Sumber Gambar: https://www.jatam.org/author/hendro-sangkoyo/
Hendro Sangkoyo (1998, diperbaikinya 2015), “Kerangka Analitik Krisis Sosial Ekolologi,” sebagaimana dimuat dalam Noer Fauzi Rachman (2015) Panggilan Tanah Air. Jakarta: Badan Pemberdayaan Prakarsa Desa dan Kawasan (BP2DK).
Sumber awal: Hendro Sangkoyo (1998). “Pembaruan Agraria dan Pemenuhan Syarat-syarat Sosial dan Ekologis Pengurusan Daerah.” Kertas Kerja No. 9. Konsorsium Pembaruan Agraria
“Pemerintahan” sebagai mitos yang harus diterima sebagai ketentuan bagi rakyat, yang nyaris diterima begitu saja dan dianggap bersifat alami. Dalam mitos yang sekarang masih melekat sebagai wacana publik itu, pemerintahan merupakan sebuah pertunjukan tentang bagaimana mengelola sumber-sumber alam, orang, barang, dan uang, dengan para pengelola negara sebagai pemain panggungnya, dan rakyat sebagai pengamat dan pembayar karcis pertunjukan. Partisipasi rakyat, paling jauh, adalah sebagai komentator atau kritikus pertunjukan. Ajakan pembaruan cara dan agenda pemerintahan dengan demikian bersifat mudah-mudahan, penuh harap pada para pengelola negara yang baru serta pada ketentuan-ketentuan yang dihasilkannya; sebuah koor nyaring dari bawah panggung tentang reformasi, yang tetap takzim pada akar kata itu: perintah.
Pengurusan merupakan suatu konsep tandingan yang sangat akrab bagi penutur bahasa Indonesia, dan mengacu kepada konsep pokok yang lebih jitu: urus. Setelah sejarah membuktikan kegagalan dari pengelolaan perubahan tanpa-rakyat selama tiga puluh tahun, penggantian orang, perombakan dekorasi panggung dan/atau skenario baru saja mengandung resiko kegagalan yang sama, selama rakyat sendiri tidak aktif dan tidak berkesungguhan mengurus apa yang menjadi persyaratan kehidupannya.
Otonomi pemerintahan daerah dari campur-tangan berlebihan pemerintah pusat di Jakarta, serta besarnya ruang pengaruh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada proses pemerintahan daerah pada saat ini, merupakan situasi persimpangan yang genting bagi rakyat: meneruskan tradisi pertunjukan sebagai penonton dalam panggung-panggung yang lebih kecil, atau bersama-sama berperan sebagai pemain, mengurusi apa yang hendak dimainkan bersama. Keputusan yang harus rakyat tentukan pada saat ini bukan saja bergantung pada kehendak sendiri, melainkan juga pada keterdesakan waktu untuk memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang selama lebih dari satu generasi yang lampau telah mengasingkan rakyat dari wilayah hidupnya.
Kita musti mengurus secara sungguh-sungguh memeriksa dan memulihkan kerusakan sosial dan ekologis yang menjadi syarat-syarat keberlangsungan hidup rakyat. Hendro Sangkoyo membuat kerangka agar kita dapat bekerja mengenali dan menangani krisis sosial ekologis melalui pemahaman baru atas tiga golongan masalah: (a) keselamatan dan kesejahteraan rakyat, (b) keutuhan fungsi-fungsi faal ruang hidup, dan (c) produktivitas rakyat.
A. Keselamatan dan Kesejahteraan Rakyat
Keselamatan rakyat, pada skala orang per orang maupun rombongan, tidak pernah kita urus sebagai syarat yang harus dipenuhi dan dijaga baik oleh para pengurus negara dan alat-alatnya. Hilangnya nyawa, ingatan, tanah halaman, harta benda, nafkah, kesempatan, kehormatan milik rakyat lebih banyak diakibatkan oleh proses penyelenggaraan negara selama tiga puluh tahun terakhir ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa selama keselamatan rakyat tidak kita persyaratkan sebagai agenda pengurusan masyarakat dan wilayah. Keselamatan rakyat sudah saatnya menjadi salah satu agenda inti dari proses pembaruan ketentuan-ketentuan kenegaraan, termasuk pembaruan hukum, dan dari penyelenggaraan fungsi-fungsi politik seperti pengelolaan produksi dan keuangan. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bahwa mengurus keselamatan rakyat harus menjadi tindakan kolektif sehari-hari dari lembaga-lembaga politik terkecil pada aras desa hingga kabupaten.
