Pertimbangan untuk Tim Ahli Pembuat Draft RUU Pertanahan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
Noer Fauzi Rachman*)
Berbagai peraturan agraria akhirnya menjadi alat menghalalkan “pencurian” harta milik rakyat (het recht als instrument van diefstallen)”
(Achmad Sodiki 2003:32)
Pengantar
Seminggu lalu, 6 Juni 2015, saya bercakap-cakap dengan mantan Hakim Mahkamah Konstitusi, Prof. DR. Ahmad Sodiki, SH., di Bogor, termasuk mengenai inisiatif dari DPD membuat draft RUU Pertanahan. Kami bercakap-cakap mengenai komitmen dari mereka yang bekerja di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) maupun yang bekerja di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia untuk untuk membuat RUU Pertanahan, sekuat para pembuat UU no 5/1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria, yang lebih dikenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), terutama bila dihubungkan dengan dominasi sistem kapitalisme dalam konteks ekonomi politik makro yang Indonesia hadapi. Ia menyitir pandangan Menteri Agraria Sajarwo, yang pada waktu tanggal 14/9/1960 menjabat Menteri Agraria RI, dan atas nama pemerintah memberikan keterangan atas pandangan anggota DPR-GR RI mengenai maksud dirancangnya UUPA itu. Untuk mendapatkan selengkapnya, saya periksa buku Politik Hukum Agrariayang dibuat semasa ia menjadi Hakim Mahkamah Konstitusi.
“Rancangan UUPA selain akan menumbangkan puncak kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan tenaga bangsa Indonesia hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing dengan aparat-aparatnya yang mengadudombakan aparat-aparat pemerintah dengan rakyatnya sendiri” (Boedi Harsono sebagaimana dikuti dalam Sodiki 2013:30).
Ahmad Sodiki menjelaskan pada saya bahwa saat UUPA dihadirkan, pemerintah menganggap modal asing merupakan salah satu penyebab keterpurukan bangsa dan Negara Indonesia, berbeda dengan cara pemerintah rejim otoritarian Orde Baru dan pemerintahan setelahnya menempatkan modal asing sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi yang diidam-idamkan.
Untuk memhamai lebih lanjut apa yang dimaksudkannya, ijinkan saya melanjutkan kutipan agak panjang tulisan Ahmad Sodiki (2003) dalam buku Politik Hukum Agraria itu sbb.:
“Pijakan filosofis UUPA yang berbasiskan kerakyatan (petani) ditinggalkan dan sebagai gantinya yaitu filosofis kapitalis yang berbasis pada eksploitasi, akumulasi dan ekspansi modal mulai mendominasi kebijakan perekonomian Indonesia. Bahkan sektor pertanian terpaksa harus menyokong kepentingan kapitalis. Di sinilah dapat dikatakan bahwa sekalipun secara yuridis formal UUPA masih berlaku tetapi secara filosofis sudah kehilangan nilai-nilai kerakyatan yang harus diwujudkannya. Pertanyaannya ialah, dengan adanya peranan modal asing yang tidak bisa dilepaskan dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat ini dan ditambah denagn kenyataan empiris bahwa kita sudah masuk putaran ekonomi global sekaligus kapitalisme global, filosofi kesejahteraan rakyat yang bagaimanakah yang cocok dengan upaya peningkatan nasyarakat dalam kancah persaiangan ekonomi yang semakin tajam dan sengit?
Dari sudut sosiologis, bertemunya kapitaisme dengan feodalisme telah menumbuhkan kapitalisme semu dari hasil simbiosis kepentingan kapital dan kepentingan feudal yang saling menopang. Dengan sendirinya UUPA dengan desain kerakyatan tidak dapat menopang kepentingan kapitalisme tersebut. Yang terjadi ialah mendistorsi UUPA dengan menciptakan berbagai peraturan, baik undang-undang maupun peraturan organik di luar UUPA yang tidak sejalan dengan UUPA.Hal ini menimbulkan berbagai konflik di masyarakat, baik secara individual maupun kelompok. Berbagai peraturan agrarian akhirnya menjadi alat menghalalkan “pencurian” harta milik rakyat (het recht als instrument van diefstallen)” (Sodiki 2003:31-32).
Saya sengaja mengangkat hal ini sebagai pembuka, dengan maksud untuk membuka jalan ke uraian bagaimana penyimpangan atas UUPA itu sudah sedemikian rupa jauhnya, lantaran rezim yang berkuasa atas pemerintahan memilih jalan tempuh menggabungkan diri dengan kekuatan kapitalisme global. Intinya, kapitalisme adalah suatu sistem ekonomi yang digerakkan oleh perusahaan-perusahaan raksasa (disebut dalam bahasa Inggeris: Corporation) untuk tujuan akumulasi modal dan kekayaan sebesar-besarnya, baik melalui operasi paksa maupun melalui transaksi pasar.
Kaum pemilik modal sudah sejak memulai usahanya senantiasa berkepentingan memperlakukan pemerintah secara umum, dan khususnya hukum dan peraturan-peraturan pertanahan, sebagai instrument yang memperlancar kepentingan mereka. Sebagaimana disinyalir oleh Karl Marx dan Friedrich Engels (1848/1993) dalam pamfletnya yang termasyhur Manifesto of The Communist Party bahwa “(t)he executive of the modern state is nothing but a committee for managing the common affairs of the whole bourgeoisie.” Tentu saja, keberadaan pemerintah yang melulu bersifat instrumental terhadap perluasan sistem kapitalisme ini sesungguhnya bertentangan dengan maksud pembentukan Republik Indonesia, sebagaimana dicita-citakan pada masa pendiriannya. Justru sebaliknya, negara diidamkan sebagai kekuatan pembebas rakyat.
