Naskah ini adalah bahan yang disajikan pada lokakarya awal untuk studi kolaboratif mengenai konsekuensi dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI), yang diselenggarakan oleh Sajogyo Institute, Pusat Studi dan Dokumentasi Agraria 2013-2014. Hasil studi kolaborèatif ini tersaji dalam buku Noer Fauzi Rachman dan Dian Januardi (2014) MP3EI. Masterplan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial Ekologi Indonesia. Yogyakarta: Tanah Air Beta bekerjasama dengan Sajogyo Institute. https://archive.org/details/pdfy-lidU-59a3-sir5nT
Pengantar
Pemerintah Indonesia pada 20 Mei 2011 menerbitkan suatu Peraturan Presiden No.32 tahun 2011 tentang Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025 (MP3EI). Dokumen Perpres ini dilampiri oleh buku setebal 210 halaman, berisi tentang strategi, tata cara, dan protokol pelaksanaan kegiatan yang kemudian populer dengan sebutan MP3EI. Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia merupakan sebuah rencana pembangunan ekonomi Indonesia yang dirancang untuk “mempercepat pengembangan berbagai program pembangunan, terutama dalam mendorong peningkatan nilai tambah sektor-sektor unggulan ekonomi, pembangunan infrastruktur dan energi, serta pembangunan SDM dan IPTEK”.
Salah satu ambisi dan klaim yang hendak dicapai dengan meluncurkan program MP3EI ini adalah bahwa Master Plan ini akan menempatkan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250-USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0-4,5 triliun. Karena itu diperkirakan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4-7,5 persen pada periode 2011-2014, dan sekitar 8,0-9,0 persen pada periode 2015-2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011-2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu dipercaya mencerminkan karakteristik negara maju.
Untuk mencapai visi ini, maka pemerintah Indonesia akan melakukan tiga visi penting, yaitu: Pertama,Peningkatan nilai tambah dan perluasan rantai nilai proses produksi serta distribusi dari pengelolaan aset dan akses (potensi) SDA, geografis wilayah, dan SDM, melalui penciptaan kegiatan ekonomi yang terintegrasi dan sinergis di dalam maupun antar-kawasan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi; Kedua, Mendorong terwujudnya peningkatan efisiensi produksi dan pemasaran serta integrasi pasar domestik dalam rangka penguatan daya saing dan daya tahan perekonomian nasional; Ketiga, Mendorong penguatan sistem inovasi nasional di sisi produksi, proses, maupun pemasaran untuk penguatan daya saing global yang berkelanjutan, menuju innovation-driven economy.
Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut, Master Plan ini bertumpu pada desain kerja sebagaimana yang ditunjukkan oleh bagan berikut ini:
Terdapat tiga strategi utama yang akan dikembangkan oleh MP3EI ini, yaitu: Pertama, pengembangan potensi ekonomi melalui koridor ekonomi koridor. Seperti ditunjukkannya dalam dokumen MP3EI 2011-2025, tiap koridor ekonomi dirancang untuk menghasilkan komoditas-komoditas global andalan tertentu.
Koridor Ekonomi | Produksi Komoditas Global yang Diandalkan |
Sumatera – Banten Utara | Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapa sawit/CPO, Karet, dan Batubara |
Jawa | Pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektor pada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut |
Kalimantan | Pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada migas, minyak kelapa sawit, dan batubara |
Sulawesi – Maluku Utara | Pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional dengan fokus sektor pada tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel |
Bali – Nusa Tenggara | Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional dengan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian dan peternakan |
Papua – Maluku | Pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera dengan fokus sektor pada pertambangan serta pertanian dan perkebunan |
Kedua, selain penciptaan koridor ekonomi untuk produksi komoditas global, strategi lain yang akan ditempuh adalah meningkatkan konektivitas nasional. Konektivitas ini memiliki berbagai macam tujuan, yaitu untuk Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama untuk memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman, melalui inter-modal supply chains systems; Memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya (hinterland); Menyebarkan manfaat pembangunan secara luas (pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan) melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan dalam rangka pemerataan pembangunan. Konektivitas ini juga dimaksudkan untuk dapat menghubungkan Indonesia dengan pembangunan ekonomi regional dan global.
