Dimuat sebagai artikel dalam rubrik opini Kompas 19 Februari 2014
Noer Fauzi Rachman
Putusan Mahkamah Konstitusi atas perkara Nomor 35/PUU-X/2012 yang dibacakan pada 16 Mei 2013 meralat Pasal 6 Ayat 1 dan beberapa pasal lainnya yang terkait UU No 41/1999 tentang Kehutanan.
Dalam putusan itu, ”hutan adat” dipindahkan posisinya dari ”hutan negara” ke ”hutan hak”. Penulis menilai putusan ini adalah tonggak baru dalam perjalanan politik agraria kehutanan Indonesia, terutama dengan mengoreksi penguasaan negara atas wilayah adat. MK melegitimasi klaim Aliansi Masyarakat Adat Nusantara bahwa negara keliru memasukkan wilayah adat sebagai bagian hutan (milik) negara.
Perpindahan posisi ”hutan adat” itu sama sekali bukan soal yang remeh. Ini adalah hasil perjuangan antidiskriminasi. Putusan MK adalah langkah awal pemulihan status masyarakat hukum adat sebagai ”penyandang hak”, subyek hukum tersendiri, dan pemilik wilayah adatnya.
Makna putusan MK
Putusan MK itu harus dipahami dalam konteks konflik-konflik agraria yang struktural, kronis, dan meluas di seantero Indonesia. Konflik-konflik agraria itu disebabkan pemberian izin/hak pemanfaatan oleh pejabat publik kepada perusahaan-perusahaan raksasa atau pihak-pihak pengelola sumber daya alam untuk tujuan produksi, penyediaan infrastruktur, hingga konservasi.
MK telah ”memukul gong” mengumumkan ralat itu. Pasca-putusan MK itu, gerakan plangisasi, yakni pernyataan klaim dengan memasang plang di wilayah adat mereka, makin meluas. Di atas plang itu tertuliskan informasi kurang lebih sebagai berikut: ”Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas Kasus No 35/PUU-X/2012, hutan adat ini bukan hutan negara.” Tujuannya untuk menunjukkan secara terang-terangan klaim masyarakat adat atas wilayah adatnya di berbagai kawasan hutan yang telah dialokasikan Menteri Kehutanan untuk dikuasai perusahaan-perusahaan hutan tanaman industri, pertambangan, perkebunan, dan Balai Besar Taman Nasional.
Pada 27 Juni 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan tanggapan awalnya dalam suatu lokakarya internasional tentang hutan tropis dunia. Presiden mengakui putusan MK itu ”menandai langkah penting ke depan menuju pengakuan sepenuhnya hak-hak atas tanah dan sumber alam masyarakat adat dan komunitas-komunitas yang bergantung pada hutan”. Ia juga menyampaikan komitmen pribadinya ”untuk menginisiasi satu proses untuk mendaftar dan mengakui kepemilikan kolektif wilayah-wilayah adat di Indonesia”. Ketika DPR secara resmi mengambil inisiatif untuk merancang UU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA), Presiden memutuskan memilih Kemenhut sebagai kementerian yang memimpin membuat daftar isian masalah mewakili pemerintah. UU ini akan menjadi rujukan yang formal. Tanpa RUU PPHMA, Kemenhut hanya menggantungkan diri pada peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri serta peraturan-peraturan daerah untuk mengidentifikasi dan mengakui masyarakat adat dan wilayah adat.
Penulis mengamati kesulitan sebagai berikut. Status masyarakat adat sebagai pemilik wilayah adatnya dapat dipulihkan atau tidak sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dan kewenangan Menteri Kehutanan dan para pejabat kehutanan sebagaimana surat edaran Kemenhut SE.1/Menhut-II/2013 kepada para gubernur, kepala daerah, dan dinas kehutanan provinsi/kabupaten. Di bawah panduan surat edaran itu, Menhut menciptakan proses yang tak menjamin pemulihan itu. Menhut Zulkifli Hasan, kepada pers, mengelak melakukan tindakan korektif secara menyeluruh.
Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyatakan, BPN siap mendaftar wilayah-wilayah adat. Namun, sesungguhnya pernyataan itu bersifat retoris belaka. Sistem pendaftaran tanah di BPN belum dapat diandalkan untuk pendaftaran tanah kolektif/komunal atau sebutlah pendaftaran wilayah adat. Terlebih lagi pendaftaran itu mensyaratkan ”masyarakat hukum adat” diperlakukan sebagai subyek hukum yang sejajar dengan individu dan badan hukum. Selain itu, BPN hanya dapat mendaftar tanah adat jika tanah itu sudah dikeluarkan dari kawasan hutan negara.
Kemendari memberikan tanggapan berbeda. Pertengahan Desember 2013, kementerian ini telah menyiapkan satu surat edaran tentang pemetaan sosial atas komunitas hukum adat sebagai tindak lanjut dari pengesahan putusan MK di atas. Draf surat edaran ini berisi informasi yang menunjukkan bahwa Mendagri menganggap komunitas-komunitas swapraja yang feodal (seperti kesultanan/kerajaan) sebagai masyarakat adat. Jika substansi draf surat itu tetap menjadi surat resmi yang akan dikeluarkan oleh Mendagri, surat itu akan membuka lapisan lain dari persoalan sosial di lapangan yang akan berdampak negatif terhadap masyarakat adat.
Kesempatan emas SBY
Presiden SBY perlu bertindak menggunakan kekuasaan dan kewenangannya. Penulis mengusulkan agar Presiden membentuk suatu badan, setidaknya dalam bentuk satuan tugas khusus yang dapat diberi nama satuan tugas untuk restitusi hak-hak atas wilayah adat, yang setidaknya bertugas untuk sejumlah urusan.
Pertama, menyosialisasikan putusan MK dan menggunakannya sebagai rujukan dan arahan strategis untuk proses perubahan kebijakan dan praktik kelembagaan instansi pemerintah, korporasi pemegang konsesi hutan, tambang, perkebunan, dan masyarakat pemangku kepentingan di berbagai tingkatan.
Kedua, memberikan arahan, memfasilitasi sinergi, dan melakukan koordinasi lintas sektoral untuk perubahan kebijakan, perundang-undangan, dan praktik kelembagaan dari kementerian dan lembaga pemerintah di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten.
Ketiga, menginventarisasi klaim-klaim masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya, membantu proses pengakuan eksistensinya dan perolehan legitimasi atas klaim tersebut, serta mengusahakan pemberdayaan masyarakat hukum adat agar dapat menempuh pengakuan atas eksistensi dan klaim-klaimnya itu.
Keempat, mengelola status dan hak-hak pihak ketiga yang berada dalam lingkup wilayah adat, konflik-konflik berkenaan dengan klaim-klaim atas wilayah adat, dan fungsi-fungsi ekosistem wilayah adat dalam konteks yang lebih luas; Kelima, mengembangkan dukungan masyarakat sipil internasional, nasional, dan lokal untuk berbagai inisiatif perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Belum ada satu pun elite pejabat pemerintah pusat berkomitmen memainkan posisi kepemimpinannya untuk mengarahkan dan jadi tokoh/rujukan resmi, di mana seluruh inisiatif pemulihan wilayah adat diaransir kemudian seluruh kendala dan bias dalam pelaksanaan dapat dihadapi. Meski Presiden sudah menunjukkan komitmen menginisiasi ”satu proses untuk mendaftar dan mengakui kepemilikan kolektif wilayah-wilayah adat di Indonesia”, kita menantikan bagaimana retorika ini bergerak menuju kepemimpinan efektif.
*) Noer Fauzi Rachman ; Direktur Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)