Dari Mollo untuk Indonesia


Dimuat sebagai Pengantar dalam untuk buku Siti Maimunah (2015) Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim. Upaya Rakyat Memulihkan Alam yang Rusak. Jakarta: Gramedia.

 

Noer Fauzi Rachman[1]

Ingatan saya pada Mollo adalah bentang alam dimana kuda-kuda "dipelihara secara liar". Istilah “dipelihara secara liar” menunjuk pada suatu cara beternak yang khusus sehubungan dengan ekosistem savana: kuda-kuda ditandai khusus, suatu tanda kepemilikan pada bagian tertentu di tubuhnya, lalu mereka dilepas di alam liar, dan ditangkap saat dibutuhkan. Cara mereka menangkap pun unik. Salah satunya saya pernah dipertunjukkan oleh Petrus Almet, seorang tetua adat disana, ia melakukan penangkapan itu dengan cara memanggil mereka. Ia naik ke bukit kapur dan berdiri di atas tempat yang tinggi melihat bentang savana itu, dan saatnya tiba, lantunan suara melengking keluar dari mulutnya untuk memanggil kuda-kudanya. Antara dirinya dan kuda-kuda itu bagaikan telah ada suatu tali ikatan seperti seseorang dipanggil namanya, lalu menengok dan menghampiri si pemanggil. Inilah penanda keintiman manusia dengan alam yang sekaligus penanda tautan sebuah kepemilikan. 

Ingatan saya pada Mollo juga pada suatu babak perlawanan penduduk, tengah tahun 1997 hingga tumbangnya rejim Suharto di bulan Mei 1998, terhadap perusahaan nasional kehutanan, Perhutani[2], yang memagari tanah pengembalaan, savana, mereka untuk dijadikan bagian kawasan hutan tanaman industri (HTI), yang sesungguhnya adalah perkebunan kayu eukaliptus. Pemagaran ini dilakukan secara paksa dan tanpa ijin mereka sebagai empunya savana itu. Dalam administrasi kehutanan, savana itu merupakan bagian dari kawasan hutan negara, dan atas dasar kategorisasi ini Menteri Kehutanan mengunakan kewenangan legalnya untuk mengeluarkan lisensi (disebut: ijin) pemanfaatan hutan Negara itu untuk perusahaan-perusahaan yang akan melakukan akumulasi kekayaan. Setelah savana itu dipagari oleh Perhutani, sapi-sapi itu tak lagi bisa menikmati rerumputan di wilayah yang telah dipagari, dan lambat laun menjadi kelaparan. Selain itu, sejumlah penduduk tak lagi dapat membuat ladang untuk pertanian jagung dan sayur mayur pada tempat-tempat tertentu yang agak subur di savana itu. Kematian sejumlah sapi dan kesulitan akses atas tanah untuk pertanian membuat penduduk marah dan melawan sedemikian rupa hingga bisa merobohkan pagar itu secara keseluruhan. Keberhasilan mereka mengusir Perhutani dari wilayah mereka tidak lepas dari momentum jatuhnya rejim otoritarian Suharto, dan kerja jaringan gerakan rakyat yang didukung oleh aktivis-aktivis agraria. 

Sebagai salah satu pemimpin dari para aktivis agraria dalam organisasi jaringan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), saya terus belajar dengan terlibat langsung dalam konflik-konflik agraria di seantero pelosok Nusantara, termasuk di Mollo. Kasus-kasus konflik agraria membimbing saya mengerti lebih baik masalah perebutan tanah dan sumber daya alam yang menjadi pokok kehidupan rakyat. Rakyat Mollo bergerak melawan Perhutani itu dengan alasan yang sangat fundamental bahwa savana itu adalah kepunyaan mereka, dan perusahaan kehutanan itu mengabaikan mereka sebagai pemilik, dan menghentikan akses mereka atas tanah yang berakibat menurunkan kesejahteraan mereka secara drastis.

Semua pelajar sejarah politik agraria di negeri-negeri terjajah menyadari sepenuhnya bagaimana kontrol atas tanah, tenaga kerja dan spesies merupakan salah satu soko guru dari kolonialisme. Suatu sistem produksi kapitalistik kolonial hanya bisa dibangun di atas dasar hubungan kepemilikan yang baru. Yang terlebih dahulu harus dilakukan penguasa kolonial adalah operasi pemisahan hubungan kepemilikan rakyat dengan tanah airnya. Sistem produksi kapitalistik ini sesungguhnya membutuhkan kekuasaan negara yang berwatak kolonial untuk menciptakan hubungan kepemilikan yang baru itu, dengan terlebih dahulu merusak hubungan kepemilikan yang telah melekat pada tanah dan sumber daya alam itu. Negara lah yang melakukan “operasi bedah”, termasuk dengan  menggunakan peraturan-peraturan perundang-undangan yang melepaskan “ikatan nyawa” antara rakyat dengan tanah airnya, dan menjadikan tanah air itu sekedar sebagai sumber daya untuk produksi komoditas yang menghasilkan kekayaan bagi perusahaan-perusahaan itu.

