Kerangka Analitik Krisis Sosial Ekolologi

Sumber Gambar: https://www.jatam.org/author/hendro-sangkoyo/


Hendro Sangkoyo (1998, diperbaiki
nya 2015), “Kerangka Analitik Krisis Sosial Ekolologi,” sebagaimana dimuat dalam Noer Fauzi Rachman (2015) Panggilan Tanah Air. Jakarta: Badan Pemberdayaan Prakarsa Desa dan Kawasan (BP2DK).

Sumber awal: Hendro Sangkoyo (1998). Pembaruan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ekologis Pengurusan Daerah. Kertas Kerja No. 9. Konsorsium Pembaruan Agraria

 

 “Pemerintahan” sebagai mitos yang harus diterima sebagai ketentuan bagi rakyat, yang nyaris diterima begitu saja dan dianggap bersifat alami. Dalam mitos yang sekarang masih melekat sebagai wacana publik itu, pemerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang bagaimana mengelola sumber-sumber alam, orang, barang, dan uang, dengan para pengelola negara sebagai pemain panggungnya, dan rakyat sebagai pengamat dan pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat, paling jauh, adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan. Ajakan pembaruan cara dan agenda pemerintahan dengan demikian bersifat mudah-mudahan, penuh harap pada para pengelola negara yang baru serta pada ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor nyaring dari bawah panggung tentang reformasi, yang tetap takzim pada akar kata itu: perintah. 

Pengurusan merupakan suatu konsep tandingan yang sangat akrab bagi penutur bahasa Indonesia, dan mengacu kepada konsep pokok yang lebih jitu: urus. Setelah sejarah membuktikan kegagalan dari pengelolaan perubahan tanpa-rakyat selama tiga puluh tahun, penggantian orang, perombakan dekorasi panggung dan/atau skenario baru saja mengandung resiko kegagalan yang sama, selama rakyat sendiri tidak aktif dan tidak berkesungguhan mengurus apa yang menjadi persyaratan kehidupannya.

Otonomi pemerintahan daerah dari campur-tangan berlebihan pemerintah pusat di Jakarta, serta besarnya ruang pengaruh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada proses pemerintahan daerah pada saat ini, merupakan situasi persimpangan yang genting bagi rakyat: meneruskan tradisi pertunjukan sebagai penonton dalam panggung-panggung yang lebih kecil, atau bersama-sama berperan sebagai pemain, mengurusi apa yang hendak dimainkan bersama. Keputusan yang harus rakyat tentukan pada saat ini bukan saja bergantung pada kehendak sendiri, melainkan juga pada keterdesakan waktu untuk memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang selama lebih dari satu generasi yang lampau telah mengasingkan rakyat dari wilayah hidupnya.

            Kita musti mengurus secara sungguh-sungguh memeriksa dan memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang menjadi syarat-syarat keberlangsungan hidup rakyat. Hendro Sangkoyo membuat kerangka agar kita dapat bekerja mengenali dan menangani krisis sosial ekologis melalui pemahaman baru atas tiga golongan masalah: (a) keselamatan dan kesejahteraan rakyat, (b) keutuhan fungsi-fungsi faal ruang hidup, dan (c) produktivitas rakyat.

A.        Keselamatan dan Kesejahteraan Rakyat

Keselamatan rakyat, pada skala orang per orang maupun rombongan, tidak pernah kita urus sebagai syarat yang harus dipenuhi dan dijaga baik oleh para pengurus negara dan alat-alatnya. Hilangnya nyawa, ingatan, tanah halaman, harta benda, nafkah, kesempatan, kehormatan milik rakyat lebih banyak diakibatkan oleh proses penyelenggaraan negara selama tiga puluh tahun terakhir ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa selama keselamatan rakyat tidak kita persyaratkan sebagai agenda pengurusan masyarakat dan wilayah. Keselamatan rakyat sudah saatnya menjadi salah satu agenda inti dari proses pembaruan ketentuan-ketentuan kenegaraan, termasuk pembaruan hukum, dan dari penyelenggaraan fungsi-fungsi politik seperti pengelolaan produksi dan keuangan. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa mengurus keselamatan rakyat harus menjadi tindakan kolektif sehari-hari dari lembaga-lembaga politik terkecil pada aras desa hingga kabupaten. 

Kesejahteraan rakyat, meskipun senantiasa menjadi semboyan, program, pos anggaran, dan indikator, tidak pernah kita urus sebagai syarat dari kerja birokrasi negara. Tak terpisahkan dari konsep pokok “keselamatan”, rakyat selama ini “mendapatkan” dua akibat perubahan terencana pada keadaan kesejahteraannya, yang saling bertolak belakang: pelayanan kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan, sekaligus perampasan kesejahteraan lewat berbagai mekanisme, baik langsung maupun tidak, seperti politik fiskal, perampasan tanah dan tempat tinggal rakyat sebagai syarat investasi produksi, dan politik konstruksi fisik sarana pelayanan umum di pusat-pusat mukiman.

Pemenuhan syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat di sini merupakan cara bagi rakyat khususnya pada aras desa untuk ikut menentukan arah dan besaran perubahan yang menyangkut dirinya secara teratur dan terorganisir. Proses pemenuhan persyaratan tersebut di atas menuntut tiga syarat (dua hal dalam syarat pertama dapat dipenuhi langsung pada tingkat kesepakatan bersama): 

(1)       pemetaan berkala mengenai keadaan persyaratan bagi rakyat desa dan agenda tindakan bersama untuk mengoreksi kegagalan pemenuhan;

(2)       usaha kolektif untuk mengatasi kesulitan rakyat memenuhi syarat keselamatan/kesejahteraannya sendiri; dan 

(3)       pelayanan publik lewat peralatan kenegaraan termasuk dana dan ketentuan hukum;

Prioritas utama agenda tindakan pada saat ini adalah perumusan dan penyepakatan persyaratan keselamatan dan kesejahteraan setempat, serta penerapan ketiga proses di atas dalam suatu proses belajar bersama yang harus melibatkan warga desa, legislator daerah (DPRD kabupaten) dan pengurus-pengurus negara di daerah (pemerintah kabupaten).

B.        Keutuhan Fungsi-Fungsi Faal Ruang Hidup

Hilangnya sumber-sumber air bersama, gundulnya wilayah-wilayah dataran tinggi dan curam yang genting kedudukannya dalam daur tata air setempat, peracunan dan pemiskinan hara tanah karena cara produksi tani yang mementingkan hasil jangka pendek, atau karena kegiatan penambangan, pengeruhan dan pendangkalan aliran sungai, hilangnya sumber-sumber hayati perairan pesisir, adalah contoh nyata dari tidak terpenuhinya kelangsungan “pelayanan alam” bagi kehidupan yang dikandungnya, yang bersifat mendorong pengawetan bahkan peluasan pemiskinan rakyat khususnya di desa, dan merupakan ancaman jangka panjang terhadap syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat.

