Noer Fauzi (Editor)
Kata Pengantar Penyunting
Untuk mereka yang bersungguh-sungguh menanam kembali kebiasaan bergerakan.
Sebagaimana lazim diketahui di mana-mana negara Dunia Ketiga, sifat dan arah politik lokal yang dominan di pedesaan telah dan masih terus dipengaruhi, dibentuk dan tidak jarang ditentukan oleh aktor dan gelombang proses nasional bahkan global yang memenderitakan rakyat miskin pedesaan. Sebagian dari rakyat pedesaan itu menolak menyesuaikan diri dengan keharusan-keharusan yang memaksa mereka itu bahkan kemudian menantang secara terbuka dengan aksi-aksi kolektif yang relatif terus-menerus. Buku ini hendak memperkenalkan berbagai gerakan rakyat pedesaan kontemporer yang menantang para penguasa yang menggelar kuasa-kuasanya mengenai rakyat pedesaan.
Walaupun dapat dibaca terpisah, buku ini adalah pasangan dari buku Noer Fauzi, “MemahamiGerakan-gerakan Pedesaan Dunia Ketiga (Yogyakarta: INSIST PRESS, 2005). Buku termaksud memperhadapkan antara pandangan teoritis yang selama ini dinilai sebagai “pandangan klasik” dengan kenyataan gerakan-gerakan rakyat pedesaan kontemporer di berbagai negara Dunia Ketiga. Pada buku itu, disajikan profil-profil singkat dari berbagai gerakan rakyat pedesaan, khususnya perihal situasi yang dimusuhi, kesempatan politik yang dihadapi, dan pilihan jenis aksi kolektif yang merekaandalkan. Dari telah atas gerakan-gerakan itu, disimpulkan bahwa kita tidak dapat lagi mengandalkan “pandangan-pandangan klasik” mengenai “petani” dan “pemberontakan petani” untuk memahami gerakan-gerakan pedesaan Dunia Ketiga dewasa ini.
Berbeda dengan buku tersebut yang hanya memprofilkan secara amat ringkas, monografi-monografi yang dikumpulkan dalam buku ini menawarkan suatu penjelasan yang lebih lengkap dan detil dari masing-masing gerakan. Naskah-naskah dalam buku ini disajikan agar pembaca dapat mempelajari keragaman, asal mula dinamika dan konteks gerakan rakyat pedesaan di berbagai tempat kantung kemiskinan pedesaan di negara-negara Dunia Ketiga.
Naskah-naskah akan disajikan berurut dimulai dari sajian mengenai gerakan-gerakan di Amerika Latin, lalu menuju Afrika dan kemudian Asia. Selain pengelompokan berdasarkan benua ini, tidak ada pertimbangan lain yang dipergunakan penyunting sebagai pengurutan, karena pada awalnya tiap naskah ini dibuat oleh pengarangnya secara terpisah dan tidak berhubungan satu dengan lainnnya.
Isi Buku
Naskah pertama berjudul “Memproduksi Komunitas: MST dan Pemukiman-Pemukiman Land Reform di Brazil” adalah karya Wendi Wolford mengenai MST (Movimento Dos Trabalhadores Rurais Sem Terra atau Movement of Rural Landless Workers atau Gerakan Pekerja Pedesaan Tidak Bertanah). Naskah ini dimulai dengan uraian tentang (i) latar belakang pendirian dan kebangkitan MST, lalu dilanjutkan dengan (ii) komunitas impian yang dicita-citakan dan diwujudkan MST, dan (iii) andil dan posisi MST yang menjadi perantara antara negara dan rakyat miskin.
Sebagai sebuah gerakan rakyat yang paling aktif dalam sejarah masyarakat Brazil, MST sangat berhasil menjaring partisipasi yang tinggi dari anggota yang sudah mendapatkan cita-cita awal mereka, yaitu akses terhadap tanah. Para pimpinan pergerakan dan para aktivisnya mendorong partisipasi dengan menciptakan sebuah komunitas melalui ide-ide dan praktek, dan disarikan ke dalam simbol-simbol, slogan dan upacara-upacara. Pengalaman hidup berkomunitas, bagaimanapun, berbeda dari imajinasinya. Wolford menunjukkan bagaimana anggota-anggota MST ikut dalam berjuang lewat cara yang mencerminkan pengalaman historis berekonomi dan bermasyarakat. komunitas daambaan (imagined community) yang dibentuk MST ini ternyata menjadi efektif karena gerakan ini telah memapankan peran dirinya sebagai mediator yang berhasil antara rakyat miskin dan Negara Brazil.