Kesejahteraan rakyat, meskipun senantiasa menjadi semboyan, program, pos anggaran, dan indikator, tidak pernah kita urus sebagai syarat dari kerja birokrasi negara. Tak terpisahkan dari konsep pokok “keselamatan”, rakyat selama ini “mendapatkan” dua akibat perubahan terencana pada keadaan kesejahteraannya, yang saling bertolak belakang: pelayanan kesejahteraan seperti kesehatan dan pendidikan, sekaligus perampasan kesejahteraan lewat berbagai mekanisme, baik langsung maupun tidak, seperti politik fiskal, perampasan tanah dan tempat tinggal rakyat sebagai syarat investasi produksi, dan politik konstruksi fisik sarana pelayanan umum di pusat-pusat mukiman.
Pemenuhan syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat di sini merupakan cara bagi rakyat khususnya pada aras desa untuk ikut menentukan arah dan besaran perubahan yang menyangkut dirinya secara teratur dan terorganisir. Proses pemenuhan persyaratan tersebut di atas menuntut tiga syarat (dua hal dalam syarat pertama dapat dipenuhi langsung pada tingkat kesepakatan bersama):
(1) pemetaan berkala mengenai keadaan persyaratan bagi rakyat desa dan agenda tindakan bersama untuk mengoreksi kegagalan pemenuhan;
(2) usaha kolektif untuk mengatasi kesulitan rakyat memenuhi syarat keselamatan/kesejahteraannya sendiri; dan
(3) pelayanan publik lewat peralatan kenegaraan termasuk dana dan ketentuan hukum;
Prioritas utama agenda tindakan pada saat ini adalah perumusan dan penyepakatan persyaratan keselamatan dan kesejahteraan setempat, serta penerapan ketiga proses di atas dalam suatu proses belajar bersama yang harus melibatkan warga desa, legislator daerah (DPRD kabupaten) dan pengurus-pengurus negara di daerah (pemerintah kabupaten).
B. Keutuhan Fungsi-Fungsi Faal Ruang Hidup
Hilangnya sumber-sumber air bersama, gundulnya wilayah-wilayah dataran tinggi dan curam yang genting kedudukannya dalam daur tata air setempat, peracunan dan pemiskinan hara tanah karena cara produksi tani yang mementingkan hasil jangka pendek, atau karena kegiatan penambangan, pengeruhan dan pendangkalan aliran sungai, hilangnya sumber-sumber hayati perairan pesisir, adalah contoh nyata dari tidak terpenuhinya kelangsungan “pelayanan alam” bagi kehidupan yang dikandungnya, yang bersifat mendorong pengawetan bahkan peluasan pemiskinan rakyat khususnya di desa, dan merupakan ancaman jangka panjang terhadap syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraan rakyat.