Di sini kita musti secara khusus menyebut andil Soekarno dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara dalam pidato di BPUPKI 1 Juni 1945. Ia dengan jelas dan jenius menunjukkan bagaimana Negara Republik Indonesia musti difungsikan sebagai Ibu Pertiwi yang memangku rakyat sebagai warga negaranya. “Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalisnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang pangan kepadanya?”[1]
Arah politik agraria Indonesia di masa awal kemerdekaan adalah menghilangkan sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme untuk memberi jalan bagi sistem ekonomi nasional bekerja atas prinsip pasal 33 ayat 3 UUD 1945, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” – kalimat yang perumusannya dibuat oleh Mohammad Hatta, Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia.
Sketsa apa yang terjadi paska UUPA 1960?
Di masa awal penerapan UUPA (1962 sampai dengan 1965) wacana land reform berhasil menjadi kebijakan nasional, namun dua sistem agraria warisan kolonialisme, yakni perkebunan-perkebunan besar di Jawa dan Sumatera dan penguasaan lahan hutan oleh Perhutani di Jawa, berhasil berlanjut hidup dengan menempatkan diri sebagai perusahaan-perusahaan milik negara, yang dikerangkakan sebagai bagian dari Ekonomi Terpimpin. Selanjutnya, kebijakan land reform berfokus pada urusan membatasi penguasaan tanah-tanah pertanian rakyat, melarang penguasaan tanah swapraja dan tanah-tanah guntai, redistribusi tanah-tanah negara dan pengaturan bagi hasil (Fauzi 1999, Rachman 2013).
Land reform kemudian bergeser dari agenda bangsa untuk mewujudkan keadilan agraria berubah menjadi isu politik yang membelah pengelompokan sosial-politik dan membuat perebutan tanah menjadi basis dari pertarungan yang lebih luas di pedesaan Jawa, Bali, sebagian Sumatera dan sebagian Nusa Tenggara, termasuk dengan melibatkan aksi-aksi sepihak, pembunuhan massal, penangkapan, dan pemenjaraan puluhan ribu rakyat yang digolongkan komunis (Utrecht 1969, 1973, 1976, Lyon 1970, and Mortimer 1972). Konflik itu berkulminasi pada kudeta merangkak pada rezim Soekarno, yang membuat jenderal Soehato naik sebagai Presiden RI, dan dimulainya rezim otoritarianisme militer (Wardaya 2007a, 2007b).
Seperti ditunjukkan oleh Hilmar Farid (2005), keseluruhan rangkaian kekerasan itu perlu dimengerti sebagai bagian dari primitive accumulation, proses awal kembalinya kapitalisme bekerja di Indonesia.
Apa yang diwariskan oleh rezim nasionalis ‘Demokrasi Terpimpin’ 1958-1965 kepada kita sekarang ini adalah ajaran-ajaran untuk menandingi fondasi dari kapitalisme kolonial, termasuk dalam bidang politik agaria. Mohammad Hatta telah meletakan dasar-dasar yang melarang tanah (dan sumber daya alam) untuk diperlakukan sebagai komoditas (barang dagangan). Kita ingat juga Mochammad Tauchid dalam bukunya Masalah Agraria jilid 1 dan 2 (1952/3), yang memberikan penjelasan paling menyeluruh tentang politik agraria Indonesia, termasuk meletakkan dasar bahwa penyelesaian masalah agraria menentukan kelangsungan hidup bangsa dan rakyat Indonesia.
Selain Pancasila yang telah menjadi ideologi negara, Soekarno telah pula melahirkan formula Trisakti (Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan) untuk menginspirasi perjuangan dekolonisasi dalam segala bentuknya, bukan hanya untuk Indonesia tapi untuk perjuangan kemerdekaan negeri-negeri terjajah lainnya, sebagaimana secara fundamental ditegaskan dalam deklarasi “Dasasila Bandung” yang dihasilkan oleh Konferensi Asia-Afrika Tahun 1955.[9] Namun, selama kepemimpinan langsung Presiden Soekarno (1958-1965), Indonesia belum berhasil mengatasi apa yang saya istilahkan “kutukan kolonial”, yang secara lantang pernah disampaikan oleh Presiden Soekarno pada sidang pleno pertama Dewan Perantjang Nasional (1959) di Istana Negara, 28 Agustus 1959. Kutukan itu, pertama, “Indonesia mendjadi pasar penjualan daripada produk-produk negeri pendjadjah atau negeri-negeri luaran di tanah air kita”; kedua, “Indonesia mendjadi tempat pengambilan bahan-bahan pokok bagi industriil kapitalisme di negeri pendjadjah atau negeri-negeri lain”, dan ketiga, “Indonesia mendjadi tempat investasi daripada modal-modal pendjadjah dan modal-modal asing jang lain.”
Sesungguhnya, “kutukan kolonial” itu, oleh Soekarno dikontraskan dengan keperluan untuk secara leluasa “menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi”. Secara jelas hal ini dipidatokan oleh Ir. Soekarno dalam Badan Persiapan Usaha-usaha Kemerdekaan 1 Juni tahun 1945, setelah memaknai kemerdekaan Indonesia sebagai “jembatan emas”.
