Bung Karno Melawan Kutukan Kolonialisme

 


 Noer Fauzi Rachman

Naskah yang dimuat dalam Noer Fauzi Rachman (2015) "Bung Karno Melawan Kutukan Kolonialisme", Bergelora.com 1 Juni 2015, https://bergelora.com/bung-karno-melawan-kutukan-kolonialisme/ 

Membicarakan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme bukanlah sesuatu topik yang baru bagi Indonesia sebagai bangsa. Cara bagaimana kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme ini bekerja memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah secara gamblang dan mudah dulu ditunjukkan oleh Soekarno dalam karyanya Indonesia Menggugat (1930). Karya ini sanggup menjadi rujukan utama bagi semua orang Indonesia yang berusaha mencari tahu akar-akar kesengsaraan rakyat Indonesia. Ia mempropagandakan kemerdekaan Indonesia, dan jalan menuju kemerdekaan dalam karyanya tiga tahun kemudian Soekarno (1933) Mentjapai Indonesia MerdekaIndonesia Merdeka adalah suatu cita-cita dan sekaligus pembentuk dari cara rakyat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, zonder kapitalisme, dan kolonialisme.


Siapakah yang sekarang membaca naskah-naskah itu, bersama-sama dengan naskah-naskah lain dari Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan lainnya? 

Disini, saya secara khusus menyebut andil Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dalam pidato di BPUPKI 1 Juni 1945. Ia dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimana Negara Republik Indonesia musti difungsikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warga negaranya. 

“Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”

Arah politik agraria Indonesia di masa awal kemerdekaan adalah menghilangkan sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme untuk memberi jalan bagi sistem ekonomi nasional. Meski wacana land reform berhasil menjadi kebijakan nasional, namun dua sistem agraria warisan kolonialisme, yakni perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera dan penguasaan lahan hutan oleh Perhutani di Jawa, berhasil berlanjut hidup dengan menempatkan diri sebagai perusahaan-perusahaan milik negara, yang dikerangkakan sebagai bagian dari Ekonomi Terpimpin. Selanjutnya, kebijakan land reform berfokus pada urusan membatasi penguasaan tanah-tanah pertanian rakyat, melarang penguasaan tanah swapraja dan tanah-tanah guntai, redistribusi tanah-tanah negara dan pengaturan bagi hasil (Fauzi 1999, Rachman 2012). 

Landreform kemudian bergeser dari agenda bangsa untuk mewujudkan keadilan agraria berubah menjadi isu politik yang membelah pengelompokan sosial-politik dan membuat perebutan tanah menjadi basis dari pertarungan yang lebih luas di pedesaan Jawa, Bali, sebagian Sumatera dan sebagian Nusa Tenggara, termasuk dengan melibatkan aksi-aksi sepihak, pembunuhan massal, penangkapan, dan pemenjaraan puluhan ribu rakyat yang digolongkan komunis (Utrecht 1969, 1973, 1976,  Lyon 1970, and Mortimer 1972). Konflik itu berkulminasi pada kudeta merangkak pada rezim  Sukarno, yang membuat jenderal Soehato naik sebagai Presiden RI, dan dimulainya rezim otoritarianisme militer (Wardaya 2007a, 2007b). 

Seperti ditunjukkan oleh Hilmar Farid (2005), keseluruhan rangkaian kekerasan itu perlu dimengerti sebagai bagian dari primitive accumulation, proses awal kembalinya kapitalisme bekerja di Indonesia. 

Apa yang diwariskan oleh rezim nasionalis ‘Demokrasi Terpimpin’ 1958-1965 kepada kita sekarang ini adalah ajaran-ajaran untuk menandingi fondasi dari kapitalisme kolonial, termasuk dalam bidang politik agaria. Mohammad Hatta telah meletakan dasar-dasar yang melarang tanah (dan sumber daya alam) untuk diperlakukan sebagai komoditas (barang dagangan). Kita ingat juga Mochammad Tauchid dalam bukunya Masalah Agraria jilid 1 dan 2 (1952/3), yang memberikan penjelasan paling menyeluruh tentang politik agraria Indonesia, termasuk meletakkan dasar bahwa penyelesaian masalah agraria menentukan kelangsungan hidup bangsa dan rakyat Indonesia.  