Naskah kedua adalah karya Chris Gilbert dan Gerardo Otero, “Demokratisasi di Meksiko: Pemberontakan Zapatista dan Masyarakat Sipil” yang mengkaji hubungan antara aktivitas masyarakat sipil dan demokratisasi politik, dengan fokus pada pemberontakan Zapatista dan kemunculannya sebagai sebuah gerakan sosial. Kedua penulis berpendapat bahwa gerakan sosial yang dimulai oleh pemberontakan Zapatista telah menjadi kekuatan pendorong dalam demokratisasi Meksiko, bahkan lebih penting dari partai- partai oposisi, yang secara historis telah diperlemah atau tersedot kedalam aliansi dengan PRI yang berkuasa hanya untuk mendorong perubahan yang membiarkan watak otoritarian sistem politik hampir tidak tersentuh. Kebalikannnya, gerakan sosial yang dihasilkan EZLN telah mendorong aktivitas politik ke level yang lebih tinggi dan menginspirasikan perdebatan demokratis yang mendalam. Perbedaan utama adalah bahwa partai-partai politik telah memfokuskan upaya-upaya mereka pada reformasi masyarakat politis dari dalam sementara EZLN telah merasuki masyarakat sipil untuk mendorong demokratisasi daribawah.
Dalam tulisan ini mereka berdua berpendapat bahwa aktivitas warganegara yang terus berlanjut dan mobilisasi rakyat telah mampu mengembalikan arah transisi politik Meksiko menuju demokrasi yang lebih inklusif yang di dalamnya pemerintah harus merespon kepentingan- kepentingan masyarakat yang lebih luas. Kedua penulis secara berututan (i) menggambarkan beberapa reformasi pasca 1994 yang mempercepat proses demokratisasi di Meksiko; (ii) menggarisbawahi berbagai cara yang dipakai masyarakat sipil untuk merespon pemberontakan; (iii) menjelaskan repon negara terhadap pemberontakan dan praktek-praktek represif yang digunakan untuk melumpuhkan gerakan Zapatista; (iv) menggambarkan upaya-upaya EZLN untuk memobilisasi kelompok-kelompok dan individu-individu yang bangkit mendukung tuntutan-tuntutan EZLN danstrategi yang dipakai EZLN untuk membangun ikatan solidaritas baru; dan (v) membahas sumbangan gerakan Zapatista pada demokratisasi Meksiko.
Naskah ketiga adalah karya Thomas Perreault, “Rakyat dengan Identitasnya Sendiri: Menuju Sebuah Politik Kebudayaan dari Pembangunan di Amazonia Ekuador” yang mengkaji politik kebudayaan pembangunan internasional sebagaimana dialami oleh FOIN (Föderation der indigenen Organisationen des Napo), suatu federasi masyarakat-masyarakat adat yang hidup di dataran Amazonia - Ekuador. Naskah ini dimulai dengan merujuk pada banyaknya kritik atas pembangunan di tingkat nasional maupun global.
Sejak awal tahun 1990an, para penulis antipembangunan telah menyajikan keburukan-keburukanwacana pembangunan yang begitu jelas dan dampaknya berupa depolitisasi, pelucutan kuasa, dan penghancuran kebudayaan- kebudayaan Dunia Ketiga. Menurut penulis itu, meskipun analisis-analisis ini terbukti ampuh dalam membongkar watak pembangunan yang seringkali rasis dan paternalistis, analisis-analisis ini seringkali menggambarkan pembangunan sebagai sesuatu yang monolitik, homogen, dan satu arah, meniadakan kerumitan yang mewarnai lembaga-lembaga, praktek-praktek dan wacana-wacana yang terlibat. Terlebih lagi, gambaran seperti itu cenderung untuk mengangkat proses-proses nasional dan transnasional, sementara aktor- aktor lokal seringkali terpinggirkan untuk memegang peran sebagai korban pasif atau melawan dengan diam.
