Noer Fauzi Rachman*)
Dimuat sebagai Noer Fauzi Rachman (2015) "Quo Vadis Desa Pasca-PNPM Mandiri. Undangan Mengurusi Ruang-ruang Pertarungan dan Perundingan untuk Membangun Infrastruktur dan Kekuatan Gerakan Sosial" https://www.jogloabang.com/sites/default/files/dokumen/rachman-2015-quo-vadis-desa-pasca-2.pdf
Kami yang meneliti program-program penanggulangan kemiskinan, baik melalui pemahaman yang merentang dalam waktu (diakronis) maupun dalam ruang (sinkronis), mahfum bahwa Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri) berada dalam suatu babak, yang ada mulanya dan ada akhirnya, dan perlu dihubungkan dengan konteks perluasan hubungan-hubungan sosial kapitalis secara lebih luas dan menyejarah. Pemahaman semacam itu akan membebaskan kita dari perangkap melihat PNPM Mandiri hanya sebagai “suatu program nasional” yang dibentuk oleh strategi pemerintahan nasional untuk “menanggulangi kemiskinan.”
Dengan menempatkannya demikian, kita akan sampai pada pertanyaan bagaimana awal mula PNPM Mandiri dan perjalanannya, bagaimana konteks internasional dari proyek pembangunan itu, dan berada pada konteks perkembangan kapitalisme Indonesia macam bagaimana, serta bagaimana cara rezim penguasa nasional memfungsikannya?
Krisis finansial Asia yang dimulai sejak Juli 1997 merembet dan melanda hampir seluruh Asia, tanpa kecuali Indonesia, bermuara pada kemelut politik yang berujung mundurnya Jenderal Soeharto sebagai salah satu diktatur penguasa rezim nasional terlama di negara-negara pasca-kolonial. Situasi sosial-politik di desa dan kota di Indonesia pasca-runtuhnya rezim otoriter Soeharto pada 1998 menjadi alas bagi kebijakan-kebijakan pembangunan yang baru dalam menanggulangi kemiskinan. Secara generik, bersama desentralisasi, social fund adalah suatu aransemen dari badan pembangunan internasional (termasuk Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional) menghadapi kekisruhan sosial yang meluas, termasuk food riot, agar pemerintah dapat berhasil mewujudkan tatanan pengaturan yang baru secara nasional (lihat, World Bank 2001). Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang berhasil menjalankan tugasnya menunjukkan pemerintah bisa bekerja secara nasional menjangkau hampir seluruh sektor yang berhubungan dengan kemiskinan: beras untuk orang miskin, pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan pekerjaan, kredit pertanian pangan, pemberdayaan masyarakat, dan sebagainya.
Evolusi lebih lanjut dari social fund, Bank Dunia memprogramkan Community Driven Development (CDD) secara luas melalui (a) Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan (b) Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP).
Setelah lima tahun implementasi, Susan Wong dan Scott Gugenheim (2005:253- 267) menulis bahwa CDD dinilai mampu meningkatkan kualitas kerangka kerja desentralisasi dengan cara:
- Lebih mendorong partisipasi warga negara, suara, dan akuntabilitas pemerintahan lokal;
- Menyediakan cara yang efektif untuk menyampaikan pelayanan yang amat dibutuhkan dalam konteks desentralisasi dengan biaya yang lebih efektif dan waktu yang lebih efisien; serta
- Secara langsung menginformasikan dan membentuk aturan desentralisasi.
Keampuhannya menata ulang kepemerintahan lokal itu menjadi salah satu dasar mengapa Pemerintah Indonesia pada 2007 mengangkutnya menjadi “program nasional” di bawah Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) dan diberi nama Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Sejak 2007 dan seterusnya, PNPM Mandiri menjadi program andalan untuk pengentasan kemiskinan menjangkau 2.827 kecamatan dengan alokasi anggaran sekitar Rp 3,6 triliun. Pada 2008, jumlah yang dijangkau menjadi 3.999 kecamatan dengan anggaran yang disediakan sekitar 13 triliun rupiah. Sementara pada 2009 diagendakan seluruh kecamatan di Indonesia yang berjumlah sekitar 5.263 kecamatan akan mendapat PNPM Mandiri.