Alih-alih menghilangkan kutukan itu, rezim otoritarian-militer Orde Baru (1966-1998), kembali menjalankan politik agraria kolonial, khususnya dengan mempraktekkan kembali azas domein Negara. Sejarah politik agraria di Hindia-Belanda memberi pelajaran bahwa pemberlakuan azaz domein negara, baik dengan Boschordonantie voor Java en Madoera 1865 (Peraturan Kehutanan untuk Jawa dan Madura 1865), dan Agrarische Wet 1870, menyatakan klaim bahwa setiap tanah (hutan) yang tidak dapat dibuktikan adanya hak kepemilikan pribadi (eigendom) di atasnya maka menjadi domain pemerintah. Pemberlakukan pernyataan domein (domein verklaring) ini merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan dari negara-negara Eropa dapat memperoleh hak-hak pemanfaatan yang eksklusif atas tanah/wilayah di tanah jajahan, membentuk rezim tenaga kerja kolonial yang khusus, dan menjadi sistem-sistem agraria kehutanan dan perkebunan, yang menghasilkan komoditas eksport (Tauchid 1952/2009: 32-90; Peluso 1992: 44-67, Simbolon 1995/2007: 155-7, Fauzi 1999: 33-37).
Rezim penguasa Orde Baru di bawah kepimpinan Jenderal Suharto yang berkuasa melalui peralihan kekuasaan yang berdarah-darah ditahun 1965-1966, kembali memberlakukan azas domein ini. Melalui sistem perijinan (lisensi) yang serupa dijalankan oleh pemerintah kolonial, badan-badan pemerintahan pusat mengkapling-kapling tanah-air Indonesia untuk konsesi pertambangan, kehutanan dan perkebunan, dan mengeluarkan paksa penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Tiap-tiap rezim kebijakan dari badan pemerintah pusat memiliki instrumen hukum dan birokrasi pemberian lisensi yang berbeda-beda. Nama, definisi, dan bentuk dari lisensi-lisensi itu berubah dari waktu ke waktu, sesuai dengan keperluan perusahaan untuk mengakumulasikan kekayaan, karakteristik sumber daya alam yang disasar, dan rancangan pemerintah untuk mengkomodifikasi atau mengkonservasi sumber daya alam.
Wilayah-wilayah rakyat yang masuk dalam tanah negara atau kawasan hutan negara nasibnya bergantung pada kelompok kategori di mana wilayah rakyat itu berada, dan lisensi-lisensi yang dikeluarkan Menteri Kehutanan yang mencakup atau mengenai wilayah rakyat itu. Konflik-konflik agraria struktural muncul ketika rakyat menolak disingkirkan oleh perusahaan pemegang izin, dan melakukan perlawanan secara terus menerus. Konflik-konflik ini merebak di mana-mana dan menjadi kronis, karena pemerintah terus saja berfungsi melayani dan melindungi kepentingan-kepentingan perusahaan-perusahaan, dan tidak ada mekanisme penyelesaian konflik yang tepat untuk menjamin tercapainya keadilan agraria (Rachman 2013).
Persis di titik ini hubungan dan cara penduduk menikmati hasil dari tanah airnya telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pengkaplingan wilayah secara fisik, hingga penggunaan wacana dan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipunyai rakyat. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk kembali mengklaim dan menguasai kembali tanah dan wilayah yang telah diambil-alih oleh pemerintah dan diberikan ke perusahaan-perusahaan itu, mereka menerima akibat yang sangat nyata, yakni menjadi sasaran tindakan kekerasan secara langsung maupun melalui birokrasi aparatus hukum negara.
Pengkapling-kaplingan dan pemutusan hubungan kepemilikan rakyat dengan tanah airnya itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu, lalu tanah dan kekayaan alam itu masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik.[11] Jadi, perubahan dari alam menjadi “sumber daya alam” ini berakibat sangat pahit bagi rakyat petani yang harus tersingkir dari tanah airnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan. Ini adalah proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja dan hidup di tanah airnya. Orang-orang ini akan mengandalkan hanya pada tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota paska-kolonial, yang dijuluki planet of slums (Davis 2006), banyak dilahirkan oleh proses demikian ini.
Pengkaplingan itu berakibat pada perubahan secara drastis tata guna dari tanah, sumberdaya alam dan wilayah, serta perubahan posisi kelas dari rakyat dalam hubungannya dengan keberadaan sistem produksi baru yang berdiri dan bekerja atas tanah, sumber daya alam dan wilayah itu. Kebanyakan rakyat mengalah dan kalah. Mereka menyingkir, atau meninggalkan kampung halamannya karena tidak lagi bisa mengandalkan hidup dari tanah, sumber daya alam, dan wilayah yang telah dikapling perusahaan-perusahaan itu. Ada sedikit saja rakyat yang berhasil mempertahankan diri atau menghalau perusahaan-perusahaan yang mengkapling tanah-tanah mereka itu.
Berita di Koran Kompas edisi 18 April 2015 “Konflik Lahan Adat Meningkat” menarik perhatian saya. Suryati, Sekretaris Pelaksana Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang menjadi narasumber berita itu melaporkan bahwa sejak tahun 2003 hingga 16 April 2015, terdapat setidaknya konflik lahan antara 18 komunitas adat dengan PT Toba Pulp and Paper (PT TPL) yang beroperasi di kawasan Toba. “Setidaknya konflik itu melibatkan 3.777 keluarga atau 17.722 jiwa di lahan seluas 26.560,398 hektar di Kabupaten Humbalang Hasundutan, Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir, Dairi, dan Simalungun.” (Kompas, 18 April 2015). Perlu diketahui bahwa PT TPL memperoleh lisensi izin pemanfaatan lahan untuk Hutan Tanaman Industri melalui SK Menhut nomor 58/2011 untuk lahan seluas 188.000 hektar. Izin ini merupakan pembaruan atas SK Menhut 493/1992 hektar untuk lahan seluas kurang lebih 269.000 hektar atas nama PT Inti Indorayon Utama (IIU).