Kata “pelayanan alam” sendiri telah mengalami evolusi, dari kondisi material yang memungkinkan berkembang dan terbaruinya kehidupan di sebuah bentang alam (dalam masa hidup kita, dapat disebut sebagai kehidupan simbiotik dari tumbuhan dan hewan, termasuk kehidupan spesies manusia), menjadi “kegiatan produksi nilai,” di mana keberadaan air, hara tanah, oksigen, nitrogen, karbon, biota, bahkan “pemandangan indah,” diperlakukan sebagai sebuah kelas dalam sistem klasifikasi industrial, setara dengan perdagangan grosir, binatu, atau reparasi dan semir sepatu. Lebih jauh, dalam empat dekade terakhir, rasionalitas publik tengah disubversi menjadi logika keberlanjutan produksi nilai, misalnya ketika kendali publik atas daur reproduksi air tawar dipersamakan dengan “monopoli”, dan oleh karenanya harus dihapuskan untuk memungkinkan persaingan bagi perusahaan air pribadi/swasta. “Pelayanan alam” dibubuhi nilai tukar, dan karenanya diperlakukan sebagai barang untuk dijualbelikan. Logika kebutuhan air untuk pertanian pangan hendak disetarakan dengan logika kebutuhan air untuk kapal tanker, pusat belanja atau hotel, untuk memudahkan penentuan harga. Hutan direduksi keberadaan materialnya sebagai onggokan zat karbon yang terkandung dalam pohon dan tanahnya, dihitung bobot matinya, dan dibubuhi harganya dalam ukuran kilogram atau ton. Apa-apa yang berharga untuk dilindungi dan apa-apa yang bisa rusak dari bentang-alam hutan beserta penghuninya dicomot sebagian kecilnya saja, yaitu terurainya zat karbon ke atmosfir, seolah-olah kita semua adalah benda mati yang boleh diperlakukan sebagai seonggok zat karbon. Itulah sebabnya, segala sesuatu dalam skema jual-beli dan penciptaan nilai atas nilai-uang dari zat karbon, termasuk dalam program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan adalah penghinaan terhadap logika kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini, apa yang tengah dirusak dengan kecepatan penuh oleh logika neoliberal dari pengurusan publik sekarang bukanlah ketersediaan air, lahan atau bahan-bahan alami, melainkan syarat keberlangsungan fungsi-fungsi faal infrastruktur ekologis dari sebuah ruang hidup, beserta ikatan menyejarahnya dengan masyarakat manusia di situ.

Selama empat puluh tahun terakhir, proses penjalaran kerusakan alam setempat maupun pencegahan atau perlindungannya berjalan terlepas dari proses pengurusan keselamatan dan kesejahteraan serta produktivitas rakyat maupun dari proses politik desa. Wilayah-wilayah yang seharusnya dikelola bersama untuk dicegah proses kerusakannyaseperti di wilayah berhutantelah dijadikan sebagai kompleks-kompleks berpagar dan berpatok kekuasaan negara (tanah negara, hutan negara, dll.) yang bahkan tidak boleh disentuh, apalagi dimanfaatkan oleh rakyat setempat. 

Ketika pencurian besar-besaran terhadap segala yang bersifat ‘milik negara’, menjadi kesepakatan tidak tertulis di antara pengurus negara setempat dan pemilik modal pribadi, untuk berbagai maksud dan tujuan, maka akibatnya wilayah-wilayah perlindungan yang eksklusif pun turut menjadi sasaran utama. Tidak berlakunya konsep ‘kepentingan bersama’ dan ‘milik bersama’ menjadi pelancar penjarahan atas wilayah-wilayah yang seharusnya dimanfaatkan atau dilindungi secara hati-hati. Penanganan dengan kekerasan negara lewat tindakan polisionil dan peradilan, maupun pengerahan dana untuk pemecahan teknis seperti penanaman pohon, telah terbukti tidak mampu menghentikan laju perusakan apalagi menumbuhkan keinginan rakyat untuk memulihkannya.   

Tandingan terhadap penciptaan wilayah-wilayah negara itu adalah penciptaan wilayah-wilayah kelola bersama. Kepentingan rakyat atas kelangsungan pelayanan alam, serta kebutuhan pemanfaatan bahan terbarui dari hutan, perbukitan dan dataran tinggi, daratan dan perairan pesisir, bukan saja harus diakui secara resmi, tetapi justru harus menjadi tumpuan dari usaha mempertahankan kelangsungan pelayanan alam atau pemulihan wilayah-wilayah rusak yang sering dinamai ‘lahan kritis’ itu. 

Sampai hari ini, instrumen terpenting dalam operasionalisasi logika ekstraksi nilai dari setiap jengkal bentang alam adalah praktik institusional pembongkaran dan perkiraan nilai komersial atas sumber daya alam, dari tenunan ruang-ruang hidup beserta infrastruktur ekologisnya, menjadi “ruang” sebagai kategori stok kapital. Dalam sistem dan praktik bertutur mengenai ruang macam itu, pemilahan fungsi-fungsi sosial-ekologis dari bentang daratan dan perairan digantikan dengan pertimbangan lokasi dalam angan-angan memaksimalkan surplus dari rerantai penciptaan nilai dan rerantai produksi/pasokan/konsumsi barang. Hilangnya imajinasi sosial-ekologis tentang pulau, yang telah nyaris paripurna digantikan dengan sistem kepercayaan pada garis-garis batas juro-politik, bukanlah tanda kurangnya kecerdasan semata, tetapi adalah produk dari pengerahan kepatuhan politik terhadap rezim penataan ruang tanpa asas keselamatan manusia dan kelangsungan ruang-hidupnya. Di setiap pulau di kepulauan Indonesia, bermakna tidaknya agenda pembaruan politik tani sepenuhnya bergantung pada ada tidaknya agenda pembaruan pikiran tentang duduk perkara kota di dalam logika keberlangsungan sosial-ekologis pada skala pulau.

Mendesakkan pilihan ini sebagai ketentuan negara atas dasar kesepakatan rakyat adalah prioritas nomor satu bagi badan legislatif di daerah.

C.        Produktivitas Rakyat

Selama empat puluh tahun terakhir dapat kita nyatakan dengan tegas bahwa produktivitas rakyat, khususnya pekerja tani, tidak pernah beranjak dari kedudukannya yang amat-sangat rendah untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraannya sendiri. Bertentangan dengan penjelasan yang menyesatkan bahwa produktivitas kerja adalah cerminan sederhana dari tingkat teknologi dan efisiensi produksi, rendahnya produktivitas pekerja tani merupakan akibat dari penekanan sistematis atas nilai tukar produk petani, serentak dengan penyedotan tabungan rakyat lewat pengurangan atau penghapusan subsidi input produksi termasuk penyediaan pengairan dan angkutan rakyat, politik pengembangan wilayah dan sarananya yang diskriminatif terhadap bentuk-bentuk tradisional hak dan kuasa rakyat atas tanah dan wilayah serta terhadap kemampuan lokal untuk menghasilkan bahan pangan. Naiknya produktivitas pertanian pangan maupun pertanian lainnya—karena tambahan input per satuan luas lahan—tidak menjadikan naiknya produktivitas kerja tani, bahkan memperbesar kebutuhan untuk kerja sampingan nontani. Selama politik produktivitas pertanian tidak mendorong naiknya nilai kerja tani dan nilai produk tani, dan selama masing-masing daerah tidak menerapkan syarat-syarat perlindungan pada tanah-tanah rakyat desa dari pembelian atau pengambilalihan untuk berbagai fungsi-fungsi non pertanian seperti pariwisata, rakyat desa khususnya pekerja tani tanpa tanah akan tetap miskin, dan proses pemusatan hak milik dan kuasa atas lahan di desa akan terus merambat luas, tanpa atau dengan pendudukan kembali/reklamasi hak atas tanah-tanah pertanian maupun redistribusi tanah. 