Penulis mengkaji praktek-praktek dan wacana-wacana pembangunan, khususnya di antara organisasi-organisasi rakyat pedesaan lokal. Disimpulkannya bahwa pembangunan adalah sebuah proses yang beragam, dan makna pembangunan adalah sesuatu yang sangat dipertarungkan. Ia berpendapat bahwa untuk organisasi-organisasi masyarakat adat Ekuador, pembangunan internasional menyediakan sebuah ruang untuk merundingkan hak-hak sipil dan sumberdaya mereka. Penulis menyajikan sebuah etnografis kelembagaan dari sebuah federasi masyarakat adat di Amazon Ekuador, yang menonjolkan cara-cara yang digunakan FOIN mempertarungkan pemahaman- pemahaman resmi tentang kewarganegaraan, negara danbangsa.
Naskah keempat adalah karya Stephen Greenberg “Pembangunan Pasca Apartheid, Ketidakpunyaan Tanah dan Reproduksi Peminggiran di Afrika Selatan” yang menganalisa perjuangan dan konteks dari Landless Peoples Movement (LPM) atau Gerakan Rakyat TidakBertanah. LPM muncul sebagai gerakan independen sebagai tanggapan atas dampak negatif model pembangunan dan ekonomi setelah pasca apartheid. Harapan akan pengembalian besar-besaran tanah kepada orang asli yang tak berpunya berkembang setelah rejim aparteid Afika Selatan tumbang di tahun 1994. Konstitusi baru dibuat dan mengandung perintah konstitusional untuk meredistribusi tanah, menjamin hak garap dan kepemilikan tanah bagi semua dan mengembalikan tanah kepada mereka yang dirampas tanahnya semena- mena. Namun harapan itu menjadi pupus ketikapartai yang berkuasa (African National Congress – ANC) mengadopsi model land reform Bank Dunia yang berdasar pada mekanisme pasar: “willing buyer, willing seller”. LPM boleh jadi adalah gerakan yangunik di antara gerakan-gerakan akar rumput independen lainnya karena keanggotaan aktif LPM bisa ditemukan baik di daerah perkotaan maupun pedesaan di negara tersebut. Gerakan ini menantang pemisahan perjuangan kota dan desa dengan menegaskan bahwa penggusuran di kota danketiadaan jaminan hukum untuk penggarapan tanah adalah isu-isu yang secara fundamental terkait dengan akses tanah.
Naskah ini berfokus pada tiga aspek yang saling berkaitan dari upaya- upaya LPM untuk membentuk sebuah gerakan nasional. Disajikan: (i) cara bagaimana wacana dan praktek pembangunan pasxa apartheid telah mereproduksi peminggiran baik di kota maupun desa, menciptakan kembali kondisi-kondisi struktural untuk solidaritas kota-desa; (ii) cara bagaimana pemerintahan lokal telah diorganisasi kembali, dan bagaimana ini merubah peta politik. Krisis pemerintahan lokal adalah sebuah aspek yang sangat berpengaruh dari krisis apartheid yang lebih luas, dan restrukturisasi pemerintahan lokal adalah elemen kunci pemapanan kembali hegemoni dalam era pasca apartheid; dan akhirnya (iii) mengeksplorasi cara-cara kontradiksi- kontradiksi baru dan histroris pembangunan dan struktur kekuasaan mempengaruhi bentuk-bentuk organisasi akar rumput dan resistensi seputar tanah, baik dalam konteks perkotaan maupun pedesaan. Ini menyertakan perubahan karakter dan kontradiksi-kontradiksi baru yang muncul dalam masyarakat sipil. Juga melihat keterkaitan antara masyarakat sipil dan kekuasaan hegemonik yang dijalankan melalui negara.
Naskah kelima berisi naskah dari Sam Moyo, “Gerakan Pendudukan Tanah dan Demokratisasi di Zimbabwe: Kontradiksi Neoliberalisme.” Penulis ini hendak menunjukkan betapa pentingnya masalah ketimpangan penguasaan tanah dan aksi-aksi pendudukan tanah-tanah. Ia menjelaskan kebangkitan ‘mendadak’ dari politik pedesaan serta makna ekstrayuridisnya. Organisasi- organisasi politik yang paling formal, entah itu di kalangan partai berkuasa atau kaum oposisi, cenderung mengabaikan tuntutan mendalam rakyat pedesaan akan land reform. Mereka berpretensi bahwa aksi-aksi pendudukan tanah -- yang sesungguhnya dapat merupakan pemantik api bagi kebijakan land reform yang sungguh-sungguh – sekedar diperlakukan sebagai agenda politik belaka.
