Priangan adalah suatu wilayah agraris yang indah. Penulis masih ingat ungkapan guru penulis di fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, psikolog M.A.W Brouwer, lebih dari tiga puluh tahun lalu bahwa "Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum". Ungkapan ini, yang kemudian dipampangkan menjadi suatu grafiti resmi Pemerintah Kota Bandung di jalan Asia Afrika, Bandung, menunjukkan kekagumannya atas keindahan bentang alam dan kekayaan alam yang melimpah. Ungkapan memuji itu dapat membawa pembacanya ke pesona yang melahirkan decak kagum, dan melupakan kepahitan hidup dari rakyat miskin Priangan. Pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah, mengapa begitu banyak rakyatnya hidup terbenam dalam kemiskinan terus-menerus?
Pertanyaan ini muncul dan terus mengganggu saya yang terbiasa berkeliling di pedesaan pedalaman Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, semenjak tengah 1980-an. Penulis sudah terbiasa untuk bertanya apa gerangan yang menyebabkan kemiskinan yang kronis itu? Apakah penderitaan hidup dalam kemiskinan itu disebabkan karena rakyat Pasundan dilenakan oleh alam yang kaya itu sehingga menjadi “malas”?
“Mitos Pribumi Malas” itu banyak dipelihara dan terus diedarkan oleh pejabat VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), pemerintah kolonial, hingga pengusaha-pengusaha kehutanan dan perkebunan. Buku bagus karya Syed Hussein Alatas (diterbitkan oleh LP3ES, 1988) berhasil menunjukkan fungsi “mitos pribumi malas” dalam kapitalisme kolonial di Jawa, Melayu dan Filipina, yakni Mitos itu adalah alat untuk menaklukkan kaum pribumi. Mitos ini menyalahkan para korban, dan sama sekali tidak dapat diterima.
Beruntunglah kita, karena ada karya baru dari Jan Breman yang dapat membantu kita memahami asal-usul kemiskinan rakyat itu. Buku yang baru terbit 2010 karya Profesor Jan Breman dari Universitas Amsterdan, Belanda, itu pada mulanya berbahasa Belanda Koloniaal profijt van onvrije arbeid: het Preanger stelsel van gedwongen koffieteelt op Java, 1720-1870 (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010). Empat tahun kemudian, versi Bahasa Indonesia buku tersebut terbit menjadi Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa, Sistem Priangan dari Tanah Paksa Kopi di Jawa, 1720-1870 (Jakarta: Yayasan Obor, 2014). Lalu, pada tahun 2015 terbit, versi bahasa Inggris Mobilizing Labour for the Global Coffee Market: Profits from an Unfree Work Regime in Colonial Java (Chicago: Chicago University Press, 2015).
Isi buku itu menjelaskan bagaimana kuntungan kolonial didapat dengan cara menaklukan dan memeras penduduk pribumi Priangan. Sejalan dengan tema ini, saya menulis suatu artikel cukup panjang di majalah Sundalana yang akan terbit di awal tahun 2016, bertema “Sketsa Tiga Abad Politik Agraria di Tatar Priangan”. Karya itu bermaksudkan untuk “Nanjeurkeun Obor, jang Nyageurkeun Panyakit Poho Sajarah”. Kalimat “nyaangan deui nu pareumeun obor”, secara harfiah berarti “memberikan cahaya pada mereka yang obornya telah mati”. Karya itu seperti nyukcruk galur, mapay laratan dengan cara menunjukkan sketsa perjalanan politik agraria di Tatar Priangan semenjak wilayah Priangan diserahkan oleh Mataram ke VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) dalam dua kali perjanjian (1667 dan 1705), sebagai balas jasa kepada VOC yang telah membantu penyelesaian perebutan kekuasaan di Mataram. Politik agraria yang dimaksud mencakup cara penguasa negara mengatur siapa-siapa dan bagaimana orang-orang dan badan-badan hukum bisa (dan juga tidak bisa) menguasai, memiliki, menggunakan, memanfaatkan, dan mendapatkan kekayaan dari tanah dan sumber daya alam. Tulisan saya itu mengajak pembaca menelusuri isi politik agraria, kondisi-kondisi yang membentuknya, cara-cara menjalankannya dan akibat-akibat khusus dari padanya, khususnya terhadap kemiskinan petani, dan bentuk-bentuk sistem produksi agraria, seperti perladangan, perkebunan, wana tani, dan sebagainya. Tulisan itu cocok untuk menjadi pengiring membaca buku Jan Breman (2014) Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa.