Lalu, bagaimana desain pembangunan ekonomi seperti MP3EI dapat dianalisa secara kritis? Kerangka analitik semacam apa yang memadai untuk membaca desain MP3EI?
Alat-alat Analitik untuk Kajian Kritis MP3EI
A. Produksi Ruang Ekonomi
Proyek perencanaan pembangunan seperti MP3EI merupakan bagian dari upaya untuk memperdalam “integrasi dan kerjasama ekonomi antar negara Asia secara umum”, sebagaimana tertera . Dasar pemikiran utama dari model integrasi ekonomi untuk Asia ini bertumpu pada teori mengenai Geografi Ekonomi Baru (Krugman 1991; 2010) untuk melakukan reorganisasi spasial dan membentuk ulang geografi ekonomi baru dalam rangka memperlancar interaksi dan aliran kapital, barang dan tenaga kerja untuk aktivitas produksi-konsumsi. Asumsi dasar dalam kerangka Geografi Ekonomi Baru ini adalah untuk melahirkan model-model potensi aglomerasi produksi-konsumsi di luar model demand-supply konvensional, seperti model "pusat-pinggiran" yang baru, eksternalitas positif, pembesaran Produk Domestik Bruto (PDB) antar wilayah, serta berbagai perluasan ekonomi sebagai efek dari aglomerasi, maupun memecah hambatan bagi proses aglomerasi. Kerangka pikir GEB ini kembali digaungkan oleh laporan Bank Dunia (2009), World Development Report, tahun 2009 yang bertajuk “Reshaping Economic Geography”. Laporan Bank Dunia ini berupaya untuk menginvestigasi relasi antara pertumbuhan makro ekonomi dengan pembentukan-ulang geografi pada umumnya dan pembangunan regional. Laporan Bank Dunia ini memiliki konsep dasar bahwa reorganisasi dan penataan geografi yang tepat dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya produksi dan transaksi, serta meningkatkan pertumbuhan.
David Harvey (2009b) mendudukkan paradigma semacam itu sebagai bagian dari upaya untuk mengintegrasikan pembangunan geografi yang tak merata (uneven geographical development) yang dihasilkan oleh neoliberalisme untuk masuk kembali ke dalam reproduksi kapitalisme. Karena itu, sebenarnya kerangka seperti MP3EI itu sebenarnya merupakan suatu proyek rekonstruksi geografis untuk reproduksi sistem kapitalisme guna merestorasi kembali kekuasaan kelas kapitalis.
Desain MP3EI pada dasarnya merupakan suatu reorganisasi spasial dan produksi ekonomi ruang. Hal itu dapat dibaca dengan menggunakan analisis sirkuit kapital yang diajukan oleh geografer Marxist David Harvey. Sirkuit kapital terdiri dari sirkuit primer, sirkuit sekunder dan sirkuit tersier. Sirkuit primer merupakan sirkuit produksi dan konsumsi yang saling berhubungan. Sirkuit primer ini pada gilirannya berhubungan ke sirkuit sekunder dimana surplus kapital dilempar dalam bentuk pembangunan kembali kapital terpasang (fixed capital) dan dana konsumsi (consumption fund) yang keduanya difasilitasi dan dimediasi oleh pasar kapital (finansial) dan peranan negara. Selain ke sirkuit sekunder, pengalihan surplus kapital ini juga mengarah pada sirkuit tersier dalam bentuk belanja-belanja sosial dan riset atau pengembangan. Analisis sirkuit kapital semacam itu dapat menjelaskan desain utama dalam framework MP3EI yang meliputi: pembangunan ekonomi melalui penciptaan koridor (berada dalam sirkuit primer); penguatan konektivitas nasional (berada dalam sirkuit sekunder); penguatan kapasitas sumberdaya manusia dan ilmu pengetahuan dan teknologi (berada dalam sirkuit tersier).