Setelah mendalam menganalisis aksi-aksi pendudukan tanah yang meluasa di pedesaan, penulis menyimpulkan bahwa di negara-negara seperti Zimbabwe, yang proporsi terbesar penduduknya tinggal di desa dan ber- gantung pada pertanian untuk kehidupan serta mata pencaharian mereka, persoalan keadilan sosial perlu dijadikan satu parameter utama dari demokratisasi. Ia sampai juga pada kesimpulan bahwa nyaris mustahil untuk berfokus pada hak-hak politik liberal dalam gerakan-gerakan demokratis kontemporer tanpa memahami dendam sosial politik yang telah berurat berakar serta kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam masalah penguasaan tanah.
Naskah keenam adalah karya P. Routledge, yang mengurai perlawanan rakyat India Tengah melawan pembangunan waduk di lembah Narmada, sebuah proyek pembangunan yang disponsori negara dan korporasi. Dalam naskah ini, Routledge menggambarkan proses pengenyahan yang mengancam penduduk lembah Narmada, dan yang juga proses membangkitkan gerakan melawan pengenyahan tersebut yang dikenal dengan nama Narmada Bachao Andolan (NBA) atau Gerakan Penyelamatan Narmada. Naskah ini dimulai dengan (i) pembahasan ringkas mengenai perkembangan ekonomi India dan wacana-wacana resmi yang melegitimasi pembangunan waduk di Sungai Narmada; (ii) Lantas dikaji pelbagai proses pengenyahan yang membarengi pembangunan tersebut; (iii) ditelaah perlawanan nyata dan perlawanan wacana yang dijalankan oleh NBA; dan (iv) ditutup dengan mengangkat pertanyaan- pertanyaan tertentu mengenai peran akademisi dalam menganalisa proses- proses tersebut.
Secara khusus, penulis menganalisa alur pemikiran yang melingkupi gerakan ini, memahami alur-alur tersebut sebagai ajang menyusun pengetahuan mengenai pembangunan waduk di lembah Narmada berikut akibat-akibat yang akan ditimbukannya baik pada manusia maupun lingkungannya. Penulis menemukan bahwa kesaksian, slogan, dan analisa gerakan menjadi taktik perjuangan melawan wacana pembangunan pemerintah yang melegitimasi pelbagai proses pengenyahan di lembah Narmada.
Naskah ketujuh adalah karya Bruce Missingham, mengenai sebuah koalisi nasional penduduk desa, kaum miskin kota, dan LSM yang bernama Samatcha Khon Jon (The Assembly of The Poor) diMuangtai. The Assembly of The Poor adalah asosiasi nasional pertama yang mewakili kepentingan kaum miskin desa yang bangkit setelah Federasi Petani Thailand selama pergolakan politik 1970-an. Didirikan tahun 1995, Majelis ini berupa koalisi kelompok- kelompok pedesaan, masyarakat miskin kota, dan LSM-LSM yang mengkampanyekan isu-isu lingkungan dan mata pencaharian seperti dampak waduk raksasa dan hak-hak tanah komunal di lahan hutan lindung. Majelis mendapat sebagian besar pengaruh politis dan kekuatan tawarnya dari kemampuan mereka memobilisir banyak orang untukprotes massal berjangka panjang. Tentunya, setelah terbentuk, gerakan ini dengan cepat menjaditerkenal di Thailand karena aksi-aksi demonya di jalanan Bangkok. Aksi-aksi protes itu selaluditempatkannya menjadi bagian dari strategi kampanye yang lebih luas yang meliputi petisi-petisi detil tertulis, lobi dan negosiasi dengan pemerintah, serta pembuatan materi publisitas seperti selebaran, video, dan media lainnya.