Pada 2007, bantuan langsung sebesar Rp 750 juta-1,5 miliar per kecamatan, sedangkan pada 2008 besar bantuan per kecamatan sudah ada yang mencapai Rp 3 miliar (Menko Kesra, 2008). Hingga akhir masa kepemimpinan SBY-Boediono pada 2014, secara total PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan telah mengalokasikan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebesar Rp 74,46 triliun. Sedangkan dana BLM P2KP dan PNPM Mandiri Perkotaan tahun 2008-2013 sebesar Rp 9,124 triliun dan pada 2014 dana yang dialokasikan sebesar Rp 1,380 triliun. Kedua jenis program tersebut diklaim “telah menghasilkan berbagai dampak positif terhadap peningkatan kapasitas, kesejahteraan, dan kemandirian masyarakat” (Tim PNPM 2014)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono memperoleh manfaat besar dari PNPM Mandiri, di tengah situasi di mana kapitalisme dalam berbagai wujud bekerja sebagai sistem produksi, sirkulasi, dan konsumsi berkembang secara meluas difasilitasi pemerintah pusat dan daerah sedemikan rupa, sehingga kesenjangan distribusi pendapatan di Indonesia mencapai puncaknya (Indeks Gini hampir mencapai 0,41).
Banyak ilustrasi bisa ditunjukkan bagaimana masyarakat miskin, baik di perdesaaan maupun perkotaan, yang telah dibiasakan dengan proyek-proyek PNPM Mandiri bukan hanya menjadi sadar mengenai persoalan birokrasi pemerintah yang sentralistik, birokratis, otoriter, pemburu rente, koruptif, dan juga keharusan mereka beralih menjadi pemerintah yang lebih partisipatif, responsif, demokratis, transparan, dan akuntabel. Lebih dari itu mereka menempa diri menjadi komunitas- komunitas perdesaan dan perkotaan yang dengan prinsip-prinsip baru itu bisa tampil menjadi kekuatan pembaru yang cocok dengan mekanisme pasar tanpa mempersoalkan perkembangan kapitalisme Indonesia dalam bentuk sistem produksi, sirkulasi, dan konsumsi yang menciptakan ketidakadilan sosial, kesenjangan ekonomi, dan kerusakan lingkungan yang semakin parah.
Lebih lanjut, kita perlu menengok kajian kritis Frederick Rawski yang menyimpulkan bahwa proyek-proyek CDD “bukan hanya bertujuan memaksimalisasi efisiensi penyaluran dana internasional serta menyokong lembaga-lembaga pemerintahan lokal, melainkan juga memengaruhi cara orang- orang berfikir mengenai hubungan sosial dalam komunitas mereka dan antar- komunitas, negara, dan lembaga-lembaga internasional” (Rawski 2005:920). Rawski menunjukkan bagaimana struktur administratif PPK membuka persaingan di antara kelompok-kelompok individu dalam proses penyampaian proposal proyek untuk perolehan dana. Semua itu, “mencerminkan penekanan neoliberal terhadap enterpreneurship, inovasi individual, dan kompetisi pasar bebas .... Norma-nilai demikian itu menyertakan sejumlah prinsip, seperti akuntabilitas (dilaksanakan melalui pelbagai aturan maupun prosedur yang mensyaratkan transparansi dalam pengambilan keputusan), dan hak partisipasi individu (yang dilaksanakan melalui aturan maupun prosedur seperti voting, sistem kuota, dan kewajiban konsultasi)” (Rawski 2005:942).
Kita juga perlu menengok karya Tania Li (2009), The Will to Improve, yang menunjukkan bagaimana proyek-proyek tersebut berhasil “memerintah melalui komunitas” dalam rangka mengatur ulang aspirasi, keyakinan, perilaku, tindakan, dan hal-hal mental lainnya—semua adalah bagian dari upaya menempa rakyat yang sebelumnya tidak/belum memiliki posisi maupun karakteristik sebagai pelaku pasar (non-market subject).
Sementara Toby Carroll menjelaskan penciptaan subjek demikian itu: “membangun kembali kewargaan dari “bawah ke atas” (bottom up), yang tetap kompatibel dengan pasar liberal, dengan memakai dana berbasis-utang untuk infrastruktur ekonomi dan sosial produktif sebagai insentif. Pendek kata, “para pendukung PPK menggunakan teknologi politik “pembangunan partisipatif” sebagai alat pengantar yang jelas berbeda dan sementara waktu efektif untuk memperluas hubungan sosial kapitalis dan lembaga-lembaga yang ditempatkan oleh ortodoksi pembangunan”.[1]
Saat ini, elite pemerintahan nasional yang terpilih melalui Pemilu 2014 dan ditunjuk Jokowi-JK memimpin lembaga-lembaga pemerintahan nasional telah menghentikan kontrak kerja para fasilitator PNPM Mandiri pada 31 Desember 2014, dan mengklaim punya cara baru dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang secara eksplisit hendak meletakkan desa sebagai arena, aktor, dan perspektif, untuk mengurus orang miskin.