Proses pengalihan dari sirkuit primer ke sekunder dan tersier merupakan hal yang tak terelakkan dalam pembangunan ekonomi kapitalis, sebagi suatu kerangka untuk menghindari krisis overakumulasi. Krisis overakumulasi dapat tampil dalam berbagai bentuk yaitu: Overproduksi atas komoditas—persediaan yang berlimpah di pasar; Jatuhnya tingkat profit; Surplus kapital, yang bisa termanifestasikan baik sebagai kapasitas produktif yang tidak berjalan maupun sebagai kebuntuan kesempatan bagi uang-kapital untuk memperoleh keuntungan dari tenaga kerja; Surplus tenaga kerja dan/atau sebuah peningkatan level eksploitasi tenaga kerja. Krisis overakumulasi ini dalam pandangan Harvey dapat dipecahkan melalui apa yang disebut Harvey sebagai spatio-temporal fixes.
Menurut Harvey (1982, 2003), cara bagaimana kapital keluar dari krisis overakumulasi ini adalah dengan memproduksi apa yang disebutnya sebagai spatio-temporal fixes, yaitu melalui (a) pengalihan secara temporal melalui proyek-proyek investasi jangka panjang atau dalam bentuk pembelanjaan sosial (seperti riset, pendidikan dan lain sebagainya) yang akan memuluskan proses kapital untuk masuk kembali dalam sirkuit kapital di masa mendatang (seperti dalam sirkuit tersier); (b) melalui pengalihan spasial melalui pembukaan pasar-pasar baru, penciptaan ekonomi ruang baru, kapasitas produktivitas baru dan sumberdaya baru, atau kemungkinan ditemukannya tenaga kerja baru yang lebih murah di manapun, (sirkuit sekunder) atau (c) kombinasi antara poin (a) and (b).
Dalam kerangka semacam itu, maka MP3EI tak lain adalah suatu produksi ekonomi ruang. Dalam gagasan Harvey, produksi ekonomi ruang adalah sesuatu yang melekat dalam proses akumulasi kapital. Pertukaran barang, jasa dan tenaga kerja selalu melibatkan perubahan lokasi. Pertukaran tersebut juga selalu menciptakan suatu gerak spasial yang saling bertemu sehingga menciptakan geografi manusia yang khas. Munculnya pembagian desa dan kota juga sebagai akibat dari hal ini. Aktivitas kapitalis karenanya selalu menghasilkan pembangunan geografis yang tak seragam. Dorongan kompetisilah yang menyebabkan kapitalis mengejar keuntungan kompetitif dengan memanfaatkan struktur dan keuntungan spasial dan karenanya selalu tergerak untuk untuk mencari lokasi-lokasi yang menguntungkan dimana biaya lebih rendah atau tingkat laba lebih tinggi. Dalam menghadapi situasi kompetitif semacam itu, maka berbagai cara harus dilakukan para kapitalis agar kekuatan monopolinya tetap bekerja dan awet. Menurutnya, ada dua langkah penting yang pada umumnya dilakukan oleh para kapitalis: Pertama, melakukan sentralisasi kapital secara massif dengan berupaya mendominasi kapital finans, memperkuat posisi pasar, memperbesar skala produksi ekonomis (economy of scale), maupun proteksi terhadap keunggulan teknologi. Kedua, melakukan “anihilasi ruang melalui waktu”. Untuk membuat gerak lancar atas ruang, maka yang dibutuhkan adalah membangun infrastruktur fisik tertentu di dalam ruang tersebut, seperti membangun industri transportasi, komunikasi, rel, jalan raya, pelabuhan, bandara, jaringan kabel dan lain sebagainya untuk mempercepat aliran kapital.