Produktivitas rakyat desa karenanya harus kembali dipelajari, dibaca, dan ditakar dalam bingkai persoalan setempat (desa atau antar desa). Demikian juga, tindakan sistematis meningkatkan produktivitas rakyat hanya masuk akal apabila tindakan tersebut berguna bagi rakyat desa khususnya pekerja tani untuk memenuhi syarat keselamatan dan kesejahteraannya. Dalam neraca desa, naiknya produksi hasil tani per hektar, begitu pula tersedianya barang-barang indikator kesejahteraan yang biasa digunakan (listrik, jalan raya, televisi, dan sebagainya) harus serta merta selalu dikoreksi dengan ada tidaknya penggusuran baru atau perampasan hak yang belum dipulihkan kembali, kemiskinan kronis, ketidakmampuan warga memenuhi syarat keselamatan, kesehatan atau pendidikan yang dibutuhkannya, atau naiknya pengeluaran tunai untuk mencukupi syarat kesehatan maupun pelayanan sosial sehari-hari seperti pendidikan anak.

Produktivitas rakyat juga harus dikoreksi pada tingkat abstraksi. Gagasan produktivitas yang mengacu semata pada proses penciptaan nilai pakai atau tukar telah terbukti mengasingkan satu kesatuan ekonomik seperti rumah tangga dari yang lain dan menjadikan desa sebagai wilayah pemusatan pemilikan atau penguasaan tanah. Produktivitas desa dan peningkatannya menjadi identik dengan penguatan golongan terkaya di desa. Sebagai tandingannya, produktivitas seharusnya mengacu pada kemampuan kolektif rakyat di satu wilayah terorganisir/wilayah kelola, untuk menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraannya. Efisiensi produksi, perbandingan modal dengan output, dan berbagai takaran produktivitas lain dengan demikian tunduk pada batasan tandingan tersebut di atas. Dalam pengukuran berkala, pembesaran polarisasi kuasa di desa menjadi pembagi dalam fungsi produktivitas setempat; begitu pula kegagalan pemenuhan syarat keselamatan atau kesejahteraan dari warga, atau kegagalan perlindungan alam. Hanya dengan syarat produktivitas sedemikianlah demokratisasi politik desa menjadi kepentingan mendasar bagi rakyat sendiri, bukan pusat-pusat kuasa di ibukota politik. 

Pemeriksaan mengenai ketiga masalah kelangsungan hubungan rakyat dan alam di atas sangat bergantung pada bagaimana tata kuasa, tata guna, tata produksi dan tata konsumsi yang ada dengan mencapai pemenuhan persyaratan sosial dan ekologis tersebut.

 

 

TKSA

TGSA

TP

TK

Tata Kuasa Sumber-Sumber Agraria

Tata Guna Sumber- Sumber Agraria

Tata Produksi

Tata Konsumsi

K K

Keselamatan dan Kesejahteraan

 

 

 

 

K P A

Kelangsungan Pelayanan Alam

 

 

 

 

P R

Produktivitas Rakyat

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

            

Bagan di atas dapat kita gunakan sebagai panduan pokok untuk mengelola proses perubahan untuk suatu wilayah kelola. Batas-batas wilayah kelola dalam hal ini akan harus ditentukan berdasarkan kemudahan bagi rakyat untuk menghimpun informasi tentangnya, dan kemudahan pengelolaannya. Sebagai contoh, syarat keselamatan dan kesejahteraan akan lebih mudah dipetakan dan dikelola dengan menggunakan desa sebagai wilayah kelola. Kelangsungan pelayanan alam dari wilayah berhutan atau perbukitan, karena konfigurasi topografiknya, akan lebih mudah dipetakan dan dikelola oleh beberapa desa sekaligus untuk mencegah fragmentasi tanggung-jawab pengelolaan yang selama rejim yang lampau terjadi secara meluas. Produktivitas rakyat boleh jadi harus dipetakan dalam beberapa jenis wilayah kelola; wilayah produksi, desa, wilayah terdiri dari beberapa desa, dan kabupaten.

            Simpul pikiran terpenting dari panduan pengelolaan perubahan yang mempertimbangkan tata kuasa dan tata guna sumber-sumber agraria dan tata produksi serta konsumsi setempat adalah bahwa sementara hak rakyat untuk hidup layak diakui dan diurus bersama, bentuk-bentuk kepemilikan, kuasa, dan hak atas hasil dari sumber- sumber agraria terutama tanah akan harus selalu terbuka bagi perubahan, sesuai dengan derajat produktivitas bersama pada saat pemetaan berkala, dan sesuai dengan tuntutan pemenuhan syarat keselamatan, kesejahteraan, produktivitas serta kelangsungan pelayanan alam pada saat perumusan ulang ketentuan tata produksi setempat. Kelenturan ketentuan agraria dengan demikian bukan saja harus mempersyaratkan kemajemukan rejim hukum yang mempertimbangkan hak-hak ulayat yang lebih dulu ada di situ, tetapi juga harus mempersyaratkan pengaturan kembali secara berkala tata-kuasa dan tata-guna atas sumber-sumber agraria, semata untuk memecahkan cara pemenuhan persyaratan sosial dan ekologis di sepanjang perubahan. Dilihat dalam jangka waktu panjang, strategi gerakan sosial ini yang dikemukakan di sini akan sangat berguna untuk menghambat proses disorganisasi sosial, gentrifikasi tanah desa, pemusatan aset agraria di tangan laki-laki, putus-kerja, di samping berbagai proses entropik lainnya.*)

 

 

.

 

 

 

Asal-usul Kemiskinan Rakyat Priangan


Noer Fauzi Rachman 

Tinjuan Buku Jan Breman, Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem Priangan dari Tanah Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Obor 2014).

Priangan adalah suatu wilayah agraris yang indah. Penulis masih ingat ungkapan guru penulis di fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, psikolog  M.A.W Brouwer,  lebih dari tiga puluh tahun lalu bahwa "Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum". Ungkapan ini, yang kemudian dipampangkan menjadi suatu grafiti resmi Pemerintah Kota Bandung di jalan Asia Afrika, Bandung, menunjukkan kekagumannya atas keindahan bentang alam dan kekayaan alam yang melimpah. Ungkapan memuji itu dapat membawa pembacanya ke pesona yang melahirkan decak kagum, dan melupakan kepahitan hidup dari rakyat miskin Priangan. Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah, mengapa begitu banyak rakyatnya hidup terbenam dalam kemiskinan terus-menerus? 