Kata “pelayanan alam” sendiri telah mengalami evolusi, dari kondisi material yang memungkinkan berkembang dan terbaruinya kehidupan di sebuah bentang alam (dalam masa hidup kita, dapat disebut sebagai kehidupan simbiotik dari tumbuhan dan hewan, termasuk kehidupan spesies manusia), menjadi “kegiatan produksi nilai,” di mana keberadaan air, hara tanah, oksigen, nitrogen, karbon, biota, bahkan “pemandangan indah,” diperlakukan sebagai sebuah kelas dalam sistem klasifikasi industrial, setara dengan perdagangan grosir, binatu, atau reparasi dan semir sepatu. Lebih jauh, dalam empat dekade terakhir, rasionalitas publik tengah disubversi menjadi logika keberlanjutan produksi nilai, misalnya ketika kendali publik atas daur reproduksi air tawar dipersamakan dengan “monopoli”, dan oleh karenanya harus dihapuskan untuk memungkinkan persaingan bagi perusahaan air pribadi/swasta. “Pelayanan alam” dibubuhi nilai tukar, dan karenanya diperlakukan sebagai barang untuk dijualbelikan. Logika kebutuhan air untuk pertanian pangan hendak disetarakan dengan logika kebutuhan air untuk kapal tanker, pusat belanja atau hotel, untuk memudahkan penentuan harga. Hutan direduksi keberadaan materialnya sebagai onggokan zat karbon yang terkandung dalam pohon dan tanahnya, dihitung bobot matinya, dan dibubuhi harganya dalam ukuran kilogram atau ton. Apa-apa yang berharga untuk dilindungi dan apa-apa yang bisa rusak dari bentang-alam hutan beserta penghuninya dicomot sebagian kecilnya saja, yaitu terurainya zat karbon ke atmosfir, seolah-olah kita semua adalah benda mati yang boleh diperlakukan sebagai seonggok zat karbon. Itulah sebabnya, segala sesuatu dalam skema jual-beli dan penciptaan nilai atas nilai-uang dari zat karbon, termasuk dalam program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan adalah penghinaan terhadap logika kehidupan itu sendiri. Dalam hal ini, apa yang tengah dirusak dengan kecepatan penuh oleh logika neoliberal dari pengurusan publik sekarang bukanlah ketersediaan air, lahan atau bahan-bahan alami, melainkan syarat keberlangsungan fungsi-fungsi faal infrastruktur ekologis dari sebuah ruang hidup, beserta ikatan menyejarahnya dengan masyarakat manusia di situ.
Selama empat puluh tahun terakhir, proses penjalaran kerusakan alam setempat maupun pencegahan atau perlindungannya berjalan terlepas dari proses pengurusan keselamatan dan kesejahteraan serta produktivitas rakyat maupun dari proses politik desa. Wilayah-wilayah yang seharusnya dikelola bersama untuk dicegah proses kerusakannya—seperti di wilayah berhutan—telah dijadikan sebagai kompleks-kompleks berpagar dan berpatok kekuasaan negara (tanah negara, hutan negara, dll.) yang bahkan tidak boleh disentuh, apalagi dimanfaatkan oleh rakyat setempat.
Ketika pencurian besar-besaran terhadap segala yang bersifat ‘milik negara’, menjadi kesepakatan tidak tertulis di antara pengurus negara setempat dan pemilik modal pribadi, untuk berbagai maksud dan tujuan, maka akibatnya wilayah-wilayah perlindungan yang eksklusif pun turut menjadi sasaran utama. Tidak berlakunya konsep ‘kepentingan bersama’ dan ‘milik bersama’ menjadi pelancar penjarahan atas wilayah-wilayah yang seharusnya dimanfaatkan atau dilindungi secara hati-hati. Penanganan dengan kekerasan negara lewat tindakan polisionil dan peradilan, maupun pengerahan dana untuk pemecahan teknis seperti penanaman pohon, telah terbukti tidak mampu menghentikan laju perusakan apalagi menumbuhkan keinginan rakyat untuk memulihkannya.
Tandingan terhadap penciptaan wilayah-wilayah negara itu adalah penciptaan wilayah-wilayah kelola bersama. Kepentingan rakyat atas kelangsungan pelayanan alam, serta kebutuhan pemanfaatan bahan terbarui dari hutan, perbukitan dan dataran tinggi, daratan dan perairan pesisir, bukan saja harus diakui secara resmi, tetapi justru harus menjadi tumpuan dari usaha mempertahankan kelangsungan pelayanan alam atau pemulihan wilayah-wilayah rusak yang sering dinamai ‘lahan kritis’ itu.
Sampai hari ini, instrumen terpenting dalam operasionalisasi logika ekstraksi nilai dari setiap jengkal bentang alam adalah praktik institusional pembongkaran dan perkiraan nilai komersial atas sumber daya alam, dari tenunan ruang-ruang hidup beserta infrastruktur ekologisnya, menjadi “ruang” sebagai kategori stok kapital. Dalam sistem dan praktik bertutur mengenai ruang macam itu, pemilahan fungsi-fungsi sosial-ekologis dari bentang daratan dan perairan digantikan dengan pertimbangan lokasi dalam angan-angan memaksimalkan surplus dari rerantai penciptaan nilai dan rerantai produksi/pasokan/konsumsi barang. Hilangnya imajinasi sosial-ekologis tentang pulau, yang telah nyaris paripurna digantikan dengan sistem kepercayaan pada garis-garis batas juro-politik, bukanlah tanda kurangnya kecerdasan semata, tetapi adalah produk dari pengerahan kepatuhan politik terhadap rezim penataan ruang tanpa asas keselamatan manusia dan kelangsungan ruang-hidupnya. Di setiap pulau di kepulauan Indonesia, bermakna tidaknya agenda pembaruan politik tani sepenuhnya bergantung pada ada tidaknya agenda pembaruan pikiran tentang duduk perkara kota di dalam logika keberlangsungan sosial-ekologis pada skala pulau.