Pendeknya, keuntungan spasial memainkan peranan yang sama dengan keuntungan teknologis. Penjelasan semacam ini diutarakan oleh teoretisi “lokasi klasik”, seperti von Thunen, Weber dan Losch. Para teoretisi lokasi klasik itu menyatakan bahwa pada akhirnya aktivitas kapitalis dalam penciptaan ekonomi ruang akan menciptakan kesimbangan spasial (spatial equlibrium) di dalam lanskap geografis, yang ditandai oleh tingginya pertumbuhan, padat investasi dan keuntungan, serta lancarnya lalu lintas barang dan buruh.
1) Bagaimana gerak molekuler dari kapital dapat sampai pada wilayah tertentu? Atau, Bagaimana sejarah hadirnya produksi komoditas tertentu di waktu tertentu di lokasi tertentu? Mengapa kapital memilih wilayah itu? Apa rationale dan situasi-situasi yang mendorong kapital di balik pemilihan lokasi itu?
2) Bagaimana kehadiran kapital, melalui produksi komoditas tertentu, mengubah dan melakukan creative destruction atas ruang spasial dalam bentuk perampasan tanah atau pengubahan lanskap geografis? Bagaimana sejarah ruang dan geografi dikoloni oleh kapital secra terus-menerus? Apa proses dan mekanisme yang menopang dan melancarkan creative destruction itu?
3) Apa dan bagaimana rangkaian dari produksi ekonomi ruang terbentuk? Misalnya jika produksi komoditi perkebunan/tambang/hutan telah atau sedang bekerja, apa saja kapital-kapital lain yang masuk mengikutinya? Bagaimana itu terjadi?
4) Bagaimana upaya-upaya kapital untuk produksi komoditi tertentu dalam memanfaatkan kapital finans, memperkuat posisi pasar, memperbesar skala produksi ekonomis (economy of scale), maupun proteksi terhadap keunggulan teknologi?
5) Bagaimana upaya kapital untuk, melalui kolaborasi dengan negara atau kapital finans, dalam membangun berbagai macam infrastruktur untuk memperlancar aliran kapital dan tenaga kerja?
6) Kapan dan bagaimana stabilitas dan krisis suatu ekonomi ruang terbentuk dan terjadi? Apakah terdapat cerita tentang bagaimana dan kapan suatu produksi ekonomi ruang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya? Situasi-situasi semacam apa yang mendorongnya?
B. Perubahan Radikal dari Fungsi Negara
1) Apa dan bagaimana bentuk kebijakan dan regulasi negara, dalam keragaman level dan aktor, dalam mendorong terciptanya situs produksi komoditas (konsesi dan non-konsesi), pembangunan infrastruktur dan kawasan industri terbentuk? Bagaimana proses dan mekanismenya? Bagaimana diskursus dan legitimasi atas kebijakan itu dibuat dan dikondisikan?
2) Apa dan bagaimana bentuk payung kebijakan lain yang dibuat untuk memuluskan dan melancarkan kegiatan investasi tersebut, misalnya dalam sektor pengadaan tanah, aliran finans, pajak, ketenagakerjaan, dan lainnya?
3) Apa dan bagaimana upaya negara dalam membuat konektivitas dan mengintegrasikan antara situs produksi komoditas global dengan pembangunan infrastruktur? Bagaimana diskursus dan praktiknya?
4) Bagaimana konsensus dan koersi untuk mengendalikan kepatuhan masyarakat dan menundukkan gerakan-tanding melawan kapital digunakan oleh aparatus negara? Bagaimana proses dan mekanismenya?
5) Bagaimana posisi, peran, dan keterlibatan kekuatan-kekuatan sosial yang beragam, baik yang berupa badan negara, badan-badan pendanaan internasional dan kapital finans, maupun aktor non-negara seperti lembaga penelitian, NGO, dan lainnya, dalam berkontestasi dan membentuk proses-proses kebijakan tersebut berjalan normal dan lancar?
6) Apakah terdapat bentuk-bentuk pembaharuan dan reorganisasi birokrasi negara, dalam berbagai levelnya, untuk memuluskan dan melancarkan aliran kapital dan kegiatan MP3EI? Bagaimana mekanisme reorganisasi itu?