Kasus konflik lahan di wilayah ini bukan hanya 18 kasus itu saja. Ke-18 kasus itu adalah mereka yang bertahan hingga saat ini. Banyak komunitas yang sudah kalah atau akhirnya mengalah terhadap PT TPL atau PT IIU.[2] Konflik-konflik lahan di wilayah ini sudah berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, semenjak PT IIU bekerja di sana mendapatkan lisensi pembalakan kayu (alias: Hak Pengusahaan Hutan/HPH) dari Menteri Kehutanan seluas 100.000 hektar pada tanggal 23 Oktober 1984 dengan jangka waktu pengusahaan 20 tahun.
Di akhir tahun 2003, saya memiliki satu kesempatan mengharukan saat mengunjungi salah satu dari konflik-konflik lahan itu, yakni yang terjadi di kampung Naga Hulambu, kabupaten Simalungun. Saya bertemu dan mendengar cerita bagaimana seorang ibu (inang) memimpin rakyatnya mempertahankan tanah air mereka dengan cara mengusir kontraktor-kontraktor PT TPL yang telah, sedang, dan akan menghabisi kebun-kebun kepunyaan mereka yang telah dipenuhi oleh pohon kayu, buah-buahan, maupun sayur-sayuran.
Apa yang terjadi disini untuk menunjukkan masalah konflik agraria ini bersifat kronis dan meluas. Kasus-kasus konflik agraria tersebar di seantero Nusantara. Salah satunya dibuat oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang melaporkan bahwa sepanjang tahun 2014 sedikitnya telah terjadi 472 konflik agraria di seluruh Indonesia dengan luasan konflik mencapai 2.860.977,07 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 105.887 kepala keluarga (KK). Data KPA memperlihatkan konflik agraria tertinggi pada tahun ini terjadi pada proyek-proyek infrastruktur, yaitu sebanyak 215 konflik agraria (45,55%). Selanjutnya ekspansi perluasan perkebunan skala besar menempati posisi kedua yaitu 185 konflik agraria (39,19%), dilanjutkan oleh sektor kehutanan 27 kasus (5,72%), pertanian 20 (4,24%), pertambangan 14 (2,97%), perairan dan kelautan 4 (0,85%), dan lain-lain ada 7 konflik (1,48%). Dibandingkan tahun sebelumnya, terjadi peningkatan jumlah konflik sebanyak 103 atau meningkat 27,9% dari tahun 2013. Secara kumulatif selama 10 tahun masa pemerintahan SBY (2004-2014) setidaknya telah terjadi 1.520 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan luasan areal konflik seluas 6.541.951,00 hektar dan melibatkan lebih dari 977.103 kepala keluarga (KK), yang harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. Dapatlah dikatakan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini rata-rata hampir dua hari sekali meletus satu kasus konflik agraria (Konsorsium Pembaruan Agraria 2014).
Selanjutnya saya akan mengarahkan penjelasan mengenai cara kapitalisme reorganisasi ruang untuk perluasan sirkui produksi, sirkulasi dan konsumsi komoditas-komoditas global demi penciptaan keuntungan dan akumulasi modal perusahaan-perusahaan raksasa.
Bagaimana yang disebut “Pengorganisasian Ruang” oleh Kapitalisme itu berlangsung?
Kapitalisme adalah suatu sistem produksi yang mendasarkan pada pemisahan antara pemilik dan pekerja, serta manajer pengelola produksi, dan yang senantiasa berorientasi untuk pelipatgandaan keuntungan si pemilik. Mesin-mesin produksi nya harus terus bergerak memproduksi tidak henti-henti untuk menghasilkan komoditi atau barang dagangan secara standar dan massal. Barang dagangan atau komoditi itu kemudian disirkulasikan sedemikian rupa lewat berbagai rantai distribusi sehingga bisa sampai pada konsumen.
Seperti diuraikan secara padat oleh Schumpeter (1944/1976: 82-83), sebagai suatu sistem ekonomi yang khusus, kapitalisme tidak pernah statis tetapi sangat dinamis. Perubahan yang dihasilkan oleh kapitalisme bukan hanya dikarenakan fakta bahwa kehidupan ekonomi berlangsung dalam suatu lingkungan sosial dan alam yang berubah. Memang penting juga melihat pengaruh kekuatan politik dan segala pergolakan yang timbul dari padanya terhadap perubahan industrial, akan tetapi kesemua itu bukanlah penggerak utamanya. Tidak pula hanya karena pengaruh yang begitu rupa dari ilmu dan jumlah modal yang diinvestasikan, atau oleh pengaruh khusus dari sistem-sistem moneter, yang semuanya memang benar berpengaruh. Dorongan pokok yang membentuk dan menggerakkan mesin kapitalis sesungguhnya berasal dari kemampuannya membuat rakyat mengkonsumsi barang-barang yang baru, yang dimungkinkan melalui cara-cara produksi baru, transportasi baru, pasar-pasar baru, dan manajemen organisasi industrial baru.
Barang-barang dagangan selalu harus dibeli dan rakyat kita dipacu untuk terus menjadi konsumen belaka. Mekanisme-mekanisme baru untuk memperbesar konsumsi terus-menerus diperbaharui: yang lama diganti dan yang baru diciptakan. Kapitalisme akan mati bila tidak ada yang membeli barang dagangan (komoditi) yang mereka hasilkan. Dari hari ke hari, sistem produksi kapitalis terus menerus menghasilkan barang-barang baru, termasuk untuk menggantikan barang-barang dagangan yang dihasilkan oleh sistem produksi non-kapitalis. Saat ini, kita lihat kenyataan bahwa selera rakyat dibentuk melalui iklan dan gaya hidup konsumtif yang mampu membangkitkan gairah mengidamkan dan membeli barang-barang baru. Upaya pembiasaan membeli pun digencarkan melalui iklan-iklan TV, radio, billboard penjualan di mall-mall, supermarket di kota-kota hingga minimarket dan toko-toko di kelurahan/desa-desa, serta situs-situs maya yang menawarkan secara online.