Pertanyaan penting dan menantang untuk diurus secara serius adalah bagaimana status dan dinamika desa sebagai arena, aktor, dan perspektif dalam konteks perluasan hubungan sosial kapitalis di bidang produksi, sirkulasi, dan konsumsi yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lain. Siapakah yang tertarik meneliti bagaimana semua itu secara aktual mewujud dan berhubungan dengan perubahan agraria dan krisis sosial-ekologis yang secara berbeda-beda melanda beragam tempat di Nusantara?
Berikut adalah kerangka konseptual dari krisis sosial ekologis yang dapat dijadikan rujukan yang diberikan oleh Hendro Sangkoyo (2014):
Dalam kesempatan di makalah ini, kami ingin mengerjakan kembali alat kerja analitik yang dikembangkan oleh Gillian Hart (2001), khususnya mengenai pembedaan antara Pembangunan (dengan huruf “P” besar), atau Development,[2] sebagai “suatu proyek intervensi paska-perang dunia kedua terhadap negara-negara ‘dunia ketiga’ yang berkembang dalam konteks dekolonisasi dan perang dingin (cold war), dengan pembangunan (dengan “p” kecil) yang merupakan pembangunan kapitalis, capitalist development, sebagai suatu rangkai proses sejarah yang dipenuhi dengan beragam kontradiksi dan secara geografis perkembangannya tidak sama antara satu lokasi dengan lokasi lainnya” (Hart 2001:650 yang merujuk di antaranya pada karya Cowen and Stanton 1996; lihat juga Hart 2004, 2006).[3]
Bagi kami, dengan menempatkan PNPM dalam konteks pembangunan kapitalis, menjadi jelas terlihat bahwa badan-badan pemerintah daerah dan kelompok-kelompok komunitas sedang ditempa melalui cara sedemikian rupa sehingga mereka menjadi pelaku-pelaku yang diatur dan mengatur dirinya sendiri sebagai neoliberal subject – yang dibutuhkan bagi kelanjutan dari pembangunan kapitalis yang lebih luas. Bagaimana proses ini bisa terlihat adalah satu hal, sedangkan bagaimana proses ini mencapai tujuannya adalah hal lain. Tidak ada jaminan bahwa skenario itu akan dengan sendirinya bisa terlihat dan dapat tercapai.
Argumen utama yang dikemukakan disini adalah bahwa yang dapat dipastikan adalah tersedianya berbagai ruang pertarungan dan perundingan (spaces of contestation and negotiation) baru dimana berbagai kekuatan sosial – baik yang berasal dari kekuatan dari pihak masyarakat politik, pengusaha kapitalistik, organisasi gerakan sosial -- dapat aktif terlibat, atau juga dapat menolak, atau tidak memiliki kapasitas untuk terlibat, membentuk, mengisi ruang-ruang itu, serta untuk selanjutnya secara dialektis dibentuk kembali oleh arah, dinamika dan hasil pertarungan dan perundingan beragam kekuatan-kekuatan tersebut. Ruang-ruang itu senantiasa bergerak dan berubah dari waktu-ke waktu.
Merupakan salah satu tantangan dari kita para pelaku utama gerakan sosial untuk mengikuti dan menganalisa secara kongkrit pergerakan menyempit dan meluasnya ruang-ruang itu, rute perjalanan berbagai kekuatan sosial dan cara bagaimana berbagai kekuatan itu bekerja dalam ruang-ruang itu dari waktu ke waktu, dan menghubungkan kesemuanya itu dengan aktualisasi pembangunan kapitalis yang secara geografis dan historis berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Daftar Pustaka
Carrol, Toby. 2009. “'Social Development' as Neoliberal Trojan Horse: The World Bank and the Kecamatan Development Program in Indonesia”. Development and Change 40(3):447–466.
_____. 2010. “Pembangunan Sosial sebagai ‘Kuda Troya’ Neoliberal. Bank Dunia dan Program Pengembangan Kecamatan Prisma 29(3):84-101.
Cowen, Michael and Robert W. Shenton. 1996. Doctrines of Development. London: Routledge
Craigh, David and Doug Porter. 2006. Development Beyond Neoliberalism? Governance, Poverty Reduction and Political Economy. London: Routledge.
De Angelis, Massimo. 2000. " Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation." in Working Paper No. 29. Departement of Economics. University of EastAnglia London. Available at http://homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/PRIMMACCA.htm.