Pertanyaan ini muncul dan terus mengganggu saya yang  terbiasa berkeliling di pedesaan pedalaman Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, semenjak tengah 1980-an. Penulis sudah terbiasa untuk bertanya apa gerangan yang menyebabkan kemiskinan yang kronis itu? Apakah penderitaan hidup dalam kemiskinan itu disebabkan karena rakyat Pasundan dilenakan oleh alam yang kaya itu sehingga menjadi “malas”?   

“Mitos Pribumi Malas” itu banyak dipelihara dan terus diedarkan oleh pejabat VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), pemerintah kolonial, hingga pengusaha-pengusaha kehutanan dan perkebunan. Buku bagus karya Syed Hussein Alatas (diterbitkan oleh LP3ES, 1988) berhasil menunjukkan fungsi “mitos pribumi malas” dalam kapitalisme kolonial di Jawa, Melayu dan Filipina, yakni  Mitos itu adalah alat untuk menaklukkan kaum pribumi.  Mitos ini menyalahkan para korban, dan sama sekali tidak dapat diterima. 

Beruntunglah kita, karena ada karya baru dari Jan Breman yang dapat membantu kita memahami asal-usul kemiskinan rakyat itu. Buku yang baru terbit 2010 karya Profesor  Jan Breman dari Universitas Amsterdan, Belanda, itu pada mulanya berbahasa Belanda Koloniaal profijt van onvrije arbeid: het Preanger stelsel van gedwongen koffieteelt op Java, 1720-1870 (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010). Empat tahun kemudian, versi Bahasa Indonesia buku tersebut terbit menjadi  Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem Priangan dari Tanah Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Obor, 2014).  Lalu, pada tahun 2015 terbit, versi bahasa Inggris Mobilizing Labour for the Global Coffee Market: Profits from an Unfree Work Regime in Colonial Java (Chicago: Chicago University Press, 2015).  

Isi buku itu menjelaskan bagaimana kuntungan kolonial didapat dengan cara menaklukan dan memeras penduduk pribumi Priangan. Sejalan dengan tema ini, saya menulis suatu artikel cukup panjang di majalah Sundalana yang akan terbit di awal tahun 2016, bertema “Sketsa Tiga Abad Politik Agraria di Tatar Priangan”. Karya itu bermaksudkan untuk “Nanjeurkeun Obor, jang Nyageurkeun Panyakit Poho Sajarah”. Kalimat “nyaangan deui nu pareumeun obor”, secara harfiah berarti “memberikan cahaya pada mereka yang obornya telah mati”.  Karya itu seperti nyukcruk galur, mapay laratan dengan cara menunjukkan sketsa perjalanan politik agraria di Tatar Priangan semenjak wilayah Priangan diserahkan oleh Mataram ke VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dalam dua kali perjanjian (1667 dan 1705), sebagai balas jasa kepada VOC yang telah membantu penyelesaian perebutan kekuasaan di Mataram. Politik agraria yang dimaksud mencakup cara penguasa negara mengatur siapa-siapa dan bagaimana orang-orang dan badan-badan hukum bisa (dan juga tidak bisa) menguasai, memiliki, menggunakan, memanfaatkan, dan mendapatkan kekayaan dari tanah dan sumber daya alam. Tulisan saya itu mengajak pembaca menelusuri isi politik agraria, kondisi-kondisi yang membentuknya, cara-cara menjalankannya dan akibat-akibat khusus dari padanya, khususnya terhadap kemiskinan petani, dan bentuk-bentuk sistem produksi agraria, seperti perladangan, perkebunan, wana tani, dan sebagainyaTulisan itu cocok untuk menjadi pengiring membaca buku Jan Breman (2014) Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa.

Buku Jan Breman dibuka dengan kutipan pamflet Multatuli, pujangga yang mengkritis sistem penindasan, penaklukan dan eksploitasi kolonial, “Over vrijen arbeif in Netherlandsch Indies en de tegenwoordige koloniale agitatie”. Artinya, “Tentang kerja bebas di Hindia Belanda dan agitasi kolonial” (Multatuli 1862:38-39 sebagaimana dikutip oleh Breman 2014:v).  

“Tetapi disana orang asing dari Barat datang, yang menjadi tuan penguasa negeri itu. Mereka berkeinginan mengambil untung dari kesuburan tanah negeri itu, dan memerintahkan penduduk untuk memberikan sebagian dari tenaga dan waktu mereka guna mengerjakan hal-hal lain – ‘sebenarnya dulu disebutkan tentang padi, yang diperlukan orang Jawa untuk bisa tetap hidup’ – untuk hal-hal lain yang akan lebih banyak mendatangkan keuntungan di pasaran Eropa. Untuk menggerakkan agar orang yang sederhana itu membantu mereka, dibutuhkan tidak lebih dari pada suatu ilmu pemerintahan yang sangat sederhana. Jadi orang hanyalah perlu mendudukkan para Kepala mereka, dengan memberikan mereka sebagian dari keuntungan, … dan berhasillah semuanya dengan sempurna.”

Dilanjutkan oleh ringkasan isi buku yang menohok, “Perlunya Kerja Paksa”, pembaca disajikan pokok-pokok argumen yang menjelaskan bagaimana pengendalian wilayah Priangan tidak dengan cara membangun perusahaan, atau susunan penguasa sendiri, melainkan melalui cara penguasaan tidak langsung (indirect rule). VOC mengawasi dari jarak jauh dan menyerahkan pengawasan melekatnya kepada para penguasa pribumi yang diberikan restu untuk mengikat para petani untuk takluk dan mengabdi kepada mereka. 

VOC adalah armada perdagangan transnasional, terutama membawa kayu dan rempah-rempah dari Hindia Belanda. Sebagai armada perdagangan tentu membawa komditas dari luar Hindia Belanda. Tanaman Kopi merupakan yang dibawa oleh VOC dari India Selatan yang ternyata cocok untuk ditanam di dataran tinggi Priangan. Bukan sekedar armada perdagangan,  VOC juga adalah perwakilan negara  yang diberi mandat pula untuk penguasaan wilayah, termasuk dengan melakukan perundingan hingga berperang. Pada mulanya mereka memborong beli hasil produksi petani, tapi apa yang awalnya berupa transaksi komersial berubah menjadi penyetoran paksa melalui penguasa-penguasa pribumi. Pun ketika VOC bangkrut dan diganti oleh pemerintah kolonial, cara penjajahan melalui penguasaan tidak langsung tetap diteruskan. Pemerintah Hindia Belanda mengambil-alih penguasaan atas wilayah Priangan itu melanjutkan dan  memperluasnya, dan melanjutnya cara memaksa  petani menyerahkan tanah garapannya, berhuma dilarang, penduduk tinggal di desa-desa dan menjadi sumber tenaga kerja membuka hutan, mengerjakan kebun kopi dari menanam, merawat, panen dan menyerahkan panennya. Semua berupa paksaan. Ini semacam perbudakan. Kopi memang pahit buat rakyat Priangan.   