Ekspansi sistem produksi kapitalis memerlukan reorganisasi ruang (spatial reorganization) yang khusus agar sistem produksi yang bercorak kapitalistik bisa meluas secara geografis (geographic expansion). Istilah yang dimaksudkan di sini lebih luas maknanya dari istilah yang disebut oleh pemerintah sebagai “penataan ruang”. Secara umum, yang dimaksudkan dengan istilah ruang dalam “reorganisasi ruang” di sini mencakup: (a) ruang imajinasi dan penggambaran, termasuk perancangan teknokratik yang diistilahkan master plan, grand design, dan sebagainya; (b) ruang material, tempat dimana kita hidup; dan (c) praktik-praktik keruangan dari berbagai pihak dalam membuat ruang, memanfaatkan ruang, memodifikasi ruang, dan melenyapkan ruang, dalam rangka berbagai upaya memenuhi keperluan, termasuk mereka yang berada dalam posisi sebagai bagian negara, atau korporasi, atau rakyat. [3]
Reorganisasi ruang dilakukan terus-menerus oleh perusahaan-perusahaan yang bermaksud untuk terus melipatgandakan keuntungan dan menghindari kerugian. Keuntungan itu pada dasarnya diperoleh dari privatisasi tanah dan sumber daya alam, pemisahan antara penghasil dan pemilik barang yang dihasilkan, dan eksploitasi tenaga kerja untuk menghasilkan barang dagangan yang bernilai tambah. Komoditas atau barang dagangan yang dihasilkan oleh sistem produksi kapitalis itu ditransportasikan sedemikian rupa mulai dari tempat ia diproduksi hingga diperdagangkan dan dikonsumsi rakyat, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun melayani kebiasaan berbelanja (budaya konsumtif).
Manusia-manusia yang sepenuhnya menikmati menjadi bagian dari sirkuit produksi-konsumsi komoditas itu terus menyebarluaskan kehebatan dari sistem produksi ini, dan meyakini bahwa kita tidak bisa mengelak kecuali menjadi bagian dari kapitalisme. Kita sepenuhnya bisa memahami mereka yang bekerja mengabdikan dirinya secara profesional dengan andalan keahliannya, memperoleh upah, penghargaan, dan jaminan karir yang diatur lewat manajemen tertentu.
Umumnya yang tidak mereka ceritakan adalah cara sistem-sistem produksi kapitalis ini makin memperluas wilayah kerjanya melalui operasi-operasi kekerasan mengubah hubungan kepemilikan dengan membatasi bahkan membuat rakyat tidak bisa lagi menikmati tanah dan sumber daya alamnya, mengubah secara drastis dan dramatis tata guna tanah yang ada, dan menciptakan kelompok-kelompok pekerja yang dengan sukarela maupun terpaksa siap-sedia didisiplinkan untuk menjadi penggerak sistem produksi kapitalis itu. Sistem pertanian keluarga, perladangan suku, wana-tani, penggembalaan suku, kebun-hutan bersama, hingga pengelolaan pesisir dan laut itu diluluh-lantakkan.
Ekspansi sistem-sistem produksi kapitalis akan memaksa kehidupan mereka berubah. Keadaan kampung, ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantai mereka telah, sedang dan akan terus diubah oleh industri pengerukan (batu bara, timah, nikel, pasir besi, bauksit, emas, semen, marmer, dsb), industri pulp and paper, industri perkebunan kelapa sawit, industri perumahan dan turisme, industri manufaktur, dan lain sebagainya.
Semua sistem produksi baru ini perlu dipahami sebagai bagian dalam jaringan produksi internasional/global yang ekspansif. Perusahaan-perusahaan raksasa di bidang industri pertambangan, kehutanan, pekebunan, manufaktur, perumahan dan turisme, infrastruktur, dan lainnya, bekerja berdasarkan lisensi atau surat izin yang diperoleh dari pejabat publik yang berwenang. Lisensi-lisensi itu menjadi alas hukum untuk menyingkirkan dan meminggirkan rakyat agraris (petani, nelayan, masyarakat adat yang mengumpulkan hasil hutan/laut, dan sebagainya) dari tanah dan ruang hidupnya, baik oleh perusahaan-perusahaan pemegang lisensi itu, maupun aparatus keamanan/polisi yang bekerja untuk perusahan-perusahaan pemegang lisensi itu. Konsesi-konsesi berupa taman-taman nasional dan kawasan konservasi lainnya, yang dihasilkan oleh keputusan-keputusan Menteri Kehutanan, juga menjadi dasar penyingkiran rakyat atas nama biodiversity hotspot, di mana spesies-spesies flora fauna yang langka dan ekosistemnya perlu dikonservasi.
Saat ini, yang sedang menjadi andalan pemerintah adalah pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan, pelabuhan, lapangan terbang beserta aerocity, kompleks industri pengolahan, dan semacamnya. Berbeda dengan yang lain, infrastruktur memiliki fungsi khusus melayani komoditas untuk bersirkulasi, khususnya dengan jalan darat atau kereta api, pelabuhan, atau bandara udara. Komoditas ditransportasikan dari satu tempat ke tempat lainnya hingga sampai ke konsumen. Proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang masif ini ikut menyumbang juga pada penyingkiran rakyat dari kampung halamannya.
Sejak masa kebijakan otonomi daerah dimulai tahun 2000, pemerintah daerah lebih tertarik memburu rente yang dapat diperolehnya, baik dari pembagian keuangan dari pemerintah pusat, maupun dari pemberian izin-izin. Bertarung dalam pemilu kepala daerah (pemilukada) menghabiskan biaya yang sangat mahal, dan itu membuat kepala daerah harus mempunyai cara mendapatkan kompensasi dari pengeluarannya ketika bertanding dalam pemilukada itu. Cara itu menemukan bentuk praktisnya ketika desakan desentralisasi berujung pada kewenangan kabupaten dalam pemberian izin lokasi, izin usaha pertambangan, dan sebagainya.