—. 2001. " Marx and Primitive Accumulation: The Continuous Character of Capital’s ‘Enclosures’." The Commoner 2 (September) (available at www.thecommoner.org).
—. 2004. "Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures." Historical Materialism 12:57-87.
—. 2007. The Begining of History. Vaule Struggles and Global Capital. London: Pluto Press.
Hart, Gillian. 2001. “Development Debates in the 1990s: Culs de sac and Promising Paths.” Progress in Human Geography 25, 605–14.
___. 2004. “Geography and Development: Critical Ethnography.” Progress in Human Geography 28:91–100
___.2006. "Denaturalizing Dispossession: Critical Ethnography in the Age of Resurgent Imperialism." Antipode 38:977-1004.
Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
___. 2004. "The 'New' Imperialism: Accumulation by Disposession." in Socialist Register 2004, edited by L. Panitch and C. Leys. New York: Monthly Review Press.
—. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.
—. 2006. Space of Global Capitalism: Toward a Theory of Uneven Geographical Development. London: Verso. Guggenheim, Scott, Tatag Wiranto, Yogana Prasta, and Susan Wong. 2004. "Indonesia's Kecamatan Development Program: A Large-Scale Use of Community Development to Reduce Poverty." in Scaling Up Poverty Reduction: A Global Learning Processes and Conference. Shanghai.
Li, Tania Muray. 2009. The Will to Improve. Governmentality, Development, and the Practice of Politics. Durham, Duke University Press.
Menko Kesra 2008. Pedoman Umum PNPM Mandiri. Jakarta: Kementerian Kordinator Kesejahteraan Rakyat. Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press.
Tim Kordinasi PNPM Mandiri. 2014. Paket Informasi PNPM Mandiri 2014. Jakarta: Tim Kordinasi PNPM Mandiri. Rawski, Frederick. 2005. "World Bank Community-Driven Development Programming in Indonesia and East Timor: Implications for the Study of Administrative Law." New York University Journal of International Law and Politics 37:919-951.
Sangkoyo, Hendro. 2014. “Krisis Sosial Ekologi”. Salah satu bagan dalam file presentasi untuk “Pelatihan Etnografi untuk Litbang Kompas”. Jakarta, Desember 2014
Wong, Susan and Scott Guggenheim. 2005. "Community-Driven Development: Decentralization's Accountability Challenge." Pp. 253-267 in East Asia Decentralizes: Making Local Government Work, edited by T. W. Bank. Washington: The World Bank.
World Bank. 2001. "Promoting Good Governance with Social Funds and Decentralization." PREM Notes Public Sector 51.
*) Noer Fauzi Rachman, PhD., adalah Direktur Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi Agraria Indonesia. Pendiri dan Ketua Dewan Pengarah Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan (BP2DK).
[1] Toby Carroll, “Pembangunan Sosial sebagai ‘Kuda Troya’ Neoliberal“, dalam Prisma, Vol. 29, No. 3, Juli 2010, hal. 86.
[2] Sudah menjadi pegangan dalam pengajaran Studi Pembangunan bahwa Pembangunan adalah suatu proyek internasional merupakan suatu bentuk intervensi yang khusus yang dijalankan secara masif setelah Perang Dunia Kedua di negara-negara yang baru merdeka. Perang Dingin maupun hubungan internasional setelah itu sangat kuat memberi pegaruh pada bentuk-bentuk dari proyek Pembangunan (Lihat misalnya Craigh and Porter 2006, McMichael 2008).
[3] Untuk memahami pembangunan kapitalis yang tidak sama (uneven capitalist development), kami merasa penting untuk menunjukkan pentingnya apa yang Karl Marx kemukakan mengenai ‘akumulasi primitif’, yang baru-baru ini memperoleh tempatnya kembali melalui penafsiran baru dari Michael Perelman (2000), Massimo de Angelis (2000, 2001, 2004, 2007) dan David Harvey (2003, 2004, 2005, 2006). Kami menyambung dengan pandangan Paul Cammack (2001a, 2001b, 2002, 2003, 2004) yang menghubungan proses ‘akumulasi primitive’ ini dengan peran proyek-proyek Bank Dunia. Dengan demikian kita punya dasar teoritik yang kuat untuk mengundang untuk memeriksa bagaimana proyek-proyek itu berhubungan dengan proses-proses akumulasi primitif itu dalam rangka di satu pihak menghasilkan konsep-konsep yang kongkrit, dan hubungan-hubungan di antaranya, yang lebih mampu menjelaskan kenyataan-kenyataan yang baru berkembang.
No comments:
Post a Comment