Bayangkanlah situasi berikut:

“Pada 1764 diputuskan sepikul kopi untuk pengapalan harus seberat 126 pon tapi untuk pembelian harus 140 pon; perbedaan itu, yang resminya untuk mengatasi pengeringan, nyatanya adalah untuk keuntungan bagi pegawai. Penambahan diperhitungkan lagi antara gudang lokal dan Batavia, yang dipatok pada 1777 seberat 6 pon dan dengan seenaknya ditambah lagi seberat 14 pon pada 1797, sehingga untuk setiap 126 pon yang dikapalkan bupati harus memasok 160 pon, dan, karena 14 pon adalah harga pembayaran untuk petani, tahun 1797 itu memberikan kepada Kompeni kopi secara cuma cuma. Para bupati mengikuti contoh Kompeni dan menentukan berat popular sewenang wenang mulai dari 240 sampai 270 pon. Ujung-ujungnya untuk setiap pikul seberat 126 pon yang dikapalkan, petani kopi harus memasok 240-270 pon dan dibayar seharga 14 pon.” 

(Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda. Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute, halaman 43) 

Ini buku sejarah. Bab-bab buku ini terdiri dari uraian secara berurut dengan Bab I berisi latar belakang yang menyediakan keterangan bagaimana situasi pemerintah kolonial berancang-ancang dan merencanakan meraup keuntungan.   Bab II menguraikan hubungan petani dan penguasa lokal hingga susunan kekuasaan yang khusus ini bisa dijadikan mesin andalan untuk eksploitasi. Bab III yang paling penting untuk mengerti bagaimana Tanam Paksa dijalankan. Lalu, Bab IV. Transisi dari penguasaan wilayah dan penguasahaan oleh perusahaan dagang (VOC) ke pengusahaan langsung negara. Lalu, bagaimana pemerintah Hindia Belanda melanjutkan yang disebut Preangerstelsel itu (bab V).  Selanjutnya, bab-bab berikutnya (VI sampai IX) menjelaskan aspek-aspek hubungan kerja, tata kelola dan sistem produksi kopi, peraturan-peraturan dalam sistem tanam paksa, dan reorganisasi pemerintahan dan ekonomi masyarakat. Terakhir, bagian penutup, Jan Breman membantah argumen kolonial bahwa “kerja paksa adalah jalan kemajuan”, sebaliknya ia menyimpulkan bahwa:

“Sistem tanam paksa di Jawa telah mendorong kuat pembudidayaan tanaman dagang untuk keperluan pasar dunia antara 1830 dan 1870. Pendapat bahwa ekonomi dan masyarakat kolonial dalam periode singkat ini telah berubah drastis adalah benar tetapi belumlah lengkap jika tidak sekaligus menyertakan pernyataan bahwa sistem tanam paksa sebagai sendi perubahan itu sudah sangat lama melumpuhkan kehidupan petani terutama di Kabupaten Priangan”. 

Selanjutnya, silakan menikmati buku tebal Jan Breman yang merupakan suatu masterpiece dari seorang peneliti ilmu sosial dan sejarah geografi. Penelitian yang dilakukannya melintasi waktu yang panjang, 30 tahun, a tour de force, suatu perjalanan panjang ketekunan yang mengagumkan. Membaca buku Jan Breman lebih dari 400 halaman perlu suatu persiapan mental yang tepat agar menjadi pengalaman yang mengasyikkan dan memberi rasa puas karena memberi pencerahan, nyukcruk galur mapay laratan, termasuk untuk memahami Priangan sebagai frontier, wilayah yang dijajah.

Ayo siapa sanggup?

 


Sumber: COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Landrentewerkzaamheden_in_de_Preanger_Regentschappen_TMnr_10001731.jpg

Dari Mollo untuk Indonesia


 Noer Fauzi Rachman

Pengantar dalam buku Siti Maimunah (2015) Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim. Jakarta: Kompas Media Nusantara.


Ingatan saya pada Mollo adalah bentang alam dimana kuda-kuda "dipelihara secara liar". Istilah “dipelihara secara liar” menunjuk pada suatu cara beternak yang khusus sehubungan dengan ekosistem savana: kuda-kuda ditandai khusus, suatu tanda kepemilikan pada bagian tertentu di tubuhnya, lalu mereka dilepas di alam liar, dan ditangkap saat dibutuhkan. Cara mereka menangkap pun unik. Salah satunya saya pernah dipertunjukkan oleh Petrus Almet, seorang tetua adat disana, ia melakukan penangkapan itu dengan cara memanggil mereka. Ia naik ke bukit kapur dan berdiri di atas tempat yang tinggi melihat bentang savana itu, dan saatnya tiba, lantunan suara melengking keluar dari mulutnya untuk memanggil kuda-kudanya. Antara dirinya dan kuda-kuda itu bagaikan telah ada suatu tali ikatan seperti seseorang dipanggil namanya, lalu menengok dan menghampiri si pemanggil. Inilah penanda keintiman manusia dengan alam yang sekaligus penanda tautan sebuah kepemilikan. 

Ingatan saya pada Mollo juga pada suatu babak perlawanan penduduk, tengah tahun 1997 hingga tumbangnya rejim Suharto di bulan Mei 1998, terhadap perusahaan nasional kehutanan, Perhutani[1], yang memagari tanah pengembalaan, savana, mereka untuk dijadikan bagian kawasan hutan tanaman industri (HTI), yang sesungguhnya adalah perkebunan kayu eukaliptus. Pemagaran ini dilakukan secara paksa dan tanpa ijin mereka sebagai empunya savana itu. Dalam administrasi kehutanan, savana itu merupakan bagian dari kawasan hutan negara, dan atas dasar kategorisasi ini Menteri Kehutanan mengunakan kewenangan legalnya untuk mengeluarkan lisensi (disebut: ijin) pemanfaatan hutan Negara itu untuk perusahaan-perusahaan yang akan melakukan akumulasi kekayaan. Setelah savana itu dipagari oleh Perhutani, sapi-sapi itu tak lagi bisa menikmati rerumputan di wilayah yang telah dipagari, dan lambat laun menjadi kelaparan. Selain itu, sejumlah penduduk tak lagi dapat membuat ladang untuk pertanian jagung dan sayur mayur pada tempat-tempat tertentu yang agak subur di savana itu. Kematian sejumlah sapi dan kesulitan akses atas tanah untuk pertanian membuat penduduk marah dan melawan sedemikian rupa hingga bisa merobohkan pagar itu secara keseluruhan. Keberhasilan mereka mengusir Perhutani dari wilayah mereka tidak lepas dari momentum jatuhnya rejim otoritarian Suharto, dan kerja jaringan gerakan rakyat yang didukung oleh aktivis-aktivis agraria. 