7) Bagaimana moda dan pola adaptasi negara dalam pengurusan soal pembaharuan teknologi dan sumberdaya manusia untuk kelancaran program MP3EI? Apa bentuk dan mekanismenya?
C. Mekanisme dan Konsekuensi terhadap Perubahan Agraria-Lingkungan
Bagian ini berupaya memeriksa mekanisme produksi kekayaan dan kemiskinan yang selama ini dihasilkan oleh penciptaan ruang untuk situs produksi komoditas dan konsekuensinya bagi perubahan agraria-lingkungan. Penelitian ini akan memanfaatkan studi ekonomi politik perubahan agraria, yang didefinisikan sebagai “relasi sosial dan dinamika produksi dan reproduksi, properti dan kekuasaan di dalam formasi agraria dan proses-proses perubahannya, baik di masa lalu maupun saat ini” (Bernstein, 2010: 1). Dalam kajian ekonomi politik perubahan agraria, terdapat empat pertanyaan kunci, yaitu (1) siapa memiliki apa? (2) siapa mengerjakan apa? (3) siapa mendapatkan apa? (4) apa yang merela lakukan dengan apa yang mereka dapatkan (Bernstein, 2010: 22-23). Dan sekaligus terdapat dengan dua pertanyaan lain mengenai dinamika antar kelas sosial (5) apa yang mereka (kelas sosial) lakukan satu sama lain atau bagaimana kelas sosial dan kelompok sosial dalam masyarakat di dalam satu negara berinteraksi satu sama lain?; (6) bagaimana perubahan dalam politik dibentuk oleh dinamika ekologi dan sebaliknya?.
- Mekanisme Perampasan Tanah dan Inkorporasi Rakyat dalam Produksi Komoditas
Bagaikan dua sisi sebuah koin, pencipataan ruang ekonomi baru adalah sisi lain dari perampasan ruang kelola rakyat. Perampasan ruang kelola rakyat juga adalah kata ganti dari pelucutan rakyat dari faktor-faktor produksi kebutuhan hidup mereka.
Penelitian ini akan berfokus pada dua hal: (1) bagaimana mekanisme dan proses perampasan ruang kelola rakyat oleh proyek-proyek besar MP3EI; dan (2) mekanisme inkorporasi rakyat ke dalam produksi komoditas. Pada fokus yang pertama, perampasan ruang akan dilihat dalam kerangka akumulasi primitif, yaitu “bagaimana sarana penghidupan sosial dan sarana produksi ditransformasikan menjadi kapital dan produsen langsung (rakyat) ditransformasi menjadi buruh upahan”. Maka agenda penelitiannya adalah memeriksa cara-cara yang beragam dari bagaimana rakyat dilepaskan dan dirampas dari sumber penghidupannya melalui praktik-praktik seperti penggunaan kebijakan negara, teritorialisasi, dan penggunaan kekerasan. Selain berupa perampasan, penciptaan ruang ekonomi untuk akumulasi kapital juga dapat dilakukan melalui inkorporasi langsung petani kecil ke dalam produksi komoditas. Inkorporasi petani skala kecil ke dalam produksi komoditas global ini pada kenyataannya justru memperburuk penderitaan rakyat (adverse incoorporation), sebagaimana ditunjukkan oleh McCarthy (2010). Pada aspek ini, hal yang perlu dikaji adalah memeriksa cara-cara bagaimana rakyat diinkorporasikan melalui serangkaian perjanjian dan kontrak tertentu untuk produksi komoditas global; dan relasi-relasi ekonomi, sosial dan politik setempat pada level mikro.