Selain Pancasila yang telah menjadi ideologi negara, Soekarno telah pula melahirkan formula Trisakti (Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan) untuk menginspirasi perjuangan dekolonisasi dalam segala bentuknya, bukan hanya untuk Indonesia tapi untuk perjuangan kemerdekaan negeri-negeri terjajah lainnya, sebagaimana secara fundamental ditegaskan dalam deklarasi “Dasasila Bandung” yang dihasilkan oleh Konferensi Asia-Afrika 1955.

Isi Dasasila Bandung yang dicetuskan dalam Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 selengkapnya, adalah: 

(1) Menghormati hak-hak asasi manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; 

(2) Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa, 

(3) Mengakui persamaan semua etnis dan persamaan semua bangsa, besar maupun kecil; 

(4) Tidak melakukan campur tangan atau intervensi dalam masalah-masalah dalam negeri negara lain; 

(5) Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian maupun secara kolektif, yang sesuai dengan  Piagam PBB;

(6) Tidak menggunakan peraturan-peraturan dan pertahanan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar, dan tidak melakukan campur tangan terhadap negara lain;

(7)  Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu Negara;

(8)  Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitraseatau penyelesaian masalah hukum, ataupun lain-lain cara damai, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB;

(9) Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama; dan 

(10) Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Namun, selama kepemimpinan langsung Presiden Soekarno (1958-1965), pemerintah Indonesia belum berhasil mengatasi apa yang saya istilahkan “kutukan kolonial”, yang secara lantang pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno pada sidang pleno pertama Dewan Perantjang Nasional (1959) di Istana Negara, 28 Agustus 1959. Kutukan itu, pertama, “Indonesia mendjadi pasar pendjualan daripada produk-produk negeri pendjadjah atau negeri-negeri luaran di tanah air kita”; kedua, “Indonesia mendjadi tempat pengambilan bahan-bahan pokok bagi industriil kapitalisme di negeri pendjadjah atau negeri-negeri lain”, dan ketiga, “Indonesia mendjadi tempat investasi daripada modal-modal pendjadjah dan modal-modal asing jang lain”. 


Presiden Soekarno berpidato dalam sidang pleno pertama Dewan Perantjang Nasional, 28 Agustus 1959.

Kutukan kolonial ini menemukan rezim penguasa politik yang mewujudkannya, rezim otoritarian-militer Orde Baru (1966-1998), yang kembali menjalankan politik agraria kolonial, khususnya dengan mempraktekkan kembali azas domein Negara. Sejarah politik agraria di Hindia-Belanda memberi pelajaran bahwa pemberlakuan azaz domein negara, baik dengan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Peraturan Pemerintah mengenai Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), dan Agrarische Wet 1870 (Undang-undang Agraria 1870), menyatakan klaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak dapat dibuktikan adanya hak kepemilikan pribadi (eigendom) di atasnya maka menjadi domain pemerintah. Pemberlakukan pernyataan domein (domein verklaring) ini merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan dari negara-negara Eropa dapat memperoleh hak-hak pemanfaatan yang eksklusif atas tanah/wilayah di tanah jajahan, membentuk rezim tenaga kerja kolonial yang khusus,  dan menjadi sistem-sistem agraria kehutanan dan perkebunan, yang menghasilkan komoditas ekspor (Tauchid 1952/2009:32-90; Peluso 1992:44-67, Simbolon 1995/2007:155-7, Fauzi 1999:33-37).  

Rezim penguasa Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto yang berkuasa melalui peralihan kekuasaan yang berdarah-darah di  tahun 1965-1966, kembali memberlakukan azas domein ini. Melalui sistem perizinan (lisensi) yang serupa dijalankan oleh pemerintah kolonial, badan-badan pemerintahan pusat mengkapling-kapling tanah-air Indonesia untuk konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan, dan mengeluarkan paksa penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Tiap-tiap rezim kebijakan dari badan pemerintah pusat memiliki instrumen hukum dan birokrasi pemberian lisensi yang berbeda-beda. Nama, definisi, dan bentuk dari lisensi-lisensi itu berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan keperluan perusahaan untuk mengakumulasikan kekayaan, karakteristik sumber daya alam yang disasar, dan rancangan pemerintah untuk mengkomodifikasi atau mengkonservasi sumber daya alam. Untuk menyebut beberapa saja, misalnya, rezim perizinan pertambangan di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memiliki “Kontak Karya” dan “Kontrak Karya Pertambangan”; rejim perijinan kehutanan di Kementerian Kehutanan[1] memiliki “Hak Pengusahaan Hutan” dan “Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri” yang kemudian diganti menjadi nama “Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Alam (IUPHHK-HA)”, dan “Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Tanaman (IUPHHK-HT)”; rejim perizinan kehutanan untuk konservasi memiliki kekhususan bentuk yakni “Taman Nasional”, “Cagar Alam”, “Taman Wisata Alam”, dll., hingga yang baru adalah  “Izin Pemanfatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam (IUPHHK-Restorasi Ekosistem)”. Badan Pertanahan Nasional (BPN) memiliki instrument utama “Hak Guna Usaha (HGU)” untuk alokasi tanah untuk perkebunan-perkebunan.  Setelah rezim otoritarian sentralistik tumbang di tahun 1998, dan mulainya kebijakan otonomi daerah dimulai, Bupati memiliki kewenangan dalam pemberian ijin lokasi dan ijin usaha pertambangan skala kecil.  