Tiga mekanisme dasar politik agraria yang memungkinkan perampasan tanah dan sumber daya alam kepunyaan rakyat itu, yakni: negarai-sasi, penyangkalan dan kriminalisasi. Tanah air rakyat dikategorikan sebagai tanah/hutan milik negara. Kemudian, dengan memberikan lisensi-lisensi untuk perusahaan-perusahaan, pemerintah sekaligus menyangkal status rakyat sebagai pemilik tanah airnya itu. Pada gilirannya, sejumlah pemimpin dan warga dikriminalkan dan aksesnya atas tanah air itu dianggap ilegal.Tiga mekanisme di atas, yakni negarai-sasi, penyangkalan dan kriminalisasi, merupakan warisan kebiasaan praktek kelembagaan politik agraria kolonial semenjak Undang-undang Kehutanan 1865 dan Undang-undang Agraria 1870, yang ironisnya terus berlanjut hingga sekarang.  

Rakyat yang tadinya hidup lekat dengan alam itu (baik sebagai empunya, penjaga dan pemelihara, atau petani penggarap dan pengumpul hasil hutan, atau mereka yang hidup sebagai penghuni itu) dilepaskan hubungan kepemilikannya, dan pada gilirannya kemudian dihempaskan keluar dari kampung halamannya menjadi pengangguran yang hidup hanya mengandalkan tenaga saja. Bahkan, kemudian mereka sendiri pun sekedar diperlakukan sebagai barang dagangan, dan bersama barang dagangan lainnya, bersirkulasi bergantung pada bagaimana pasar itu bekerja, termasuk dengan membawanya menjadi bagian dari pasar dunia. Ini adalah bagian pembentuk proses yang disebut oleh Karl Marx dengan istilah primitive accumulation.[3]

Setelah mereka tidak dianggap layak sebagai penyandang hak atas tanah airnya itu, mereka pun dianggap tidak cukup memadai untuk dipekerjakan dalam industri-industri yang mereka bangun. Karenanya, setelah mereka dilepaskan hubungannya dengan tanah, mereka pun dihempaskan, dan dibiarkan sengsara dan mengurus dirinya sendiri hingga mati.  Ini lah suatu bentuk letting die policy (kebijakan pemerintah membiarkan rakyatnya mati), suatu bentuk baru rasisme, yang oleh dari yang Michel Foucault disebut sebagai state racism.[4]

Para pelajar sejarah politik agraria biasanya mahfum bila pemerintah kolonial yang melakukan hal demikian itu, sebab mereka tak lain dan tak bukan adalah penguasa dan sekaligus pengumpul keuntungan dengan cara melindungi dan menyuburkan perusahaan-perusahaan itu dan mereka tidak pernah memikirkan yang dijajah. Namun, sungguh ironis, bila pemerintah Indonesia memperlakukan alam dan manusia Indonesia sebagaimana pemerintahan kolonial memperlakukannya. Inikah yang disebut oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk-bentuk baru kolonialisme? Negara paska-kolonial gagal mendekonstruksi referensinya tetapi malah melanjutkan cara pandang, doktrin-doktrin, dan praktek-praktek kolonial. 

Lebih lanjut, selain masih dilanjutkannya pola-pola lama komodifikasi alam dan manusia yang berwatak kolonial, bertumbuhan ragam praktek yang sangat kreatif sehubungan dengan motif-motif hingga teknologi neoliberalisasi yang mampu membuat komodifikasi alam dan manusia itu menjadi sesuatu yang dapat diterima, alamiah dan dianggap sudah seharusnya demikian. Sesungguhnya komodifikasi alam dan manusia itu bertentangan dengan kodrat manusia, dan karenanya kita menyaksikan hegemoni kekuatan pasar itu tidak bisa sempurna dan komplet, karena perlawanan terhadap gerakan pasar itu ada di sana-sini – ini disebut perlawanan Polanyian.[5]

Banyak rakyat Indonesia harus berjuang sendiri menghadapi praktek-praktek komodifikasi alam dan manusia yang dilakukan proyek-proyek dari perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga pemerintah paska-kolonial, maupun badan-badan internasional itu. Hanya sedikit saja dari perlawanan-perlawanan itu yang bisa didampingi oleh para aktivis gerakan, dan memberikan fasilitas dan dukungan jaringan dan sumber daya kepada para pemimpin rakyat yang sedang berjuang menghadapi komodifikasi itu dalam konteks iklim yang berubah. Dalam konteks ini, membaca buku karya Maimunah “Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim” sungguh membuat saya terharu. Hanya sedikit saja kalangan aktivis yang benar-benar tekun, berdedikasi, dan cakap menghasilkan karya-karya etnografis seperti ini. 