- Konsekuensi-konsekuensi bagi Perubahan-perubahan Agraria
a. Perubahan Tata Guna Tanah dan (Krisis) Layanan Alam
Riset ini juga akan berupaya untuk mendokumentasikan berbagai perubahan agraria dalam pengertian perubahan tata guna tanah. Arah perubahan tata guna tanah dalam diskursus perampasan tanah saat ini, memiliki banyak wajah misalnya perubahan tata guna tanah untuk produksi pangan berorientasi ekspor; atau perubahan tata guna tanah dari produksi pangan skala kecil ke produksi biofuel; dan perubahan tata guna tanah dari non-pangan ke produksi pangan, dan lain sebagainya. Berbagai macam kategori ini memiliki perubahan bentuk tata guna tanah yang spesifik yang memiliki dampak dan konsekuensi yang beragam pada mata pencaharian (livelihood) masyarakat setempat.
Hal penting yang perlu dikaji pula dalam studi ini adalah bagaimana krisis-krisis ekologi terjadi. Krisis itu dapat berupa hancurnya fungsi-fungsi vital (sumber pangan, air, dan energi) dari layanan alam yang menyangga kehidupan manusia, maupun munculnya berbagai macam penyakit-penyakit yang muncul sebagai konsekuensi dari pembangunan kapitalis.
b. Perubahan Kontrol atas Tanah
Salah satu perubahan penting yang harus dikaji adalah bagaimana kontrol dan penguasaan atas tanah berubah sebagai akibat dari hadirnya kapital yang bekerja di pedesaan. Perubahan semacam itu pada umumnya diakibatkan oleh perubahan dalam land property relations yang dipicu oleh suatu kebijakan atau ketiadaan kebijakan (Borras and Franco, 2012: 18-20). Perubahan kontrol atas tanah itu bisa meliputi (1) perubahan pola kontrol atas tanah yang bersifat [re]distributif; (2) inkorporasi; (3) perampasan melalui diferensiasi; (4) perampasan dengan pengusiran. Hal yang terpenting yang juga diupayakan akan dikaji adalah bagaimana perubahan-perubahan kontrol atas tanah itu juga memunculkan formasi dan dinamika kelas-kelas agraria di pedesaan.
c. Perubahan ketenagakerjaan
Salah satu aspek yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah mengkaji bagaimana perubahan rejim ketenagakerjaan. Dalam konteks ini, perubahan ketenagakerjaan dimaknai sebagai “berbagai metode dalam perekrutan, kontrol, ekspoitasi dan mobilisasi tenaga kerja dan bagaimana hubungannya dengan tenaga kerja tersebut diorganisir, diatur dan diintervensi dalam ranah produksi dan reproduksi”. Selain itu, juga akan dikaji bagaimana kontrol perburuhan bekerja dalam proses produksi komoditas global. Kontrol perburuhan ini merujuk pada suatu konsepsi “bagaimana suatu ideologi dominan diciptakan kembali, dibela, dan diawasi serta bagaimana ideologi tersebut dilawan, dibatasi dan ditantang”. Hal yang krusial dalam penggunaan konsepsi semacam ini adalah penggunaan dua cara dominasi dan kontrol perburuhan dalam bentuk kekerasan dan menyingkap bagaimana hubungan antara kapital dan tenaga kerja terbentuk di masing-masing situs produksi komoditas.
D. Gerakan-Tanding Melawan Ekspansi Kapital
Dinamika untuk memperdalam relasi sosial kapital dan memperluas imperatif untuk akumulasi tanpa henti dapat berujung pada munculnya gerakan-tanding (counter-movement) dari masyarakat yang berupaya untuk mempertahankan diri dari ekspansi pasar dan perampasan terhadap sarana hidupnya. Dinamika semacam ini, oleh Karl Polanyi disebut sebagai gerakan ganda. Dalam pertanyataan Karl Polanyi (2001: 136) dinyatakan bahwa masyarakat modern saat ini berjalan melalui melalui gerakan ganda, yaitu:
“gerakan pasar memperluas dirinya berlangsung terus-menerus, namun gerakan pasar ini ditandingi oleh gerakan-tanding yang berupaya menghalau arah jalan gerakan pasar…secara terus menerus gerakan-tanding selalu hadir…gerakan tanding tersebut lebih dari sekedar upaya pertahanan diri dari masyarakat yang menghadapi perubahan; namun juga merupakan reaksi melawan dislokasi yang mengancam struktur masyarakat, dan yang akan menghancurkan organisasi produksi masyarakat sebagaimana yang hendak diciptakan oleh pasar”.