Sebagai salah satu pemimpin dari para aktivis agraria dalam organisasi jaringan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), saya terus belajar dengan terlibat langsung dalam konflik-konflik agraria di seantero pelosok Nusantara, termasuk di Mollo. Kasus-kasus konflik agraria membimbing saya mengerti lebih baik masalah perebutan tanah dan sumber daya alam yang menjadi pokok kehidupan rakyat. Rakyat Mollo bergerak melawan Perhutani itu dengan alasan yang sangat fundamental bahwa savana itu adalah kepunyaan mereka, dan perusahaan kehutanan itu mengabaikan mereka sebagai pemilik, dan menghentikan akses mereka atas tanah yang berakibat menurunkan kesejahteraan mereka secara drastis.

Semua pelajar sejarah politik agraria di negeri-negeri terjajah menyadari sepenuhnya bagaimana kontrol atas tanah, tenaga kerja dan spesies merupakan salah satu soko guru dari kolonialisme. Suatu sistem produksi kapitalistik kolonial hanya bisa dibangun di atas dasar hubungan kepemilikan yang baru. Yang terlebih dahulu harus dilakukan penguasa kolonial adalah operasi pemisahan hubungan kepemilikan rakyat dengan tanah airnya. Sistem produksi kapitalistik ini sesungguhnya membutuhkan kekuasaan negara yang berwatak kolonial untuk menciptakan hubungan kepemilikan yang baru itu, dengan terlebih dahulu merusak hubungan kepemilikan yang telah melekat pada tanah dan sumber daya alam itu. Negara lah yang melakukan “operasi bedah”, termasuk dengan  menggunakan peraturan-peraturan perundang-undangan yang melepaskan “ikatan nyawa” antara rakyat dengan tanah airnya, dan menjadikan tanah air itu sekedar sebagai sumber daya untuk produksi komoditas yang menghasilkan kekayaan bagi perusahaan-perusahaan itu.

Tiga mekanisme dasar politik agraria yang memungkinkan perampasan tanah dan sumber daya alam kepunyaan rakyat itu, yakni: negarai-sasi, penyangkalan dan kriminalisasi. Tanah air rakyat dikategorikan sebagai tanah/hutan milik negara. Kemudian, dengan memberikan lisensi-lisensi untuk perusahaan-perusahaan, pemerintah sekaligus menyangkal status rakyat sebagai pemilik tanah airnya itu. Pada gilirannya, sejumlah pemimpin dan warga dikriminalkan dan aksesnya atas tanah air itu dianggap ilegal.Tiga mekanisme di atas, yakni negarai-sasi, penyangkalan dan kriminalisasi, merupakan warisan kebiasaan praktek kelembagaan politik agraria kolonial semenjak Undang-undang Kehutanan 1865 dan Undang-undang Agraria 1870, yang ironisnya terus berlanjut hingga sekarang.  

Rakyat yang tadinya hidup lekat dengan alam itu (baik sebagai empunya, penjaga dan pemelihara, atau petani penggarap dan pengumpul hasil hutan, atau mereka yang hidup sebagai penghuni itu) dilepaskan hubungan kepemilikannya, dan pada gilirannya kemudian dihempaskan keluar dari kampung halamannya menjadi pengangguran yang hidup hanya mengandalkan tenaga saja. Bahkan, kemudian mereka sendiri pun sekedar diperlakukan sebagai barang dagangan, dan bersama barang dagangan lainnya, bersirkulasi bergantung pada bagaimana pasar itu bekerja, termasuk dengan membawanya menjadi bagian dari pasar dunia. Ini adalah bagian pembentuk proses yang disebut oleh Karl Marx dengan istilah primitive accumulation.[2]

Setelah mereka tidak dianggap layak sebagai penyandang hak atas tanah airnya itu, mereka pun dianggap tidak cukup memadai untuk dipekerjakan dalam industri-industri yang mereka bangun. Karenanya, setelah mereka dilepaskan hubungannya dengan tanah, mereka pun dihempaskan, dan dibiarkan sengsara dan mengurus dirinya sendiri hingga mati.  Ini lah suatu bentuk letting die policy (kebijakan pemerintah membiarkan rakyatnya mati), suatu bentuk baru rasisme, yang oleh dari yang Michel Foucault disebut sebagai state racism.[3]

Para pelajar sejarah politik agraria biasanya mahfum bila pemerintah kolonial yang melakukan hal demikian itu, sebab mereka tak lain dan tak bukan adalah penguasa dan sekaligus pengumpul keuntungan dengan cara melindungi dan menyuburkan perusahaan-perusahaan itu dan mereka tidak pernah memikirkan yang dijajah. Namun, sungguh ironis, bila pemerintah Indonesia memperlakukan alam dan manusia Indonesia sebagaimana pemerintahan kolonial memperlakukannya. Inikah yang disebut oleh Presiden Soekarno sebagai bentuk-bentuk baru kolonialisme? Negara paska-kolonial gagal mendekonstruksi referensinya tetapi malah melanjutkan cara pandang, doktrin-doktrin, dan praktek-praktek kolonial. 

Lebih lanjut, selain masih dilanjutkannya pola-pola lama komodifikasi alam dan manusia yang berwatak kolonial, bertumbuhan ragam praktek yang sangat kreatif sehubungan dengan motif-motif hingga teknologi neoliberalisasi yang mampu membuat komodifikasi alam dan manusia itu menjadi sesuatu yang dapat diterima, alamiah dan dianggap sudah seharusnya demikian. Sesungguhnya komodifikasi alam dan manusia itu bertentangan dengan kodrat manusia, dan karenanya kita menyaksikan hegemoni kekuatan pasar itu tidak bisa sempurna dan komplet, karena perlawanan terhadap gerakan pasar itu ada di sana-sini – ini disebut perlawanan Polanyian.[4]

Banyak rakyat Indonesia harus berjuang sendiri menghadapi praktek-praktek komodifikasi alam dan manusia yang dilakukan proyek-proyek dari perusahaan-perusahaan, lembaga-lembaga pemerintah paska-kolonial, maupun badan-badan internasional itu. Hanya sedikit saja dari perlawanan-perlawanan itu yang bisa didampingi oleh para aktivis gerakan, dan memberikan fasilitas dan dukungan jaringan dan sumber daya kepada para pemimpin rakyat yang sedang berjuang menghadapi komodifikasi itu dalam konteks iklim yang berubah. Dalam konteks ini, membaca buku karya Maimunah “Mollo, Pembangunan dan Perubahan Iklim” sungguh membuat saya terharu. Hanya sedikit saja kalangan aktivis yang benar-benar tekun, berdedikasi, dan cakap menghasilkan karya-karya etnografis seperti ini. 

