Termuat dalam Warta Kota 18 Mei 2015, dan dapat dilihat pada situs https://wartakota.tribunnews.com/2015/05/18/gerakan-buruh-paska-pemberontakan-yang-gagal
Judul : Buruh, Serikat dan Politik, Indonesia pada 1920an – 1930an
Penulis : John Ingleson
Penerbit : Marjin Kiri
Cetakan : 1, 2015
Tebal : 521 +xx halaman
ISBN : 978-979-1260-44-2
Kekaguman kita pada sejarawan banyak dihubungkan dengan kemampuannya menghadirkan cerita tentang suatu kejadian, pelaku, situasi, semangat, gagasan atau kondisi material di suatu masa lampau. Pahit getir ketekunan para peneliti sejarah mengumpulkan sumber-sumber sejarah hingga merekonstruksinya menjadi cerita itu, yang biasanya jarang terlihat, terbayar impas ketika ia mengetahui pembaca dapat menikmati cerita yang dihadirkannya itu, termasuk untuk memberinya inspirasi, cara pandang, dan kemampuan memberi makna atas situasi saat ini.
Para aktivis perburuhan, para mahasiswa yang sedang studi gerakan sosial, dan publik umum pencinta sejarah, tidak akan menyesal membeli buku penting karya baru dari John Ingleson ini. Membaca buku ini bakal menciptakan rasa puas, syukur dan kagum. Pembaca akan merasa diistimewakan oleh layanan sejarawan Indonesianist kelas wahid yang meneliti politik dan gerakan perburuhan Indonesia, dan penerjemah terampil, Andi Achdian, yang juga adalah sejarawan, serta kerja prima dari penerbit Marjin Kiri.
Membaca naskah ini membuat kita masuk dalam alur cerita dan melihat peristiwa-peristiwa mengalir, dari satu adegan ke adegan berikutnya dalam panggung sejarah bangsa paska pemberontakan gagal Partai Komunis Indonesia (PKI) 1926 hingga sebelum pemerintah pendudukan militer Jepang pada Maret 1942. Buku ini terjemahan dari Workers, Unions and Politics: Indonesia in the 1920s and 1930s (terbit tahun 2014), dan merupakan lanjutan dari buku In Search of Justice: Workers and Unions in Colonial Java, 1900-1926 (terbit tahun 1986). Fragmen dari karya utuh itu sudah dipublikasi di berbagai artikel dalam dua buku lainnya, Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Buruh dan Perkotaan Masa Kolonial (2004), dan Perkotaan, Masalah Sosial, dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial (2013) – yang keduanya diterbitkan oleh Komunitas Bambu.
Pemberontakan gagal PKI 1926 berakibat merosotnya militansi dari para pemimpin serikat buruh. Tindakan represif pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap PKI dan serikat-serikat buruh di hingga awal tahun 1927 menimbulkan gelombang ketakutan. Kehidupan gerakan buruh di serikat-serikat berikutnya praktis tanpa pemogokan dan gejolak. Namun, alih-alih kemudian menjadi mati di saat Depresi besar melanda semua penduduk di Hindia Belanda 1930an, malahan setelah di zaman sulit itu berlalu justru lahir tokoh-tokoh baru. Ceritanya dimulai dengan andil orang-orang seperti Raden Panji Suroso, memulai aktivismenya di gerakan perburuhan menjadi ketua Serikat Buruh Pegawai Pribumi Departemen Pekerjaan Umum cabang Probolinggo di tahun 1914 hingga menjadi pimpinan Persatuan Vakbond Pegawei Neneri (PVPN); si Raja Mogok, Suryopranoto yang menjadi pimpinan Serikat Buruh Pabrik Gula (PFB) 1930, hingga pimpinan serikat-serikat buruh yang beranggota luas termasuk Hindromartono dari Batavia, Djoko Said dari Bandung dan Ruslan Wongso dari Surabaya.