Gerakan “pasar”, “globalisasi” atau “globalisasi neoliberal” itu saat ini secara drastis telah mengubah dinamika produksi, sirkulasi dan konsumsi dalam skala global dan memainkan peranan kunci dalam mengguncang struktur agraria dan perubahan pedesaan. Proses yang secara luas terjadi di masyarakat pedesaan itu bersamaan dengan terjadinya gelombang restruksturisasi agraria yang terkini, yang memberikan kekuasaan penuh pada kapital domestik dan korporasi transnasional untuk mendikte dinamika produksi dan reproduksi dunia pedesaan (Bernstein 2006; McMichael 2006; Akram Lodhi and Kay 2008). Salah satu bentuk-bentuk perubahan yang mencolok saat ini adalah kelas pekerja di pedesaan dan sektor pertanian dengan cepat menghadapi kondisi mata pencaharian yang semakin merosot dan memburuk; sementara diversifikasi mata pencaharian dan fleksibilitas kerja-kerja di pedesaan lebih banyak dijalankan dengan terpaksa; akses dan kontrol terhadap tanah saat ini didefinisikan-ulang dan hak kepemilikan atas tanah telah direstrukturisasi untuk lebih menopang kapital swasta (De Soto 2000; World Bank 2003; Akram Lodhi et al. 2007).
Proses kompleks inilah yang mempengaruhi gerakan-gerakan sosial dari gerakan buruh hingga gerakan agraria dalam berbagai bentuk. Gerakan-gerakan agraria tersebut tampil dengan memiliki keragaman skala, dari gerakan yang hanya mengikatkan diri semata-mata pada komunitas lokal, hingga memiliki cakupan yang lebih luas di tingkat nasional, maupun gerakan-gerakan agraria yang menambatkan dirinya dalam komunitas global dalam bentuk gerakan-gerakan agraria transnasional (Borras, et, al, 2008: 3). Sementara, dalam kaitannya dengan bentuk dan model perlawanan gerakan-gerakan agraria juga cenderung bervariasi. Terdapat gerakan sebagaimana diutarakan oleh James C. Scott (1985) tentang “bentuk-bentuk resistensi sehari-hari” dalam lingkungan lokal seperti misalnya desa. Terdapat pula model gerakan-gerakan agraria sebagaimana digambarkan oleh Eric Wolf (1969) tentang “perang petani di abad kedua puluh” yang ditujukan melawan rejim lama yang berasal dari kaum “feudal” seperti di Rusia dan China, maupun untuk melawan rejim lama yang berasal dari kekuasaan kolonial misalnya di Meksiko, Vietnam, Algeria dan Kuba, yang semuanya itu ditentukan oleh perubahan yang luas. Gerakan petani semacam itu dimobilisasi di sekitar persoalan tanah, sewa, pemiskinan, penindasan ekstrem dan ketidakadilan sosial, seringkali dalam kondisi pergolakan sosial yang hebat dan perang. Gerakan petani tersebut biasanya menjadi bagian dari gerakan kemerdekaan nasional atau revolusi sosial, dan biasanya juga dilakukan dengan gerilya atau perang jenis lain.
Gerakan-gerakan masyarakat yang mempertahankan tanah dan ruang dan hidupnya Dari serbuan pasar, mesti dipandang sebagai, apa yang disebut oleh pasangan scholar-activists Saturnino Borras, Jr. dan Jeniffer Franco sebagai “gerakan untuk kedaulatan atas tanah”. Perjuangan untuk kedaulatan atas tanah itu saat ini kermbali menguat dan menjadi relevan, sebab “banyak tanah-tanah milik umum (public lands) yang saat ini menjadi target dari perampasan neoliberal.” (Borras and Franco 2011: 4). Sebagaimana diteorikan oleh Borras and Franco konsep perjuangan untuk kedaulatan atas tanah ini mencakup semua jenis gerakan-gerakan sosial yang memiliki basis sosial “sebagai kelas pekerja pedesaan yang berjuang untuk mendapatkan akses yang efektif, penguasaan terhadap dan pemanfaatan atas tanah, baik sebagai sumber kehidupan maupun sebagai teritori”.