Buku Jan Breman dibuka dengan kutipan pamflet Multatuli, pujangga yang mengkritis sistem penindasan, penaklukan dan eksploitasi kolonial, “Over vrijen arbeif in Netherlandsch Indies en de tegenwoordige koloniale agitatie”. Artinya, “Tentang kerja bebas di Hindia Belanda dan agitasi kolonial” (Multatuli 1862:38-39 sebagaimana dikutip oleh Breman 2014:v).
“Tetapi disana orang asing dari Barat datang, yang menjadi tuan penguasa negeri itu. Mereka berkeinginan mengambil untung dari kesuburan tanah negeri itu, dan memerintahkan penduduk untuk memberikan sebagian dari tenaga dan waktu mereka guna mengerjakan hal-hal lain – ‘sebenarnya dulu disebutkan tentang padi, yang diperlukan orang Jawa untuk bisa tetap hidup’ – untuk hal-hal lain yang akan lebih banyak mendatangkan keuntungan di pasaran Eropa. Untuk menggerakkan agar orang yang sederhana itu membantu mereka, dibutuhkan tidak lebih dari pada suatu ilmu pemerintahan yang sangat sederhana. Jadi orang hanyalah perlu mendudukkan para Kepala mereka, dengan memberikan mereka sebagian dari keuntungan, … dan berhasillah semuanya dengan sempurna.”
Dilanjutkan oleh ringkasan isi buku yang menohok, “Perlunya Kerja Paksa”, pembaca disajikan pokok-pokok argumen yang menjelaskan bagaimana pengendalian wilayah Priangan tidak dengan cara membangun perusahaan, atau susunan penguasa sendiri, melainkan melalui cara penguasaan tidak langsung (indirect rule). VOC mengawasi dari jarak jauh dan menyerahkan pengawasan melekatnya kepada para penguasa pribumi yang diberikan restu untuk mengikat para petani untuk takluk dan mengabdi kepada mereka.
VOC adalah armada perdagangan transnasional, terutama membawa kayu dan rempah-rempah dari Hindia Belanda. Sebagai armada perdagangan tentu membawa komditas dari luar Hindia Belanda. Tanaman Kopi merupakan yang dibawa oleh VOC dari India Selatan yang ternyata cocok untuk ditanam di dataran tinggi Priangan. Bukan sekedar armada perdagangan, VOC juga adalah perwakilan negara yang diberi mandat pula untuk penguasaan wilayah, termasuk dengan melakukan perundingan hingga berperang. Pada mulanya mereka memborong beli hasil produksi petani, tapi apa yang awalnya berupa transaksi komersial berubah menjadi penyetoran paksa melalui penguasa-penguasa pribumi. Pun ketika VOC bangkrut dan diganti oleh pemerintah kolonial, cara penjajahan melalui penguasaan tidak langsung tetap diteruskan. Pemerintah Hindia Belanda mengambil-alih penguasaan atas wilayah Priangan itu melanjutkan dan memperluasnya, dan melanjutnya cara memaksa petani menyerahkan tanah garapannya, berhuma dilarang, penduduk tinggal di desa-desa dan menjadi sumber tenaga kerja membuka hutan, mengerjakan kebun kopi dari menanam, merawat, panen dan menyerahkan panennya. Semua berupa paksaan. Ini semacam perbudakan. Kopi memang pahit buat rakyat Priangan.