Sejak itu zaman itu menjadi Zaman Bergerak, yang ditandai bangkitnya kembali kehidupan partai-partai nasional, elite-elite nasional yang hadir dan berperan di Volksraad, suatu pseudo dewan perwakilan rakyat di Hindia Belanda, ragam barang cetakan seperti koran, majalah, dan pamphlet, hingga pertemuan-pertemuan umum dimana pidato-pidato yang berisi kritik dan anjuran yang membakar gelora massa. Pembaca disajikan di lembar demi lembar buku itu: situs demi situs, pelaku satu ke pelaku lainnya, wilayah satu ke wilayah lainnya, hingga cara bagaimana isu satu ke isu lainnya dikedepankan, termasuk hak-hak buruh untuk memperoleh jam kerja yang layak, kesehatan, upah minimum, penggajian dan perpajakan yang adil, lamanya waktu lembur, jatah dana pensiun, jaminan tempat tinggal yang nyaman, dan akses untuk pendidikan anak.
Selain diajak diajak memahami pentingannya gerakan buruh, di “Zaman Bergerak” 1926-1942 ini, kita diajak melihat “kawah candra dimuka” dari para elite pemimpin politik yang kemudian berkiprah di masa paska proklamasi Kemerdekaan 1945: dari Wakil Presiden Muhammad Hatta, Sjahrir, Sukiman, S.K. Trimurti, Suroso, Hindromartono, Muhammas Jusuf, Suprapto, dan lainnya. Mereka menjadi trampil berpolitik setelah ditempa dalam lebih 25 tahun gerakan buruh. Meski “bersatu karena menghadapi musuh bersama”, dan “bertengkar setelah musuh bersama menghilang” sudah jadi pepatah yang umum diketahui, tetapi maknanya menjadi terasa sungguh mendalam setelah membaca lebih 500 halaman bagaimana andil gerakan buruh sebelum masa kemerdekaan bagi kelahiran elite pemimpin politik paska-kemerdekaan. Perbedaan garis politik, cita-cita kemasyarakatan, dan orientasi ideologis semakin kentara setelah posisi-posisi di pemerintahan Negara yang baru merdeka menjadi arena perebutan.
Gerakan buruh adalah sumber utama dari elite kepemimpinan nasional, sesuatu yang mungkin tidak ada lagi di zaman sekarang ini. Mestinya, setelah membaca cerita-cerita luar biasa dari “Zaman Bergerak 1926-1942” ini, kita bisa bertanya apa yang membuat kita tidak lagi menemukan adanya jalur dari gerakan buruh ke elite kepemimpinan nasional seperti dulu lagi. Saat ini, boleh dikata sangat sedikit elite nasional yang memiliki perspektif politik perjuangan yang didasari pengalaman gerakan kaum buruh (dan juga dari perjuangan agraria kaum petani).
Hubungan antara serikat-serikat buruh dengan partai-partai politik sepertinya bersitegang terus-menerus. Mereka yang berjarak dengan partai politik dan meyakini bahwa perjuangan serikat buruh adalah untuk peningkatan kesejahteraan (istilahnya serikat buruh berorientasi ekonomisme), berhadapan dengan mereka yang ingin membesarkan partai-partai dengan membangun kekuatan massa melalui serikat buruh. Yang terkahir ini biasanya disebut serikat buruh yang berorientasi politik (political trade union). Tentulah partai politik bekerja untuk memenuhi kepentingan bisa menang pemilu dan berkuasa dengan menempatkan orang dalam parlemen hingga pucuk pemerintahan pusat dan daerah. Para pemimpin serikat buruh yang bergabung dalam barisan partai politik meyakini bahwa ketika ada pemimpin politik yang berasal dari serikat-serikat buruh, maka ia bisa mempromosikan dan menjaga agar kebijakan-kebijakan pemerintah agar menguntungkan kepentingan kesejahteraan buruh. Sementara itu, kritik dari kubu serikat buruh yang berorientasi kesejahteraan adalah bahwa serikat buruh sering kali cuma sekedar dijadikan konstituen ketika pemilihan umum, atau dimobilisasi untuk tujuan menyokong atau mendestabilisasi pemerintahan yang berkuasa.
Pertentangan antara perjuangan ekonomisme dari serikat buruh, dan masalah pragmatisme dalam serikat buruh yang politis, akan terus mengisi dinamika gerakan buruh. Demikian pula pertarungan antara serikat-serikat buruh yang itu sendiri yang berbeda partai politiknya. Siapakah yang meneliti masalah ini sekarang?
*) Noer Fauzi Rachman, PhD., adalah peneliti utama di Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi Agraria Indonesia, dan pengajar mata kuliah Politik dan Gerakan Agraria, di program Studi Sosiologi Pedesaan, Institute Pertanian Bogor (IPB).
No comments:
Post a Comment