Penulis ini mengandalkan penelitian etnografis untuk menganalisa strategi penggunaan ruang, konstruksi tempat, serta konstruksi komunitas terhadap dampak simbolis dan politis aksi protes tersebut. Dalam naskah ini disajikan garis besar isu-isu teoritis yang ada dalam geografi protes, diikuti latar belakang singkat The Assembly of The Poor serta protes bersejarah mereka tahun 1997. juga ditelaah sebab musabab mengapa The Assembly of The Poor memilih tempat yang khusus ini untuk mengadakan gerakan, apa makna simbolis dan politisnya. Lebih lanjut, juga diuraikan cara merekameng- ubah jalanan depan Gedung Pemerintahan menjadi ajang protes yang spektakuler dan sarat makna, menjadi apa yang diistilahkan ‘Desa Kaum Miskin’. Penulis sampai pada kesimpulan bahwa yang diistilahkan dengan ”Desa Kaum Miskin” ini telah dijadikan sebuah pijakan bersama yang riil sekaligus simbolik. Di situ aneka macam kelompok yang menyusun gerakan bisa bergabungbersama untuk menegaskan kesatuan identitas politik mereka dan mengajukan petisi ke negara. Seperti halnya desa ‘normal’, Desa Kaum Miskin ini juga menyediakan tempat di mana para demonstran membangun komunitas yang tertata dan kooperatif tidak hanya demi menjagakeberlangsungan aksi protes mereka, namun juga untuk menghilangkan cap ‘gerombolan’ yang diterakan pada mereka di media. Lebih jauh, Desa Kaum Miskin melambangkan sebuah komunitas yang dilanda krisis, terancam kekuatan-kekuatan pembangunan ekonomi yang ditujukan demikemakmuran kota besar.
Selanjutnya, naskah kedelapan, adalah karya pasangan Jennifer C. Franco dan Satunirno Boras Jr., “Perubahan Pola-Pola Mobilisasi Petani untuk Tanah dan Demokrasi di Filipina” yang melukiskan gerakan UNORKA (Pambansang Ugnayan ng mga Nagsasariling Lokal na Samahang Mamamayan sa Kanayunan, Koordinator Nasional Organisasi Lokal Rakyat Pedesaan Otonom) di Filipina. Tujuan dari naskah mereka ini adalah menggambarkan dan menganalisis perkembangan-perkembangan kontemporer gerakan sosial pedesaan di Filipina dan mengungkapkan setiap artikulasi baru ‘yang khas dan yang mungkin’ bisa jadi tersingkap di sana dan dari sana. Kedua penulis menggunakan konsep ‘rightful resistance’ (perjuangan hak dengan mempergunakan hukum negara) ternyata tepat dan sangat berguna untuk mengamati kasus UNORKA ini.
Naskah ini berfokus pada aspek sosial politik perjuangan UNORKA, sebuah front persatuan organisasi rakyat miskin pedesaan yang relatif muda dengan warisan pengalaman sejarah yang kayadengan siklus mobilisasi petani di masa lalu dan sekarang. Didirikan bulan Juni 2000, UNORKA adalah sebuah koalisi organisasi-organisasi petani dan buruh tani yang terlibat dalam perjuangan untuk reforma agraria. Para anggota UNORKA membantu mempelopori dan mengembangkan apa yangsekarang dikenal sebagai ‘strategi bibingka’ dalam implementasi reforma agraria. Bibingka atau disini dikenal dengan nama Bika Ambon adalah kue beras khas Filipina yang dibakar dengan oven buatan rumahterdiri dari dua lapis, dengan bara arang di tiap lapisannya, di atas dan di bawah kue. Ibarat itu menunjukkan kombinasi antara inisiatif reformis dari pejabat-pejabat pemerintahan dengan mobilisasi rakyat yang menekankan perubahan kebijakan pemerintahan.
Undang-undang Pembaruan Agraria yang Menyeluruh (CARP) dan sejumlah peraturan administratif yang terkait dengan land reform berfungsi sebagai konteks dan obyek mobilisasi kaum tani dan pekerja pertanian. Sebagai ‘konteks’, mereka mendefinisikan parameter kampanye aksi kolektif kaum tani dan pekerja perkebunan dan mereka menentukan sumberdaya kekuatan aktor- aktor (pro dan anti reformasi)yang berbeda. Sebagai ‘obyek’, mereka menjadi fokus atau target upaya yang dilangsungkan aktor-aktor berbeda untuk membentuk atau membentuk kembali kenyataan.