Gerakan dan perjuangan untuk kedaulatan atas tanah dewasa ini meiliki dua corak penting. Pertama, gerakan kedaulatan atas tanah yang berupa ‘gerakan-tanding melawan perampasan (counter-enclosure movement). Gerakan-gerakan ini pada umumnya merupakans ebuah upaya perlawanan terhadap model-model penguasaan tanah dan kebijakan pertanahan yang bersifat non-redistributif maupun (re)konsentrasi. Kedua, gerakan kedaulatan atas tanah juga dapat berupa “gerakan masyarakat merebut (kembali) tanah” (people enclosure movement). Yaitu sebuah gerakan sosial pedesaan yang berjuang untuk mendapatkan dan merebut kembali akses dan kontrol efektif atas tanah.
Untuk menganalisis dan memahami gerakan dan perjuangan untuk keadaulatan atas tanah terdapat lima pertanyaan konseptual kunci. Lima pertanyaan konseptual ini ini dirumuskan oleh oleh para pemikir gerakan agraria dewasa ini, seperti Saturnino Borars Jr, Marc Edelman, dan Cristobal Kay, dalam buku Transnational Agrarian Movement Confronting Globalization (Borras et al. 2008). Lima pertanyaan kunci tersebut adalah:
Pertama, Apa saja karakteristik struktur-struktur agraria yang menjadi asal dari gerakan, atau yang tidak menjadi asal gerakan itu? Pertanyaan ini adalah pertanyaan mendasar mengenai bagaimana bagaimana penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan tanah bekerja.
Kedua, Apakah basis sosial gerakan agraria? Kelas sosial dan kelompok sosial mana yang diklaim diwakili oleh gerakan agraria? Bagaimana kita bisa menguji bisa masuk akal tidaknya kebenaran klaim semacam itu?. Pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan mengenai basis sosial dan kelas sosial yang menjadi elemen gerakan, apakah petani tak bertanah, buruh pedesaan, petani kelas menengah atau justru petani kaya. Sebab tidak semua aksi kolektif di pedesaan dan mengenai isu-isu agraria merupakan perjuangan keadualatan atas tanah.
Ketiga, isu atau tuntutan apa yang diajukan oleh gerakan? Berasal dari manakah tuntutan itu, dan kekuatan sosial dan kekuatan politik apa yang mendukung atau menghalangi tuntutan itu? Pertanyaan ini mencakup rumusan konseptual mengenai bagaimana gerakan agraria mem-framing perjuangan mereka dan mengartikulasikan kepentingannya; memandang dan mengartikulasikan musuh yang ditantangnya dan situasi yang dihadapinya. Termasuk juga, dalam pertanyaan ini adalah mengenai aliansi-aliansi dan kekuatan sosial yang mendukung dan menginspirasi gerakan tersebut.
Keempat, isu apa yang menyatukan atau memecahbelah gerakan agraria, dan mengapa?. Pertanyaan ini mengandung kerangka konseptual mengenai momen-momen krusial dan kesempatan politik yang berada di luar diri gerakan sosial. Momen dan kesempatan politik itu dapat menjadi sesautu yang menyatukan gerakan atau bahkan memecahbelah gerakan agraria.
Kelima, seberapa efektifkah aksi gerakan itu dalam mengubah struktur agraria yang mereka lawan, dan siapakah yang diuntungkan oleh perubahan itu? Mengapa beberapa gerakan agraria terbukti lebih efektif daridapa beberapa gerakan lain? Pertanyaan ini mengandung rumusan konseptual mengenai strategi, taktik, dan repertoire gerakan agraria.*)
No comments:
Post a Comment