Pemerintah sering sekali memasukkan tanah pertanian rakyat, hutan-hutan yang masuk wilayah-wilayah adat, ladang dan kebun-kebun wana tani dimasukkan ke dalam kategori kawasan hutan negara atau tanah Negara. Status kepemilikannya bergantung pada kelompok kategori di mana wilayah rakyat itu berada. Ketika lisensi-lisensi itu mencakup tanah, hutan, lading dan kebun rakyat, maka mulai lah masalah itu aktual sebagai perampasan tanah. Konflik-konflik agraria pun meletus ketika rakyat menolak disingkirkan oleh perusahaan pemegang izin, dan melakukan perlawanan secara terus-menerus. Konflik-konflik ini merebak di mana-mana dan menjadi kronis, karena pemerintah terus saja berfungsi melayani dan melindungi kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan, dan tidak ada mekanisme penyelesaian konflik yang tepat untuk menjamin tercapainya keadilan agraria (Rachman 2013).

Hubungan rakyat dengan tanah airnya telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pengkaplingan wilayah secara fisik, hingga penggunaan wacana dan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipunyai rakyat. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk mengklaim dan menguasai kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih oleh pemerintah dan diberikan ke perusahaan-perusahaan itu, maka mereka menerima akibat yang sangat nyata, yakni menjadi sasaran tindakan kekerasan secara langsung maupun melalui birokrasi aparatus hukum negara.

Pengkapling-kaplingan dan pemutusan hubungan kepemilikan rakyat dengan tanah airnya itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu, lalu tanah dan kekayaan alam itu masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik.  Jadi, perubahan dari alam menjadi “sumber daya alam” ini berakibat sangat pahit bagi rakyat petani yang harus tersingkir dari tanah airnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan. Ini adalah proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja dan hidup di tanah airnya. Orang-orang ini hanya akan mengandalkan tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota pasca kolonial, yang dijuluki planet of slums (Davis 2006), banyak dilahirkan oleh proses demikian ini. 

Saat ini yang sedang menjadi andalan pemerintah adalah pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, lapangan terbang beserta aerocity, kompleks industri pengolahan, dsb. Berbeda dengan yang lain, infrastruktur memiliki fungsi khusus melayani komoditas untuk bersirkulasi, khususnya dengan jalan darat atau kereta api, pelabuhan, atau bandara udara. Komoditas ditransportasikan dari satu tempat ke tempat lainnya hingga sampai ke konsumen. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang masif ini ikut menyumbang juga pada penyingkiran rakyat dari kampung halamannya.

Sejak masa kebijakan otonomi daerah dimulai tahun 2000, pemerintah daerah lebih tertarik memburu rente yang dapat diperolehnya, baik dari pembagian keuangan pemerintah pusat, maupun dari pemberian izin-izin. Bertarung dalam pemilu kepala daerah menghabiskan biaya yang sangat mahal. Jarang ada kepala daerah yang rela sepenuhnya berkorban dan mengabdi sepenuhnya. Kebanyakan kepala daerah yang terpilih perlu punya cara memeproleh penghasilan untuk menutupi pengeluarannya ketika bertanding dalam pemilukada itu. Cara itu disediakan oleh kewenangan kabupaten dan propinsi dalam pemberian surat izin lokasi, surat izin usaha pertambangan, surat ijin prinsip, dan sebagainya. 