Mendesakkan pilihan ini sebagai ketentuan negara atas dasar kesepakatan rakyat adalah prioritas nomor satu bagi badan legislatif di daerah.
C. Produktivitas Rakyat
Selama empat puluh tahun terakhir dapat kita nyatakan dengan tegas bahwa produktivitas rakyat, khususnya pekerja tani, tidak pernah beranjak dari kedudukannya yang amat-sangat rendah untuk menjamin keselamatan dan kesejahteraannya sendiri. Bertentangan dengan penjelasan yang menyesatkan bahwa produktivitas kerja adalah cerminan sederhana dari tingkat teknologi dan efisiensi produksi, rendahnya produktivitas pekerja tani merupakan akibat dari penekanan sistematis atas nilai tukar produk petani, serentak dengan penyedotan tabungan rakyat lewat pengurangan atau penghapusan subsidi input produksi termasuk penyediaan pengairan dan angkutan rakyat, politik pengembangan wilayah dan sarananya yang diskriminatif terhadap bentuk-bentuk tradisional hak dan kuasa rakyat atas tanah dan wilayah serta terhadap kemampuan lokal untuk menghasilkan bahan pangan. Naiknya produktivitas pertanian pangan maupun pertanian lainnya—karena tambahan input per satuan luas lahan—tidak menjadikan naiknya produktivitas kerja tani, bahkan memperbesar kebutuhan untuk kerja sampingan nontani. Selama politik produktivitas pertanian tidak mendorong naiknya nilai kerja tani dan nilai produk tani, dan selama masing-masing daerah tidak menerapkan syarat-syarat perlindungan pada tanah-tanah rakyat desa dari pembelian atau pengambilalihan untuk berbagai fungsi-fungsi non pertanian seperti pariwisata, rakyat desa khususnya pekerja tani tanpa tanah akan tetap miskin, dan proses pemusatan hak milik dan kuasa atas lahan di desa akan terus merambat luas, tanpa atau dengan pendudukan kembali/reklamasi hak atas tanah-tanah pertanian maupun redistribusi tanah.
Produktivitas rakyat desa karenanya harus kembali dipelajari, dibaca, dan ditakar dalam bingkai persoalan setempat (desa atau antar desa). Demikian juga, tindakan sistematis meningkatkan produktivitas rakyat hanya masuk akal apabila tindakan tersebut berguna bagi rakyat desa khususnya pekerja tani untuk memenuhi syarat keselamatan dan kesejahteraannya. Dalam neraca desa, naiknya produksi hasil tani per hektar, begitu pula tersedianya barang-barang indikator kesejahteraan yang biasa digunakan (listrik, jalan raya, televisi, dan sebagainya) harus serta merta selalu dikoreksi dengan ada tidaknya penggusuran baru atau perampasan hak yang belum dipulihkan kembali, kemiskinan kronis, ketidakmampuan warga memenuhi syarat keselamatan, kesehatan atau pendidikan yang dibutuhkannya, atau naiknya pengeluaran tunai untuk mencukupi syarat kesehatan maupun pelayanan sosial sehari-hari seperti pendidikan anak.