Saya merasa terhormat dan diistimewakan bisa terlebih dahulu membaca naskah ini dan menuliskan sejumlah kata-kata penghargaan. Di tangan Maimuniah, etnografi bukan sekedar strategi penelitian yang melibatkan aneka ragam teknik mulai dari obervasi, partisipasi, wawancara, percakapan, mengumpulkan dan membaca arsip-arsip. Maimunah menunjukkan etnografi adalah suatu bentuk politik keterlibatan (political engagement) yang terus-menerus saling belajar bersama dengan Mama Aleta Baun dan rakyat Mollo lainnya yang hidup memperjuangkan tanah-airnya. Rakyat Mollo memang terus memperjuangkan tanah air mereka dan menantang dan menentang komodifikasi alam. Namun lebih dari itu, saya mengerti bahwa yang ditampilkan oleh rakyat Mollo adalah perjuangan tanah air dalam arti kedaulatan rakyat atas tanah air mereka. Ini adalah tindakan recommoning, yakni merebut dan membentuk kembali penguasaan kolektif atas suatu wilayah kepemilikan bersama menghadapi kekuatan-kekuatan yang bekerja untuk proyek-proyek komodifikasi alam.

Di tangan Maimunah dan kawan-kawannya, etnografi yang berfungsi kritik juga menjadi proyek estetik indah. Etnografi juga adalah suatu siasat untuk mempengaruhi melalui sajian yang indah, yang meliputi penulisan, visualisasi, dan penceritaan. The politic and poetic of ethnography tersaji dengan pas pada buku ini. Buku ini adalah sajian etnografis yang indah sebagai taktik untuk mengajak pembaca berempati sehingga bisa ikut serta melebur dalam dan ikut mendukung klaim bahwa tindakan perlawanan rakyat sungguh dapat dijadikan sebagai tanda dari kesalahan dan kegagalan komodifikasi alam dan manusia. Saya bersaksi menikmatinya dari kover hingga halaman terakhir. Kata sambutan ini berjudul "Dari Mollo untuk Indonesia"; sesungguhnya dapat pula dijuduli "Dari Maimunah untuk Indonesia". 

Kaum terdidik di Indonesia musti berterima kasih pada Maimunah yang telah memberikan suatu contoh yang dapat diteladani bagaimana pengetahuan mengenai kehidupan rakyat dihasilkan dari kerja sehari-hari sebagai aktivis, dan kemudian kritik disajikan secara indah dan menohok. Karenanya, saya sangat menganjurkan pembaca meluangkan secara khusus waktu untuk membaca tulisan ini secara seksama, menikmatinya dari awal sampai akhir. Buku ini layak diperlakukan demikian. Keindahan dan kepentingan klaim yang disajikan secara terpadu dan dapat dinikmati sebagai metode pengingat atas keperluan akan  membangun rasa senasib, sepenanggungan, dan setujuan. 

Karya Maimunah ini adalah suatu cerita/narasi tandingan dan sekaligus teguran untuk siapapun yang bekerja di pemerintahan, mereka yang mengurusi proyek-proyek pembangunan, dan mereka yang beekrja di perusahaan-perusahaan. Janganlah mengkomodifikasi alam dan tenaga kerja dengan mempromosikan pembentukan sistem produksi kapitalis sebagai jalan kemajuan yang membelah antara mayoritas rakyat yang akan dihempaskan dengan segelintir mereka yang terus-menerus menumpuk-numpuk kekayaan. Buku ini sesungguhnya adalah suatu panggilan untuk keberanian dan kecerdasan kita mengusahakan upaya emansipasi menghilangkan kekangan-kekangan rakyat untuk mengaktualisasikan dirinya dan sekaligus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas rakyat serta sekaligus kesempatan belajar memulihkan krisis sosial ekologis yang dihadapinya.

Selamat menikmati.

 

Minneapolis, Minnesota, 19 Februari 2015

 



[1] Noer Fauzi Rachman, PhD., adalah Direktur Eksekutif Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia. Pengajar Mata Kuliah “Politik dan Gerakan Agraria”, Program S2 Sosiologi Pedesaan, Institute Pertanian Bogor; dan Penulis buku Land Reform dari Masa Ke Masa. Perjalanan Kebijakan Pertanahan Indonesia 1945-2012. Yogyakarta: Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, 2013.

[2] Perhutani adalah suatu perusahaan milik pemerintah berbentuk perum, yang merupakan penguasa wilayah hutan yang menguasai lebih dari sepertiga wilayah pulau Jawa. Sejarah keberadaannya sebagai suatu sistem agraria, dan penguasaannya atas tenaga kerja, tanah, dan spesies kayu jati, serta perlawanan penduduk terhadap dominasi itu, bisa dipelajari dari karya Nancy Peluso 1992 Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press. Terjemahannya dilakukan oleh Landung Simatupang, Nancy Peluso 2006 Hutan Kaya, Rakyat Melarat. Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di jawa. Yogyakarta: Komphalindo. 

[3] Lihat: Karl Marx (1967) Capital.  Vol. l, Part 8, Chapter26, "The Secret of Primitive Accumulation."

[4] Michel Foucault (1997) Society Must Be Defended: Lectures at the Collège de France, 1975-1976. New York: New Press.

[5] Polanyian adalah suatu istilah yang mencerminkan teori Karl Polanyi bahwa masyarakat akan melancarkan gerakan perlawanan untuk melindungi diri dari komdifikasi alam dan tenaga kerja. Lihat Karl Polanyi (1944) Great TransformationThe Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

No comments:

Post a Comment