Alih-alih mengurus masalah kampung halaman rakyat, negara memfasilitasi pemenuhan kepentingan akumulasi kekayaan segelintir orang, sebagaimana disinyalir oleh Karl Marx dan Frederich Engels (1948) dalam pamfletnya yang termasyhur Manifesto of The Communist Party bahwa “(t)he executive of the modern state is nothing but a committee for managing the common affairs of the whole bourgeoisie. Tentu saja, keberadaan negara yang bersifat melulu instrumental terhadap perluasan sistem kapitalisme ini sesungguhnya bertentangan dengan maksud pembentukan Republik Indonesia, sebagaimana dicita-citakan pada masa pendiriannya. Justru sebaliknya, negara diidamkan sebagai kekuatan pembebas rakyat. 

Barang-barang yang diperjualbelikan dihasilkan di pabrik-pabrik yang lokasinya jauh dari tempat barang itu dijual. Semua barang itu dimungkinkan hadir melalui rantai komoditas (commodity chain) yang merupakan bagian dari sirkuit produksi-sirkulasi-konsumsi. Indonesia menduduki posisi khusus dalam sirkuit ini. Istilahnya, terdapat pembagian kerja yang telah diatur secara internasional (international division of labour), di mana posisi dan andil Indonesia dalam tata perekonomian global itu sungguh penting untuk dicermati. Kebijakan industri mengatur kehadiran pabrik-pabrik yang menghasilkan barang dagangan sesuai standar dan secara massal. Semua itu diatur dalam perjalanan industrialisasi Indonesia secara nasional, yang telah melintasi beberapa kali periode. Kita telah mengalami suatu pengalaman industrialisasi substitusi impor (ISI) yang dimulai awal tahun 1970-an hingga industrialisasi orientasi ekspor (IOE) pada tengah tahun 1980-an. Muaranya adalah pembangunan kawasan-kawasan industri khusus (special economic zone), yang menjadi lokasi pabrik-pabrik, dengan sistem produksi kapitalis yang mendasarkan diri pada cara pabrik model Fordism. Istilah Fordism ini berasal dari nama industrialis Amerika Henry Ford, yang membangun pabrik mobil Ford dengan suatu sistem sosial dan ekonomi modern berbasiskan bentuk produksi massal industri yang memiliki standar. Teknik dalam manajemen industrinya disebut sebagai assembly line dengan alat “ban berjalan” dan tugas buruh yang repetitif. 

Di akhir tahun 1990-an, setelah Presiden Jenderal Soeharto turun tahta dan rezim otoritarian Orde Baru kehilangan cengkeramannya, sebagai respon manajemen industri terhadap gerakan-gerakan serikat buruh yang semakin menguat, dimulailah mekanisme sub-contracting, tidak memerlukan suatu hubungan industrial yang memberi peran bagi serikat-serikat buruh, terutama dalam kontrak kerja yang mencakup kondisi kerja dan penentuan nilai upah. Lebih dari itu, suatu model manajemen industri baru, yang disebut sebagai post-fordism, yakni suatu sistem manajemen industri untuk produksi barang dagangan yang massal melalui mekanisme yang lebih lentur dalam skala produksi, spesialisasi, lokasi produksi, dan sebagainya, dengan basis penggunaan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi baik dalam rantai pasokan untuk produksi (supply chain) hingga sirkulasi barang dagangan sampai ke konsumen. 

Model paling akhir dan terbaru adalah yang disebut sebagai “jaringan produksi internasional” (international production network), atau juga disebut sebagai jaringan produksi global (global production network). Jaringan produksi internasional/global berlangsung dalam skala besar dan sedang dilayani oleh negara, termasuk melalui pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur dalam kerangka pelaksanaan Comprehensive Asia Development Plan (CADP) dan Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (ERIA 2009, 2010, Pemerintah Indonesia 2011). Pelajarilah apresiasi dan kritik atas rancangan MP3EI sebagai Master Plan untuk mereorganisasi ruang bagi perluasan investasi dan pasar di Asia melalui pembangunan proyek infrastruktur raksasa (Rachman dan Januardi 2014).

