Vollehnhoven. Mereka sangat fasih menjelaskan bagaimana politik dan kebijakan kolonial secara langsung yang telah menyengsarakan rakyat, termasuk melalui pembentukan konsesi-konsesi agraria, pengawasan rejim pengaturan tenaga kerja, dan pengamanan sistem-sistem agraria yang berlangsung semenjak tahun 1800an.
Bogor 15 April 2013
Bahan bacaan yang dianjurkan
Karya agraria terseleksi orang Belanda pembela rakyat pribumi terjajah
Multatuli
1972 Max Havelaar atau Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda Terjemahan Max Havelaar, of de koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy. Penerjemah: H.B. Jassin. Djakarta: Djambatan.
Supomo, Raden dan Raden Djokosutono,
1955 Sejarah Politik Hukum Adat 1609-1848: Dari Zaman Kompeni Sehingga Tahun
1848 Penerbit Jambatan: Djakarta.
Supomo, Raden.
1962 Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Jakarta: Penerbit Universitas.
1991 Sistim Hukum di Indonesia: Sebelum Perang Dunia II. Jakarta: PT. Pradnya
Paramita.
Trenite, G.J. Nols
1920 Inleiding tot de agrarische wetgeving vanhet rechtstreeksbestuurd gebied van
Nederlandsch-Indie, Weltevreden: Landsdrukkerij.
1932 De Indische Domeinverklaring, Wageningen: Landsdrukkerij.
Van Vollenhoven, Cornelis
1909 Miskeningen van het adatrecht: Vier voordrachten aan den Nederlandsch- IndischeBestuursacademie, Leiden: E.J. Brill.
1913. Orientatie in het adatrecht van Nederlandsch-Indië. Leiden: E.J. Brill.
1919 De Indonesier en zijn Grond, Leiden: E.J. Brill.
1928 De ontdekking van het adatrecht. Leiden: E.J. Brill.
1981 Penemuan Hukum Adat. Terjemahan dari De ontdekking van het adatrecht. Djakarta: Djambatan.
1981 Orientasi dalam hukum adat Indonesia. Terjemahan dari Orientatie in het adatrecht van Nederlandsch-Indië. Djakarta: Djambatan.
Van Deventer, Conrad Th.
1899 ‘Een eereschuld.’ In: De Gids. Jaargang 63 (1899)
1900 ‘De ‘eereschuld’ in het parlement.’ In: De Gids. Jaargang 64 (1900)
1900 ‘Drie boeken over Indië.’ In: De Gids. Jaargang 64 (1900)
1901 ‘Uit Multatuli's dienstjaren.’ In: De Gids. Jaargang 65 (1901)
1908 ‘Insulinde's toekomst.’ In: De Gids. Jaargang 72 (1908)
1910 ‘Havelaar-voorspel.’ In: De Gids. Jaargang 74 (1910)
1910 ‘Uit Multatuli's Dienstjaren.’ In: De Gids. Jaargang 74 (1910)
1910 ‘Multatuli aan den koning (1860).’ In: De Gids. Jaargang 74
Karya agraria terseleksi dari tokoh-tokoh gerakan kemerdekaan
Dingley, S.
1927 The Peasant’s Movement in Indonesia. Berlin: R.L. Prager.
Hatta, Mohammad
1932 "Kronik Tanah Air Kita". Daulat Ra'jat, 20 Okt. 1932.
Kartosoewirjo, S.M.
1929 "Orang Lampoeng Boekan Monjet, Tetapi Ialah Manoesia Belaka!". Fadjar Asia, 10 Juni 1929.
Malaka, Tan
1925 Naar de Republiek Indonesia.
1926 Aksi Massa.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
1945. "Soal Perekonomian Indonesia Merdeka".
Soekarno.
1932. "Swadeshi dan Massa-Aksi". Dalam Di Bawah Bendera Revolusi, hlm. 121-157. Jakarta: Panitya Penebit Di Bawah Bendera Revolusi, 1960.
1932. "Kapitalisme Bangsa Sendiri". Dalam Di Bawah Bendera Revolusi, hlm. 181-185. Jakarta: Panitya Penebit Di Bawah Bendera Revolusi, 1960.
1933. "Marhaen dan Proletar". Dalam Di Bawah Bendera Revolusi, hlm. 253-256. Jakarta: Panitya Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1960.
No comments:
Post a Comment