Bayangkanlah situasi berikut:
“Pada 1764 diputuskan sepikul kopi untuk pengapalan harus seberat 126 pon tapi untuk pembelian harus 140 pon; perbedaan itu, yang resminya untuk mengatasi pengeringan, nyatanya adalah untuk keuntungan bagi pegawai. Penambahan diperhitungkan lagi antara gudang lokal dan Batavia, yang dipatok pada 1777 seberat 6 pon dan dengan seenaknya ditambah lagi seberat 14 pon pada 1797, sehingga untuk setiap 126 pon yang dikapalkan bupati harus memasok 160 pon, dan, karena 14 pon adalah harga pembayaran untuk petani, tahun 1797 itu memberikan kepada Kompeni kopi secara cuma cuma. Para bupati mengikuti contoh Kompeni dan menentukan berat popular sewenang wenang mulai dari 240 sampai 270 pon. Ujung-ujungnya untuk setiap pikul seberat 126 pon yang dikapalkan, petani kopi harus memasok 240-270 pon dan dibayar seharga 14 pon.”
(Furnivall, J.S. 2009. Hindia Belanda. Studi tentang Ekonomi Majemuk. Jakarta: Freedom Institute, halaman 43)
Ini buku sejarah. Bab-bab buku ini terdiri dari uraian secara berurut dengan Bab I berisi latar belakang yang menyediakan keterangan bagaimana situasi pemerintah kolonial berancang-ancang dan merencanakan meraup keuntungan. Bab II menguraikan hubungan petani dan penguasa lokal hingga susunan kekuasaan yang khusus ini bisa dijadikan mesin andalan untuk eksploitasi. Bab III yang paling penting untuk mengerti bagaimana Tanam Paksa dijalankan. Lalu, Bab IV. Transisi dari penguasaan wilayah dan penguasahaan oleh perusahaan dagang (VOC) ke pengusahaan langsung negara. Lalu, bagaimana pemerintah Hindia Belanda melanjutkan yang disebut Preangerstelsel itu (bab V). Selanjutnya, bab-bab berikutnya (VI sampai IX) menjelaskan aspek-aspek hubungan kerja, tata kelola dan sistem produksi kopi, peraturan-peraturan dalam sistem tanam paksa, dan reorganisasi pemerintahan dan ekonomi masyarakat. Terakhir, bagian penutup, Jan Breman membantah argumen kolonial bahwa “kerja paksa adalah jalan kemajuan”, sebaliknya ia menyimpulkan bahwa:
“Sistem tanam paksa di Jawa telah mendorong kuat pembudidayaan tanaman dagang untuk keperluan pasar dunia antara 1830 dan 1870. Pendapat bahwa ekonomi dan masyarakat kolonial dalam periode singkat ini telah berubah drastis adalah benar tetapi belumlah lengkap jika tidak sekaligus menyertakan pernyataan bahwa sistem tanam paksa sebagai sendi perubahan itu sudah sangat lama melumpuhkan kehidupan petani terutama di Kabupaten Priangan”.
Selanjutnya, silakan menikmati buku tebal Jan Breman yang merupakan suatu masterpiece dari seorang peneliti ilmu sosial dan sejarah geografi. Penelitian yang dilakukannya melintasi waktu yang panjang, 30 tahun, a tour de force, suatu perjalanan panjang ketekunan yang mengagumkan. Membaca buku Jan Breman lebih dari 400 halaman perlu suatu persiapan mental yang tepat agar menjadi pengalaman yang mengasyikkan dan memberi rasa puas karena memberi pencerahan, nyukcruk galur mapay laratan, termasuk untuk memahami Priangan sebagai frontier, wilayah yang dijajah.
Ayo siapa sanggup?
Sumber: COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Landrentewerkzaamheden_in_de_Preanger_Regentschappen_TMnr_10001731.jpg
No comments:
Post a Comment