Terakhir, akan disajikan naskah adalah karya Tania Murray Li, “Masyarakat Adat dan Masalah Pengakuan” yang menyoroti gerakan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia,yang berkongres pertama di Jakarta, pada Maret 1999. Kongres ini menandai masuknya ‘masyarakat adat’secara formal sebagai salah satu kelompok yang menuntut dan terus berusaha mendapatkan kembali posisinya di negara Indonesian saat suasana politik menjadi lebih terbuka setelah pemerintahan danpenindasan selama kekuasaan Suharto. Inti tuntutan AMAN adalah agar negara memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat sebagai masyarakat berdaulat yang berhak mengatur diri sendiri dan sumber-sumber daya yang menjadi andalan hidup mereka. Dasar tuntutan AMAN bahwamasyarakat adat sudah ada sebagai masyarakat yang memiliki kekhususan dalam organisasi sosialnya khas, memiliki kedaulatan atas wilayah di mana mereka hidup ‘jauh sebelum negara Indonesia terbentuk’. AMAN menyatakan bahwa masyarakat adat telah mengembangkan budaya yang khas,mengetahui batas sosial antara siapa yang menjadi anggota mereka dan siapa yang tidak, dan memiliki tata pemerintahan tersendiri, merupakan bentuk masyarakat sosial asli di Indonesia. Oleh karena ituAMAN menuntut kembali hak dan gaya hidup masyarakat yang terkait erat dengan kawasan-kawasan tertentu milik leluhur kelompok-kelompok budaya yang berbeda.
Dalam naskah ini, Tanial Li menggali alasan perjuangan AMAN untuk mendapatkan lahan, hak atas sumber-sumber daya alam dan berbagai mata pencaharian yang menjadi anadalan hidup masyarakat adat. Ia menelaah (i) wacana masyarakat adat; (ii) konteks dari politik diskriminasi terhadap masyarakat adat, terutama kaitan dengan politik sumber daya alam; (iii) Alasan gerakan sosial ini muncul diciptakan dengan (atau melalui) konsep masyarakat adat, dan (iv) Analisa mengenai kekuatan dan keterbatasan dari gerakan ini.
Ucapan Terima Kasih
Buku ini tidak mungkin terwujud apabila penulis tidak bergaul dengan Mansour Fakih (alm), guru dari banyak aktivis, yang di masa akhir hayatnya tak henti-hentinya mengemukakan besarnya ancaman dari neoliberalisme dan harapannya pada gerakan sosial untuk melawan kebijakan neoliberal di Indonesia. Secara khusus ia mengingatkan bahwa Pekerjaan Rumah (PR) terbesar adalah mengembangkan kapasitas pelaku gerakan sosial. Naskah- naskah ini sengaja dihadirkan untuk para pengkaji dan/atau para aktivis gerakan sosial di Indonesia, sebagai cermin pembanding agar lebih baik untuk memahami apa-apa yang telah, sedang dan akan dihadapi, maupun untuk diolah menjadi inspirasi bagi pekerjaan praktis memajukan gerakan sosial di Indonesia.
Penyunting merasa beruntung mengumpulkan, mempelajari banyak naskah, dan juga berdiskusi dengan para sarjana-aktivis dan juga menonton sejumlah film mengenai berbagai gerakan sosial di Asia, Afrika dan Amerika Latin semasa saya menjadi visiting scholar pada the Berkeley Workshop in Environmental Politics - Institute of International Studies (IIS) di University of California – Berkeley, sepanjang bulan Agustus s/d Desember 2003. Beruntung sesudahnya, saya masih sempat mempelajari naskah-naskah sejenis. Pilihan dari naskah-naskah yang saya peroleh itu lah kemudiandiolah menjadi isi dari buku ini. Buku ini buah pula dari kerja, belajar dan bergaul selama di sana bersama dengan Nancy Peluso, Michael Watts, Gillian Hart, Lungisile Ntsebeza, Suraya Afiff, Asep Suntana, Ann Hawkins, Silvia Tiwon, Sarah Maxims, dan Herlily. Terima kasih atas kebaikan hati kalian semua itu.
