Resensi ini dimuat dalam Kompas 13 Oktober 2013
Judul : Land for The People: The State and Agrarian Conflict in Indonesia
Penyunting : Anton Lucas dan Carol Warren
Penerbit : Ohio University Press
Cetakan : 1, 2013
Tebal : 405 halaman
ISBN : 978-0-89680-287-2 (pb: alk. paper)
978-0-89680-485-2 (electronic)
Buku ini mengunakan gambar sampul yang berasal dari poster-kalender “Tanah untuk Rakyat” yang pernah terkenal di tahun 1990-an dan dibuat oleh sejumlah aktivis organisasi nonpemerintah yang menentang perampasan tanah oleh rezim otoriter Soeharto. Pada tanggal 2 Mei 1991, Jaksa Agung mengeluarkan SK yang isinya melarang beredarnya poster-kalender "Tanah untuk Rakyat" itu dan menetapkan pembuatnya sebagai buronan (DPO). Poster-kalender itu dianggap ”mendiskreditkan pemerintah dan ABRI, seolah-olah pemerintah dan ABRI bertindak sewenang-wenang". Sebagian gambar dari karikatur yang termuat pada poster-kalender itu juga tampil dalam bentuk kartu-kartu berukuran 15 x 30 cm. D. Soedikto, Kepala Kejaksaan Tinggi Yogyakarta, menyebutkan alasan pelarangannya adalah visualisasi hubungan penindas dan yang tertindas yang tergambar dalam poster-kalender dan kartu-kartu itu tidak dapat diterima oleh Presiden Soeharto. Kejaksaan kemudian menggunakan wewenangnya untuk mengkriminalkan pembuat, pengedar, serta penyimpan barang-barang tersebut (dalam hubungan dengan UU Nomor 4 PNPS 1963 yang mengatur pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang dianggap mengganggu ketertiban umum).
Poster-kalender itu adalah suatu bentuk khusus kritik sosial mengenai konflik-konflik agraria yang berlangsung di Indonesia di bawah rezim otoritarian pada perempat akhir abad 20. Prof. Anton Lucas (Flinders University, Australia) dan Prof. Carol Warren (Murdoch University, Australia) adalah penyunting buku ini, yang secara cerdas memilih poster-kalender ini sebagai gambar sampul dan halaman pembuka. Dalam kalender-poster “Tanah untuk Rakyat” ini diungkap konflik terbuka antara petani, buruh, dan rakyat miskin lain dengan penguasa tanah, pengusaha rakus, dan rezim otoriter-militer Soeharto yang disokong oleh struktur dan aparatur militer, polisi dan birokrasi. Poster itu menggambarkan ribuan manusia yang terlibat dalam berbagai posisi konflik. Dalam berbagai konflik yang digambarkan itu, begitu jelas dikarakterisasi siapa saja yang tertindas, siapa saja penindasnya, dan bagaimana penindasan dilakukan.
Apakah wajah konflik agraria demikian itu sekadar bagian dari sejarah abad ke-20 yang telah lewat? Para penulis buku ini secara gamblang menunjukkan pesan bahwa semua itu masih berlanjut dalam bentuk-bentuk baru karena sebab utamanya masih terus hidup, yakni keserakahan para elite penguasa politik dan pengusaha ekonomi untuk secara terus-menerus membangun, mengukuhkan dan melangsungkan kekuasaannya yang bersifat oligarki. Mereka tanpa henti mengonsentrasi penguasaan tanah melalui mekanisme-mekanisme ekonomi maupun ekstra-ekonomi dengan menggunakan wewenang dan kekuasaan pemerintahan yang memberikan izin/lisensi/hak-hak pemanfaatan atas tanah dan sumber daya alam (lihat Bab 2 mengenai konsentrasi tanah dan land reform yang ditulis Dianto Bachriadi dari Agrarian Resource Center, Bandung dan Gunawan Wiradi dari Konsorsium Pembaruan Agraria).