Barang-barang yang diperjual-belikan dihasilkan di pabrik-pabrik yang lokasinya jauh dari tempat barang itu dijual. Semua barang itu dimungkinkan hadir melalui rantai komoditas (commodity chain) yang merupakan bagian dari sirkuit produksi-sirkulasi-konsumsi. Indonesia menduduki posisi khusus dalam sirkuit ini. Istilahnya, terdapat pembagian kerja yang telah diatur secara internasional (international division of labour), di mana posisi dan andil Indonesia dalam tata perekonomian global itu sungguh penting untuk dicermati. Kebijakan industri mengatur kehadiran pabrik-pabrik yang menghasilkan barang dagangan sesuai standar dan secara massal. Semua itu diatur dalam perjalanan industrialisasi Indonesia secara nasional, yang telah melintasi berapa kali periode. Kita telah mengalami suatu pengalaman industrialisasi substitusi import (ISI) yang dimulai awal tahun 1970-an hingga industrialisasi orientasi eksport (IOE) pada tengah tahun 1980-an. Muaranya adalah pembangunan kawasan-kawasan industri khusus (special economic zone), yang menjadi lokasi pabrik-pabrik, dengan sistem produksi kapitalis yang mendasarkan diri pada cara pabrik model Fordism. Istilah Fordism ini berasal dari nama industrialis Amerika Henry Ford, yang membangun pabrik mobil Ford dengan suatu sistem sosial dan ekonomi modern berbasiskan bentuk produksi massal industri yang memiliki standar. Teknik dalam manajemen industrinya disebut sebagai assembly line dengan alat “ban berjalan” dan tugas buruh yang repetitif.
Di akhir tahun 1990-an, setelah Presiden Jenderal Soeharto turun tahta dan rezim otoritarian Orde Baru kehilangan cengkeramannya, sebagai respon manajemen industri terhadap gerakan-gerakan serikat buruh yang semakin menguat, marak mekanisme sub-contracting, dimana tidak diperlukan suatu hubungan industrial yang memberi peran bagi serikat-serikat buruh, terutama dalam kontrak kerja yang mencakup kondisi kerja dan penentuan nilai upah. Lebih dari itu, suatu model manajemen industri baru, yang disebut sebagai post-fordism, yakni suatu sistem manajemen industri untuk produksi barang dagangan yang masal melalui mekanisme yang lebih lentur dalam skala produksi, spesialisasi, lokasi produksi, dan sebagainya, dengan basis penggunaan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi baik dalam rantai pasokan (supply chain) untuk produksi hingga sirkulasi barang dagangan sampai ke konsumen.
Model paling akhir dan terbaru adalah yang disebut sebagai “jaringan produksi internasional” (international production network), atau juga disebut sebagai jaringan produksi global (global production network). Jaringan produksi internasional/global berlangsung dalam skala besar dan sedang dilayani oleh negara, termasuk melalui pembangunan berbagai mega proyek infrastruktur dalam kerangka pelaksanaan Comprehensive Asia Development Plan (CADP) danMaster Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (lihat ERIA 2009, 2010, Pemerintah Indonesia 2011). Pelajarilah kritik atas rancangan MP3EI sebagai Master Plan untuk mereorganisasi ruang bagi perluasan investasi dan pasar di Asia melalui pembangunan proyek infrastruktur raksasa, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi penciptaan krisis sosial ekologis (Rachman dan Januardi 2014).
Konsep-konsep baru, seperti koridor ekonomi, konektivitas, kawasan ekonomi khusus, dan lainnya, diandalkan untuk menyakinkan pembaca mengenai keharusan proyek-proyek infrastruktur raksasa dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai sumber bahan mentah bagi investasi perusahaan-perusahaan untuk menghasilkan dan mensirkulasikan komoditas global. Pada gilirannya Indonesia hendak dijadikan bagian dari “Pabrik Asia” (Asia Factory). Istilah Asia Factory ini dibuat untuk menunjukkan suatu model baru dalam produksi komoditas yang berisi jaringan-jaringan produksi tingkat regional yang menghubungkan pabrik-pabrik di berbagai wilayah ekonomi Asia yang memproduksi bagian-bagian dan komponen-komponen yang kemudian dirakit, dan produk akhirnya dikirim ke wilayah-wilayah “ekonomi maju” (Asian Development Bank 2013: 2).
Quo Vadis Konstitusionalisme Agraria?
Saat ini, tidak bisa tidak, kita harus membicarakan kapitalisme, dan memahami cara bekerjanya. Sebab, kapitalisme telah menjadi suatu sistem produksi yang menguasai Indonesia dan dunia sekarang ini. Kapitalisme adalah suatu sistem produksi yang mendasarkan pada pemisahan antara pemilik dan pekerja, serta manajer pengelola produksi, dan yang senantiasa berorientasi untuk pelipatgandaan keuntungan si pemilik. Mesin-mesin produksi nya harus terus bergerak memproduksi tidak henti-henti untuk menghasilkan komoditi atau barang dagangan secara standar dan massal. Barang dagangan atau komoditi itu kemudian disirkulasikan sedemikian rupa lewat berbagai rantai distribusi sehingga bisa sampai pada konsumen.
Akibat Kapitalisme pada penciptaan masalah agraria dan pengelolaan sumber daya alam dari bangsa Indonesia secara umum pernah dirumuskan secara sederhana oleh elite pemerintahan nasional di jaman Reformasi melalui Ketetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, sebagai berikut:
(i) Ketimpangan penguasaan tanah dan sumber daya alam (SDA) (perlu dibaca sebagai terkonsentrasinya penguasaan tanah dan SDA di tangan segelintir perusahaan raksasa).