Produktivitas rakyat juga harus dikoreksi pada tingkat abstraksi. Gagasan produktivitas yang mengacu semata pada proses penciptaan nilai pakai atau tukar telah terbukti mengasingkan satu kesatuan ekonomik seperti rumah tangga dari yang lain dan menjadikan desa sebagai wilayah pemusatan pemilikan atau penguasaan tanah. Produktivitas desa dan peningkatannya menjadi identik dengan penguatan golongan terkaya di desa. Sebagai tandingannya, produktivitas seharusnya mengacu pada kemampuan kolektif rakyat di satu wilayah terorganisir/wilayah kelola, untuk menghasilkan syarat-syarat keselamatan dan kesejahteraannya. Efisiensi produksi, perbandingan modal dengan output, dan berbagai takaran produktivitas lain dengan demikian tunduk pada batasan tandingan tersebut di atas. Dalam pengukuran berkala, pembesaran polarisasi kuasa di desa menjadi pembagi dalam fungsi produktivitas setempat; begitu pula kegagalan pemenuhan syarat keselamatan atau kesejahteraan dari warga, atau kegagalan perlindungan alam. Hanya dengan syarat produktivitas sedemikianlah demokratisasi politik desa menjadi kepentingan mendasar bagi rakyat sendiri, bukan pusat-pusat kuasa di ibukota politik.
Pemeriksaan mengenai ketiga masalah kelangsungan hubungan rakyat dan alam di atas sangat bergantung pada bagaimana tata kuasa, tata guna, tata produksi dan tata konsumsi yang ada dengan mencapai pemenuhan persyaratan sosial dan ekologis tersebut.
| TKSA | TGSA | TP | TK | |
Tata Kuasa Sumber-Sumber Agraria | Tata Guna Sumber- Sumber Agraria | Tata Produksi | Tata Konsumsi | ||
K K | Keselamatan dan Kesejahteraan |
|
|
|
|
K P A | Kelangsungan Pelayanan Alam |
|
|
|
|
P R | Produktivitas Rakyat |
|
|
|
|
Bagan di atas dapat kita gunakan sebagai panduan pokok untuk mengelola proses perubahan untuk suatu wilayah kelola. Batas-batas wilayah kelola dalam hal ini akan harus ditentukan berdasarkan kemudahan bagi rakyat untuk menghimpun informasi tentangnya, dan kemudahan pengelolaannya. Sebagai contoh, syarat keselamatan dan kesejahteraan akan lebih mudah dipetakan dan dikelola dengan menggunakan desa sebagai wilayah kelola. Kelangsungan pelayanan alam dari wilayah berhutan atau perbukitan, karena konfigurasi topografiknya, akan lebih mudah dipetakan dan dikelola oleh beberapa desa sekaligus untuk mencegah fragmentasi tanggung-jawab pengelolaan yang selama rejim yang lampau terjadi secara meluas. Produktivitas rakyat boleh jadi harus dipetakan dalam beberapa jenis wilayah kelola; wilayah produksi, desa, wilayah terdiri dari beberapa desa, dan kabupaten.
Simpul pikiran terpenting dari panduan pengelolaan perubahan yang mempertimbangkan tata kuasa dan tata guna sumber-sumber agraria dan tata produksi serta konsumsi setempat adalah bahwa sementara hak rakyat untuk hidup layak diakui dan diurus bersama, bentuk-bentuk kepemilikan, kuasa, dan hak atas hasil dari sumber- sumber agraria terutama tanah akan harus selalu terbuka bagi perubahan, sesuai dengan derajat produktivitas bersama pada saat pemetaan berkala, dan sesuai dengan tuntutan pemenuhan syarat keselamatan, kesejahteraan, produktivitas serta kelangsungan pelayanan alam pada saat perumusan ulang ketentuan tata produksi setempat. Kelenturan ketentuan agraria dengan demikian bukan saja harus mempersyaratkan kemajemukan rejim hukum yang mempertimbangkan hak-hak ulayat yang lebih dulu ada di situ, tetapi juga harus mempersyaratkan pengaturan kembali secara berkala tata-kuasa dan tata-guna atas sumber-sumber agraria, semata untuk memecahkan cara pemenuhan persyaratan sosial dan ekologis di sepanjang perubahan. Dilihat dalam jangka waktu panjang, strategi gerakan sosial ini yang dikemukakan di sini akan sangat berguna untuk menghambat proses disorganisasi sosial, gentrifikasi tanah desa, pemusatan aset agraria di tangan laki-laki, putus-kerja, di samping berbagai proses entropik lainnya.*)
.
No comments:
Post a Comment