Proyek-proyek raksasa yang terwujud melalui konsentrasi penguasaan tanah secara luas, tampak jelas membangkitkan perlawanan rakyat. Fenomena ini dibahas oleh para penulis dalam bab-bab di buku ini. Perjalanan naik-turun kasus petani melawan pengusaha lapangan golf Cimacan, Puncak, Jawa Barat disajikan oleh Anton Lucas dari Flinders University. Protes-protes tanah sehubungan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Barat dibahas oleh Afrizal dari Unversitas Andalas. Proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah diuraikan oleh John McCarthy dari Australian National University. Sengketa-sengketa tanah yang berhubungan dengan kekuasaan tanah di bawah penguasaan gereja di Flores dibukakan misterinya oleh John Mansford Prior dari St. Paul’s Institute of Philosophy Ladelero. Transformasi penguasaan tanah akibat industri jasa pariwisata di Gilitrawangan, Lombok dibeberkan oleh Carol Warren dari Murdoch University. Konflik-konflik pertanahan di kota Bandung dituliskan oleh Gustaaf Reerink, ketika ia masih bergabung di Van Vollenhoven Institute, Leiden University. Selanjutnya, secara khusus, Dianto Bachriadi, Anton Lucas dan Carol Warren membahas bagaimana dinamika gerakan-gerakan agraria dan aktivisme masyarakat sipil bergerak dalam konteks konstelasi politik nasional dan lokal yang berubah dari waktu ke waktu.
Para penulis yang masing-masing memiliki reputasi handal dalam buku ini hendak menunjukkan wajah baru konflik-konflik agraria di abad ke-21 yang ditandai oleh semakin pentingnya nilai tanah, sehubungan dengan derasnya arus investasi di bidang pertanian, perkebunan dan pertambangan. Peningkatan yang meroket akan konsumsi kelas menengah kota dan desa akan kebutuhan sehari-hari, termasuk makanan, energi dan produk-produk logam dari barang tambang, telah menimbulkan permintaan dahsyat untuk sistem-sistem produksi yang lapar tanah. Hal ini merupakan wujud dari komitmen resmi pemerintah dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan promosi besar-besaran, agar wilayah-wilayah kepulauan Indonesia menjadi penyuplai sumber daya alam dan produsen komoditas global di pasar dunia. Meski jumlah dari transaksi-transaksi itu lebih besar dimuat dalam kabar berita (bersifat virtual belaka) dari pada yang terwujud nyata, arus land grabbingbaru telah berlangsung dalam skala yang belum pernah dicapai pada periode sebelumnya. Hal ini bukan saja difasilitasi oleh badan-badan pemerintahan pusat, seperti terjadi di dalam periode abad 20 ketika Indonesia berada di bawah rezim otoritarian yang sentralistis, melainkan juga pemerintahan daerah yang berwenang mengeluarkan izin-izin lokasi untuk perkebunan dan izin-izin usaha pertambangan skala kecil. Belum lagi dorongan politik berbiaya tinggi untuk pemilu serta karakter pejabat pemerintah dan elite politik pemburu rente yang haus sogokan, sehingga terjadi obral pemberian izin/lisensi/hak-hak pemanfaatan tanah dan sumber daya alam.
Bagaimana nasib rakyat yang hak agrarisnya dicerabut secara sepihak?
Sebagian rakyat telah mengambil jalan frontal dan memperlihatkan diri dengan mobilisasi protes sporadis di sana-sini. Pada gilirannya, mereka tertumpas, kalah atau lelah. Mereka yang telah dirampas tanahnya atau terpaksa harus menjual tanahnya telah terlebih dahulu kalah dan menyerah menjadi petani. Mereka ini tak lebih dan tak kurang adalah para pekerja yang mengandalkan tenaga saja dan tergabung dalam barisan tenaga kerja (reserve army of labor). Hanya sebagian kecil dari mereka yang dapat terserap di pabrik-pabrik. Sebagian besarnya hidup dalam dunia antara, tak jadi petani dan tak juga jadi buruh pabrik. Mereka, kaum yang telah dilucuti kepemilikan tanahnya, kemudian melesak ke dalam kota-kota menjadi kaum miskin kota, atau yang dibiarkan mati.
Sebagian lagi adalah mereka yang bakal jadi target transformasi di kemudian hari dan tetap hidup dalam satuan-satuan keluarga dan marga-marga di dalam wilayah-wilayah adat yang menjadi kampung halaman tanah-air mereka. Mereka hidup dengan cara bertani, berladang, menjadi nelayan, bahkan mengumpul-meramu, yang terpisah satu sama lain di seantero pedesaan di kepulauan Nusantara. Status mereka acapkali digambarkan sedemikian haus akan proyek pembangunan. Atas nama merekalah proyek-proyek pengurangan kemiskinan disusun oleh para wali. Eksistensi mereka sering dikira-kira, namun jati diri sesungguhnya mereka tetap tak terlihat dan tak terwakili. Para aktivis, ahli dan pejabat pemerintah yang progresif mulai kerap mempromosikan kebijakan Reforma Agraria untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, baik dengan atau sekedar atas nama mereka. Ke manakah sekarang Reforma Agraria itu?
Noer Fauzi Rachman, Ph.D.
Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi Agraria
No comments:
Post a Comment