Konsep-konsep baru, seperti koridor ekonomi, konektivitas, kawasan ekonomi khusus, dan lainnya, diandalkan untuk meyakinkan pembaca mengenai keharusan proyek-proyek infrastruktur raksasa dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah bagi investasi perusahaan-perusahaan untuk menghasilkan dan mensirkulasikan komoditas global. Pada gilirannya Indonesia hendak dijadikan bagian dari “Pabrik Asia” (Factory Asia). Istilah Factory Asia  ini dibuat untuk menunjukkan suatu model baru dalam produksi komoditas yang berisi jaringan-jaringan produksi tingkat regional yang menghubungkan pabrik-pabrik di berbagai wilayah ekonomi Asia yang memproduksi bagian-bagian dan komponen-komponen yang kemudian dirakit, dan produk akhirnya dikirim ke wilayah-wilayah “ekonomi maju” (ADB 2013: 2).

 

Penutup

Betapa ironisnya bahwa sebagian dari wajah Indonesia masih mengidap “kutukan kolonial” setelah hampir 70 tahun berjalan melewati “jembatan emas” kemerdekaan. Sesungguhnya, “kutukan kolonial” itu, oleh Soekarno dikontraskan dengan keperluan untuk secara leluasa “menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”. Secara jelas hal ini dipidatokan oleh Ir. Soekarno dalam Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan 1 Juni tahun 1945, setelah memaknai kemerdekaan Indonesia sebagai “jembatan emas”. Kita sudah menyelesaikan revolusi nasional yang menghasilkan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, dan perjalanan Indonesia masa lalu membentuk kebiasaan-kebiasaan yang menyulitkan kita mencapai cita-cita kemerdekaan itu.  

Mengapa kita mesti leluasa? Karena, dalam memikirkan mengenai masa depan Indonesia, kita tidak boleh dikekang dan dikungkung oleh cara-cara penyelenggaraan pemerintahan yang lalu. Cara-cara yang menggagalkan itu tidak perlu diulang. Indonesia seharusnya tidak lagi berkedudukan yang melanggengkan kedudukan Indonesia sebagai “Een natie van koelies enen koelie onder de naties”, "A nation of coolies and a coolie amongst nations”. 

Bagaimana kita bisa membebaskan diri dari “kutukan kolonial” ini?  Sudah pasti tidak mudah. Soekarno pernah mengingatkan bahwa 

“kesoelitan-kesoelitan hendaknja tidak mendjadi penghalang daripada tekad kita, tidak mendjadi penghalang daripada kesediaan kita oentoek teroes berdjoang dan teroes bekerdja, bahkan kesoelitan-kesoelitan itu hendaknja mendjadi satoe tjamboekan bagi kita oentoek berdjalan teroes, bekerdja teroes oleh karena memang diharapkan daripada kita sekarang ini realisasi daripada penjelenggaraan daripada masjarakat jang adil dan makmoer jang telah lama ditjita-tjitakan oleh rakjat Indonesia”. 

 

Datar Pustaka

 

Asian Development Bank. 2013. Beyond Factory Asia: Fuelling Growth in a Changing World. Mandaluyong City, Philippines: Asian Development Bank, 2013. 

Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.

De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History. Value Struggles and Global Capital. London: Pluto Press.

Fauzi, Noer. 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerja sama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Farid, Hilmar. 2005. “Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66”. Inter-Asia Cultural Studies 6(1):3-16

Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.

_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

_____. 2006. Neo-liberalism as Creative Destruction. Geogr. Ann., 88 B (2): 145–158

Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. 1, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth, Penguin Books.

Peluso, Nancy Lee. 1992. Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press, 1992.

Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.

Rachman, Noer Fauzi. 2012. Land Reform dari Masa ke Masa. 1945-2012. Yogyakarta: STPN Press. 

______. 2013. “Mengapa Konflik-Konflik Agraria Terus-Menerus Meletus di Sana Sini?” Sajogyo Institute‘s Working Paper No. 1/2013. Bogor: Sajogyo Institute. http://www.sajogyo-institute.or.id/article/mengapa-konflik-konflik-agraria-terus-menerus-meletus-di-sana-sini (unduh  pada 29 Juni 2013).

Rachman dan Januardi (eds). 2014. MP3EI. Master Plan Percepatan dan Perluasan Krisis Sosial Ekologi Indonesia. Bogor: Sajogyo Institute

Simbolon, Parakitri T.  1999. Menjadi Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Tauchid, Mochammad. 1952/3. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia.Jilid 1 dan 2. Jakarta: Penerbit Tjakrawala.

_____. 1952/2009. Masalah Agraria sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia, Yogyakarta : STPN Press, 2009

 



[1] Sejak tahun 2014, Presiden Jokowi mengubahnya menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

No comments:

Post a Comment