Saya merasa terhormat dan diistimewakan bisa terlebih dahulu membaca naskah ini dan menuliskan sejumlah kata-kata penghargaan. Di tangan Maimuniah, etnografi bukan sekedar strategi penelitian yang melibatkan aneka ragam teknik mulai dari obervasi, partisipasi, wawancara, percakapan, mengumpulkan dan membaca arsip-arsip. Maimunah menunjukkan etnografi adalah suatu bentuk politik keterlibatan (political engagement) yang terus-menerus saling belajar bersama dengan Mama Aleta Baun dan rakyat Mollo lainnya yang hidup memperjuangkan tanah-airnya. Rakyat Mollo memang terus memperjuangkan tanah air mereka dan menantang dan menentang komodifikasi alam. Namun lebih dari itu, saya mengerti bahwa yang ditampilkan oleh rakyat Mollo adalah perjuangan tanah air dalam arti kedaulatan rakyat atas tanah air mereka. Ini adalah tindakan recommoning, yakni merebut dan membentuk kembali penguasaan kolektif atas suatu wilayah kepemilikan bersama menghadapi kekuatan-kekuatan yang bekerja untuk proyek-proyek komodifikasi alam.

Di tangan Maimunah dan kawan-kawannya, etnografi yang berfungsi kritik juga menjadi proyek estetik indah. Etnografi juga adalah suatu siasat untuk mempengaruhi melalui sajian yang indah, yang meliputi penulisan, visualisasi, dan penceritaan. The politic and poetic of ethnography tersaji dengan pas pada buku ini. Buku ini adalah sajian etnografis yang indah sebagai taktik untuk mengajak pembaca berempati sehingga bisa ikut serta melebur dalam dan ikut mendukung klaim bahwa tindakan perlawanan rakyat sungguh dapat dijadikan sebagai tanda dari kesalahan dan kegagalan komodifikasi alam dan manusia. Saya bersaksi menikmatinya dari kover hingga halaman terakhir. Kata sambutan ini berjudul "Dari Mollo untuk Indonesia"; sesungguhnya dapat pula dijuduli "Dari Maimunah untuk Indonesia". 

Kaum terdidik di Indonesia musti berterima kasih pada Maimunah yang telah memberikan suatu contoh yang dapat diteladani bagaimana pengetahuan mengenai kehidupan rakyat dihasilkan dari kerja sehari-hari sebagai aktivis, dan kemudian kritik disajikan secara indah dan menohok. Karenanya, saya sangat menganjurkan pembaca meluangkan secara khusus waktu untuk membaca tulisan ini secara seksama, menikmatinya dari awal sampai akhir. Buku ini layak diperlakukan demikian. Keindahan dan kepentingan klaim yang disajikan secara terpadu dan dapat dinikmati sebagai metode pengingat atas keperluan akan  membangun rasa senasib, sepenanggungan, dan setujuan. 

Karya Maimunah ini adalah suatu cerita/narasi tandingan dan sekaligus teguran untuk siapapun yang bekerja di pemerintahan, mereka yang mengurusi proyek-proyek pembangunan, dan mereka yang beekrja di perusahaan-perusahaan. Janganlah mengkomodifikasi alam dan tenaga kerja dengan mempromosikan pembentukan sistem produksi kapitalis sebagai jalan kemajuan yang membelah antara mayoritas rakyat yang akan dihempaskan dengan segelintir mereka yang terus-menerus menumpuk-numpuk kekayaan. Buku ini sesungguhnya adalah suatu panggilan untuk keberanian dan kecerdasan kita mengusahakan upaya emansipasi menghilangkan kekangan-kekangan rakyat untuk mengaktualisasikan dirinya dan sekaligus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas rakyat serta sekaligus kesempatan belajar memulihkan krisis sosial ekologis yang dihadapinya.

Selamat menikmati.

 

Minneapolis, Minnesota, 19 Februari 2015

 



[1] Perhutani adalah suatu perusahaan milik pemerintah berbentuk perum, yang merupakan penguasa wilayah hutan yang menguasai lebih dari sepertiga wilayah pulau Jawa. Sejarah keberadaannya sebagai suatu sistem agraria, dan penguasaannya atas tenaga kerja, tanah, dan spesies kayu jati, serta perlawanan penduduk terhadap dominasi itu, bisa dipelajari dari karya Nancy Peluso 1992 Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press. Terjemahannya dilakukan oleh Landung Simatupang, Nancy Peluso 2006 Hutan Kaya, Rakyat Melarat. Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di jawa. Yogyakarta: Komphalindo. 

[2] Lihat: Karl Marx (1967) Capital.  Vol. l, Part 8, Chapter26, "The Secret of Primitive Accumulation."

[3] Michel Foucault (1997) Society Must Be Defended: Lectures at the Collège de France, 1975-1976. New York: New Press.

[4] Polanyian adalah suatu istilah yang mencerminkan teori Karl Polanyi bahwa masyarakat akan melancarkan gerakan perlawanan untuk melindungi diri dari komdifikasi alam dan tenaga kerja. Lihat Karl Polanyi (1944) Great TransformationThe Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.

Lex Iniusta Non Est Lex, Hukum yang Tidak Adil Bukanlah Hukum

  


Noer Fauzi Rachman

 Artikel ini pernah dimuat di Koran Sindo, Sabtu, 9 Mei 2015, dimuat pula di https://www.huma.or.id/uncategorized-id/hukum-yang-tidak-adil-bukanlah-hukum 


Pada hari hari Kamis, 23 April 2015, nenek Asyani (63 tahun), dan tiga terdakwa yang terkait, diputuskan bersalah oleh Hakim Pengadilan Negeri Situbondo dengan hukuman 1 tahun penjara, dengan masa percobaan 1 tahun 3 bulan, denda 500 juta dengan subsidair 1 hari kurungan. Mereka dinyatakan bersalah memiliki dan menguasai kayu hasil hutan tanpa izin. Hakim menyatakan bahwa terdakwa Asyani dkk terbukti secara sah dan meyakinkan, telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (d) UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Pasal itu berbunyi “Setiap orang dilarang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin”. Selanjutnya, Hakim juga menganggap perbuatan Nenek Asyani dkk terkena Pasal 83 ayat 1 UU P3H itu, yang mempidanakan: “Orang perseorangan yang dengan sengaja (a) memuat, membongkar, mengeluarkan, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa ijin; (b) mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil hutan, dan (c) memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar.” 

Nenek Asyani dkk menolak diperlakukan sebagai pencuri. Karenanya mereka menolak vonis itu, dan naik banding. Nenek Asyani meyakini 7 potong kayu jati ukuran 1,5 meter diameter 5-6 centimeter tersebut dipanen suaminya dari lahan milik mereka sendiri sekitar 6 tahun lalu, dan disimpan di rumahnya. Ia meminta keponakannya untuk menyewa mobil dan membawa potongan kayunya ke rumah tukang kayu untuk membuat kursi dan dipan untuk kerja memijat bayi dan anak-anak. 

Nenek Asyani dkk dilaporkan oleh 4 orang petugas Perhutani yang tidak melihat secara langsung bagaimana kayu tersebut diambil dari pohonnya. Para saksi pelapor hanya melihat potongan-potongan kayu jati tersebut di rumah tukang kayu, dan diketahui berada disana karena diangkut oleh keponakannya dan supir mobil. Ketiganya ikut dilaporkan sebagai pelaku kejahatan. Para saksi melaporkan bahwa satu pohon jati hilang dari lahan Perum Perhutani RPH Bondowoso di kebun Coto, Desa Kerangstal, Desa Jati Batang, dan mereka menduga kayu jati yang berada di rumah tukang kayu itu merupakan kayu yang hilang itu. 