Juga pada pada Eko Prasetyo yang telah bergegas menugaskan pada Ronny Agustinus menerjemahkan tiga naskah mengenai gerakan pendudukan tanah di Zimbabwe, Gerakan Narmada Bachao Andolan di India dan gerakan Assembly of the Poor di India. Keempat naskah ini kemudian disunting bersama oleh Sri Wulandari dan Noer Fauzi. Secara khusus, penyunting berterima kasih atas kerjasama Sri Wulandari yang dengan tekun menerjemahkan sisa dari naskah yang disajikan dan mendiskusikan draft terjemahannya dengan penyunting. Tanpa kerja tekunnya, penyunting akan bekerja jauh lebih keras lagi agar naskah ini terhindar dari keslahan atau kejanggalan penerjemahan dan dapat dinikmati dengan nyaman. Meski telah diusahakan maksimal, bila ada kesalahan tanpa disengaja, beban tanggungjawab terletk pada penyunting. Paling istimewa, tidak cukup sekedar dengan ucapan terima kasih, penulis merasa terharu dengan pengorbanaan, pengertian dan hiburan dari istri dan anak-anak penulis: Budi Prawitasari, Tirta Wening dan Lintang Pradipta. Tanpa mereka tidak mungkin penulis menjadi orang seperti sekarang ini.
Yogyakarta, 9 Juli 2005
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi Sumber Naskah
1. Memproduksi Komunitas: MST dan Pemukiman-Pemukiman Land Reform di Brazil
Wendy Wolford
2. Demokratisasi di Meksiko: Pemberontakan Zapatista dan Masyarakat Sipil
Chris Gilbert dan Gerardo Otero
3. Rakyat dengan Identitasnya Sendiri: Menuju Sebuah Politik Kebudayaan dari Pembangunan di Amazonia Ekuador
Thomas Perreault
4. Pembangunan Pasca Apartheid, Ketidakpunyaan Tanah dan Reproduksi Peminggiran di AfrikaSelatan
Stephen Greenberg
5. Gerakan Pendudukan Tanah dan Demokratisasi di Zimbabwe: Kontradiksi Neoliberalisme
Sam Moyo
6. Pekik Kaum Terkutuk: Perlawanan di Tengah Pengenyahan Lembah Narmada
Paul Routledge
7. Desa Kaum Miskin Melawan Negara: Geografi Protes Assembly of the Poor (AoP) Melawan Negara
Bruce Missingham
8. Perubahan Pola-Pola Mobilisasi Petani untuk Tanah dan Demokrasi di Filipina
Jennifer C. Franco dan Satunirno Boras Jr.
9. Masyarakat Adat dan Masalah Pengakuan
Tania Murray Li
Sumber Naskah
1. Wendi Wolforf, “Producing Community: The MST and Land Reform Settlements in Brazil”, Journal of Agrarian Change, Vol. 3 No. 4, Oktober 2003, hal 500-520.
2. Chris Gilbreth and Gerardo Otero, “Democratization in Mexico: The Zapatista Uprising and Civil Society”, Latin American Perspectives, Issue 119, Vol. 28 No. 4, July 2001, halaman 7-29
3. Thomas Perreault, “`A people with Our Own Identity': Toward A Cultural Politics of Development in Ecuadorian Amazonia”, Environment and Planning D: Society and Space 2003, volume 21, pages583-606.
4. Stephen Greenberg, “Post-apartheid Development, Landlessness and the Reproduction of Exclusion in South Africa”, Centre for Civil Society Research Report No. 17, Durban, South Africa.
5. Sam Moyo, “The Land Occupation Movement and Democratisation in Zimbabwe: Contradictions of Neoliberalism”, Millennium: Journal of International Studies, Vol. 30., No. 2:2001, halaman311-330.
6. P. Routledge, “Voices of the Dammed: Discursive Resistance Amidst Erasure in the Narmada Valley, India”, Political Geography 22 (2003) halaman 243–270
7. Bruce Missingham, “The Village of the Poor Confronts the State: A Geography of Protest in the Assembly of the Poor”, Urban Studies, Vol. 39, No. 9, 2002, halaman 1647–1663.
8. Jennifer C. Franco and Saturnino M. Borras Jr. “Changing Patterns of Peasant Mobilizations for Land and Democracy in the Philippines”, diberikan kedua penulisnya untuk buku ini.
9. Tania Li, “Masyarakat Adat, Difference and the Limits of Recognition in Indonesia’s Forest Zone” Modern Asian Studies 35(3) 2001. halaman 645- 676.
No comments:
Post a Comment