(ii) konflik-konflik agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya, dan
(iii) kerusakan ekologis yang parah dan membuat layanan alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat.
Satu mandat utamanya dari TAP MPR ini adalah review pertentangan, tumpang tindih dan tidak sinkronnya berbagai perundang-undangan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang berlaku. Lebih lanjut, ironisnya, belum satupun laporan resmi dari Presiden Republik Indonesia dan DPR RI dari penugasan yang termuat di dalam Ketetapan MPR itu.
Sementara itu, semenjak dibentuknya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 melalui UU Nomor 24/2003 sudah cukup banyak undang-udang agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang telah diuji konstitusionalitasnya, dan sebagian telah dibatalkan karena tidak sesuai dengan UUD 1945 yang berlaku, seperti ditunjukkan oleh Arizona (2014). Yang kita butuhkan sekarang ini adalah suatu cara pandang konstitusionalisme agraria, terutama dari para pejabat pemerintahan, agar praktek-praktek kelembagaan pemerintah dapat bersesuaian dengan konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945, yang fondasinya telah diletakkan oleh putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (Sodiki 2013, Arizona 2014).
Kelompok-kelompok rakyat miskin di banyak desa, di pinggir kota, di dataran tinggi, di pedalaman maupun di pesisir dari pulau-pulau, dilanda rasa risau dan kuatir sehubungan dengan ketidakpastian hak atas tanah, sumber daya alam, dan wilayah kelola kepunyaannya. Ada sedikit saja rakyat yang berhasil mempertahankan diri, atau menghalau perusahaan-perusahaan yang mengkapling tanah-tanah mereka itu. Kebanyakan mereka kemudian menjadi korban operasi paksa pelepasan hubungan kepemilikan. Kebanyakan rakyat mengalah dan kalah. Mereka menyingkir, atau meninggalkan kampung halamannya karena tidak lagi bisa mengandalkan hidup dari tanah, sumber daya alam, dan wilayah yang telah dikapling perusahaan-perusahaan itu.
Adakah aturan-aturan dapat mampu menjadi pelindung dan penyelamat rakyat dan tanah air dari “ganasnya” kekuatan perusahaan-perusahaan raksasa? Aturan yang bagaimana yang bisa pastikan layanan alam berlanjut dengan tata guna yang berkelanjutan? Bagaimana pula aturan yang bisa membuat produktivitas rakyat meningkat dan kesejahteraannya tidak merosot?
Bogor 15 Juni 2015
Daftar Pustaka
Arizona, Yance. 2014. Konstitusionalisme Agraria. Yogyakarta: STPN Press.
Braudel , Fernand. 1979. Civilization and Capitalism 15th–18th Century. Vol. 2. The Wheels of Commerce. New York: Harper & Row.
Breman, Jan. 1996. Footloose Labour, Work and Life in the Informal Sector Economy of West India. Cambridge: Cambridge University Press.
Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso.
De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History. Value Struggles and Global Capital. London: Pluto Press.
ERIA. 2009. Comprehensive Asia Development Plan. ERIA: Jakarta
ERIA.
____. 2010. “Comprehensive Asia Development Plan and Beyond-Growth Strategies to More Prosperous East Asia”. ERIA Policy Brief no. 2010-02, October 2010.
Fauzi, Noer, 1997b, “Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Paska Kolonial”, dalam Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesiap.67-122, Jakarta: LP-FEUI dan KPA.
_____. 1999, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia, Yogyakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan Insist Press dan Pustaka Pelajar.
_____. 2001. Bersaksi untuk Pembaruan Agraria. Yogyakarta: Karsa bekerjasama dengan Insist Press.
Farid, Hilmar. 2005. “Indonesia’s Original Sin: Mass Killings and Capitalist Expansion, 1965–66”. Inter-Asia Cultural Studies 6(1):3-16
Geller, Paul K. 2010. “Extractive Regimes: Toward a Better Understanding of Indonesian Development”, Rural Sociology 75(1): 28–57
Harvey, David 1990. The Condition of Postmodernity: An Inqiury into the Origins of Cultural Change. Oxford, Oxford University Press.
_____. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press.
_____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.
_____. 2006. “Neo-liberalism as Creative Destruction. Geogr. Ann., 88 B (2): 145–158
Hadiz, Vedi dan Richard Robison. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in the Age of Markets. London: Routledge Curzon.
_____. 2014. “Ekonomi Politik Oligarki dan pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”. Prisma 33(1): 35-56.
Hobsbawm, Eric. 1994. Age of Extremes: The Short Twentieth Century, 1914–1991. London: Penguin.
Khudori. 2014. “Darurat Lahan Pertanian” Kompas, 30 Januari 2013
Kurosawa, Aiko. 1993. Mobilisasi dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942 – 1945. Terjemahan Hermawan Sulistyo. Jakarta: Grasindo. 1993.
Lefebvre, Henri. 1992. The Production of Space. Donald Nicholson-Smith (Translator). London: Wiley-Blackwell.
_____. (1970/2003). The Urban Revolution. Foreword by Neil Smith. Translated by Robert Bononno. University of Minnesota Press.
Marx, Karl. 1976/1898. Capital, Vol. One, trans. Ben Fowkes. Harmondsworth, Penguin Books
Pemerintah Indonesia. 2011. Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Kantor Kementerian Kordinator Perekonomian.
Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
_____. 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press.
Rachman, Noer Fauzi. 2013. “Mengapa Konflik-Konflik Agraria Terus-Menerus Meletus Di Sana Sini?” Sajogyo Institute‘s Working Paper No. 1/2013. Bogor: Sajogyo Institute. http://www.sajogyo-institute.or.id/article/mengapa-konflik-konflik-agraria-terus-menerus-meletus-di-sana-sini ( pada unduh 29 Juni 2013).
Schumpeter, Joseph A. 1944. Capitalism, Socialism and Democracy. Allen & Unwin.
Saasen, Saskia. 2001. The Global City: New York, London Tokyo. Updated 2 ed. Princeton: Princeton Univesity Press.
Sodiki, Achmad. 2013. Politik Hukum Agraria. Jakarta: Konstitusi Press.
Toer, Pramoedya. 1984. Arus Balik. Jakarta: Hasta Mitra.
Tauchid, Muhammad. 1952/3. Masalah Agraria, Jilid 1 dan 2. Jakarta: Penerbit Tjakrawala.
White, Ben. 2011. “Who will own the countryside” Disposession, rural youth and the future of farming”. Valedictory Address delivered on 13 October 2011 on the occasion of the 59th Dies Natalis of the International Institute of Social Studies, The Hague.
______. 2012. “Agriculture and the Generation Problem: Rural Youth, Employment and Farming”. DS Bulletin Volume 43 Number 6 November 2012.Halaman 9-19.
Winters, Jeffrey A. (2014) “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”. Prisma 33(1):11-34.
Wood, Ellen Meiksins. 1994. “From Opportunity to Imperative: The History of the Market”. Monthly Review 46(3).
_____. 2002. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso.
Zakaria, R. Yando. 2000. Abih Tandeh. Masyarakat Desa di Bawah Rezim Orde Baru. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.
*) Noer Fauzi Rachman PhD adalah ahli studi agraria, peneliti utama Sajogyo Institute untuk Dokumentasi dan Studi Agraria Indonesia, Ketua Dewan Pengarah Badan Prakarsa Pemberdayaan Desa dan Kawasan (BP2DK), anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Pengajar Mata Kuliah “Politik dan Gerakan Agraria”, Program S2 Sosiologi Pedesaan, Institute Pertanian Bogor. Saya memperoleh PhD di University of California, Berkeley tahun 2011 dalam bidang Environmental Science, Policy and Management. Buku utama saya adalah Petani dan Penguasa, Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria, 1999; danLand Reform dari Masa Ke Masa. Perjalanan Kebijakan Pertanahan Indonesia 1945-2012. Yogyakarta: STPN Press 2013.
[1] Membicarakan kapitalisme bukanlah sesuatu topik yang baru bagi Indonesia sebagai bangsa. Cara bagaimana kapitalisme ini bekerja memporak-porandakan tanah air Indonesia sudah secara gamblang dulu ditunjukkan oleh Soekarno dalam karyanya Indonesia Menggugat (1930). Lebih lanjut, bagaimana perjuangan kemerdekaan Indonesia dimaknai sebagai arus balik menandingi kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme dapat dipelajari pada karya Tan Malaka (1925) Naar de ‘Republiek-Indonesia’ (Menudju Republik Indonesia), Mohammad Hatta (1932) Ke Arah Indonesia Merdeka, Soekarno (1933) Mentjapai Indonesia Merdeka. Siapakah yang sekarang membaca naskah-naskah mereka itu? Mereka adalah para pendiri bangsa yang fasih mengkritik kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Karya-karya mereka itu sanggup menjadi rujukan utama bagi semua elite pemimpin kemerdekaan bangsa Indonesia yang berusaha mencari tahu akar-akar kesengsaraan rakyat Indonesia. Selanjutnya pamflet yang ditulis Tan Malaka, Soekarno dan Mohammad Hatta yang ditulis hampir secara bersamaan mampu menjadi rujukan untuk mengerti mengapa Indonesia Merdeka adalah suatu cita-cita dan sekaligus pembentuk dari cara rakyat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, zonder kapitalisme, dan kolonialisme. Bagi yang sulit mendapatkan naskah-naskah ini, ikutilah ikhtisar karya-karya itu yang dibuat oleh seorang cedekiawan cum wartawan Parakitri Tahi Simbolon. Silakan kunjungi majalah yang diasuhnya pada situs sebagai berikut http://zamrudkatulistiwa.com/2009/06/21/naar_de_republiek_indonesia_/
http://zamrudkatulistiwa.com/2009/06/24/ke_arah_indonesia_merdeka/
http://zamrudkatulistiwa.com/2009/07/01/mancapai_indonesia_merdeka/
[2] Pertama kalinya saya membaca satu kasus dari wilayah ini melalui buku Ibrahim Gidrach Zakir (1980) Dari Jenggawah ke Sirua-ria: Sebuah Peneguhan Sikap di Hadapan Pengadilan Mahasiswa, yang diterbitkan di Bandung oleh Badan kerjasama Pembelaan Mahasiswa Indonesia. Buku ini adalah Pledoi Ibrahim Gidrach Zakir, salah seorang mahasiswa yang dipenjarakan oleh rezim militer Orde Baru karena tuntutan mereka agar Soeharto mundur dari jabatan sebagai Presiden Republik Indonesia. Kasus ini telah menjadi perhatian para pekerja hak asasi manusia sejak akhir tahun 1989. Salah satu yang saya baca dari YLBHI (1990) berjudul Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1989. Sedangkan naskah akademik terbaik mengenai perjuangan agraria disana, termasuk yang digerakkan oleh ibu-ibu Sugapa, adalah Simbolon, Indira Juditka 1998, Peasant Women and Access to Land; Customary Law, State Law and Gender Based Ideology; The Case of the Toba - Batak (North Sumatra), sebuah naskah PhD thesis di Wageningen University.
[3] Rujukan komponen ini berangkat dari pemikiran Henri Lefebrve (1992).