 Atas laporan tersebut, Nenek Asyani dkk itu pun ditahan oleh Polisi, yang kemudian memprosesnya. Jaksa bekerja atas dasar berkas dari polisi, dan pengadilan pun digelar. Nenek Asyani dkk ditahan oleh Polisi dan Jaksa dan Pengadilan selama 100 hari. Mereka diijinkan menjalani tahanan luar, setelah kasus ini memperoleh perhatian luas, termasuk dari  dari media massa, Bupati Situbondo Dadang Wigiyanto, dan Menteri Lingkungan dan Kehutanan, DR. Siti Nurbaya.

Apa arti dari kasus ini? 

Cara-cara Politik Agraria Kolonial Mengkriminalisasi Rakyat

Para peneliti politik agraria atas penguasaan hutan oleh Negara di Jawa telah mahfum bahwa penguasaan dan pengendalian atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan merupakan bagian dari ciri utama politik agraria kehutanan di Jawa masa paska-kolonial yang berakar pada praktek penguasa kolonial Belanda yang dimulai di abad ke-19 (Peluso 1992, Santoso 2005, Mary dkk 2007). Selain politik Tanam Paksa (cultuurstelsel) 1830-1870, sejak akhir abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda menerapkan teritorialisasi negara terhadap hutan (Vandergeest dan Peluso 1995). 

Langkah pertama dari teritorialisasi negara itu adalah pembentukan perundang-udangan yang secara khusus mengatur pengendalian negara terhadap lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan. Yang pertama adalah Peraturan Pemerintah mengenai Kehutanan di Jawa dan Madura pada tahun 1865. Langkah berikutnya adalah perberlakuan Undang-undang yang dikenal dengan 'Domeinverklaring' pada tahun 1870 yang menganggap semua tanah hutan adalah tanah milik negara kecuali tanah-tanah yang eigendom, pemilikan pribadi (Peluso 1992, Vandergeest dan Peluso 2001, Simon 2001). 

Langkah kedua dalam hal pengendalian negara atas hutan pada masa kolonial Indonesia terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial (Boschwezen) melakukan proses pembuatan dan kemudian penetapkan batas-batas antara wilayah “kawasan hutan” dengan wilayah non-hutan (pertanian, perkebunan, permukiman, dsb). Penetapan batas ini adalah bagian dari proses politik (makanya Vandergeest dan Peluso 2001 menyebutnya sebagai political forest). Kebijakan kehutanan di jaman Gubernur Jenderal Daendels, telah teguh dengan prinsip bahwa pengelolaan hutan paling baik dijamin oleh pengelolaan negara atas tanah hutan, dipimpin oleh satu dinas kehutanan pemerintah, dan dijalankan oleh ahli kehutanan profesional. Ini adalah prinsip-prinsip “kehutanan ilmiah”. Tanggung jawabnya Boschwezen itu termasuk menguasai tanah hutan, menanami kembali hutan-hutan yang gundul, pengembangan spesies pohon jati, memperbaiki praktik-praktik pengelolaan hutan, serta memobilisasi dan mengendalikan penduduk pekerja dan rakyat miskin sekitar hutan (Peluso 1992). 

Langkah ketiga adalah 'teritorialisasi fungsional”, yang terjadi ketika Dinas Kehutanan Kolonial Belanda menentukan wilayah hutan menjadi berdasar fungsi-fungsi seperti hutan produksi, hutan lindung, cagar alam dan sebagainya.

            Bisa penulis tambahkan, langkah keempat adalah penetapan legalitas dan illegalitas dalam akses/pemanfaatan atas hutan. Mereka yang mempunyai lisensi (surat ijin) dinyatakan sebagai akses legal, sementara akses rakyat dinyatakan illegal karena tidak memiliki ijin formal. Ujungnya adalah kriminalisasi rakyat, dalam rangka memberikan hukuman pada praktek ilegal rakyat miskin sekitar “kawasan hutan Negara”, dan kemudian penghukuman tersebut disosialisasikan dalam rangka meneguhkan pengendalian Negara atas lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan itu.  

 

Cara Negara hadir sekarang ini kok masih serupa dengan yang dilakukan penguasa kolonial?

Kasus kriminalisasi terhadap rakyat sekitar hutan, seperti yang dialami oleh Nenek Asryani dkk, bukanlah suatu gejala yang berdiri sendiri dan terlepas dari politik agraria yang melingkupinya. Dalam kasus ini yang terjadi adalah instrumentasi hukum sebagai taktik untuk pelanggengan penguasaan dan pengendalian Perhutani atas lahan, spesies, dan rakyat. Dari perspektif politik agraria, kriminalisasi atas nenek Asyani dkk berfungsi sebagai suatu pengumuman pada rakyat miskin sekitar hutan: bahwa hukuman demikian itu dapat mengenai siapapun yang berani menantang kuasa Perhutani mengendalikan lahan, spesies kayu jati, dan rakyat sekitar hutan.  Lebih dari itu, cara Negara hadir dalam pengalaman rakyat yang lemah, masih serupa dengan yang dilakukan penguasa kolonial terdahulu. 

Menurut penulis, penggunaan UUP3H Pasal 12 huruf (d) dan Pasal 83 ayat 1 untuk kasus Nenek Asyani dkk adalah salah sasaran, karena UUP3H ditujukan untuk memberantas kejahatan terorganisasi (pasal 1 ayat 4). Sangat jelas bahwa yang dilakukan mereka sama sekali bukan kejahatan terorganisasi. Dari pandangan Nenek Asyani sendiri, hadirnya Negara dengan cara demikian itu merupakan suatu tindakan apparatus Negara menzalimi diri dan dkk-nya. Ketika hukum Negara tidak lagi menyediakan keadilan, ia menolak mematuhinya, dan merujuk ke cara penyelesaian yang lain. Setelah Hakim memutuskan menutup persidangan, Nenek Asyani menyampaikan kalimat berikut dengan latang: "Abbeh mak nyinglaMara tojuk Pak Hakim. Berarti Hakim tak parcaje jhek engkok tak ngecok. Mara a sompah pocong bik engkok. (Kenapa kok keluar. Mari duduk disini Pak Hakim. Berarti Hakim tidak percaya kalau saya tidak mencuri. Mari sumpah pocong saja sama saya)." Nenek Asyani bertindak lebih  jauh dari pada yang dimaksud oleh pepatah hukum yang bersumber dari filsuf Thomas Aquinas (1225-1274) bahwa “hukum yang tidak adil bukanlah hukum”, malahan ia menunjukkan lanjutannya, mencari rujukan lain untuk menyelesaikan pertentangan antara hukum dan rasa keadilan.

 _________________

*) Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Peneliti Utama Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi-studi Agraria, Ketua Dewan Pengarah Badan Prakarsa Desa, Dewan pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan Pengajar Politik dan Gerakan Agraria di Program Studi Sosiologi PedesaanInstitute Pertanian Bogor.